Browsed by
Month: September 2017

8 Hal yang harus dilakukan mumpung kamu masih Single

8 Hal yang harus dilakukan mumpung kamu masih Single

Kamu masih single tapi kerjaan melongo mikirin jodoh yang tak kunjung datang? 

Udah ga zaman! 

Ayolah, pikirkan betapa banyak teman lugu yang tidak pernah pacaran toh bisa saja dapat jodoh. Jodoh tak perlu dipikirkan tapi hanya perlu dipertimbangkan… *Eaaa.. 

Rumah Tangga itu tidak sereceh yang kamu bayangkan. Percaya tidak? Beberapa orang yang sudah berumah tangga pasti suatu saat akan merindukan masa singlenya dulu. Masa ketika bisa bebas bereksplorasi, memiliki banyak waktu, memiliki banyak bakat dan itu hanya terjadi sekali seumur hidup. Single itu tidak bisa diulang-ulang! Merdeka Jomblo! *Ops.. (ini yang nulis emak-emak) 😂

Karena itu, mumpung masih single lebih baik lakukan 8 hal ini untuk memperbaiki kualitas diri. 

1. Let your passion to the Max, dont let MONEY Control u! 

Single itu punya banyak pilihan dalam hidupnya, Yes? 

Mau jadi ini, inu, ani, eno.. Eh terserah! Tapi syaratnya, lakukan dengan maksimal. Jadilah apa yang kamu mau.. Berusaha sebaik mungkin sebelum passionmu terbagi dengan status Ibu atau Ayah

Menjadi single itu belum memiliki orientasi duit. Single sejati lebih suka melakukan hal yang benar-benar ia senangi bukan semata-mata karena uang. Apalagi jika hal yang disenangi itu didukung oleh orang tua dan sekitar. Single yang keren itu akan selalu memilih menjalani hidupnya dengan passionnya dibanding menjalani hidup demi uang. 

Asal tau aja ya..  kalo udah berumah tangga itu liat uang 2000an yang baru aja mesti dibuka lebar dulu saking ngarepnya itu 20.000.. Betul? 

NB: Poin pertama ini  Situational sih sebenarnya, kalau orang tua dan ‘calon mertua’  pada materialistis susah juga. Hihi.. 

2. Perbanyak membaca buku 

Percayalah jadi single itu bahagia, dia punya banyak waktu untuk dirinya sendiri. Maka jangan lupa untuk membaca. 

Karena ketahuilah, ketika status Ibu atau Ayah sudah melekat, kesempatan membaca itu sulit sekali. 

Kesempatan bisa membaca ketika berumah tangga itu kecil, karena waktu didominasi dengan pekerjaan rumah yang menumpuk dan si kecil yang cerewet. Ketika berumah tangga kau akan lebih senang membaca content dibanding buku karena tanganmu lebih membutuhkan Handphone dan Google. Suka membaca fiksi? Percayalah, menonton film sambil menyusui lebih menghemat waktu untuk menghibur dibanding membaca buku fiksi. 😂

Jadi, Apa saja yang dibaca? 

Semuanya. Karena kita tidak akan pernah tahu kapan ilmu itu tiba-tiba menjadi begitu penting dalam kehidupan kita. 

Ahh.. Masa sih jadi Ibu ga punya kesempatan membaca.. Males aja kalees.. 

Sekali lagi ini terjadi jika beda situasi. Ya bisa aja masih punya waktu banyak membaca dengan catatan kamu punya pembantu atau minimal orang yang meringankan pekerjaan rumah_dan punya banyak uang untuk itu. 

Percayalah single itu lebih punya kesempatan menggali ilmu lebih banyak. Sementara menjadi Ibu/Ayah adalah output dari praktik bacaan tersebut.

Jadi mumpung masih single, baca yuk..! 


3. Jangan Lupa KERJAKAN Sunah Nabi

Selalu kagum dengan para Ibu yang bisa melakukan sholat malam, sholat dhuha, tadarus, dan rutin kemajelis ilmu meskipun memiliki anak. Kalau saya? Salah satunya saja bisa dilakukan sudah merasa hebat. Hihi

Percayalah, masa muda itu masa penuh harapan dan doa. Maka jangan lupa untuk selalu mengerjakan sunah nabi. 

Yang wajib aja dulu.. Sunah it belakangan.. 

Ya emang wajib itu ya wajib masa mau ditinggalin? 

Tapi kalian para single yang masih punya banyak impian dan harapan jangan pernah meremehkan kekuatan dari Doa. 

Dan Doa yang didengarkan itu adalah doa dari mereka yang banyak mengerjakan sunah nabi. Maka kerjakanlah selagi masih single dan punya banyak waktu untuk itu. 

4. Traveling sejati hanya dapat dilakukan ketika single! 

Weekend Jomblo mau kemana? 

Travelling aja! Mumpung masih single. Perbanyak menjelajah tempat baru dan bertemu dengan orang-orang baru. Buka pemikiran dan berbagi wawasan. Berfoto sebanyak-banyaknya. Simpan berbagai kenangannya karena kamu akan merasakan sensasi rasa senangnya mengabadikan foto itu suatu saat nanti. 

Apa ketika bekeluarga tidak bisa traveling? Sebenarnya bisa, tapi tidak maksimal. Jika ketika single anda travelling karena ingin bertemu dengan berbagai orang baru maka tujuan traveling keluarga hanyalah untuk menyenangkan anggota keluarganya saja. Disamping itu, kesempatan traveling sangat sulit didapatkan jika anda menikahi orang berkepribadian introvert. 

Baca juga: ketika Introvert menikahi Introvert pula

Baca juga: Lelaki Introvert atau ekstrovert? 

5. Hindari Shopping berlebihan, menabunglah! 

Punya banyak gajih dari bekerja? Menabunglah! 

Biasanya kemampuan menabung cowok single lebih terarah dibanding cewek single. Kenapa? 

Eh kenapa ya.. 

Karena cowok single lebih realitas memikirkan modal pernikahan sementara cewek single cenderung menghabiskan uangnya untuk shopping supaya dirinya terawat. (sebagian loh bukan semua cewek single) 😅

Menabung itu berguna sekali untuk masa depan. Masa depan apa sih? 

  • Melamar anak orang butuh modal
  • Yang dilamar juga butuh modal kalau saja suatu saat anda terkena krisis pengantin muda
  • Ingatlah anda butuh rumah untuk dihuni keluarga anda
  • Dan seterusnya… Kalau aku sebutin semua ga selesai-selesai ini tulisan😅

6. Jangan Sombong 

Usia muda, sukses, punya banyak relasi tapi sombong? Percuma meeen…👎

Tidak akan ada orang yang suka dengan seseorang yang sombong termasuk itu para calon mertua. Maka belajarlah rendah diri.. 

Sudah berapa banyak kita melihat orang sombong yang tiba-tiba berada dibawah karena kesombongannya? 

7. Perbanyak Relasi, tapi jangan pernah mengutamakan teman dibanding keluarga

Kapan lagi bisa punya banyak teman? Hanya ketika masih single saja kita dapat maksimal berteman. 

Single punya banyak kesempatan untuk memiliki relasi. Relasi sangat dibutuhkan untuk menunjang peningkatan dari passion. Kalian tentu pernah melihat orang yang memiliki passion biasa saja namun bisa sukses? Percayalah itu karena mereka punya banyak relasi. 

Tapi, sebanyak apapun relasi diluar ingatlah.. Ingatlah bahwa ikatan dengan para ‘teman’ tidak akan pernah mengalahkan kuat dan tulusnya ikatan dengan keluarga. Maka, jangan terlalu berlebihan dalam berteman dan berelasi. 

8. Lakukan segalanya untuk Orang tua

Single dan masih memiliki orang tua? 

Bagus, anda punya tujuan mulia untuk hidup..

“Bahagiakan mereka selagi kamu memiliki waktu.. 

karena ketika kamu menikah.. 

kamu akan merasa jauh dengan mereka..

Apalagi ketika mereka telah tiada, kau akan menyesal jika tak melakukan yang terbaik untuk mereka.. 

Memiliki orang tua yang selalu mendukung dibelakang kita adalah berkah yang harus disyukuri oleh kaum single. Lakukanlah segala yang kita bisa untuk membahagiakan mereka. 

Bakti seorang anak lelaki selamanya terikat pada Ibunya. Maka bahagiakanlah Ibumu selagi kamu belum menikah dan memiliki kewajiban memberi nafkah pada istrimu. 

Ketika menikah, bakti utama seorang perempuan jatuh kepada suaminya. Maka, bantulah Ibumu melakukan pekerjaannya selagi masih single. 

Masih mikirin jodoh yang tak kunjung datang? 

Yuk, kerjakan 8 hal penting diatas dulu. Percayalah jodoh akan datang begitu saja jika kita ‘berusaha’ maksimal melakukan yang terbaik. 

*Bukan maksimal mengejar jodohnya saja tentunya.. 😛 

Sumber gambar 

Review Ovale Micellar Cleansing Water

Review Ovale Micellar Cleansing Water

Holaaa! 

Kali ini aku mau berbagi informasi tentang produk Micellar Water dari Ovale. Produk ini baru 3 hari yang lalu aku beli.

Sebenarnya awal alasan aku membelinya karena penasaran sih. Kalian tau kan beberapa micellar water mulai ramai promosinya di TV. Waktu itu aku sih cuek aja, toh bisa aja bersihin make up pake sabun muka. Tapi eh tapi.. Kok kebeli juga sih? *inilah yang dinamakan racun.. 😂

Sebelum aku berbicara lebih lanjut ada ga sih yang pemahaman sama kayak aku dan sering bertanya-tanya, “Penting ga sih Micellar Water?” 

Ya, aku banget itu! Soalnya make up aku biasanya cuma modal air dan sabun muka aja buat ngebersihinnya. Memang sih masih nyisa dikit-dikit tapi ga terlalu mengganggu (bagiku) haha.. 

Sebenarnya dari mana sih asal mula sejarah micellar water ini? 

Konon, munculnya Micellar Water ini berawal di Prancis pada akhir tahun ’90-an, saat krisis air bersih melanda kota tersebut. Saat itu, kanal air di seluruh kota Paris terkontaminasi oleh kandungan korosif sehingga tidak dapat diminum atau dikonsumsi, bahkan berdampak buruk terhadap kesehatan tubuh maupun kulit.

Kemudian para peneliti melakukan uji coba menggunakan molekul dari asam lemak, kemudian hasilnya adalah penemuan yang dikenal dengan sebutan Micellar Water.

Sejak itu, Micellar Water mulai Booming! 

Beberapa produsen kosmetik lalu mendapat inspirasi untuk memanfaatkan keadaan unik molekul air yang dikenal dengan istilah micelle tersebut. Ketika sang peneliti menggabungkan air dengan zat yang mengandung fatty-acids esters pada konsentrasi khusus, maka komposisi dari kedua senyawa tersebut dapat bekerja seperti magnet.

Molekulnya bisa diibaratkan seperti kutub utara dan selatan dari sebuah magnet. Bagian kutub utara bersifat hydrophilic, artinya cenderung tertarik dengan kandungan air. Sedangkan bagian kutub selatan memiliki ciri lipophilic, yang berfungsi sebagai pengangkat minyak dan lemak pada wajah.

Jadi, penyebab saya membelinya adalah.. 

Saya suka bermake up, jelas karena saya wanita dan sudah menikah pula.. Haha.. Make up itu wajib hukumnya dipakai setiap hari bagi saya. 

Sekedar curcol sejak demam lipcream diindonesia, saya ini hoby sekali memakai jenis lipcream. Lipcream itu kan susah banget ya buat dibersihin. Nempelnya betaaah banget dan waterproof pulaa.. 

Nah, sebelum aku beli micellar water ini cara aku ngebersihinnya adalah dengan memakai pasta gigi.. 😅

It’s Work but… I don’t know, is that really truly clean? 😂

Maklum, ini semua karena emak satu ini punya skill menghemat yang lumayan ekstrem. Mungkin lain waktu saya bakal curcol tentang pengeluaran saya dalam sebulan. *kapan ya..janji aja dulu😅

Saya memiliki firasat kuat bahwa bibir saya yang mulai menghitam ini karena diri saya sendiri yang kurang bersih saat membersihkan lipstik. Mungkin saat saya tidur zat kimianya pun masih menempel dan merusak kecantikanku.. 😭

*HOEK
Karena itu saya berkata, “Maybe I really Need U… Micellar Water” 

Karena micellar water termasuk dalam kategori makeup remover, beda ya dengan air biasa yang kita kenal yang hanya berfungsi untuk membersihkan kulit saja tapi tidak dapat mengangkat noda kimia seperti makeup. 

Kamu nyurcol mulu kapan review produknya? 

Ya beginilah kalau sang penulis bukan Beauty Blogger, dia lebih suka menulis hal dibalik penting tidaknya serta latar belakang micellar water yang bagi orang lain itu sih mungkin.. “How Boring” 😅

Tapi bagiku yang boring itu adalah menjelaskan produk itu. Dari packaging yang sebenarnya aku no problem banget look-nya mau kayak gimana. Haha.. 

Kenapa beli Ovale? 

Karena aku liat-liat dibanding Micellar Water lain ovale ini cukup terjangkau harganya. Selain itu, kulitku cenderung cocok menggunakan produk pembersih dari ovale. Aku sering memakai berbagai cleansernya dan itu cocok sekali. 

Ovale Micellar Cleansing Water ini mengandung ekstrak Magnolia. Magnolia bermanfaat untuk menjaga kesehatan kulit. Kandungan magnolia dapat membuat kulit menjadi lembut, bersih, cerah, dan halus.

Oke lah, bisa liat komposisi lebih lanjutnya ya.. 

Bagaimana cara memakainya? 

Cukup tuangkan Ovale Micellar Cleansing Water pada kapas kemudian usapkan pada wajah. 

Teksturnya Bagaimana? 

Apa penting ya bahas tekstur buat Micellar water.. 😂

Tekstur cair lah.. Ga lengket dan yang aku suka ngeluarin sedikit dikapas itu bisa dipake bolak balik jadi hemat beibb… Haha

Hasilnya? 

Wuih.. Emang benar-benar bersih loh mata dan bibir aku pake ini. Keset dan ga ada noda lagi sedikit pun. Tapi saran aku habis membersihkan wajah pake ini barsihkan lagi ya pake facial foam supaya lebih fresh dan segar.. 😘

Over All yang aku suka produk ini adalah:

1. Harganya terjangkau, hanya 17.500 saja

2. Baunya minimalis

3. Benar-benar bekerja dalam membersihkan make up biasa hingga maskara dan lipcream. 

Hampir tidak ada yang tidak aku suka dari produk ini. Mungkin juga karena aku ga pernah beli micellar water merk lain kali ya.. Haha.. 

Tapi buat emak rumahan dengan budget perawatan terbatas dan hoby memakai make up untuk menyenangkan suami, produk ini wajib dicoba! 

Repurchase? Yes! 


Fase baru dalam kehidupan anakku, “Biarkan dia Keluar Kandang” 

Fase baru dalam kehidupan anakku, “Biarkan dia Keluar Kandang” 

“Sudah saatnya kita mulai mencoba perlahan melepasnya didunia luar” 

Aku mengangguk dan meng’iya’kan didalam hati. 

——————————————————————

Sejauh ini menyandang status Ibu, pernah saja terlintas sebuah rasa penyesalan tentang jenjang pendidikan yang aku tempuh. 

“Oh.. Kenapa dulu tak kuliah di sosiologi saja, oh.. Kenapa tidak jadi psikolog aja, oh.. Kenapa tidak kursus memasak aja.. Oh.. Kenapa dulu tidak magang di bursa efek indonesia saja supaya bisa kerja dirumah sambil main saham, oh.. Bukan..harusnya saya begini..begini..begitu..” 

Kenyataannya sejauh ini aku tidak bisa memilih dalam hal passion. Aku mencoba semuanya. Aku ingin BISA SEMUANYA. Aku ingin membahagiakan anakku. Aku ingin selalu menjadi orang yang paling dicintai oleh suami dan anakku. Here I’m.. A Toddler Divergent Mommy

Menjadi serba bisa telah sukses membuat anakku bahagia ‘dirumah’. Aku menjadi tukang masak, teman bermain, dan ibu yang ‘berusaha’ sabar. Keadaan itu sukses membuat anakku tumbuh menjadi normal sempurna. Setidaknya, dia tidak punya teman imajinasi sepertiku dulu dan itu membuatku berpikir bahwa psikologisnya tidak perlu beradaptasi dengan menciptakan teman khayalan. Yes, aku telah menjadi segala-galanya baginya. Bukan hal yang patut dibanggakan ya. 

Kenapa? Karena konon jika anak memiliki mama yang serba bisa maka anak akan tumbuh menjadi manja. Apalagi jika dia tidak memiliki adik. Sang mama adalah pusat perhatian baginya. Hal ini menyebabkan pola asuh yang seharusnya demoktaris secara tidak disadari berubah menjadi permisif. 

Pola asuh Permisif adalah pola asuh yang menuruti segala permintaan anak. Pola asuh seperti ini dapat terjadi jika anak cenderung dimanjakan dan tak memiliki saingan dalam kasih sayang. Kebanyakan para Ibu terhipnotis dengan nyamannya menerapkan pola asuh ini karena senang melihat anak tidak menjerit, dapat diam serta memujinya. Namun, akibat dari pola asuh permisif sangat buruk. Anak akan menjadi manja, tidak punya empati dan simpati, tantrum berkelanjutan hingga selalu menganggap dirinya Raja dimana saja. 

Beruntunglah aku tidak menerapkan pola asuh permisif. Kadang rasa jenuh itu adalah hal yang patut disyukuri. Ya, aku jenuh menjadi serba bisa ketika anakku menginjak usia 3 tahun. Jenuh berakting pura-pura baik, jenuh menjadi teman mainnya, jenuh 24 jam bersamanya dan mengabaikan ‘me time’ ku. Akhirnya, aku membiarkannya bereksplorasi diluar rumah. 

Bagi seorang Ibu yang introvert sepertiku jelas bahwa dunia luar bukan duniaku. Namun, untuk mengenalkan anak pada dunia sosialisasi maka terpaksa aku menemaninya. Aku juga harus berpura-pura nyambung dengan obrolan gosip tetangga agar anak kami dapat terus berteman. Dan aku menikmatinya, lebih tepatnya pura-pura menikmatinya. Haha

Sejak aku sering mengajak anakku keluar rumah, dia menjadi kecanduan. Dia sering keluar rumah tanpa sepengetahuanku yang sedang sibuk didapur. Jujur, aku tidak menyukainya. Bagiku, lebih baik kalau dia membantuku bermain dough didapur dibanding keluar rumah. Repot sekali menjaganya, pikirku. 

Lama kelamaan aku sadar, bahwa anakku butuh teman yang nyata dan bisa bermain tanpa akting. Sedangkan aku? Terlalu banyak cut untuk bolak balik dapur. Ah, Mungkin saja sebenarnya selama ini anakku cuma pura-pura senang bermain denganku, pikirku. Aku pun membiarkannya bermain diluar sekarang. 

Lepas sepenuhnya dari pengawasanku.. 

Tadinya, dia sering menangis. Mengadu bahwa temannya begini-begitu. Apa aku sabar menghadapinya? Jujur, aku tidak cukup sabar. Membiarkan anak bermain diluar adalah sebuah masalah baru bagiku. Sementara aku sadar, aku tak bisa selalu menemaninya diluar sana. Wilayahku adalah didalam rumah. 

“Masuk kedalam rumah aja kalo nangis gitu!”  Bentakku. 

Ia menangis. Masuk kedalam kamar. Membenamkan diri di bantal dan para bonekanya. Aku membiarkannya. Mendengarkan sesekali suaranya dikamar. Berharap dia punya imajinasi bahwa sang boneka adalah benda hidup. Tapi sejauh ini percuma. Anakku bukan sang imajiner. Ia hanya mengharapkanku muncul dikamarnya sambil membelai dan membelanya. 

Tapi jujur saja, selama membiarkannya bermain diluar aku jarang melakukannya. Bagiku sebagian tangisannya dan masalah dengan temannya memang bukan salah temannya sepenuhnya, namun juga kesalahannya. Jadi untuk apa aku membelanya? Sebagai orang tua yang menjauhkan diri dari pola asuh permisif, membelanya bukanlah gayaku. 

Aku selalu menyuruhnya meminta maaf dengan teman. Seburuk apapun masalahnya. Dengan solusi ini dia sukses mendapat perhatian dari temannya. Walau tangisan memang hal yang tak bisa dihindari. 

Tapi itulah awal dari kehidupannya diluar sana.. 

Proses interaksi sosial Farisha memang mengalami berbagai kendala. Hal pertama adalah Tantrum. 

Baca juga: Satu Solusi Jitu untuk Mengakhiri masa Tantrum Anakku

Pengenalan terhadap rasa empati untuk mengatasi tantrum adalah pembelajaran inti untuk dapat mengenal ‘rasa mengalah’ dengan teman. Maka, ingatlah bunda empati adalah hal basic yang perlu diajarkan sebelum anak berinteraksi sosial. 

Setelah tantrum dan rasa mengalah dapat dikuasai oleh anak, maka fase sekolah bukanlah sebuah fase yang sulit untuk dihadapi. Ia hanya perlu menyesuaikan diri dengan lingkungan dan teman baru disekolah. 

Baca juga: Tips membuat anak merasa senang disekolah

Masalah berikutnya, bukan pada anakku. Tapi pada diriku sendiri. Awalnya aku menyatakan siap untuk melepasnya kesekolah sendiri, bermain diluar sendiri hingga belajar untuk pulang sendiri. Tapi kenyataannya tidak semudah itu. 

Empat tahun lebih kami bersama. Tak pernah lepas sekalipun jauh dari mata. Anak satu-satunya. Anak perempuan yang akhirnya bisa menjadi teman dekatku. Anak yang membuatku serba bisa. Anak yang tadinya selalu berteriak dirumah saat berbagai keluhan datang. Dan dunia sekolahnya telah menyadarkanku sepenuhnya. Dia_tak bisa selamanya didekatku saja. 

Kesepian.. Inilah yang kurasa saat dia pertama kalinya kulepas pada dunia sekolah.

Sebagai perempuan yang dulu sempat merasa tidak siap menjadi Ibu..

Sebagai perempuan yang dulu sempat merasa menjadi Ibu membuat tidak bisa mengaktulaisasikan diri secara maksimal.. 

Sebagai perempuan yang sempat merasa bahwa memiliki anak membuang semua waktuku.. 

Saat melepasnya.. Disitulah aku merasakan hangatnya kerinduan, kenikmatan rasa khawatir yang dilepas dengan senyuman diwajahnya ketika pulang, dan indahnya segala ocehannya tentang dunia sekolah. 

Saat itulah aku sadar. Melepasnya dan membebaskannya adalah tindakan terbaik yang pernah kulakukan. 

Karena anak itu hanyalah titipan. Kita tidak bisa memilikinya selamanya. Kita hanyalah menanamkan nilai kebaikan kepadanya agar kebaikan dapat terus tumbuh. Kita tidak bisa selalu menjadi superwoman disampingnya. Biarkan dia menjadi superwoman dalam mengalahkan egonya sendiri. 

Banyak beberapa hal positif yang tumbuh selama farisha kubiarkan sendiri. Hal positif itu semakin tumbuh ketika dia mengenal dunia luar disekolah. Hal positif itu tumbuh ketika dia mengenal teman dan memiliki daya saing dan empati didalamnya. Akhirnya, dunia luar yang terlepas dari ‘kandang’ telah mengajarkan banyak hal. Apa saja? 

1. Dia mengenal arti Mandiri 

Awal sekolah aku mengatur segala keperluan sekolahnya. Mempersiapkan buku, alat tulis hingga bekal kedalam tas ransel mungilnya. Memasangkannya kaos kaki, sepatu, baju serta mengantar dan menungguinya disekolah. 

Seminggu kemudian aku secara mantap melepasnya. Dia berangkat sekolah bersama dengan ayahnya. Dia mulai belajar memasang segalanya sendiri, makan sendiri hingga memasukkan mainan sendiri kedalam tasnya. 😅

Seminggu kemudian dia belajar berangkat sekolah sendiri. Dia mulai berani berjalan kaki dari rumah mertua hingga kesekolah, kebetulan rumah mertuaku dan sekolahnya lumayan dekat. 

Dan semakin hari aku melihatnya tumbuh menjadi semakin mandiri. 

2. Dia mengenal arti Belajar dan arti Bermain

Awalnya aku memperkenalkan arti sekolah kepada Farisha sebagai dunia bermain ‘bersama’. Lama kelamaan dia akhirnya menyadari bahwa dia harus tunduk pada suatu aturan. Aturan itulah yang dimasukkannya dalam kategori belajar.

Aku mengatakan kepada Farisha bahwa sekolah itu tak bisa semaunya. Ada ruang kelas dimana dia harus mencari perhatian Ibu Guru disana. Dan itu tak bisa di dapatkan jika dia tidak patuh. 

3. Dia mengenal kekecewaan dan cara bangkit 

Tentu semua tau bahwa dalam sebuah permainan ada menang dan kalah. Pertama kali mengenal sebuah kekalahan anakku tidak terima. Dia protes, mengatakan bahwa dialah yang berhak menang. Seberapapun aku mencoba menjelaskan tentang arti kekalahan dan belajar_dia tetap tak mau mendengarkannya. Baginya kemenangan adalah segalanya. 

Namun lama kelamaan dia mulai belajar menerima kekalahan. Mengatasi rasa kecewa begitu saja. Kupikir dunia luar dan sekolah perlahan telah melunturkan egonya. 

4. Dia belajar arti Disiplin

Sekolah telah mengajarinya arti disiplin. Dari warna baju seragam yang berbeda setiap hari dia sudah mulai mengingat urutan dari nama hari yang benar. Dari mengenal kata terlambat dia akhirnya tau bahwa jarum pendek harus selalu berada didekat angka 7 jika mau sekolah. 

Tentu, mengenalkannya dengan waktu adalah hal yang sulit. Namun suara azan telah membuatnya mengerti waktu yang tepat untuk setiap jadwal hariannya. 

——————————————————————

Mungkin memang sudah saatnya mama tak selalu dekat denganmu. Apa artinya kehadiran mama jika itu membuatmu addicted? Membuatmu merasa selalu nomor satu? 

Mama perlu melepasmu sebentar. Merasakan kenikmatan rindu serta cerita keluh kesah, senang dan ceriamu saat kutinggalkan. 

Semoga sarangmu dulu telah memberimu cukup banyak ilmu sebagai bekal ketika berhadapan dengan rasa bimbang. 

Karena tugas orang tua sejatinya adalah Mempersiapkan anaknya untuk berpisah dengannya. 

Maka belajarlah berpisah, belajarlah percaya.. 

Resep Petah (Karih Daging+Lempeng Arab) aka Kebab Kampungnya Urang Banjarmasin 

Resep Petah (Karih Daging+Lempeng Arab) aka Kebab Kampungnya Urang Banjarmasin 

Halo yang ngakunya Food Blogger tapi absen nulis resep sebulan? Kamu masih hidup? 😂 

Masih kok!!

Blognya jelas masih hidup ya, yang ditanyakan content writernya ini orangnya sama ato ganti sih ya? 😅

Sama.. Ini masih tetap aku yang dulu kok.. Emak yang ngakunya punya Karakter dan Passion yang abstrack. Supaya keren sebut saja dia Divergent Mom. 😂

Siapa bilang blog ini cuma berisi resep? Kamu liat labelnya banyak kan? Kalau disuruh memilih satu jenis niche maka sebut saja blog ini Lifestyle. Tapi kalau para reader ‘ngeh‘ sama nama domainnya maka pasti pada ngerti bahwa sang penulis ini hanyalah emak rumahan yang suka menulis.

ShezaHOME bukan ShezaKITCHEN

Penulis adalah emak yang memiliki kadar introvert 60% dan ekstrovert 40%. Memiliki kadar melankolis negatif 60%, melankolis positif 20% dan sanguinis positif 20%. Memiliki cita-cita ingin menjadi pusat perhatian dikelas (means Guru). Tujuan hidupnya ingin berbagi sebisa mungkin. Maka terciptalah blog ini.

Shezahome memuat berbagai cerita kehidupan rumah tangga dan tips rumah tangga, family-parenting, resep makanan dan renungan lainnya. Yang jelas, aku masih merasa nama domain nyambung deh ya, karena di blog ini aku ga pernah menulis tentang travelling. Tidak mungkin kan rumah bisa jalan-jalan. 😂

Berbicara tentang passion. Tentu tidak lepas dari riwayat pendidikan. Penulis pernah mendalami konsep ilmu ekonomi untuk menjadi kaya dan diperingatkan Tuhan untuk meninggalkan sisi materialistis saat kuliah. Penulis mengaku lulusan akuntansi tapi sebenarnya tidak terlalu jago menghitung. Kenyataannya Ilmu ekonomi sejauh ini cuma mengajari si emak rumahan ini untuk hidup hanya dengan kebutuhan, bukan keinginan. Pernah mengaku ingin menulis perekonomian rumah tangga namun mandeg hanya pada chapter 1.

Kenapa?

Kenapa ya..?😅

Sejak memiliki anak, aku punya ketertarikan dengan ilmu parenting dan belajar psikologi. Punya banyak buku yang sudah dibaca tapi tak kunjung tertuang dengan benar. Tidak punya pengalaman kerja selain menjadi mahasiswi magang di Bank Indonesia, penyebabnya karena aku ‘terlalu laku’ dan memutuskan menikah sebelum lulus kuliah. *sok banget.. Hah😂

Ya, ampun.. Kamu mau nulis apa sebenarnya? Nyurcol ato share resep? 

😅

Jadi, kapan sebenarnya kamu punya passion dibidang memasak? 

Sebenarnya lebih tepatnya aku hoby makan, bukan hoby masak (dulunya). Aku punya penyakit asam lambung yang menuntut agar perutku tidak pernah dalam keadaan kosong. Dan skill memasak baru aku perdalam ketika aku kuliah.

Jadi anak kuliah itu harus pinter ngatur duit, Yes? Karena itu aku dulu memasak untuk menghemat uang agar sisanya bisa untuk shooping diakhir bulan  Maklum, anak abege.. 😂

Lama kelamaan aku jadi suka memasak. Entah kenapa setiap ada teman yang main ke kontrakan, aku selalu excited. Dari mulai memasak jenis cemilan seperti bakwan hingga puding orange syrup. Dan aku juga pernah berjualan nasi goreng dikampus untuk mata kuliah kewirausahaan.

Skill memasak akhirnya menjadi salah satu hal yang membanggakan di mata mertua dan calon suami. Kebetulan mertuaku memiliki usaha katering kecil-kecilan dulu. Dan selama tinggal dirumah mertua aku banyak belajar. Aku menyukai memasak. Memasak bisa membahagiakanku, dan bisa menghemat uangku tentunya. 😅

Karena itu, sebenarnya tidak pernah sehari pun aku absen memasak. Tapi masalah sebenarnya adalah aku tidak jago sama sekali skill fotografi. 😭

Selama ini foto-fotoku hanya bermodalkan cahaya dan kamera handphone Xiaomi Mi4c.  Kabar selanjutnya, sekarang aku tidak punya banyak waktu untuk memoto karena semuanya keburu lapaar kalau menungguku. Maklum, emak sekarang punya jadwal sok padat. Maksudnya waktu memoto dan memasak lebih lama memoto. Haha..

Jadilah malam hari satu-satunya waktu luang untuk menulis. Karena itu, jika kau perhatikan tulisanku bulan kemarin didominasi oleh renungan tengah malam yang terinspirasi dari berbagai sumber. Dan aku menikmatinya. Walau sadar diri termasuk dalam kategori penulis amatir dibanding para content writer yang lain. 😂

Idul Adha tiba. Aku menikmatinya dengan berlibur kepelaihari, kampung halamanku. Puas berleyeh-leyeh ria di rumah Mama, itulah arti liburan kedua bagiku, hihi. Aku pulang dan memiliki lumayan banyak stok daging yang melambai-lambai dikulkas. Meminta dieksekusi dan eksis di foto serta mejeng diblog. Tapi jujur saja, aku sedang addicted nulis hal lain. Dan akhirnya para daging aku abaikan. 😭

Untunglah Ipar saya #fika mulai mengajak collab kedua #cookingcollabfikawinda dengan tema masakan daging. Sehingga aku mulai merasa sedikit semangat buat menulis resep lagi. Fika ini juga cooking addict loh, ah.. Kalian mesti tau aku belajar skill membuat dough roti dari dia dan resep dari dia sudah tak diragukan lagi. Dalam cooking collaboration kali ini dia memasak Coto Makasar (just click n u can see) . Ahh.. Aku belum pernah sekalipun bikin ini karena suamiku lidahnya terlalu ‘banjar’. Tapi mau deh ya nyoba juga lain kali. Kebetulan stok daging masih ada. 😅

Sebenarnya olahan daging banyak. Aku bahkan terpikir untuk belajar membuat kebab. Tapi blog ini berfokus pada resep masakan banjar. Karena itu untuk kebab aku skip. Alasan lainnya adalah suamiku tidak suka kebab. Jadi masak buat siapa? Hihi

Sebagai orang banjar aku boleh dong turut berkontribusi untuk melestarikan masakan banjar walau hanya dirumah. Kalian pasti tau dengan masakan satu ini.

We call it ‘Petah’

Tetapi yang lain sering menyebutnya dengan ‘Lempeng Arab’ atau ‘Lempeng Karih’

Ya, setidaknya ini adalah versi kebab yang paling disukai dirumah kami.

Bagaimana cara membuatnya? Intip yuk!

Resep Kebab Ala Kampung urang Banjarmasin 

Bahan Tortila *lebih tepatnya bahan lempeng

200 gr tepung terigu

1 butir telur

400 ml air

2 sdm minyak goreng

1 sdt garam

Bahan Karih

200 gr Daging Sapi

200 ml santan kental

5 siung bawang merah

4 siung bawang putih

2 sdm bubuk karih

2 buah cabai merah

1 sdt asam jawa

1 cm jahe

1 cm laos

1 batang serai

1 sdt gula merah

1 sdt gula putih

1 sdt garam

Kaldu bubuk secukupnya

Minyak goreng untuk menumis

Cara membuat:

Pertama bersihkan daging dan lumuri dengan jeruk nipis. Sebagai tips, jika anda ingin daging sapi lebih cepat lunak iris agak tipis atau gunakan air nanas sambil didiamkan selama 15 menit.

Haluskan Bawang merah, bawang putih, cabai, bubuk karih dan jahe. Blender dengan menambahkan 100 ml santan agar mudah saat di blend.

Tumis bumbu yang dihaluskan. Masukkan serai dan laos yang sudah digeprek. Biarkan hingga mengeluarkan minyak dan berbau harum. Kemudian masukkan daging.

Aduk hingga daging berubah warna, lalu masukkan sisa santan sebanyak 100 ml. Karena aku tidak menggunakan nanas, aku memakai presto untuk mempercepat keempukan dan kematangan daging. Jika menggunakan panci presto harap menambahkan sedikit air.

U can see the process yaaa…. 

Taraa.. Karih sudah matang..

Sekarang kita bikin lempengnya yuk..

Sebenarnya caranya sama seperti membuat kulit pada lapisan wadai ipau dan risoles. Hanya saja lebih tebal kulitnya.

Oya, tapi aku punya tips supaya membuatnya memakan waktu singkat tanpa harus mengaduk lama hingga menghilangkan gumpalan tepungnya.

Caranya dengan memblendernya. Tapi memasukkannya harus bergantian supaya benar-benar tercampur rata dan halus.

Masukkan 100 gr tepung lalu masukkan 200 ml air dan satu butir telur. Lalu masukkan lagi 100 gr tepung dan 200 ml air. Press On blender..dan tadaa.. Sudah halus dan tercampur rata. Tinggal ditambahkan minyak dan siap didadar pada teplon.

Biasanya, kami urang banjarmasin memotong lempeng dengan dibagi 4-6 bagian dan ditaruh dipiring dengan pola segitiga yang berkeliling. Lalu ditaruh karih daging ditengahnya dan terakhir bubuhi dengan bawang goreng.

Ini enak sekali, rasa kampung tapi ga kalah mewah sama kebab!

Coba yuk!

Happy Cooking😊

Kenapa sih Emak zaman dulu selalu BISA? 

Kenapa sih Emak zaman dulu selalu BISA? 

Sebenarnya sudah sejak lama sekali saya ingin menulis tentang hal ini. Tentang bagaimana cara adaptasi emak-emak zaman dulu yang (katanya) terlihat (lebih) super woman dibandingkan emak zaman sekarang. 

Lebih hebat, serba bisa.. 

Menghasilkan belasan anak yang konon selalu sukses.. 

Bisa mencari nafkah sendiri, mama yang_konon katanya mandiri.. 

Serta… Lebih terjaga kewarasannya.. Padahal emak zaman dulu menikah dalam usia muda. 

Emak sekarang? 

Punya berbagai teknologi tapi lamban dalam bekerja.. 

Tidak dapat mandiri, padahal anak cuma dua biji.. 

Usia menikah dan punya anak tergolong sudah matang tapi rentan terkena baby blues dan gangguan psikologi lainnya..

Baca juga Mengenal Gejala dan Penyebab serta Penanganan Baby Blues

Emak zaman sekarang bahkan terkesan lebih sulit move on dibanding emak zaman dulu. Padahal, emak zaman dulu sebagian besar juga merupakan stay at home mom. Tetapi pekerjaannya dinilai lebih produktif dibanding emak sekarang. Kok bisa ya? 

Baca juga : ‘8 Hal penyebab Stay At Home Mom Gagal Move On’ 

Saya sudah sering sekali mendengar para emak senior berbincang ria saat perkumpulan pada acara silaturahim. Saling membanggakan diri satu sama lain. Membanggakan Mamanya Mama dan Mamanya si Mama. Membandingkan kehidupan emak era 70an, 80an hingga 90an.

“Saya dulu enggak begitu loh.. Mama saya dulu begini..begitu.. Tetep senang-senang aja. Tetep bahagia.. Padahal anaknya ada lima belassss… Anak sekarang punya anak satu aja repot sama stress” 

Sering denger statement diatas?? Udah kita masuk kamar aja dah.. Nonjok boneka.. Hahahha.. 

Memang banyak banget emak-emak yang ngomong suka seenaknya begitu tanpa memikirkan bagaimana jika dia berada diposisi kita dengan anugerah passion yang berbeda. Solusi kalo ketemu emak begini? Udah, bawa makan aja.. Hahahaha.. 

Kenyataannya, ketika berbicara dengan para emak senior yang suka sok perfeksionis dan suka membanding-bandingkan itu saya tentu saja tidak bisa melupakan kalimat itu begitu saja. Bukan, ini bukan tentang merasa kesal saja. Tapi, ada kalanya saya juga ingin merasakan bagaimana rasanya menjadi emak senior yang lahir pada tahun 60an. Memiliki anak pada tahun 80an dan tetap waras walau tidak punya ART dan memiliki belasan anak. 

Kalo emak zaman sekarang sih mustahil ya.. 

Ya, kalimat itu lagi-lagi terngiang dikepala saya. Memang mustahil. Pikir saya. 

Kenapa sih? Kenapa kok mereka bisa? 

Rasa iri tiba-tiba saja memenuhi pikiran saya. Jujur, rasa iri itu sempat menginap lama dipikiran saya. Kemudian rasa itu membakar hati saya. Membuat aura persaingan dalam diri saya yang kemudian membuat saya menjadi Ibu yang serba perfeksionis. Saat itu, dalam hati saya berkata, “Aku juga bisa kayak emak senior itu!” 

Kenyataannya, setelah beberapa tahun mencoba menjadi seperti emak senior akhirnya saya sadar bahwa saya telah menghilangkan passion yang seharusnya benar-benar saya lakukan. Saya merasa terdepresiasi secara ekstrim karena ingin mencoba menjadi emak senior. Saat menyadari hal itu saya berkata pada diri saya sendiri. Hei, its enough! 

I cant be like u…!!! I’m Different! 

Setelah saya tersadar dan mulai bangun dari cengkraman pikiran perfeksionis dengan rule mode yang salah akhirnya saya bebas menjalani passion yang seharusnya saya geluti dan menghilangkan sepenuhnya sisi plegmatis dalam kepribadian yang dominan melankolis ini. Saya menghilangkan segala jenis bentuk Rule Mode. Saya harus menjadi diri saya sendiri. 

Nah, Kalian tau kenapa emak-emak zaman dulu selalu BISA? Yuk, kita ulas berbagai alasannya.. 

1. Emak zaman dulu didukung oleh lingkungan ‘Amity’ 

Jika kalian pernah menonton film Divergent tentu kata amity tidak terdengar asing. 

Amity adalah salah satu kelompok yang paling bersahabat, pecinta kedamaian dan paling tidak ambil pusing dalam ilmu pengetahuan. Pekerjaan para amity adalah berkebun, bertani, nelayan, dan sebagainya. Jenis pekerjaan yang sangat cinta damai.

Tidak dipungkiri bahwa lingkungan para emak senior lebih didominasi oleh masyarakat yang ‘amity’. Dalam fakta kehidupan di masyarakat secara sederhana kita dapat melihat pada berbagai kehidupan suku pedalaman. Sebut saja contohnya kaum Bushman. 

Look Familiar? 

Yup, Bushman adalah tokoh suku latar utama dalam film The God Must Be Crazy. Suku yang sangat sederhana. Film The God Must Be Crazy menggambarkan betapa sederhana dan simple nya cara berpikir mereka. Hal ini tentu sangat lucu jika digabungkan dengan pemikiran masyarakat kota yang sudah terpapar oleh pengetahuan, teknologi dan sebagainya. 

Maksudmu apa sih? Memangnya emak dulu kaum primitif gitu? Kok contohnya enggak banget? 

Tentu saya tidak bermaksud menjelek-jelekkan kaum emak senior dahulu yang juga tentu merupakan senior saya. Namun, disini saya menekankan bahwa lingkungan tempat mereka tumbuh didominasi oleh kaum yang berpikir sangat sederhana dan saat itu ilmu pengetahuan tidak sekompleks sekarang. 

Seperti pada suku bushman yang sangat bahagia ketika mendapatkan air dari tetesan embun, seperti itu pula orang zaman dahulu lebih mudah merasakan rasa syukur. Hanya dengan nasi dan garam saja mereka sudah merasa sangat bahagia. Betul? Tanyakan emak kalian yang hidup pada era 70an.

2. Emak zaman dahulu punya passion yang sederhana 

Zaman dahulu pendidikan emak-emak jauh lebih rendah dibanding sekarang. Sebagian dari mereka hanya menyandang lulusan SD. Pendidikan SMA itu tergolong sangat tinggi dan dapat memiliki profesi disegala bidang. 

Seperti kita tau passion terbentuk karena kebiasaan dan pendidikan. Emak-emak zaman dahulu memiliki hoby yang tidak jauh dari aktivitas dirumah karena saat remaja pun mereka cenderung senang dirumah dan sebagian lagi mendapatkan kesempatan berbeda dalam jenjang pendidikan. 

Emak dengan pendidikan lulusan SD biasanya cenderung memiliki passion di bidang memasak. Sementara emak lulusan SMA dan kuliah dan lain-lain biasanya menjadi guru dan atau bekerja diluar. 

Emak dengan jenjang pendidikan tinggi biasanya merasa wajib mendistribusikan ilmunya kemasyarakat karena itu ia memilih bekerja dimasyarakat. Zaman dahulu mencari pekerjaan termasuk mudah dibanding sekarang sehingga passion emak dengan pendidikan tinggi dapat benar-benar tersalur. 

Zaman sekarang? Beda gaya!

Penyaluran passion tidak dapat sesederhana itu!

Seorang Ibu Rumah Tangga zaman dulu dengan pendidikan lulusan SD tidak dapat disamakan dengan Ibu Rumah Tangga zaman sekarang yang kebanyakan sarjana. Menjadi sarjana adalah sebuah beban. Disatu sisi kita merasa bertanggung jawab dengan ilmu yang kita peroleh, tapi disisi lain ada keluarga yang membutuhkan kita. Dan akhirnya? Akhirnya passion yang seharusnya kita tingkatkan menjadi berbeda ‘gaya penyaluran’. 

Baca juga “Just Dont Judge Our Passion” 

Ada Ibu Rumah Tangga dengan title sarjana akuntansi yang memilih untuk bermain saham dirumah. 

Ada Ibu Rumah Tangga dengan title dokter memilih membantu suaminya saja yang berprofesi sama. 

Ada Ibu Rumah Tangga dengan title sarjana TI yang memilih menjadi programmer ataupun hacker. (haha) 

Ada pula Ibu Rumah Tangga yang bercita-cita menjadi guru namun karena tak kunjung ada penerimaan ia memilih menjadi penulis blog untuk menyalurkan ilmunya.  (ini siapa?) 😂

Kami para Ibu Rumah Tangga zaman sekarang, punya tanggung jawab lebih tinggi karena tuntutan dari pendidikan tinggi kami. Ilmu pengetahuan harus diaplikasikan dengan ruang yang benar agar tidak menyusut. 

Karena itu Ibu Rumah Tangga sekarang tidak bisa bekerja ‘fokus’ pada pekerjaan rumah. Harus memasak, urus anak, membersihkan rumah, melayani suami SAJA. Karena ia merasa memiliki kewajiban lain untuk menyalurkan ilmu pengetahuan dan passionnya yang sesuai. 

Maka, jangan disalahkan jika Ibu Rumah Tangga sekarang kok tidak bisa ya serba sempurna pekerjaan rumahnya seperti Emak senior? Karena passion mereka tak sesederhana itu! 

3. Emak zaman dahulu tak mengenal Teknologi tapi mereka kenal prinsip gotong royong

Kenapa sih emak zaman dulu kok bisa-bisa aja padahal mereka ga punya mesin cuci, rice cooker, stroller, kulkas, mobil, kendaraan, mesin air, dan bla-bla..?

Jadi orang zaman dulu itu capek tau ga! karena minim teknologi. Eh, tapi masih bisa waras kok. Sekarang kok susah ya? 

Jawabannya karena emak zaman sekarang lebih individualis dibanding emak zaman dulu.. 

Bukan, maksud individualis disini bukan anti sosial. Tapi keadaan yang menuntut menjadi individualis. Ya, ini berlaku buat para emak-emak perantauan, emak-emak komplek, dan emak-emak lain yang menyandang status ibu baru di lingkungan baru. 

Pernah mendengar pepatah “Hujan emas dinegeri orang, tapi lebih enak hujan batu di negeri sendiri” 

Kalian tau kenapa pepatah itu ada? 

Karena andai hujan batu benar-benar terjadi maka emak-emak zaman dulu akan mengatasinya dengan kerja sama. Kebanyakan dari emak-emak zaman dulu masih tinggal satu atap dengan mertua atau orang tua, berdampingan dengan ipar dan saudara lain. Ramai? Ramai dan banyak yang saling membantu. Karena itu pekerjaan menjadi mudah. 

Berat sama dipikul ringan sama dijinjing. 

Karena itu emak zaman dahulu ada yang bisa berdagang macam-macam hingga mengurus rumah tangga. Rumah tangganya dipenuhi dengan prinsip kerja sama_antar rumah tangga. 

Sekarang kok tidak bisa begitu? Kok tidak bisa sambil berdagang semrawut begitu? 

Karena emak sekarang adalah emak rantau dan tidak memiliki seseorang yang bisa diandalkan membantu selain suami dan anak sendiri. Mencari ART juga problematika yang sulit. Betul? Maka biarkanlah emak sekarang bekerja sama dengan teknologi untuk mempermudah pekerjaannya. Jangan dinyinyirin loh.. Hihi.. 

4. Sosial Media emak zaman dahulu adalah seni berbicara saat Gotong Royong

Emak sekarang kebanyakan sosmed makanya deh pekerjaannya ga sesempurna emak zaman dulu.. 

Yuk kita intip realitanya.. 

Pagi-pagi emak sekarang puter mesin cuci sambil santai dulu buka facebook sembari merebus air…

Sore hari menunggu adonan cookies mateng foto-foto dulu sambil update status diinstagram bahwa ‘sedang on process nih cookiesnya..’

Pas udah si cookies mateng bukannya ngerjain pekerjaan lain kayak nyuci bekas ‘perang’ misalnya. Eeh, malah sibuk foto-foto si cookies hingga berjam-jam lamanya sambil nulis. 😂

Nyetrika malam-malam sambil aja tuh tangannya scrooll feed di bbm, facebook, dan instagram. Sambil sesekali ngelike dan koment pertanda sang emak masih eksis didunia maya. 

Sebelum tidur jangan lupa buka online shop. Mengharapkan ada diskon atau promo. Lalu ngeliatin barang kesuami sambil bilang “Bagus ya Pa..”, sang suami manggut-manggut sambil mengerutkan dahi melihat penuhnya isi lemari. 

Banyak emak gini? Banyak!!! *mukul muka.. 😂

Salah ga sih emak sekarang begitu? 

Ya ga salah-salah amat, apalagi buat stay at home mom! Its Normal! 

Seorang perempuan dituntut mengerjakan pekerjaan rumah dengan tidak mengabaikan kewarasan dirinya untuk tetap bisa berbicara. Perempuan normal mengeluarkan menimal 20.000 kata perhari agar tetap waras.

Emak zaman dahulu mengeluarkan kata dengan berbicara. Mereka berbicara sambil bekerja. Sebenarnya tidak jauh beda kan dengan emak sekarang? Emak sekarang mengeluarkan kata dengan menulis dan bersosial media_mereka dapat melakukan itu sambil mengerjakan pekerjaan rumah. Jadi, buat emak yang suka nyinyir kok sosmed mulu? 

Mungkin mereka masih kekurangan bahan pembicaraan untuk menggenapkan 20.000 kata minimunnya perhari. 😂

5. Emak zaman dahulu tak mengenal dunia Sosialita walau sering bersosial

Menjadi emak zaman sekarang itu dilematis. Tau?

Coba deh kalau jadi emak sekarang kalian pilih posisi yang mana? 

1. Jadi emak rumahan yang fokus dengan keluarga dan jarang bersosial secara langsung. Hanya aktif dimedia sosial dan takut salah bergaul dengan menghindari kehidupan sosialita.

2. Jadi emak yang memiliki jiwa sosial tinggi. Memiliki koneksi disana sini, aktif dengan berbagai kegiatan sosial namun memiliki resiko lemah hati dengan dunia sosialita. Tidak tahan dengan godaan tas branded, kosmetik gaya terbaru, dan berbagai lifestyle lainnya. 

Mungkin kalo saya dikomunitas ini kerjaan cuma tukang foto 😂

Enak jadi emak sekarang?

Saya sendiri masih takut berada diposisi nomor 2 karena sadar diri dengan kondisi keuangan rumah tangga. Disatu sisi saya mensyukuri kepribadian saya yang lumayan introvert. 😂

Saya adalah tipe nomor satu yang masih selektif untuk memilih teman sosial. Selektif itu susah.. Tau? 

Sedangkan emak zaman dulu dihadapkan pada dunia sosialita yang ‘damai’. Tidak perlu terlalu selektif karena pergaulannya sama-sama saja. Tidak ada tas branded, tidak ada lipstik 500k, tidak mengerti dengan update fashion kekinian. Dan yang paling membuat iri adalah kesenjangan sosial tidak seperti sekarang. Emak zaman dulu tidak terlalu mengerti tentang kesenjangan sosial karena lingkungannya amatys

Emak saya dahulu termasuk dalam kategori nomor 2. Tapi lingkungannya tidak seperti sekarang. Ketika zaman sekarang para Ibu sibuk dengan tas mahal, gaya hijab dan lipstik. Maka emak saya zaman dahulu sudah dikategorikan cukup trendish hanya dengan mengeriting rambutnya. 😂 

Sekian akhir dari tulisan saya. Sebagai penutup tentu saya menulis ini bukan untuk menyalahkan adat kebiasaan emak zaman dulu. Tidak ada niat sama sekali untuk menjelek-jelekkan emak zaman dulu. Karena saya sadar diri bahwa saya pun terbentuk dari warisan kebaikan para emak zaman dulu. Saya sangat menghargai bagaimana cara beradaptasi, berpikir dan pendidikan emak zaman dulu. 

Namun, saya pernah mendengar sebuah kata bijak. Bahwa “didiklah anak sesuai dengan zamannya” 

Saya sangat bersyukur memiliki orang tua yang memberi pengertian lain pada kata bijak diatas, mereka tidak memanjakan saya walau perbedaan zaman menuntut saya untuk mengikuti trend saat remaja. Mereka tak pernah menyalah-artikan kalimat diatas dengan ‘menuruti segala permintaan saya’. 

Kemudian, Saya membuat pengertian dalam kalimat itu bahwa setiap manusia dilahirkan dengan zaman yang berbeda. Anak diharuskan beradaptasi dengan cara berbeda, membentuk pola pikir berbeda dan TETAP membiarkan nilai kebaikan dari warisan kedua orang tuanya serta meninggalkan kejelekannya. Jadi, pengertian mendidik anak sesuai dengan zamannya adalah mendidik dengan terus ‘mengupgrade’ ilmu pengetahuan terkini agar dapat bermanfaat didalam keluarga dan lingkungannya. Karena berbeda zaman, maka berbeda pula tantangan hidupnya. 

Maka, biarkan emak sekarang berkembang sesuai zamannya.. 😊

IBX598B146B8E64A