Browsed by
Category: Parenting

Hal-Hal Yang Perlu diperhatikan Saat Jadi Orang Tua Baru

Hal-Hal Yang Perlu diperhatikan Saat Jadi Orang Tua Baru

Ngomongin soal jadi OTB aka Orang Tua Baru. Jadi inget banget zaman aku awal ngelahirin si Pica. Tahun 2013. Dimana Juli 2012 aku nikah. Eh, Februari 2013 udah punya anak. Cepet banget gak tuh. Iya, cepet. Makanya kalau ada yang ‘curigation’ aku sih ikut bengong aja. Lah, aku sendiri aja bengong kok sampe 4 bulan kehamilan. Bingung mikir kenapa semudah dan segampang ini punya anak? Buat orang yang saat itu pengen ‘nunda’ punya anak karena ada berbagai goals yang belum tercapai.. Langsung punya anak sejak nikah itu macam tak terlukiskan sekali perasaanku.

Perasaanku masih ‘agak’ gimana saat memiliki anak pertama. Disatu sisi ada rasa semangat tak terlukiskan karena wow.. Aku jadi ibu baru diumur 22 tahun. Tapi disisi lain, macem ngerasa.. Aku bakal jadi Ibu yang baik gak ya? Jangan-jangan aku gak bisa sempurna kayak Ibu yang lain.

Setelah 10 tahun menjalani pernikahan. Dari anak pertama yang sekarang sudah berumur 10 tahun dan anak kedua yang sudah berumur 4 tahun. Aku sadar, bahwa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan saat jadi orang tua baru. Nah, berikut adalah point-pointnya:

1. Pahami Prioritas, Gak Usah Terlalu Sempurna

Apa sih prioritas utama saat sudah memiliki anak? Apa iya, anak harus 24 jam bersama kita sang Ibu? Apa iya, anak harus lengket dan tak boleh berpisah dari Ibu? Apakah anak ‘harus’ memiliki standar ideal seperti pandangan orang diluar sana? Apakah ibu ‘harus’ memiliki standar ideal seperti pandangan yang lain?

Jujurly, saat ngelahirin Pica dulu aku tuh termasuk Ibu yang apa-apa pengen yang terbaik. Buat anak, buat pandangan orang disekitar aku. Karena rumusnya tuh gini. Kalau anak dapat yang terbaik, maka aku senang. Kalau aku dinilai baik oleh orang lain, aku dapat energi yang bisa buat aku semangat agar anakku jadi lebih baik.

Semuanya, berputar disitu-situ aja. Menjadikan anak yang terbaik-Dinilai orang sebagai Ibu yang baik.

Aku ngasih anakku ASI selama 2 tahun. Umur 6 bulan, aku sudah ngajarin anak buat toilet training. Umur setahun anak sudah mulai jarang pipis sembarangan. Sudah terpola dan gampang diajarkan. Umur 2 tahun anak sudah gak pernah pipis di celana lagi. Anakku juga selalu aku buatkan MPASI yang kubuat sendiri. Oya, dan aku tak jarang sekali memakaikan anakku diapers. Selalu membacakan buku sebelum tidur, cek perkembangan anak, bikin DIY bla bla bla…

Apa yang kalian lihat dari ceritaku? Ibu sempurna? Ibu yang sukses menghemat pospak? 

Sebaliknya, kadang aku berpikir bahwa aku terlalu memporsir diriku agar aku terlihat menjadi Ibu yang baik. Lantas lupa pada apa yang sebenarnya prioritas.

Bonding dengan anak, Itu prioritas. Quality time. Bukan hanya tentang membersamai anak 24 jam. Tapi juga benar-benar hadir untuk anak selama sekian waktu saja. 

Menghargai diri, Itu prioritas. Membeli skincare untuk merawat diri. Menyempatkan waktu untuk upgrade diri. Workout sebentar untuk membangkitkan semangat. Jika diri sendiri dihargai dengan baik. Maka, ia tak perlu validasi dari orang lain untuk terlihat sebagai Ibu yang baik.

Menjadi Istri yang baik, Itu prioritas. Banyak diantara wanita yang sudah berstatus sebagai Ibu mulai lupa bagaimana cara menjalin hubungan lebih baik bersama suami. Karena terlalu sibuk mengurus anak seorang diri. Padahal, kunci kerja sama dengan pasangan akan ‘unlock’ andai saja kita bisa melepas sejenak peran Ibu tersebut. Menjadi Istri yang baik sejenak, berbicara dari hati ke hati sejenak bahwa kita butuh ‘pertolongan’ loh untuk menjadi Ibu yang baik.

Ya, mengasuh anak.. Menjadi Orang Tua Baru.. Sebenarnya bukanlah peran Ibu semata. Namun peran Ayah dan Ibu. Sayang sekali jika kita berada pada sistem patriarki yang begitu mengunci peran ayah di dalamnya. Tak apa. Jadilah istri yang baik untuk bisa ‘unlock’ peran ayah. Bagaimanapun juga mengasuh anak adalah kewajiban ayah dan ibu. Bukan Ibu saja.

2. Pahami Pembagian Peran, Gak Usah Sok Multitasking ‘Sendiri’

Hal kedua yang perlu diperhatikan saat menjadi orang tua baru adalah Gak usah deh sok multitasking sendirian

Gak usah sok serba bisa. Apa-apa dikerjain sendiri. Masak, Nyuci, Bersih-bersih, gendong anak, ke pasar dll dsb. 

Sungguh, aku sih bisa memahami kalau ekonomi keluarga masih dalam keadaan kurang baik. Sehingga pilihan yang ada ya demikian. Misal, LDR dengan suami sehingga terpaksa demikian. Itu gakpapa. Semoga bisa lebih sabar dan keadaan membaik. (Percaya deh, aku dulu juga gitu. Tapi ketika keadaan membaik, ya gak gitu lagi)

Tapi, jika ekonomi telah membaik dan tidak LDR aku sedikit bertanya-tanya kenapa kita harus serba sempurna dan tak memiliki pembagian tugas? Kenapa? Patriarki yang terlalu kental kah? Atau ada masalah pada hubungan suami istri? Atau pekerjaan domestik terlalu banyak dicampuri pihak lain seperti mertua, ipar, tetangga sotoy dll..

Yang pasti, rumah tangga itu adalah tentang kerja sama suami istri. Peran Ayah dan Ibu yang sama-sama bertujuan kuat untuk membangun generasi lebih baik lagi. Orang tua baru, harus sadar bahwa memiliki anak artinya siap berbagi peran dalam pengasuhan. Okeh??

3. Pahami CINTA

Banyak ilmu baru yang aku dapat ketika ikut kelas rangkul keluarga kita. Mulai dari mengelola dan memahami emosi. Hingga menjalani peran sebagai Ibu dengan memahami hakikat dari Cinta yang sesungguhnya.

Ya, CINTA.

C.. Artinya Cari Cara Sepanjang masa

Gak ada cara terbaik yang berlaku ‘setiap masa’. Misalnya, cara aku yang cenderung sempurna dan sok multitasking sendiri dalam pengasuhan anak pertama. Tak bisa aku terapkan kembali dalam pengasuhan anak kedua. Karena saat memiliki anak kedua, aku sudah burnout sekali dengan sekian aktivitas rumah tangga. 3 tahun cukup lah meneladani pola parenting seperti anak pertama. Selebihnya aku mulai paham bahwa tak apa kok untuk menitipkan anak di daycare. Aku happy dan waras karena bisa memberdayakan diri pada hal lain. Bisa mulai pacaran kembali dengan Suami. Humaira juga happy karena mulai bisa berkumpul dengan teman sebayanya. Justru sejak dimasukkan daycare perkembangan Humaira meningkat pesat. Dan perkembangan hubungan pernikahan kami juga meningkat.

I.. Artinya Ingat Cita-cita tinggi

Sebagai orang tua baru, menurutku boleh banget kita punya impian. Boleh banget kita halu memiliki cita-cita setinggi langit pada anak kita. Yang tidak diperbolehkan itu menurutku adalah mencari pengakuan kemana-mana sampai menjadi ambisius tanpa memperdulikan keadaan anak. 

Yah, related kan sama drakor-drakor berbau parenting kayak Sky castle atau Green mothers club sampai yang terakhir Crash course in romance. Drakor-drakor itu adalah gambaran dari bagaimana ambisiusnya orang tua dapat membunuh psikis anak perlahan. Dan aku gak mau karena cita-cita tinggi, anak jadi demikian. 

Intinya kita perlu banget punya cita-cita tinggi. Punya goals dalam hidup. Tetapi yang lebih penting lagi adalah memahami bagaimana cara ternyaman dan tak menyakiti untuk menggapainya.

N.. Artinya Nerima Tanpa Drama

Related dengan point I sebelumnya bahwa kita tuh perlu punya goals. Tetapi kita juga harus paham dengan keadaan anak kita sendiri. Bisakah kita menerima keadaan Anak kita Seapa-adanya?

Dulu, aku punya tetangga yang mana salah satu anak mereka tidak bisa berbicara dan menunjukkan ciri ADHD. Orang tuanya sibuk ‘menutupi’ hal tersebut. Sang anak dikurung di kamarnya sepanjang hari. Karena ‘malu’. Padahal, hal itu hanya memperburuk keadaan bukan? Andai saja keadaan anak tersebut diterima dan bahkan berusaha diobati dengan therapy mungkin keadaannya akan jauh lebih baik. 

Sebagai orang tua, kita perlu menerima apa kekurangan anak. Kita harus menyadari bahwa tidak ada anak yang terlahir sempurna di dunia ini. Tugas kita bukan turut menghakimi kekurangannya. Tapi mencari celah positif dari itu semua.

T.. Artinya Tidak Takut Salah

Pernah melakukan sekian banyak kesalahan saat membersamai anak? Tak apa.

Aku dulu pernah marah-marah luar biasa pada Pica. Bahkan sekarang pun aku akui masih sangat sering melakukannya. Meski sempat menyesal, aku kembali akrab lagi dengan anakku. Ego ku memang terlalu tinggi untuk bisa meminta maat. Tapi aku sadar, menjadi orang tua itu bukan selalu tentang lemah lembut penyayang. Ada kalanya kita harus tegas. Ada kalanya kita mengakui kesalahan kita sendiri.

Dalam hidup, aku yakin manusia punya batas kesalahan. Dan yang terburuk itu adalah berhenti mencoba mencari cara terbaik, bukan menghindari kesalahan. Teruslah cari cara terbaik, teruslah mencoba menjadi orang tua yang baik. Tanpa takut salah.

A..Artinya Asyik Main Bersama

Kenapa ya kalo bermain bersama anak 5 menit itu rasanya kayak satu jam. Tapi kalau scrool medsos, nonton drakor satu jam itu rasanya kayak 5 menit. Anyone like me? HAHA

Gakpapa kok, itu artinya bukan kita yang gak bakat nemenin anak. Tapi memang kita sedang membutuhkan waktu yang seimbang.

Setidaknya seorang Ibu itu butuh 4 keseimbangan waktu. Waktu untuk dirinya sendiri, waktu bersama pasangan, waktu bersama anak dan waktu sosial. Terbayang gak misalnya kita sudah dari pagi sampai hampir siang di dapur saja bersama anak sambil mengerjakan pekerjaan domestik. Pastinya, setelah itu kita butuh waktu untuk diri sendiri. Karena merasa sudah menemani anak ‘sambil’ nginem. Yah, padahal waktu nginem bukan termasuk dalam 4 keseimbangan waktu. Tapi mana ada seorang Ibu yang bisa diam di rumah saat anaknya butuh makan, rumahnya butuh dibersihkan dan cucian menumpuk.

Maka, tak apa kok kalau sesekali jika ekonomimu sudah membaik mulai delegasikan hal yang seharusnya bukan pekerjaanmu. Tak apa kok membeli makanan untuk makan siang sesekali, tak apa hari ini ngeloundry dulu misal, tak apa absen membersihkan rumah. Meski memang praktiknya sangat sulit. Tapi percayalah Asyik Main Bersama akan dapat dilakukan maksimal jika energi dan tangki cinta kita telah terisi dengan baik.

Aku sendiri terbiasa menyelesaikan pekerjaan domestik di pagi hari. Siang hari biasanya aku masak praktis asal sehat saja sesekali. Jadi, antara jam 8-9 pagi aku bias menyisihkan waktu untuk sholat dan workout sebentar. Sesudah itu energi akan terasa penuh dan siap bermain dengan anak.

4. Pahami Dirimu Sendiri, Maka kamu akan memahami anakmu

Saat menjadi orang tua baru, kadang kala kita melupakan siapa diri kita sendiri. Mengasuh bayi sejak umur 0 bulan sampai 2 tahun dengan dibebani setumpuk pekerjaan rumah yang harus diselesaikan sendirian akan membuat kita lupa siapa sebenarnya diri kita sendiri. Karena tak ada keseimbangan waktu. Karena tidak ada me time. Waktu kita kadang terbuang pada hal yang sama setiap hari.

Saranku, kalau bisa.. Kalau ada duitnya.. Janganlah jadi ibu yang demikian. Dan jangan lupa berdoa juga untuk keajaiban. Siapa tau ada yang memiliki anak saat ekonomi sedang down, percayalah doa dan usaha akan membantu hal itu. Karena aku paham rasanya. Aku bukanlah seorang Ibu yang ‘langsung’ sukses secara ekonomi.

Perlahan, cobalah kembangkan diri sendiri. Carilah celah waktu senggang yang kiranya bisa dimanfaatkan untuk menjadi diri sendiri. Mengerjakan apa yang benar-benar disenangi. Mencoba menjadi orang yang turut berkontribusi sosial. Percayalah, itu bikin bahagia. Dan jenis bahagia yang demikian berbeda dengan jenis bahagia setelah menonton drakor atau setelah workout. Bahagia yang demikian sifatnya jangka panjang. Akan terisi terus meski kita merasa lelah. Akan terisi terus meski kita merasa sedih.

Carilah bahagia yang ‘sedemikian’ dengan mulai memahami dirimu sendiri. Dengan mulai memahami potensi diri. Percaya deh, dengan mulai memahami diri sendiri perlahan kamu juga akan memahami anakmu. Karena anak sebenarnya adalah hasil copy paste orang tuanya.

Demikian 4 hal yang perlu diperhatikan saat menjadi orang tua baru. Tentunya setiap rumah tangga dan setiap perbedaan zaman mungkin tidaklah sama. Aku hanya sharing berdasarkan dengan pengalamanku saja. Pengalamanku membersamai 2 buah hatiku.

Happy Parenting

5 Emosi Pada Seorang Ibu, Kamu Termasuk yang Mana?

5 Emosi Pada Seorang Ibu, Kamu Termasuk yang Mana?

Apa sih definisi ‘Ibu yang baik’ itu?

Ibu yang baik adalah Ibu yang sempurna..? Tet tott..

Ibu yang baik adalah Ibu yang selalu hadir 24 jam untuk anaknya? Tet tott..

Ibu yang baik adalah Ibu yang mau terus belajar.. 🙂

Ibu yang baik adalah Ibu… yang bisa memahami emosinya sendiri.. 🙂

Hal itulah yang aku pelajari 3 bulan yang lalu. Aku secara iseng mengikuti kegiatan ‘Me Time’ bersama Rangkul Keluarga kita. Dan akhirnya, perlahan aku mempelajari hal-hal baru. Termasuk halnya dalam memahami emosiku sendiri.

Setidaknya ada 5 emosi dominan negatif yang paling sering dirasakan oleh Ibu sepertiku, 

1. Marah

 Menurut Pica, Mama suka marah gak?” Tanyaku pada Pica hari itu.

Dan Pica menjawab.. “Mama jarang marah, tapi sekali marah.. Anu…”

Aku melihat raut wajah Pica, berkaca pada beberapa kemarahan dahsyat yang pernah aku keluarkan. Wah, kalau diingat rasanya kok menyeramkan sekali. Haha.

Jujur, aku termasuk dalam orang yang cepat sekali tersulut emosi. Tapi disisi lain, aku juga bisa ‘pause’ emosi dan menunda kemarahan. Tak hanya marah, aku juga bisa menunda emosi sedih, kecewa dll. Namun, sekali saja ‘trigger’nya muncul maka emosi itu bisa meluap seketika.

Tumpah semua. Bahkan tumpah berlebihan.

Kalau diibaratkan, kondisi emosi marahku ketika sudah meluap itu bagaikan kyubi ekor 6. Dan bisa saja sampai mencapai level 9 jika ‘triggernya tidak tau diri’. Hahaha.

Sesuai dengan saran dari relawan rangkul keluarga kita, saat kita sedang menunjukkan emosi dominan maka kita harus tahu apa penyebab utamanya. Dan jika aku berkaca pada kehidupanku sendiri, ‘ada penyebab utamanya…’

Sebenarnya sosokku yang marah mengerikan ini adalah warisan innerchild. Aku bukannya ingin mengklaim bahwa Mamaku adalah sosok pemarah, namun hal yang ingin aku sampaikan adalah aku lahir dalam lingkungan yang menganggap kemarahan adalah hal yang biasa saja. Sehingga, secara tidak langsung aku memiliki ‘imunitas’ atas rasa marah. Refleks, skill kemarahan itu akan keluar begitu saja ketika Pica melakukan hal yang tidak aku sukai. Bagiku dengan imunitas yang sudah ada, kemarahan adalah jalan keluar. Bagi Pica, hal itu adalah ‘virus’ dan ‘penyakit’ baru yang harus dihadapi dengan emosinya. Emosinya yang berwujud Sedih dan Kecewa.

Tanpa sadar, aku melupakan perasaan sedih dan kecewa pada masa kecilku dulu. Aku lupa, tentang rasa trauma akan teriakan mama. Aku lupa akan rasa takutku sendiri. Lupa bahwa itulah yang menyebabkanku sering mengurung diri di kamar. Yang tertinggal sekarang hanyalah rasa empati pada perasaan Mama. Rasa sayang pada Mama karena sudah memahami Mama. Dan sungguh, aku merasa jurus yang sama mungkin akan membuat Pica merasakan ‘takut untuk mengulanginya lagi’. Reward and Punishment adalah metode terbaik dalam masa kecilku, aku menyadarinya saat sudah bisa berempati pada Mama. Entah kenapa saat menerapkannya kembali pada masa kini, hal itu menjadi kurang efektif.

Baik untukku, untuk pasangan, maupun untuk anakku sendiri.

Dari sini aku sadar, marah adalah emosi dominan kedua yang aku miliki. Mungkin marah adalah pemegang saham emosiku sebanyak 15%. Whahaha, banyak sekali.

Wah, kalau marah saja termasuk dalam dominan kedua, berarti ada yang lebih dominan dari marah dong win?

Iya, dan kalian harus tau emosi dominan lain yang kadang juga sering muncul pada seorang Ibu.

2. Mudah khawatir

Setidaknya aku sempat mengalami emosi ini secara dominan selama 2 tahun. Kalian tau kapan?

Pertama, itu terjadi saat aku baru melahirkan anak pertama. Kedua, itu terjadi ketika pandemi melanda kehidupan. Oya, aku juga sering mengalami emosi ini saat sekolah. Terutama sewaktu ulangan. Namun moment demikian aku skip karena saat itu aku kan belum jadi Ibu. Xixi

Untuk masa sekarang, aku mengaku bahwa perasaan demikian sudah sangat jarang muncul. Terutama dalam keluarga. Jujurly, perasaan mudah khawatir atau berprasangka negatif itu justru sering muncul saat keluar rumah dan bertemu banyak orang. 

Biasanya perasaan demikian muncul ketika mau tak mau harus berhadapan pada ruang bicara Ibu-ibu yang tidak satu generasi. Yang sering berpandangan sempit akan peran perempuan, yang suka mengkerdilkan peran IRT. Jujur, takut sekali kalau berhadapan pada circle demikian. Takut diinjak, direndahkan, dianggap tidak punya power dan tak berharga. 

Maka, karena aku sudah tau pemicu akan emosi ini aku lebih memilah milih dengan circle siapa aku ingin berkumpul dalam durasi lama. Atau dengan circle mana aku cukup bertahan 15 menit saja.

3. Enggak Enakan

Pernah gak kalian merasa gak enakan dalam menolak ajakan atau permintaan tolong dari seseorang? Kalau aku, jujur saja sih dulu ‘lumayan sering’. Tapi itu ketika sebelum menjadi Ibu. Waktu zaman sekolah, fase remaja.. Aku sering sekali merasa tidak enakan kalau disuruh oleh seseorang. Manut mulu. Sekali saja ditolak, kok jadi merasa berdosa sekali. Sekali saja menghindar, kok sekejap teman itu berbisik kesana kemari. Kalau dipikir-pikir, kenapa ya dulu itu jadi anak plegmatis banget. Manuut aja gitu. Aih.. gemes.

Tapi, sejak jadi Ibu emosi ini sangat jarang muncul. Jujur sejak jadi Ibu aku lumayan tegas dengan orang-orang yang ingin ‘mengatur’ku. Tapi tetep sih, emosi enggak enakan ini masih berlaku sama suami sendiri. Haha. Jujurly, hampir 90% pekerjaan rumah tangga.. aku tetap mengerjakannya sendiri dan aku sih oke-oke saja. Karena memang sudah terbiasa hidup demikian. Karena kami sama-sama sibuk pada bidang berbeda. Bagiku asalkan biaya daycare Humaira dihandle suami dan aku masih bisa berdaya dari jam 8 pagi-4 sore, itu sudah sangat cukup. Yha. memang anaknya sejak dulu legowo aja gitu sama hal hal demikian. Yang enggak legowo itu, kalau sudah capek-capek apa-apa sendiri, sudah pinter banget manage keuangan rumah tangga n perusahaan.. Ada aja yang bilang cas cus cas cus diluar sana.. Yha.. yang demikian biar Allah aja yang mengatur orang yang suka ‘cas cus’ begini.

4. Mudah Merasa Bersalah

Kalau dibilang sensitif, iya sih aku orangnya ‘lumayan sensitif’. Konon kebanyakan anak zodiak Virgo itu demikian. Perasaannya Halus. Tapi kalau mudah merasa bersalah? Hmm, kayaknya sejak jadi Ibu aku berusaha banget improve harga diri aku. Sampai-sampai nih, udah jelas-jelas salah aja tapi mengumpulkan keberanian untuk minta maaf itu sulit sekali. Anyone like me? 

Jadi sungguh perasaan mudah merasa bersalah ini sangat jarang muncul. Yang sering muncul adalah perasaan takut menyakiti orang lain. Karena itu, biasanya kalau aku berkumpul dengan orang yang ‘gak kenal banget’ atau ‘kenal banget tapi gak cocok’.. Aku biasanya akan setting mulut aku ke mode silent dan mode ‘enggih enggih’ aja. Istilahnya.. Ya.. Main aman lah ya..

Bahkan nih saking enggak sensitifnya sama perasaan bersalah.. Aku itu kalau marah sama anak, bisa lupa buat minta maaf loh. Justru lebih memutuskan bicara santai dan biasa aja sama anak setelah marah. Seakan bilang dalam hati, “Gak terjadi apa-apa kok tadi, lupain ya..lupain”

Ya, kalau dinilai sampai sini nih. Kayaknya aku itu punya ego yang lumayan tinggi untuk bisa merasa bersalah dan meminta maaf. Padahal, merasa bersalah itu adalah rasa yang harus kita miliki sebagai manusia yang kudu sadar kalau diri sendiri itu banyak punya khilaf.

5. Ingin Mendapat Pengakuan

Diantara Marah, Mudah Khawatir, Enggak Enakan, Mudah Merasa Bersalah, dan Ingin Mendapat Pengakuan.. Jujur yang paling banget aku rasakan sekarang adalah Ingin Mendapat Pengakuan. Kalau Marah tadi menguasai 15% emosi aku, Sedangkan Ingin mendapat pengakuan itu mungkin menguasai 25% emosi aku. Dan sampai sekarang pun iya.. Mungkin masih.

Sedih sih, ini merupakan emosi yang enggak tuntas-tuntas sejak remaja. Mungkin bahkan sejak kecil. Gak ngerti kenapa aku itu merasa haus akan validasi dari orang lain. Orang bilang tahapan dari pengakuan itu ada 3. Pertama adalah toleransi. Kedua adalah eksistensi. Dan ketiga adalah validasi. 

Aku selalu bertanya-tanya apa penyebab aku selalu haus rasa validasi dari orang lain. Kenapa aku ingin serba sempurna dalam mengerjakan sesuatu. Aku bahkan suka menjerit kalau pagi-pagi terjadi kehebohan yang membuat rumahku tak sempurna. 

“Gimana kalau ada yang datang? Entar kalau rumahnya kotor pasti yang ditanya ‘mamanya mana? Maka mamanya gak kerja di rumah aja’..”

Aku suka menjerit kalau suamiku memakai baju yang sama dengan hari sebelumnya kalau keluar rumah apalagi kalau ke tempat mertua..

“Apa sih susahnya memakai baju yang beda? Bukannya baju yang kemarin dan sudah aku cuci ditaroh dilipatan bawah? Kenapa sih harus diambil lagi? Entar ada yang protes, protesnya malah ke tempat aku.. ‘Harusnya suami itu kalau pakai baju diperhatikan, pakai parfum supaya gak bau.. Dulu pas hidup sama aku bla bla bla’ “

Padahal yang ‘nyinyir’ gak ada di rumah. Tapi kata-katanya terus saja terbayang. Seakan-akan orangnya tepat berada di hadapan sendiri. 

Apa sih yang dikerjakan di rumah jadi gak bisa masak pepes ikan? Bukannya gak kerja?

Orangnya..yang nyinyir gak ada.. Tapi kata-katanya berulang seperti kaset rusak. Membuatku menjadi merasa berdosa kalau siang-siang tidak membantu perusahaan suami, tidak menghasilkan uang, tidak membuatkan cemilan, tidak memasak, atau lelah dan tidur siang. 

Jadi dinding kesempurnaan yang coba aku ciptakan terasa ‘haus’ akan validasi. 

Aku mencoba mengorek-ngorek apa sebenarnya penyebabnya. Dan aku paham, aku sulit sekali melupakan perkataan menyakitkan dari orang lain. Aku sulit memaafkan orang lain. 

Toleransi, eksistensi, dan validasi. Kalau dipikir lagi, padahal manusia cukup mendapatkan ‘toleransi’ dari sekitar untuk bisa move on. Andai ada toleransi, manusia tak perlu capek menunjukkan eksistensi dirinya. Andai ada toleransi, manusia tak perlu capek mencari validasi. 

Tak perlu capek ingin mendapat pengakuan dari orang lain. 

Aku sering bertanya-tanya, kenapa sih manusia itu sering sekali menganggap dirinya lebih sempurna dan menganggap apa yang orang lain kerjakan tak sepenting dirinya? Mom shaming, perbedaan pendapat tak berkehabisan. Penghancuran harga diri perempuan yang berstatus mulia sebagai Ibu. Ah, padahal kalau semua orang bisa bertoleransi dan berempati.. Kurasa emosi haus akan pengakuan orang lain ini.. Mungkin bisa diredam dan dihilangkan.

Pada akhirnya, dari kelima emosi yang sudah aku sebutkan. Aku yakin banyak diantara kita mulai merasa ‘ini kayaknya aku banget’ dan kemudian bergumam.. Penyebabnya ini nih… Bla bla..

Ya, penyebabnya ‘orang lain’ bukan?

Sama. Aku pun merasa demikian. Namun, aku pun juga sadar.. Kita mungkin tak akan pernah bisa mengubah orang lain. Tulisan receh demikian pun andai terbaca oleh orang ybs mungkin hanya akan dicerca lagi. Aku sadar sih, sebanyak apapun kita menjelaskan dan membela diri.. Itu mungkin tak akan mengubah apapun dari sikap orang lain. 

Tapi, aku sadar. Bahwa kita bisa mengubah diri sendiri. Kita bisa mulai mengontrol emosi tak baik yang sering kali muncul pada diri sendiri. 

Marah.. Ingin mendapat Pengakuan.. Adalah emosi dominan yang aku miliki. Saat aku mendapat pengakuan, kontenku diapresiasi oleh para pegawai di kantor, cemilan yang aku buat sekejap habis.. Kadang aku merasa senang dan aku bisa melawan rasa marahku jika rasa senang itu ada. Kadang, aku sering bertanya-tanya pada diriku sendiri. Apakah aku sedang ‘memberi makan’ emosi ingin mendapat pengakuan ini? Ataukah aku baru saja merasa senang karena bisa ‘merasa bermanfaat’?

Aku sadari, ternyata its okay kok punya emosi ingin mendapat pengakuan dan marah. Emosi yang ada sebenarnya bukan untuk dihilangkan. Tapi dikontrol. Emosi marah, aku turunkan levelnya menjadi emosi tegas yang membuat anak patuh dan disiplin. Emosi ingin mendapat pengakuan, aku turunkan levelnya menjadi ‘senang membantu orang lain’ atau ‘senang karena merasa bermanfaat’.

Pada akhirnya, aku mulai menemukan celah cahaya dari sekian emosi jelek yang telah mampir dihidupku. Kelima emosi ini.. Hampir semuanya pernah muncul dalam hidupku. Hanya saja, aku ingin terus menjaga levelnya agar tetap stabil.

Semoga kita semua diberikan hati yang luas untuk bisa mengontrol setiap emosi negatif yang timbul. Karena seorang Ibu.. harus menjaga hatinya.. Dari prasangka, dari sakit hati berkepanjangan.. Jagalah hati.. 

Terima kasih untuk komunitas rangkul banjarmasin yang telah mengenalkanku pada keluarga kita dan menginspirasiku untuk tulisan ini..

Saat Suami Istri Debat Tentang Sekolah Anak

Saat Suami Istri Debat Tentang Sekolah Anak

“Liat deh ka, Ada konten terbaru dari Ci Feli di Instagram Reelsnya”

“Oya, bahas Apa?”

“Bahas biaya sekolah anak sama Annisast..wkwkwk”

“Mana sini aku liat”

Dan wajah suami pun menciut kesal.

“Waduh, gak bagus banget Feli bikin konten begini. Bikin orang tua lain pada insecure”

“Ealah.. Bukan disitu pointya kaliiii” Ketusku menengahi

Akupun berbicara lebih detail dengan suamiku tentang perjalanan Annisast menyekolahkan anaknya, gimana kondisi ekonominya dahulu dll. Aku  juga cerita tentang gimana mindset para orang tua lain. Pada akhirnya kami bisa menyatukan persepsi setelah sekian lama diskusi dan debat panjang tentang ‘sekolah mahal’.

Sekolah Anak Mahal? Memang akan Menjamin Kesuksesannya di Masa Depan?

Siapa sih win Ci Feli itu?

What? Kalian belum kenal sama Felicia Putri Tjiasaka? Waduh. Kalian harus kenalan. Karena aku banyak belajar tentang finansial dari dia dibanding mbak Prita Ghozie. Kalau Prita Ghozie banyak ngajarin tentang manage keuangan maka Ci Feli yang ngajarin aku tentang selak beluk investasi, terutama reksadana plus saham. Ci Feli juga bikin insight aku terbuka bahwa investasi itu bukan soal untung tapi tentang menyesuaikan dengan profil risiko kita sendiri. Wah, pokoknya banyak belajar dari beliau. Aku awal kenal dengan beliau lewat konten reksadana seriesnya di youtube. 

Teruss.. Kenapa akun financial demikian nyemplung ke parenting kamu win?

Ya karena dia ngebahas biaya sekolah anak sama Annisast. Ya tentu aja aku gatell pengen ikut nimbrung. Haha. Tapi as always ya, aku tuh agak males komentar di konten orang, termasuk orang yang aku follow. Aku lebih suka nulis kontenku sendiri, entah itu di instagram story atau blog begini sambil kepo lama sama komentar-komentar netizen. Wkwk. 

Ada salah satu komentar menarik di reelsnya Ci Feli yang juga dia sematkan. Komentar ini serupa dengan sedikit komentar suamiku dan mungkin juga serupa dengan komentar orang tua lainnya.

Komentar ini adalah komentar yang lumayan seru karena banyak netizen yang membenarkan. Ada pula yang meluruskan dll. Wah, pokoknya seru. Haha. Intinya komentar tersebut meluncur demikian karena statement dari Annisast ketika ditanya Ci Feli:

“Apakah sekolah anak mahal menjamin masa depannya akan sukses?

“Ya namanya orang tua pastinya pengen yang terbaik buat anaknya. Masalah di masa depan dia sukses atau enggak itu tergantung dari orang tuanya masing-masing” – Annisast.

Ya Netizen be lyke… 

“Lah.. pinter bener tinggal ngelempar tergantung orang tuanya. Sekolah itu Kan udah 50% dari waktu yang dihabiskan per hari. Bla bla”

Aku yang awalnya merasa “Betul sih kata Annisast” malah jadi ikutan kepo juga tentang gimana sih mindset orang yang berpikiran begini. Iya, tahu tentang gimana perilaku orang tentang suatu hal adalah apa yang aku lakukan pada ‘jam istirahat’ kerjaanku sehari-hari. Biarin ah orang bilang gak ada kerjaan kepo tentang komentar orang tapi bagi aku seru loh liat fenomena sosial itu.

Karena orang bilang demikian kan pasti ada ‘ceritanya’. Mungkin yang berkata demikian merasa sekolah begitu banyak menyumbang kesuksesannya dibanding peran orang tuanya di rumah. Bisa aja kan begitu ya kan.

Sama halnya dengan suamiku yang bilang gini.. “Sekolah itu mau dimana aja yang terpenting adalah gimana ortu mendidik dan mengarahkan anaknya. Peran sekolah tuh cuma sekian persen. Peran dari dalam itu tetap saja dari orang tua sendiri”

Suamiku bilang demikian juga karena dia punya cerita sendiri tentang pengalaman hidupnya. 

Membaca satu per satu komentar netizen, Aku jadi ikut membenarkan komentar dibawah ini loh.

Kok ngeri sekali orang tua zaman sekarang suka ‘lempar’ 100% pendidikan anak ke sekolah hanya karena waktu anak lebih banyak di sekolah. Padahal, selain pendidikan dari sekolah, anak sangat butuh orang tuanya. Butuh bercerita pada orang tuanya, butuh bimbingan tentang minat dan bakatnya, bahkan butuh didikan lebih untuk membangun ‘habbit’. Sedih rasanya kalau ketika anak di sekolah ‘sudah dibimbing sekian rupa’ oleh gurunya. Ketika di rumah anak tak perhatikan emosinya, curhatannya atau lainnya. Kita malah sibuk melayani kebutuhan materialnya tanpa paham apa isi hati anak sebenarnya.

Well, Thats is.. Akar materialisme. 🙁

Iyakan, memikirkannya saja jadi ngeri. Terus kalau semua orang tua punya mindset demikian. Masa depan apa yang akan ada pada diri anak? Orang tua hanya berharap dengan memasukkan anak ke sekolah mahal maka anak suatu saat akan menjadi ‘orang berdasi’ atau ‘orang berduit banyak’ tanpa memoles jiwa n value dari anak. Masa depan apa yang kita harapkan jika kita hanya memoles anak dari sesuatu berdasarkan harga dan nilai diatas kertas saja.

Maka, menurutku benar kata Annisast kalau.. “Kita itu sebagai orang tua tentu mengusahakan yang terbaik buat anak. Termasuk soal sekolah. Masa depan anak tergantung pada orang tuanya.”

The point is.. Mau apapun sekolahnya.. Tetaplah menjadi orang tua yang ‘berusaha maksimal’ dan hadir untuk anak. 

Aku percaya sih, sukses itu dari banyak faktor. Bukan hanya dari sekolah tapi banyak dari hal lainnya. Tapi ‘biasanya’ yang menyumbang peranan terbesar adalah ‘kegigihan orang tua’, doa, dan tentu saja keinginan dan usaha anak. Trigger dari lingkungan pun bahkan peranannya cukup besar. Maka, jika orang tua ingin mencari lingkungan dan pendidikan terbaik untuk anaknya.. Termasuk memasukkan ke ‘sekolah mahal’… Well, Apa yang salah?

Persepsi ‘Sekolah’ ala Suami

“Anak yang disekolahkan mahal-mahal itu belum tentu sukses kok. Contohnya aku nih.. Bla bla…”

Siapa yang bilang gitu? Itu tuh… Suami aku.. LOL

Well, aku mau cerita kalau suami aku itu lahir di orang tua yang punya keyakinan, “Banyak anak, banyak rejeki”

Suami aku itu punya 8 sodara. Suami aku anak ke 4. Ayahnya suamiku kerja sebagai PNS, sementara ibunya adalah IRT. Tapi, ibunya juga berusaha menambah pemasukan keluarga dengan memasak. Sempat berjualan, sering juga membuka pesanan makanan untuk kawinan dan undangan lainnya request dari tetangga. Dulu beliau juga nganterin makanan ke kos-kosan mahasiwa. Jadi ya secara finansial sebenarnya ‘keduanya bekerja’. Pemasukan untuk kebutuhan sehari-hari hingga biaya lainnya memakai sumber uang itu. Dan sebenarnya…

Itu gak cukup. 

Makanya suami aku ‘berempati’ dengan keadaan finansial keluarganya. Karena dia tau kakaknya masih sekolah/kuliah plus belum kerja dan adeknya banyak. Sejak SD suamiku inisiatif sendiri mengajukan beasiswa dan itu berlangsung sampai kuliah S2. Suamiku itu Beasiswa hunter. 

Jadi kalau meneladeni suami, rumus kesuksesannya itu adalah: Empati pada orang tua ditambah empati pada saudara tambah lagi trigger kerja keras belajar demi sukses ambil beasiswa ditambah lagi semangat dari ‘setumpuk buku koleksinya’. 

Apa itu sekolah mahal? Suamiku masih gak habis pikir kalau ada orang tua yang menghabiskan sekian ratus juta per tahun buat SPP anak demi SATU ANAK bisa sukses. Sementara kalau buat dia, uang sebanyak ratusan juta itu bisa buat nyekolahin adeknya, biaya pensiun mamanya, sampai bikin ini dan itu.

“Kenapa musti keluarin banyak uang demi satu hal kalau bisa untuk banyak hal”

Demikianlah mindset yang ada pada suamiku. Haha.. Dan tentu saja aku tidak bisa menyanggah persepsi demikian karena…

Sebenarnya kami mirip-mirip saja LOL..

Suamiku itu tipikal koleris-melankolis, sedangkan aku melankolis plegmatis. Satu hal yang sama banget dalam konsep pemikiran kami adalah kami begitu menghargai uang karena kami sama-sama sarjana akuntansi. Ckck. (Suamiku itu mantan asisten dosenku btw)

Aku sih setuju saja dengan mindset suami bahwa uang itu harus ‘rata pemberdayaannya’. Thats why, aku oke-oke aja dulu menuruti persepsinya. Saat ekonomi kami sedang ‘merintis’ diawal pernikahan. Prioritas kami saat itu adalah memiliki rumah. Anakku Pica yang langsung hadir pasca setahun menikah pun mengikuti rintisan ekonomi keluarga kami. Dari yang awalnya hanya membeli rumah yang terbilang perlu banyak renovasi sampai akhirnya rumah kami sangat layak huni, berkembang jadi perusahaan IT dan pindah kantor ke yang lebih besar. Semuanya, berkat usaha kami mengatur uang dengan baik. Memprioritaskan mengembangkan usaha dibandingkan biaya anak.

Memilih Sekolah Itu Harus Sesuai Kemampuan

Lanjut ngomongin soal ekonomi. Suamiku adalah seorang PNS, sedangkan aku memutuskan menjadi IRT saja sejak Pica hadir dalam hidup kami. Gajih PNS seorang dosen saat itu sebanyak 3,7 juta rupiah. Dimana 1,7 juta habis untuk biaya kredit rumah dan sisa 2 juta rupiah untuk hidup sehari-hari.

Aku mendapat jatah 1,5 juta sebulan dari kami punya rumah sendiri. Sebelumnya, aku menumpang di rumah mertua. Sisa 500rb itu untuk sangu suami 1 bulan. Suami mendapatkan uang extra (gajih ke 13) setahun sekali. Namun, tidak diberikan kepadaku karena suami juga merasa memiliki kewajiban pada adik-adiknya dan ibunya. Jadi biasanya dalam setahun aku akan mendapatkan gajih ke 13 sebanyak 500ribu.

Selain PNS suami juga membuka usaha IT di rumah. CV share sistem namanya. Usaha itulah yang akhirnya bisa menyejahterakan ekonomi keluarga kami. Kami akhirnya bisa menabung, merenovasi rumah, membangun kantor, mempekerjakan 8 pegawai tetap. Hingga usaha itu berubah menjadi PT Inovasi Informatik Sinergi dan ingin menjangkau pasar yang lebih luas. Kami merasa sangat perlu memprioritaskan perkembangan usaha ini dibanding segalanya. Karena ada sekian pegawai yang menggantungkan hidupnya pada kami. Dan usaha ini telah membuat pernikahan kami memiliki makna lebih. 

Untuk pengembangan usaha itulah, aku tak mau mengeruk semua profit hanya untuk keluarga kami. Jatah bulananku dari yang awalnya 1,5 juta, 2 juta, 3 juta hingga menjadi 4,5 juta sejak usaha ini mulai maju. Sementara kami memerlukan biaya 30 juta perbulan untuk pengembangan usaha. Suami juga perlu memberi uang pada keluarganya. Untuk profit, perusahaan kami masih tak menentu. Rata-rata pendapatan tetap bulanan sebanyak 50 juta. Tapi pendapatan tak terduga.. itu beda cerita. Masih banyak hal yang ingin kami kembangkan dan itu perlu…

Cuan..cuan..cuan..

Maka, kami sepakat bahwa menyekolahkan anak memang penting. Tapi mungkin ‘bagi kami’ urgensinya lebih penting mengembangkan perusahaan. Karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Etdah kenapa jadi pidato.😅

FYI, dari jatah 4,5 juta perbulan itu. Aku menggunakan 2,5 juta untuk kebutuhan pokok. Sementara 1 juta sebulan aku sisihkan untuk tabungan pribadiku yang ingin sekali aku pakai untuk ‘investasi belajar’, aku menunggu uangnya terkumpul supaya aku bisa segera eksekusi. Sisanya budget 500ribu untuk anak pertamaku Pica dan anak keduaku Humaira. 250ribu aku jadikan ‘nabung rutin’ di Reksadana untuk biaya pendidikan anak-anakku. Dan sisanya sebanyak 250ribu lagi untuk biaya ‘foya-foya’. Semacam biaya untuk makan diluar bareng keluarga atau biaya jajan renyah.haha

Well, mungkin ada yang bertanya apa iya cukup 2,5 juta sebulan buat makan 4 orang. Tentu saja cukup. Apa perlu aku tulis diblog bagaimana caranya? Hihi.

Mungkin juga ada yang bertanya, Bukannya Humaira masuk daycare? Nah, biaya daycare Humaira itu tanggung jawab suami. Termasuk biaya hosting blog ini. hihi.

Menurut keluarga kami pribadi, sangat penting loh untuk menyesuaikan kemampuan ekonomi dan sekolah anak. Kami sendiri sepakat menyekolahkan Pica di SD Negeri saja. Sppnya free dan budget untuk Pica bisa kami alihkan ke hal lain. Seperti les coding, ikut karate, mengasah skill lain diluar sekolah. Jadi, Bukan karena kami pelit. Tapi kami lebih memprioritaskan biaya pendidikan masa depan. Mungkin semacam uang kuliah di luar pulau atau luar negeri (Aamiin anak bisa sekolah disini kelak) itu mahal (menurut kami) dan kesejahteraan ekonomi kami itu chartnya tidak seperti RDPU Yang selalu meningkat, tapi seperti saham.. ada pasang surutnya.. itulah mental seorang pengusaha yang merintis. Kami harus utamakan money management diatas segalanya untuk bisa mengcover risiko pada usaha kami.

Orang mungkin akan mengira kami pelit pada anak karena terlihat tak mengusahakan maksimal untuk sekolahnya. Di Banjarmasin, sudah lumayan banyak kok sekolah Islam yang bagus dan bonafit. Tetapi, harganya masih membuat kami ‘terkejut’. Mungkin,jika penghasilan usaha kami sudah memiliki fix return minimal 100juta perbulan kami tak akan berpikir 2x untuk menyekolahkan anak di sekolah yang bagus. Tapi, karena usaha kami masih merintis dan masih harus dikembangkan maka kami jauh memprioritaskan uang untuk perkembangan usaha.

Aku cukup salut sebenarnya dengan orang-orang yang ingin mengusahakan yang terbaik untuk anak, terutama soal sekolah. Bahkan ada yang biaya SPP anak SD nya sama dengan biaya gajihnya satu bulan. Katanya, “SD Islam itu bagus. Tak seperti SD negeri yang anak-anaknya suka ngomong kotor” . Well, aku menatap anakku sendiri yang sekolah di SD Negeri. Ya rada-rada banyak sih yang demikian. Hehe. 

Lambat laun orang tersebut sering mengeluh di sosial media. Apalagi suaminya sering mengeluh kalau SPP anaknya kemahalan. Lantas menyuruhnya ikut membantu bekerja karena sebetulnya uang bulanan tidak cukup. 

Bukannya biaya sekolah dan nafkah keluarga itu kewajiban suami ya. Kenapa istri yang sudah capek kerja di rumah disuruh nyari uang juga? IRT sambil nyari duit itu Bla bla bla. Jangan bebankan biaya pendidikan anak sebagai beban..bla bla..

Sebenarnya, aku ingin sekali ikut nimbrung memberi saran. Eh tapi aku urungkan niatku. Sosmed sekarang kan mengerikan. Bisa jadi kita berniat baik membantu, malah dijudge balik. Banyak yang demikian bukan?

Jujur melihat perkembangan zaman sekarang.. Ibu-ibu zaman sekarang tuh banyak sekali yang terinfluence untuk menyekolahkan anak di sekolah mahal yang bonafit. Tapi terkadang, sering lupa dengan hal inti untuk itu. Yaitu sekolahkanlah anak sesuai kemampuan. 

Jujur aku sering sedih melihat lingkunganku sendiri. Kadang, ada loh yang menghampiri suamiku atau mamaku untuk berhutang. Katanya untuk biaya susu anaknya yang masih kecil. Aku terkadang memunculkan setan di kepalaku sambil berpikir, “Loh, masih bayi kok dikasih sufor? Kenapa gak diusahakan ASI aja” ((aku aja kedua anakku ASI semua.. dan tuh kan mulai sombong.. Astaghfirullah))

Namun aku pendam perasaan demikian. Tapi saat ada ibu-ibu yang ingin berhutang untuk SPP anaknya yang sekolah mahal sementara anak kami saja sekolah di SD Negeri biasa itu seperti.. hmm.. apa ya apa ya… tak terlukiskan deh perasaannya. Diriku yang kedua serasa ingin memberikan ceramah terkait finansial.

Kalau Bahkan untuk hidup saja sulit, tidak punya asuransi minimal BPJS, tidak punya dana darurat, bahkan tuntutan dan gaya hidup juga tidak bisa ‘ngerem’ kenapa sih pilih sekolah mahal untuk anak? Karena orang sekitar bisa memberikan empati? Itulah yang ada dipikiranku. Judge me ya karena berpikir demikian tapi kenapa ya aku kok dongkol sama orang yang tak bisa mengontrol pengeluaran sesuai dengan keadaannya demi yah…hmm..

Kalau teladan ibu-ibu zaman sekarang adalah seorang Annisast maka seharusnya mereka juga harus tau bahwa pemasukan Annisast itu juga meningkat. Mbak Annisast selalu usahakan kontrol diri diatas segalanya. Pengeluaran sekolah anaknya itu kan memang seimbang saja dengan pemasukannya. Dan Mbak Annisast gak pernah loh ngutang demi bayar SPP anak. Semua sudah diperhitungkan dari dana darurat, asuransi, biaya pendidikan, investasi.. lah.. kalau mau ikut gaya Influencer keren kenapa yang ditiru hanya setengah-setengah? Yang ditiru pun yang tak sesuai dengan kemampuan. Hmm..

Astaghfirullah aku membaca ulang bagian tulisan ini kenapa jadi agak sedikit julid ya. Dan parahnya aku tak mau menghapus. Mungkin mau realese curhat.hihi.

Semoga yang ngutang baca.. aduh jahat amat ya aku.

Debat Soal Sekolah Anak dengan Suami

Hal yang paling gak aku suka dari suamiku dulu tuh adalah dia selalu membandingkan kehidupannya diatas kehidupan anak-anaknya.

“Masa biaya anu aja segitu. Aku dulu… bleh bleh”

“Ya pas aja lah sangu anak segitu.. aku dulu bleh bleh.”

Jujur, pernah bertengkar hebat gara-gara ini. haha..

Aku tuh nyimak loh semua cerita suami. Aku paham hidupnya berat. Aku tau hidup berat demikianlah yang membentuknya seperti sekarang. Tapi masa iya kehidupan anak-anak kami mau dibentuk persis seperti dirinya. Sedangkan zaman pun berkembang. Sedangkan ekonomi kami tak seperti dulu. Sudah jauh lebih baik. 

Konten Felicia yang kami tonton beberapa hari lalu seakan membangkitkan moment diskusi sekian waktu yang lalu. Dan kemudian aku memutuskan untuk berdiskusi kembali soal pro dan kontra ‘sekolah mahal’.

Aku memulai diskusi dengan amat sangat soft. Memulai dengan menceritakan film Enola Holmes, dimana si Ibu mendidik sendiri anaknya (tapi kan punya banyak pembantu..hihi), Aku bahkan bercerita tentang Film Game of Thrones dimana klan Stark juga memiliki banyak anak yang pendidikannya bagus namun semua juga diajari oleh guru yang bagus plus juga Ayah dan Ibu yang ikut serta berperan. Sampai kemudian ceritaku berbelok ke Anime Magi. Yang tokoh utamanya adalah seorang anak haram raja yang lahir diluar kehidupan kerajaan namun memiliki mindset lebih maju. 

Dari sekian story telling pembukaku. Ada satu yang ingin aku luruskan bahwa apapun lingkungan anak, baik terlihat elite maupun tidak.. Peran orang tua itu nomor satu. Dan perkara sukses secara ‘material’, tekanan lingkungan itu sangat mempengaruhi. Jadi kalau ingin anak yang Sholeh Solehah plus juga sukses dunia akhirat modal utamanya adalah orang tua sendiri. Note: Orang tua yang berusaha maksimal.

“Iya memang gitu. Tapi aduh.. sekolah yang kata annisast itu apa ya.. punya toilet di dalam ruangan, guru-guru dari luar negeri, punya tempat berkuda.. so.. what’s the point? Value-nya apa?”

Dan aku terdiam. Kalau suami sedang ngomong begini.. Jiwa ‘leadership’nya sedang dominan dan aku tak mau menyela. Dia kemudian melanjutkan kata-katanya.

“Kalau dengan penyampaian singkat demikian bisa dilihat bahwa value yang ingin ditonjolkan pada sekolah mahal itu adalah fasilitasnya. Apa pointnya melebihkan toilet yang ada di dalam ruangan? Apakah itu menjadi lebih baik dibanding toilet umum untuk satu SD? Apa gunanya anak SD punya tempat berkuda? Dan guru-guru luar yang bisa berbahasa Inggris? Itu value-nya apa?”

Haha.. sebenarnya aku sudah bisa menebak diskusi kami akan ketempat demikian. Dan ya… Bentar, suami ngomong lagi.

“Kalau fasilitas hanya bersifat memanjakan anak, itu tidak mendidik tapi melayani. Anak itu ketika sekolah diharapkan bukan tentang mendapatkan pelayanan terbaik. Tapi tentang menghargai keberagaman bergaul, beradaptasi dengan lingkungan dan fasilitas lain, dan guru yang bisa berbahasa Inggris? Kita bisa membuat anak belajar hanya dengan menonton kartun bahasa Indonesia dengan text bahasa Inggris. Perlahan anak belajar.”

Well, meski terkesan agak ‘gimana’. Sebenarnya perkataan suamiku ada sisi benarnya. Tapi, aku tetap tidak setuju soal kemandirian anak mungkin jadi tumpul karena fasilitas sekolah mahal. Aku yakin sih fasilitas itu sifatnya ya tetaplah sebagai memfasilitasi, bukan memanjakan. Sekolah mahal buatku tetap yay kalau seandainya budget pemasukan sudah memenuhi. 

Untuk sekarang, kegiatan anak kami meski bersekolah di SD negeri biasa tetapi juga lumayan ‘padat’. Jam 1 siang anakku sudah pulang sekolah. Dilanjutkan makan siang, sholat dan tidur sebentar sampai jam 3 siang. Biasanya aku memberikan waktu bermain dengan teman lingkungannya sebentar. Kemudian jam 4-6 sore anakku mengaji di TPA. Terkadang juga pada jam yang sama anakku Karate. Hari Minggu pun diisi dengan latihan karate. Malamnya, Pica latihan menggambar. Kadang dia juga membuat komik dan kami juga sering nonton kartun bersama. 

Baca Juga: Sekolah Negeri Itu Gak Seram

Baca Juga: Kelas Komik Pica

Kurasa jadwal demikian saja sudah lumayan berisi untuk anak-anak seusia Pica. Beda halnya Humaira yang aku masukkan daycare dan aku jemput jam 4 sore. Jadwalnya pun butuh perbedaan. Hehe.

Menurutku pribadi, untuk anak umur kecil seusia Hum dan Pica.. Prioritas utama adalah membentuk Habbit yang positif, membangun circle pertemanan, serta menumbuhkan kesenangan. Karena itu masa kecil yang benar-benar indah dan waktu bermainnya mungkin akan terkenang selamanya. Namun, jika punya budget untuk memprioritaskan itu kesekolah mahal yhaa..why not? Selama duitnya ada dan termanajemen dengan baik. Dan tentu.. selama tidak mengeluh berlebihan lalu berhutang. *Uhuk..batuk keras

Jangan sampai ketika anak masih kecil kita sibuk sekali memasukkannya ke sekolah mahal dan terbaik tapi kemudian tak punya rencana untuk masa depannya. Tak mempersiapkan dana pendidikannya hingga tak mempersiapkan dana pensiun kita sendiri. 

Karena anak.. bagaimanapun memang tanggung jawab kita.. Setidaknya secara material maupun non material sampai mereka bisa mandiri. Diri kita pun adalah tanggung jawab diri kita sendiri. Seimbangkan kebutuhan mereka baik untuk masa kini.. maupun masa depan. 

Happy Parenting!

Ketika Anak Ingin Pesta Ulang Tahun di Sekolah

Ketika Anak Ingin Pesta Ulang Tahun di Sekolah

“Ma, Humaira mau ulang tahun..!!” Kata Anakku usai sekolah hari itu

Aku meng’iya’kan sambil tersenyum dan berpikir.. “Ah, paling besok-besok sudah lupa”

Satu minggu kemudian, Humaira jingkrak-jingkrak sambil memberikanku undangan ulang tahun dan berkata, “Yeay, Humaira besok ulang tahun Ma..”

Aku mengernyitkan dahi sambil melihat undangannya, “Iya, ini memang Alisha yang ulang tahun. Tapi bukan Alisha Sheza Humaira.. Bukan Humaira, ini Alisha teman Humaira..”

Humaira manyun sambil bilang, “Oooow ukaan ya..”

“Iya, nanti kita beli kado besok ya..” 

“Oke mama.. Asik beli kado..”

“Kadonya buat teman Humaira ya, bukan buat Humaira..”

“Oooow.. Ukaan yaa”

Mama, Aku Mau Ulang Tahun Juga!

Malam itu, aku membungkus kado dengan Humaira. Lalu memasukkannya ke dalam tasnya. Kemudian bilang kepadanya, “Kado ini nanti buat teman Humaira ya. Nanti Humaira kasih ke temannya ya”

Humaira manyun sambil berkata, “Oh.. Bukan punya Ummai?”

“Iya, kan Humaira udah punya warna pink. Punya temannya warna putih” Kataku

Humaira manggut-manggut menyimak perkataanku. Yah, demikianlah drama yang terjadi setiap kali teman Humaira ulang tahun. Setiap membeli kado untuk temannya, kok gak tega kalau Humaira tidak ikut dibelikan. Hiks, padahal dulu ketika era Pica aku oke-oke aja sih kalau tidak membelikan Pica. Pica tidak begitu kecewa. Aku pun lebih bisa merem nafsuku. Mungkin juga sih karena kala itu ekonomi kami memang tidak sebagus sekarang.

Singkat cerita, esok harinya aku menjemput Humaira dengan tangisan di wajah Humaira. Aku bertanya sebabnya kepada Gurunya.. Ulala.. Ternyata drama tidak mau memberikan kado pada temannya. 

“Itu punya Ummai.. Itu kado Ummai!” Kata Humaira. Membuatku hanya bisa ‘nyengir’ sambil senyum pada anak yang berulang tahun. Lantas meminta maaf dan segera pulang dari pada ‘drama berlanjut’.

Di perjalanan, aku membelikan Humaira 1 pcs yupi untuk menghiburnya. Syukurlah drama itu berakhir. Tapi, ketika di rumah drama ulang tahun dilanjutkan. Kali ini, dengan ‘imajinasi ala Humaira’

“Mama.. tadi di sekolah Ummai ulang hahun.. Banyak hanal kadonya. Tadi tiup lilin sama-sama.. Teyus tepuk tangan semuanya”

Dan aku pun senyum sambil berkata dalam hati, “Dan Hum mulai ‘Halu’..”

HAHAHA

Merencanakan Ulang Tahun di Sekolah

Perkataan Humaira seringkali terngiang di kepala. Pada akhirnya, aku mulai iseng mencari perintilan pesta ulang tahun di shopee. Mulai dari Banner, Topper Kue, Lilin, Plastik Godie Bag, alas kue ulang tahun hingga Undangan. Scroll demi scroll hingga mendapatkan best price telah aku lakukan. Dan.. Ops.. Dasar emak-emak, keranjang penuh ‘harapan anak’ itu akhirnya di check out juga…

Ckckck

Perlahan malam-malam aku mengingat ulang moment ulang tahun Farisha di rumah dulu. Butuh apa saja ya? Dan tentu saja Kue Ulang Tahun. Berhubung aku tidak punya waktu untuk membuatnya maka jariku mulai berselancar mencari kue ulang tahun seputaran banjarmasin. Mulai dari di Go Food hingga di instagram dan facebook. Dan iseng-iseng percakapan harga pun dimulai.. Dan akhirnya, dipesen juga.. Ckckck

Tinggal mencari makanan untuk snack ringan anak dan nasi. Awalnya, aku hanya ingin yang praktis-praktis saja. “Ah, pesan di Rocket Chicken aja. Beress”

Ulala, rencana itu berakhir jadi melenceng hanya karena melihat kotak bento yang lucu di Shopee. Scroll demi scroll aku lakukan hingga menemukan best price. Dan ujung-ujungnya? Di Check Out juga.. Ckck…

Ya begitulah emak-emak. Tanpa pikir panjang. Best Price=Harus segera di check out.

Rencana Ulang Tahun dipikiran kini sudah berujung kepastian akan dilaksanakan. Apa hal selanjutnya yang dilakukan? Tentu saja.. Mengatur budget.. HAHA.

Budget Ulang Tahun Anak di Sekolah

Bu, anak di TK Humaira berapa ya jumlahnya? Saya berencana ingin mengadakan ulang tahun di sekolah..

Aku menanyakan kepada Guru sekolah Humaira via WA

Dan balasan pun aku terima dari WA.. 

Anak kelompok bermain sekitar 32 Bu, termasuk Humaira. 

Kalau jumlah Gurunya berapa Bu?

Gurunya sekitar 12 orang.

Aku menghitung jumlah pegawai pada kantor perusahaan kami. Sekitar 10 orang termasuk anak magang. Maka, fix jumlah nasi kotak sebanyak 60an. Termasuk memberi tetangga. Tapi tetangga dekat saja sih. Hehe

Maka aku pun mulai membuat perhitungan. Perhitungan ini mungkin juga bisa menjadi insight untuk kalian yang ingin mengadakan pesta ulang tahun di sekolah.

Untuk Nasi Box, karena aku sudah terlanjur membeli tempat makannya. Maka fix deh, ini bakal dibuat dengan tangan sendiri. Rencana awal sih, aku mau memesan saja untuk lauknya. Qadarullah gak jadi, karena penjualnya cancel mendadak. Jadi lah emak 3 hari sebelum acara membeli ayam mentah di pasar untuk.. Dibikin sendiri.. Hehe.. Berikut perhitungan Budget Nasi Box, Snack dll:

Jujur budgetku awalnya 1,2 juta saja. Tapi realitanya kan tentu saja berbeda. Dari budget diatas total pengeluaran termasuk biaya gocar dll mungkin sebesar 1,5 juta. Tapi, aku happy.. setidaknya dengan mengerjakan semuanya sendiri aku tidak memberatkan uang keluarga. Hehe.

Acara Ulang Tahun Humaira di Sekolah

“Win, anak kamu ulang tahun pake MC n Badut gak?” Salah seorang temanku bertanya.

Alhamdulillah, sih.. enggak..wkwk..

Karena acara ulang tahun ini cuma sebentar saja durasinya. Dari jam 9.30 sampai jam 10.00. Kurasa sih tak akan sempat untuk menggelar berbagai acara. Waktu demikian hanya sempat untuk tiup lilin, potong kue, berdoa dan bernyanyi. Jadi ya.. Aku enggak menyewa MC apalagi badut.

Bahkan, pesta ulang tahun ini cuma aku yang tukang organisirnya. Dan cuma aku yang dateng standby disamping Humaira. Awalnya, suami memang datang. Tetapi kemudian ada klien perusahaan kami menelpon selama hampir 30 menit. Udah deh, kami akhirnya berdua saja. Haha. Untung teman-teman Humaira pada seruu aja. Seru ngomongnya. Ngomong macem-macem dengan lidah polosnya.

“Aku nanti mau ulang Tahun juga loh Tante..” Kata Azkia, salah satu teman Humaira

“Bagus banget Hum Kue Ulang Tahun kamu. Kuda Poni. Aku juga suka..” Habibah berseru.

Dan yang lain asik menarik perintilan dekorasi. Sebagian lainnya merengek minta balon. Duh, seru. Haha. Untung guru-gurunya baik sekali menengahi yang menangis dan yang over lincah.

Saat fase meniup lilin, baru saja api dinyalakan. Semua teman Humaira langsung meniup. Dinyalakan lagi, mereka serentak meniup lagi. Astaga, seru sekali. Anak-anak memang lucu dan polos. Katanya kita semua ulang tahun hari ini. Wkwk.

Awalnya, aku membawa 3 kado ke sekolah. Aku tidak berharap banyak teman-teman Humaira akan memberi kado. Tapi, Aku mengantisipasi kalau-kalau tidak ada yang memberi kado. Maka, aku meletakkan kado yang kubungkus sendiri di meja ulang tahunnya. Supaya sesuai dengan imajinasi Humaira.

Siapa sangka setelah adegan potong kue dan tiup lilin selesai.. Beberapa teman Humaira menuju lokernya masing-masing dan membawa kado. Alhamdulillah, Humaira dapat banyak hadiah di hari ulang tahunnya.

Tak sia-sia aku berlelah-lelah di pagi hari. Jam 3 sudah bangun untuk menggoreng puluhan potong ayam. Jauh-jauh hari sudah kepasar membeli bahan mentahnya dan mengungkap ayam untuk bisa langsung digoreng pada hari H. Sehari sebelumnya, aku membeli sayur segar agar masih fresh saat dimasukkan box. Dan malam harinya, aku memasukkan sendok dan tisue sambil menonton drakor untuk mencicil pekerjaan. 

Yang kuharapkan pada hari ulang tahun itu hanya satu. Kebahagiaan Humaira karena harapannya untuk bisa mengadakan pesta ulang tahun di sekolah telah terwujud. ❤️

Alhamdulillah, hari itu mungkin hari yang tak terlupakan untuk Humaira. Karena dia senang sekali.

Semoga Anak mama kelak menjadi anak sholehah. Putri yang membanggakan dan selalu memiliki rasa syukur di hatinya. Ingatlah hari ini nak, dimana mama berusaha untuk membuat senyum dan tawamu merekah sempurna. Kuharap ini akan menjadi salah kenangan paling indah dalam hidupmu. ❤️

Special Thanks buat guru-guru Humaira yang super baik dan teman-teman Humaira yang super lucu plus baik hati. Terima kasih doa dan hadiahnya. ❤️

Mengontrol Rasa Takut dalam Hidup

Mengontrol Rasa Takut dalam Hidup

Pernah gak kalian merasa bahwa hidup itu kadang menakutkan?

Bahwa ketidaktahuan kita akan masa depan kadang membuat ekspektasi menjadi sedikit berkurang atau bahkan hilang begitu saja.

Belum lagi ketika kita dibayang-bayangi oleh kesuksesan orang lain, kita kadang merasa kelelahan yang kita jalani seakan jalan ditempat saja tanpa hasil apa-apa. 

Keadaan demikianlah yang membuat kita takut dalam melangkah. Karena sudah sekian banyak ‘gagal’ yang dilalui. Karena sudah begitu banyak kewaspadaan yang muncul dari mana-mana.

Sehingga rasanya sulit sekali untuk melangkah.. Karena takut, proses yang kita lalui tak menghasilkan apa-apa.

Mengontrol Takut dimulai dari Konsisten Berproses tanpa Peduli Hasil pada Target

Kalau diingat lagi, tentang siapakah aku dahulu. Mungkin, orang-orang akan mengenalku sebagai Aswinda yang penakut. Takut tampil, takut mencoba bahkan takut mengadu jika ada yang melakukan hal salah padaku. Karena rasa takut, aku jadi sering dimanfaatkan oleh teman-teman masa kecilku. Dijadikan bahan bully dan dimanfaatkan untuk hal yang tak semestinya. Yah, setidaknya itu berlangsung selama 6 tahun.

Beda cerita ketika aku menginjakkan kaki di sekolah baru. Mengenal teman-teman baru yang ternyata memiliki sekian banyak kemiripan denganku. Rasa takut itu memudar perlahan. Digantikan oleh rasa nyaman dan merasa senasib sepenanggungan. Aku tak akan melupakan hari-hari dimana aku merasa nyaman dalam berbagi. Aku tak akan melupakan teman-teman terbaikku yang selalu membersamaiku dalam berproses.

***

Dan sejak menjadi Ibu, teman terbaikku digantikan oleh sosok mungil itu. Pica, anak pertamaku. Orang berkata aku begitu beruntung. Karena langsung hamil dan memiliki anak begitu menikah. Namun, jika boleh jujur.. Saat itu aku merasa…

Tertinggal..

Teman terbaikku Pica, anak pertamaku adalah sosok yang membuatku sempat merasa ‘tertinggal’… (Maaf ya nak.. Inilah yang Mama rasakan dahulu..)

Segala target di depan mata lenyap seketika. Segala pencapaian yang ada dahulu tak terasa berharga lagi. Belum lagi sekian banyak saran dari orang lain yang mengatakan seorang Ibu harus mandiri finansial. Rasanya, lembaran hidup baru itu rusak seketika.

***

Singkat cerita, siapa sangka Pica telah membuatku menjadi diriku yang lebih baik. Dari Pica, aku belajar banyak hal. Bahwa dalam kehidupan, target hanyalah gambaran impian yang ditulis di secarik kertas. Selebihnya, proses dan persistenlah yang membentuk ‘Positif Habbit’.

“Target hanyalah gambaran impian yang ditulis di secarik kertas. Selebihnya, proses dan persistenlah yang membentuk ‘Positif Habbit”

Aswinda Utari

Dari Pica, aku belajar tentang cara menghemat anggaran bulanan. Aku belajar arti syukur dari sedikit yang aku punya. Dari Pica, aku belajar untuk bangun lebih pagi dan bekerja keras mencukupi cinta pada dapur sumur keluargaku. Dari Pica, aku mengenal apa arti ‘berproses’ walau sulit mencapai ‘target’.

Manusia boleh jadi mengukir targetnya dalam hidup. Namun tahukah? Rencana dan hasil dari Allah selalu lebih ‘indah’.

Menghadapi Ketakutan dengan Belajar tentang Hal yang Kita takuti

Singkat cerita, petualangan ‘prosesku’ telah membawaku pada posisi Direktur dalam perusahaan IT kami. Yup, perusahaan IT keluarga kami yang sudah berjalan 8 tahun. Pica adalah awal dari semangat itu.

Jika kalian bertanya padaku.. Apa hal yang paling aku takuti dalam hidup maka jawabannya adalah ‘Aku takut sekali miskin mendadak’. Karena itu aku dan suami merintis bisnis. Dan karena itu pula keluarga kami selalu memiliki tabungan dan dana darurat. Aku pernah merasakan betapa tidak nyamannya tak punya uang. Jadi, aku tak mau anakku merasakan hal yang sama. 

Dalam perusahaan ini, aku bukanlah orang yang paham mengenai dunia IT. Tapi, aku punya ilmu akuntansi dan manajemen. Sejak dulu, aku selalu tertarik dengan dunia investasi. Namun, tak pernah berani berinvestasi pada instrument highrisk. Aku hanya mengenal obligasi syariah (sukuk), emas, dan RDPU. Sesuatu yang aman dan pasti. Profilku sendiri adalah investor yang ‘konservatif’. Tapi, sejak dipercayakan untuk memanagemen keuangan.. Aku mulai belajar hal yang aku takuti, yaitu saham.

Dalam 3 bulan ini aku belajar dan mulai paham tentang selak beluk saham. Mulai memberanikan diri investasi pada reksadana saham. Memahami rotasi sektoral. Sudah berhadapan dengan ‘kerugian’. Segala pembelajaran dan pengalaman ini membuat rasa takutku terpacu untuk terus belajar lebih baik lagi. 

“Positif Habbit memunculkan keberanian, dan langkah bijak dari buah keberanian adalah belajar menghadapi ketakutan.”

Aswinda Utari

Meminimalisir Ketakutan dengan Memberikan Reward dan Rasa Aman

Setiap belajar investasi, belajar mengembangkan bisnis..  berproses pada setiap langkah.. Ada satu hal yang rutin kami (aku dan suami) lakukan setiap bulan. Yaitu membeli ‘something spark joy’s

Sebagai pasangan, kami meyakini setiap langkah dan usaha yang kami lakukan patut dihargai baik itu berupa material maupun non material. Dulu, kami hanya memberikan reward berupa nonton netfilx bersama hingga memasak bersama. Sekarang, kami mulai mencoba hal yang sedikit berbeda.

Suami mulai menjelajah dunia parfum, sedangkan aku mulai memanjakan diri dengan skincare dan lingerie. Dulu, skincareku sangat amat basic sekali. Toner dan pelembab pun cukup.. sunscreen pun tak begitu rutin. Sekarang sudah menjelajah ke berbagai serum, essense, dan mencoba ini itu. Mengoleksi skincare dan lingerie adalah wujud hal yang aku lakukan untuk memberikan reward pada diri sendiri.

Entah kenapa, setiap memberikan reward pada diri sendiri rasanya senang lantas kemudian berani melakukan hal yang tak biasa dilakukan: menghadapi ketakutan level berikutnya.

Bagiku rasa senang bagaikan sebuah senjata, belajar adalah pelurunya. Dan ada satu hal yang aku butuhkan lagi untuk menghadapi ketakutan. Kalian tau apa itu? Namanya adalah perisai pelindung agar hatiku selalu merasa aman setiap berhadapan dengan ketakutan

Aswinda Utari

Aku sudah bercerita bahwa ketakutanku adalah pada saham bukan? Investasi yang begitu high-risk dimataku. Maka, untuk memberikan rasa aman aku tak mau memasukkan semua uangku disana. Aku lebih memilih memasukkan 50% dana daruratku pada tabungan dan 50% sisanya pada RDPU. Selebihnya, untuk tujuan jangka menengah aku memilih instrumen RDPT atau sukuk. Bagiku, untuk belajar sesuatu yang high-risk sangat diperlukan management rasa aman. 

Well, cerita tentang mengontrol rasa takut ini awalnya ingin aku tunjukkan tentang pengalamanku bersama Pica. Pada akhirnya dalam penulisannya aku malah banyak bercerita tentang diriku sendiri dan management keuangan..dasar.. wkwk

Mengontrol Rasa Takut pada Anak Sejak Dini

Aku sedikit menyesal kenapa rasa takutku dulu tidak terkontrol dengan baik sehingga aku berakhir menjadi sosok yang pemalu dan takut mencoba hingga besar. Satu hal yang pasti, aku tak mau Pica dan Humaira menjadi sepertiku. Dari pengalamanku diatas setidaknya ada 3 hal yang bisa aku praktikkan dalam parentingku bersama anak.

Pertama, dengan mengontrol takut dimulai dari berproses tanpa peduli hasil pada target. Aku percaya bahwa mengontrol takut tak melulu dimulai dari ambisi pada Terget. Tapi dimulai dari membangun proses pada habit positif. Misal, aku tau saat Pica mulai tak nyaman dengan pelajaran matematika bahkan mulai gugup dengan ulangannya. Maka, aku belajar untuk ‘legowo’ jika hasil ulangannya tidak setinggi target yang diharapkan. Yang penting adalah Pica belajar tekun matematika dan paham dengan logikanya tanpa perlu merasa takut.

Kedua, dengan memberikan reward plus rasa aman dalam berproses menghadapi ketakutan. Jujur, aku termasuk orang tua yang memberikan reward pada anak kalau ia punya pencapaian. Sekecil apapun. Tentunya dengan reward yang juga ‘sepadan’. Misalnya ketika dia dapat nilai bagus pada ulangan, aku memberinya hadiah es krim atau yogurt kesukaannya. 

Adapun rasa aman yang coba aku berikan pada anak saat dia menghadapi ketakutan adalah dengan berkata bahwa tak semua hal harus sempurna. Dalam belajar misal, aku tau Pica lemah pada pelajaran Matematika. Maka aku menyuruh dia untuk meningkatkan hobi yang dia benar-benar suka. Menceritakan padanya fakta kehidupan. Bahwa hobi yang ditekuni dengan telaten bisa menjadi mata pencaharian kelak. Sedini mungkin, konsep belajar survive harus mulai diajarkan pada anak. Itulah keyaninanku dalam manajemen risiko atau rasa takut.

Nah, kalau parent lain gimana? Punya ide lain dalam mengontrol rasa takut? Baik pada diri sendiri maupun pada anak? Sharing denganku yuk!

IBX598B146B8E64A