Browsed by
Category: Self Improvement

Tentang Perempuan Bekerja, Patriarki, Dan Value Perempuan

Tentang Perempuan Bekerja, Patriarki, Dan Value Perempuan

https://www.instagram.com/p/CxdATMIRPEg/

Malam itu, aku tertegun membaca feed instagram dari @kalis.mardiasih. Feed ini begitu banyak dikomentari oleh beberapa teman-temanku. Bahkan diolah konten microblog kembali oleh mbak @annisast. 

Sebuah topik pembicaraan pun kembali mencuat hari itu, “Kenapa perempuan itu berbeda?”

“Kenapa masa produktif perempuan hanya terbatas dari umur dan statusnya saja?”

Terakhir, sebenarnya perlukah perempuan bekerja? atau hanya sekedar berdaya apa adanya? Apa iya, kesetaraan gender merupakan suatu keharusan pada era sekarang?

Bagaimana semuanya bisa selaras mengingat law of polarity. Adanya kodrat mutlak. Dimana letak dominan feminine dan maskuline energy pun sebenarnya bukanlah hal yang bisa kita anggap remeh untuk keutuhan rumah tangga.

Perlahan, aku merangkum diskusi malam itu dengan suami di blogpost ini.

FlashBack Barbie: Perempuan Bisa Menjadi Apapun yang Ia Inginkan, Oh Really?

Background pink pada konten itu jadi mengingatkanku pada film barbie yang seminggu lalu aku tonton. Sebenarnya, aku belum selesai menontonnya. Tapi sampai sekarang aku tidak meneruskan dan tidak penasaran dengan endingnya. Bagaimana tidak? Scara aku membaca reviewnya dimana-mana. Dan aku seakan bisa menebak apa yang terjadi setelah Ken menyerang dunia barbie. Begini, begitu.. Yea..

Inti dari film barbie yang aku tangkap adalah perempuan bisa menjadi apapun. Seperti dunia barbie yang kita sukai dahulu. Perempuan tak perlu takut menjadi sempurna. Tak perlu takut dipandang sinis karena telah menjadi Alpha Women. Bahwa hidup itu seimbang. Bahwa perempuan dan lelaki itu setara. Bahwa patriarki itu menyebalkan.

Yes. Mari sangat setuju dengan kalimat terakhir.

Tapi serius, issue tentang perempuan. Film Barbie. Kenyataan yang dihadapi di dunia. Pandangan dunia kerja pada perempuan. Ada yang perlu diperbaiki disini. Mari bicara tentang patriarki.

Patriarki yang menyebalkan dimata aku adalah tentang hal ini

Kalau boleh jujur, sebenarnya aku hidup pada lingkungan yang ‘lumayan’ patriarki. Tapi rule mode hidupku adalah seorang Alpha Women. Thats my mom. Seorang perempuan yang bisa menghasilkan uang, berdaya sepenuhnya, diakui di strata sosial, memiliki pesona dan selalu bilang pada anaknya..

“Perempuan itu harus bisa menghasilkan uang. Karena kita tak tau apa yang akan terjadi.. Bla bla..”

“Inilah pentingnya perempuan berduit, karena biaya hidup semakin tinggi.. Bla bla..”

“Makanya perempuan itu harus berpenghasilan, karena banyak laki-laki tidak tahu diri bla bla..”

Kata-kata demikian termindset dan berputar layaknya kaset rusak. Membuat program inti dalam kepalaku bahwa misi hidupku yang terpenting adalah ‘mandiri finansial’. Siapa sangka aku terjebak pada skema hidup yang diluar rencana. Nikah Muda-langsung hamil-tidak bekerja dalam kurun waktu yang lama. 

Dan kurasa aku tidak akan begitu paham dampak buruk patriarki jika aku tidak mengalami post partum deppression. Pada titik itu, Aku akhirnya sadar kenapa mamaku sering bilang padaku tentang pentingnya menjadi perempuan yang berpenghasilan. Ternyata ada dunia yang baru saja aku ketahui. Bahwa dulu patriarki sudah ada sejak kecil, namun saat beranjak dewasa patriarki mulai memunculkan dampaknya.

Patriarki yang sangat aku benci adalah sebuah pemahaman bahwa jadi Ibu yang sempurna itu kewajiban. Yang bisa mengasuh anak, menghemat uang, membersihkan dan merapikan rumah, selalu memasak, selalu waspada kalau-kalau ada tamu yang datang dan mengkritik hidupmu dan celah ketidak-sempurnaanmu, selalu memperhatikan celah kurangnya pelayananmu pada suami.. Pada anak.

No. Dunia itu bukan dunia di mata mertua. Ipar atau apapun. Percayalah mereka juga korban.

Saat aku memiliki anak, aku baru sadar bahwa dunia itu bernama patriarki. Budaya patriarki. Yang menurun dan menurun atas nama, “Ujar urang bahari” 

Membuat perempuan yang dirancang untuk menjadi Alpha women sepertiku menjadi terguncang. Bingung apa prioritas yang sebenarnya. Guncangan demikianlah yang membuatku sempat terpuruk, tidak bersemangat lagi, kehilangan diri sendiri, lupa potensi diri karena terlalu fokus menjadi sempurna dan melayani.

Thats patriarki. Dunia yang menginjak perempuan atas nama kesempurnaan dan penilaian pada material semata.

Setelah lelah menjadi sempurna dan lelah dalam melayani keluarga sedemikian. Tahukah kalian apa yang dilakukan lingkungan patriarki lagi padaku?

Mereka menginjakku atas nama karena tidak berpenghasilan. Atas nama terlihat tak keren karena tidak bekerja. Saat itu, aku yang sudah susah payah menerima status IRT.. kembali mempertanyakan pada diri sendiri..

“Selain sempurna pada suami dan anak, selain sempurna pada memasak, membersihkan dan merapikan rumah, haruskan aku juga bekerja dan menghasilkan uang?”

Bagiku: Berdaya Dulu, Money Will Follow

Dunia selalu memiliki titik balik. Patriarki adalah titik balik hidupku.

Kalian yang baru saja mengecap hidup berumah tangga. Ingatlah pesanku ini. Seburuk apapun lingkunganmu, hal yang perlu kau perbaiki dalam rumah tangga hanyalah 2 hal.

Kamu dan pasanganmu.

Cukupilah menangis. Kesal pada setiap pendapat dunia patriarki terhadap dirimu. Yang perlu kamu bangun adalah dirimu dan pasanganmu. 

“Bagaimana jika pasangan saya seperti Ken? Ingin mendominasi. Ingin memimpin dan tak suka dicela?”

Say.. Alhamdulillah.

Itu artinya pasanganmu memiliki karakter leadership. Punya karakter koleris. Punya energi maskulin yang dominan yang bisa membawa bahtera rumah tanggamu kearah yang lebih baik. Syukuri dulu, bahwa kita memiliki pasangan yang berkarakter kuat. Energi maskulin yang dominan pada seorang laki-laki itu sangat amat dibutuhkan.

Aku percaya, bahwa keindahan karakter perempuan bukan dinilai dari fisiknya, apa-apa yang ia raih, seberapa bagus rumah atau seberapa tinggi level skillnya. Indahnya karakter perempuan adalah ketika ia berdaya. Ia senang mengerjakan apa yang ia senangi. Meskipun itu tak terlihat wujud nyata nilainya.

Apakah kalian mengerti apa maksudku?

Simak sebentar mikroblog yang pernah aku tulis diinstagramku.

https://www.instagram.com/p/CYDlbGWpovE/

Dulu.. Banyak yang mempertanyakan tentang status IRT yang aku miliki. Tak mandiri finansial katanya, tak ini.. Tak itu..

Tapi ketika keluargaku dimampiri oleh kesuksesan dalam hal material. Mereka mengabaikan peranku disana. Dibalik kesuksesan seorang suami, ada perempuan yang mulai mencoba berdaya disana. Perempuan yang selalu mendukung apapun yang dilakukan oleh suaminya. Mendukung mimpinya lewat keberdayaan dirinya.

Yang dilihat orang: Istrinya tidak bekerja, suaminya sukses. Beruntung sekali istrinya. Patriarki mengabaikan peran wanita yang mendukung secara non material di dalam keluarga.

Yang tidak dilihat orang: Istri sempat depresi – berusaha sempurna – mengumpulkan kembali serpihan diri – berdaya kembali – membuat suami bersemangat – istri senang -suami senang – anak senang – money will follow

Pentingnya Perempuan Memiliki Feminine Energy yang Dominan

Apakah kalian tau tentang konsep Law of Polarity. Tentang Kebalikan yang seimbang didunia ini.

Pertama mendengarnya, adalah saat aku memfollow akun instagram @tresnany. Meski memang aku tidak join pada kelas belajarnya bahkan jujur membeli ebooknya pun belum. Tapi dari konten-kontennya yang berbau tentang maskuline-feminine energy.. Aku akhirnya paham dan bersyukur.

Langkah yang aku ambil selama ini sudah benar.

Lahir dari seorang Alpha Women, yang menjejali prinsip bahwa perempuan harus mandiri finansial namun ternyata nasib membawaku pada hal yang 180 derajat berbeda. Kupikir awalnya, aku tersesat. Tidak bermakna, tidak berharga.

Ternyata ada hikmah dibalik itu semua. Andai saja aku sekarang menjadi Alpha Women, membiarkan energi maskulinku dominan_seperti halnya mamaku dalam keluarga.. Mungkin saja suamiku tidak akan sesukses sekarang. Mungkin cerita keluarga kami akan berbeda 180 derajat pula.

Aku membayangkan andai sekarang aku mengikuti jejak mama. Bukan hal yang tak mungkin aku bisa memandang remeh pada nafkah yang diberikan suamiku. Membiayai segala pengeluaran keluarga tanpa permintaan tolong didalamnya. Melakukan apa-apa sendiri hingga merasa suamiku tak berperan apapun. Masa laluku_bisa membentuk aku yang demikian jika saja Allah tidak mengubah jalan hidupku. 

Flash back dan merenungi jalan hidupku 10 tahun belakangan. Aku bersyukur bisa meredam energy maskulinku yang tumbuh selama 20 tahun. Thats why banyak lelaki yang tak suka saat aku terlihat pintar di sekolah dan mencela mereka. Aku sedikit mendominasi. Belakangan, aku mengakui hal itu. Beruntung Allah meredam energi itu lewat pernikahan. 10 tahun lamanya, Allah memupuk energy fiminineku untuk bisa tumbuh dengan baik. Lewat Depresi-Penolakan, berkenalan dengan patriarki, menghadapi pilihan berdaya di rumah atau bekerja diluar dengan harga material yang tentu berbeda.

Ku tatap nanar sekelilingku. Mereka yang mengambil langkah berbeda. Merasa sukses namun sebenarnya energi maskulinnya telah dominan dan mengambil alih keseimbangan rumah tangga. Mereka menyebut diri sendiri sebagai Alpha Women. Tapi tahukah bahwa seorang Alpha Man tak pernah benar-benar suka dengan Alpha Women. 

Jika kalian menikahi seorang Alpha Man sepertiku, percayalah bahwa memiliki feminine energy yang dominan adalah pilihan terbaik untuk kesuksesan dan keutuhan rumah tangga.

Karena Perempuan Bukan Tentang Umur, Bukan Tentang Penampilan Menarik, Perempuan Lebih Dari Itu

Membaca kembali konten yang sempat trend kemarin. Aku baru ingat loh bahwa aku pernah menulis konten serupa. Yang mungkin sedikit memercikkan jawabannya untuk konten di awal blog ini. Jujur, kontenku itu juga terinspirasi dari komentar seseorang dan 2 drakor yang pernah aku tonton.

https://www.instagram.com/p/CsFWxoFv-wP/

Dalam konten itu, aku menuliskan sebuah kesimpulan ‘tersirat’ bahwa sebenarnya.. Perempuan punya peluang lebih dari sekedar bekerja saat mereka ON. Bagaimana mengaktifkan tombol ON? Berdaya. Berdaya.

Tak melulu tentang uang, carilah sesuatu hal menyenangkan untuk dikerjakan. 

Bagaimana jika butuh uang dan hal yang menyenangkan tak menghasilkan uang?

Percayalah. I’ve been there kok.

Banyak jurus yang bisa kita coba terus dan terus saat ekonomi menghimpit. Mulai dari jurus menghemat pengeluaran, mencoba frugal living, menekan gaya hidup, fokus pada kebutuhan urgent dan apa yang kita sukai. Dan terpenting lagi, bangun kerja sama terbaik dengan suami. Plus yang tak kalah penting. Berdoa.

Terkadang, Allah tak langsung mengabulkan doa kita begitu saja. Allah akan menjawab doa kita dengan cara yang indah. Contoh yang aku dapatkan adalah saat aku menemukan komunitas penghubung hobiku. Dalam hal lain, Allah juga pertemukan aku dengan circle yang senasib agar law of relativity dalam hidupku bisa terkoneksi. Allah juga menggangkat semangatku lewat beberapa pencapaian yang yah.. jujur tidak terlihat juga ‘materialnya’. Dan terakhir, Allah juga berbicara lewat anak-anakku. Allah salurkan tabung-tabung bahagia lewat suka duka mengasuh mereka. Dari sekian banyak hal yang aku lalui dalam hidupku. Allah uji lagi hatiku lewat ekonomi, lewat pasangan, lewat keluarga. Itu cobaan tersulit yang aku alami. Tapi ketika itu terlewati, semua indah pada waktunya.

Kalau diperhatikan, sekarang umurku memang semakin menua. 33 tahun. Bagi yang lain, itu masih sebuah kesempatan untuk melamar PNS. Tapi di umur ini, pekerjaan datang sendiri kepadaku. Dari hal-hal receh yang bersifat non-material itu. 

Kalau diperhatikan, sekarang aku mungkin tak semenarik para perempuan yang umurnya belasan dan 20an.. Tapi jujur, aku sangat bersyukur di titik umurku ini.. Justru rasa percaya diri baru saja muncul. Dulu, saat umurku belasan dan 20an.. Aku minder sekali. Apalagi sejak belajar hijrah memakai kerudung. Duh, jujur kepercayaan diri itu sempat amblas. Karena sampai sekarang pun, aku lebih menyukai diriku yang tampil non kerudung. Tapi peduli apa? Menarik atau tidak.. Sejauh percaya diri ada, itu sudah luar biasa.

Setiap hari aku menyempatkan diri workout. Aku juga take setiap video workout. Hal ini tak pernah aku publish publik di sosial media. Tapi aku senang melihat diriku yang berproses. Entah kenapa setiap melihat ulang video itu, aku merasa lebih percaya diri, lebih segar, lebih bahagia.

Diumur yang semakin tua ini aku menyadari bahwa perempuan itu ternyata punya sisi luar biasa begini. Terlepas dari berapa umurnya, menarik atau tidak, kompeten atau tidak dll.

Dalam hidup ini, ada kalanya kita akan kehilangan 3 hal itu. Tua, jelek, dan mulai tidak kompeten. Lantas apa yang bisa membahagiakan kita saat kehilangan itu?

Tabung kenangan rasa, mindfulness pada kemanapun takdir membawa kita. 

Itu sulit. Penuh tangis. Sungguh.

Tapi perempuan.. Juga punya kemampuan luar biasa. 

Tentang Beropini di Sosial Media, Apakah Bisa Setransparan Mungkin?

Tentang Beropini di Sosial Media, Apakah Bisa Setransparan Mungkin?

Jujur, sudah sekitar 2 bulan ini aku tidak terlalu memantau sosial media. Aku katakan ‘tidak terlalu’ bukan berarti lepas sepenuhnya. Hanya saja, aku hanya memprioritaskan untuk melihat apa yang ingin aku lihat. Teman-teman dekatku saja misalnya. Atau akun instagram yang menghibur saja contohnya.

Aku memang bukan tipe orang yang suka melihat tiktok. Karena reels di instagram sudah amat mewakili konten yang aku butuhkan untuk keseharianku. Aku juga tidak terlalu memantau twitter. Capek melihatnya. Itu aku. Mungkin karena kebutuhanku sekarang juga sudah berbeda dengan aku yang dulu.

Namun, ada satu sosial media lagi yang kadang iseng aku buka. Berandanya muncul secara abstrak. Kadang teman dekat bisa muncul, kadang juga tidak. Entah kenapa hari itu aku melihat salah seorang temanku (yang juga sebenarnya tidak terlalu dekat) me-share status facebook orang ini (yang nama akunnya tak ikut aku screenshot)

Baca dulu, dan aku yakin kalau yang membaca teman bloggerku, mindset dalam memahami sebuah opini pun bisa lebih bijak. Ya kan?

Ini Sosmedku, Bukan Sosmed Kalian

Hal pertama yang aku lakukan setelah membaca status itu adalah kepo pada komentar-komentarnya. Pikiranku sibuk mengkalkulasi opini. Mana yang lebih banyak? Yang julid atau yang memiliki pemikiran serupa?

Ada 200++ akun facebook yang bereaksi dengan tertawa. Namun, ada ratusan pula yang bereaksi dengan love. Selebihnya adalah reaksi suka dan komentar pro dan kontra. Kalau aku kalkulasikan secara abstrak berdasarkan ‘sekali lihat’. Status Ibu ini memiliki pro kontra yang seimbang. Sebagian menyukainya, sebagian lagi menertawai mindset dan mengkritik status ibu ini.

Kepo, aku pun mengklik akun Ibu tersebut. Dan mendapati beberapa statusnya memiliki jumlah like yang lumayan ‘banyak’. Serta ribuan follower. Itu artinya, Jauh hari si Ibu sudah membangun branding sebagai seorang ibu pembisnis yang cukup frugal living dalam hidupnya. Selama itu pula banyak akun yang memfollow dan menyukai statusnya.

Pertanyaan berikutnya, apakah salah menyinggung dan menyindir konsumen dan pembisnis setarbuk pada sosmed pribadi? 

Mungkin beberapa temanku akan menjawab tidak salah. Karena ini sosmedku, bukan sosmed kalian. Jika ingin beropini kontra, buatlah status sendiri. Bukan menumpang pada ‘rumah orang lain’. Beberapa temanku yang lain mungkin juga akan menjawab bahwa itu salah. Karena saat kita membuat status dan menyindir pihak lain, maka itu sudah termasuk dalam hal yang tidak baik dilakukan. 

Bagaimana denganku? Apakah aku berada pada pihak yang pro atau kontra?

Setiap Orang Pernah Terpeleset di Sosial Medianya Sendiri

Jujur, aku tak bisa pro. Tak bisa pula kontra. Mungkin karena duniaku sekarang bukan lagi duniaku yang dulu.

Dulu, jujur aku memiliki mindset yang mirip sekali dengan ibu ini. Aku sering membuat status di WA tentang masakanku dan berapa modal untuk membuatnya. Mungkin itu bisa menginspirasi pikirku. Tapi pada suatu hari, aku juga pernah mengkritik betapa mahalnya makan di restoran A, B, C. Padahal rasanya ‘Beh’ aja. “Ah, hidup itu memang tentang memilih lifestyle agar bisa maju..” Pikirku.

Aku juga pernah mengkritisi tindakan manusia yang suka mengoleksi barang-barang ‘itu-itu saja’ dengan harga yang tidak masuk akal. Pada mindsetku saat itu, kenapa harus beli barang yang mahal dengan kualitas yang mirip saja dengan barang yang standar harganya. Kan kita sebagai konsumen harus bijak dan hemat.

Pada status-status yang pernah aku lontarkan. Ada beberapa yang terinspirasi. Kebanyakan dari mereka yang memiliki ekonomi menengah hingga menengah kebawah. Aku senang, statusku bisa membuat perekonomian mereka berjalan lebih bijak. Dari situ, aku pernah dalam fase semakin semangat mengunggah ‘cara hemat’ dalam hidupku.

Tapi disisi lain, ternyata statusku itu merupakan kata-kata yang menyakitkan bagi mereka yang memiliki ekonomi keatas. Atau mereka yang memiliki ekonomi sama sepertiku namun ingin memprioritaskan hal yang berbeda.

Dari situ aku sadar, bahwa keangkuhan dan perasaan ‘paling benar’ yang aku miliki membuatku terpeleset di sosial media. Fenomena terpeleset di sosial media ini pun jujur tak hanya 1 sampai 2 kali aku alami. Sering. Namun, apakah aku menjadi jera membuka sosial media?

No. Karena sosial media membuatku banyak belajar. Hanya saja, aku mulai mengurangi itensitas untuk membuat status di ruang yang lebih publik. Aku menyadari, saat membuat tulisan atau apapun itu.. Ada banyak kepala yang menyimaknya dalam cara yang berbeda.

Algoritma Pengumpul Circle

Aku anaknya ‘baperan’. Jujur, baperan banget. Saat beberapa kali terpeleset di sosial media. Aku akan mengobati luka terpeleset itu dengan durasi yang ‘sangat lama’. Dulu, aku memulai sosial mediaku dengan masakan dan frugal living. Saat terpeleset. Aku off lama di sosial media. Lantas saat memulai lagi, aku muncul dengan diri yang berbeda. Tak lagi sering membahas cara hemat dalam hidup. Namun lebih sering memposting tentang parenting. Karya anak-anakku dll. Bagiku, its a new start.. Namun aku tidak sadar, bahwa saat itu pula, algoritma sosial mediaku pun berubah. Aku kehilangan view oleh orang-orang yang dulu menantikan cara dan tips hematku. Tapi aku memiliki follower baru yang memperhatikan cara parentingku.

Dalam membuat konten parenting pun aku pernah terpeleset dalam mom shaming. Tanpa sadar aku jadi sering menyindir mereka yang masih menganut patriarki garis keras. Banyak yang menyukai pembelaanku dan insight feminis yang mulai aku koarkan. Ada masanya, aku merasa benci sekali dengan orang-orang yang memaksa para ibu untuk serba sempurna. Namun, rasa-rasa demikian tak aku teruskan lagi. Karena aku tau, aku sedang terpeleset dan mulai melakukan hal tidak baik. Aku off lagi membuat konten demikian. Banyak merenung. Banyak koreksi diri,

Aku sadar, ‘rasa lebih baik dari pada orang lain’ itu toxic sekali. Karena itu, sosial mediaku belakangan menjadi sosial media yang ‘damai’. Aku hanya berani ‘bersuara’ lewat review drama korea. Berani menampilkan diri yang sekarang lewat job endorse produk. Sesekali curhat, namun itu pun di edit berkali-kali dan durasinya menjadi sebulan sekali. Sesekali aku lebih fokus untuk belajar. Belajar hal baru dan baru lagi. Algoritmaku pun mulai bingung menentukan prioritas karena begitu banyak hal yang aku pelajari belakangan ini

Belajar Investasi. Lalu muncullah berbagai akun reksadana dan saham yang bagus.

Belajar membuat konten perusahaan. Lalu muncullah berbagai akun edukasi membuat konten dll.

Lalu, apa hubungannya heading kali ini dengan tulisan ibu-ibu diawal tadi?

Jujur, aku SALUT dengan akun ibu-ibu itu. Aku melakukan scroll dan scroll atas akunnya. Aku mendapatkan ilmu baru. Bahwa sejelek apapun tulisan atau konten yang kamu buat… KONSISTEN IS KOENTJI.

Kalau boleh beropini, tulisan ibu-ibu tersebut enggak begitu aku sukai. Karena banyak yang berbau ‘yang aku lakukan ini lebih baik lo dibanding kalian’. Namun, karena Ibu-ibu ini konsisten dalam mempromosikan mindsetnya. Maka follower yang ‘satu mindset’ pun berdatangan secara konsisten. Karena itulah, meski ada satu tulisan yang ‘jelek’ dimata sebagian orang. Masih banyak yang menyukai tulisan mode demikian. 

Aku belajar banyak dari Ibu ini bahwa untuk membangun personal branding, janganlah menjadi orang yang ‘baperan’. Sedikit-sedikit tersinggung. Off lama. Dan tak konsisten. Membuat algoritma sosial media pun bingung memandang kita sebagai ‘orang yang suka apa sih?’

Aku memperhatikan kolom komentar yang mengkritik tulisan ibu diatas. Tak ada satupun hate comment yang dibalas. Namun, hate comment tersebut juga tidak dihapus. Bagaimanapun mindset si Ibu. Dia punya batas dan pagar sendiri dalam menanggapi orang lain. Ia hanya fokus pada komentar yang bagus dan tetap fokus membangun dirinya apa adanya.

Damage Tulisan vs Lisan yang Berbeda

Sadarkah bahwa.. tulisan Ibu dalam statusnya tersebut sebenarnya mungkin sering kita dengarkan. Jujur, orang-orang disekitarku sering loh berbicara tentang hal demikian.

“Makan di rumah makan A, mahal banget. Padahal makanannya gak enak. Heran banyak orang kesana. Duitnya berapa banyak. Tapi aku sekarang duitnya banyak juga gak mau kesana.. Mending buat..bla bla”

Saat mendengar kata-kata demikian, kita sih ‘Beh’ aja. Bahkan mungkin bisa memaklumi meski itu terasa salah. Kenapa? Karena menyindir secara lisan dibanding menyindir melalui tulisan di sosial media.. damagenya memang berbeda. 

Dan berikut alasannya:

Pertama, karena saat berbicara secara lisan. Kita lebih tau dengan lawan bicara kita sendiri. Lawan bicara kita yang memiliki latar belakang sama dengan kita dan memiliki pola pikir ekonomi yang sama, cenderung merasakan hal serupa. Lawan bicara yang tak memiliki latar belakang dan ekonomi yang sama namun lebih memahami kita pun bisa ‘maklum’ karena dalam pikirannya.. ya setiap orang berbeda bukan. 

Kedua, karena saat berbicara secara lisan.. Lawan bicara kita bisa merasakan emosi yang terkandung dalam mimik dan nada bicara. Bercanda kah. Atau ingin merasa diakui kah… sehingga prasangka negatif lebih nyaman ditepis dibanding secara tulisan.

Ya, entah kenapa dengan maraknya sosial media. Manusia sekarang kebanyakan lebih suka mengekspresikan apapun di sosial media dibanding secara lisan. Padahal, lisan adalah penyaring pertama yang low risk. Karena sifatnya lebih privasi. Bukan publik.

Tapi kembali lagi, jika orang tak pernah terpeleset secara publik. Ia tak pernah tau dimana letak kesalahannya karena privasi satu circle cenderung meloloskan kesalahan. Jika kita tak pernah punya keberanian mengungkapkan diri pada publik. Tak akan ada follower satu value yang didapatkan, tak ada kesempatan untuk koreksi diri. 

Diluar sana, banyak orang-orang yang memiliki pemikiran sama dengan kita. Sosial media, algoritma yang mengumpulkan circle serupa menjawab itu semua agar dibenarkan, agar diakui. 

Sosial media, adalah pisau bermata dua. Yang jika digunakan dengan bijak akan mendatangkan banyak rejeki dan manfaat. Namun, jika digunakan dengan kebablasan. Akan mendatangkan banyak kritik yang menguji apa yang sudah kita yakini selama ini.

Kembali lagi, siapkah kita menerima risiko dan memperbaiki diri saat terpeleset di sosial media? Karena sebenarnya.. setiap opini yang tak bagus-bagus amat pun..memiliki pasarnya masing-masing. Seperti contoh kasus ibu tsb.

Pertanyaan terakhirku.. Saat sadar bahwa opini kita dikritik.. mana yang lebih dipilih.. ?

Memperbaiki diri dan membangun circle baru?

Atau mempertahankan branding personal apa adanya?

Andai Sampai Sekarang Aku Belum Menjadi Ibu

Andai Sampai Sekarang Aku Belum Menjadi Ibu

Pernahkah dalam fase menjadi Ibu.. kalian merasa ingin diam dan merenung sebentar? Merasa lelah sejenak lantas mengingat moment-moment sepuluh atau belasan tahun yang lalu. Mengingat bedanya kita yang dulu, dan kita yang sekarang.

Moment demikian rasanya ingin berlanjut kita khayalkan. Kala melihat pencapaian teman-teman seumur kita. Yang mungkin masih single atau mungkin sudah menikah namun belum memiliki anak. Ada yang sudah menggapai mimpinya. Ada pula yang terus haus menimba strata ilmu. Ah, rasanya.. Jika melihat itu semua.. Kenapa jalan seorang Ibu terasa lambat sekali.

Rasanya seperti lari di tempat. Meski badan merasakan lelahnya. Kalori terbakar. Bodygoals. Namun tak satu pun yang melihat dan menghargai hasilnya.

Ya, pertanyaannya sekarang.. Kenapa sejak menjadi Ibu.. Lelah itu tak terlihat hasilnya? Lalu, andaikah sampai sekarang aku belum menjadi Ibu.. Hasil itu akan terasa berbeda?

Mari sejenak mengkhayal..

Andai Setelah Lulus Kuliah Tidak Langsung Menikah

Dulu, setelah keluarga pacarku datang ke rumah. Aku kira hubungan selanjutnya hanya bergerak ke arah yang ‘lebih serius’. Aku tak paham, bahwa ‘ketika orang tua sudah berbicara serius’ artinya tahap pernikahan semakin dekat. How Childish I am.. Yang menyangka hubungan itu hanya sekedar perekat. Nyatanya kedua belah pihak sepakat untuk mempercepat hari pernikahan. Seperti sedang terjadi sesuatu saja. Jujurly, banyak orang disekitarku bergosip tentang ini bahkan hingga Farisha lahir. Padahal, ya gak tau aja kalau aku sendiri masih berpikir menikah adalah langkah yang terlalu dini saat itu.

Aku sering berandai.. Bagaimana jika hari itu aku berbicara lantang dengan nada yang berbeda. Tegas memutuskan kuliah lagi misalnya. Atau tegas bilang aku butuh waktu lebih. Aku memang tak bisa menjamin hubunganku dan pacarku akan terus baik-baik saja jika berkata demikian. Tapi, kadang aku sedikit pede jika mengingat kala itu.. Laki-laki yang suka denganku tak hanya pacarku saja. Mati satu tumbuh yang lain. Pikirku begitu pede.

Apa jadinya aku jika hari itu aku mengambil keputusan berbeda. Apakah orang tuaku acc untuk menguliahkanku lagi. Atau mereka mencak-mencak mengomeliku karena menolak pernikahan lantas membiarkanku begitu saja. Menyuram-nyuramkan langkah hidupku dll. Jujur, ketakutan beginilah yang membuatku takut menolak dahulu. Karena dahulu, keberanianku tak sekuat hari ini.

Ya, aku mengaku.. Sejak menjadi ibu.. Ada kekuatan sendiri yang lahir begitu saja. Dulu, aku tak setegas ini. Dulu.. Aku tak punya keyakinan. Langkahku dibayangi keragu-raguan. Dan entah kenapa rasanya menjadi penurut adalah satu-satunya jalan keluar. Aku sadar, sebelum menjadi ibu.. Aku bahkan tak percaya diri. Tak yakin dengan jalan yang aku pilih sendiri.

Sumber Kekuatanku Muncul Ketika Menjadi Ibu

Jujur, jika sampai sekarang aku belum menjadi ibu. Jika dulu aku memutuskan langkah yang berbeda, mungkin hidupku tak akan seperti sekarang. 

Sebelum menjadi ibu, aku pengecut. Terlalu penurut. Tak punya pendirian. Tak yakin dengan tujuan sendiri. Tapi setelah menjadi ibu, ya.. Awalnya aku seakan menjadi semakin pengecut, semakin penurut, semakin terbawa arus dengan pendapat orang lain. Membuatku berakhir menjadi ibu yang ingin serba sempurna dan anti kritik. 

But time flies. Aku yang sekarang berubah menjadi sedikit lebih berani, mulai berani berpendapat, memiliki keinginanku sendiri, punya tujuan yang jelas. Sumber kekuatanku adalah keluargaku. Anak yang aku lahirkan. Tanpa mereka, entah sudah jadi apa aku sekarang. 

Aku tak bisa mengkhayal. Berandai-andai bahwa aku bisa sukses dan punya banyak impian yang tercapai sekarang. Dengan berdiri sendirian. Khayalan itu kosong. Tak berarti. Andai sampai sekarang aku belum menjadi ibu.. Ada bagian-bagian penting yang mungkin rapuh. 

Karena sejatinya.. Akulah yang memilih jalan itu. 

Aku yang merasa meaningless saat sendirian dan kesepian. Aku yang membutuhkan arah tujuan dari orang lain untuk menyemangati hidupku. Dan dari membersamai suami. Dari membersamai anak-anakku.. Aku jadi tau, apa tujuan hidupku sendiri.

Akulah yang telah memilih menjadi Ibu diusiaku yang masih terbilang muda dan ‘tidak siap’

Aku, bisa saja menyesal. Berkata ini dan itu.

Tapi Allah, punya rencana berbeda. Dan jalan yang dipilihkan Allah adalah jalan terbaik. 

Yang Berperang Kala PMS: Hati atau Pikiran?

Yang Berperang Kala PMS: Hati atau Pikiran?

Hari ini, jujur aku hanya ingin mengisi blog ini dengan curahan semata. Bukan curhat. Tapi lebih dalam mempertanyakan kepada diri sendiri, kenapa sering sekali kejadian menyedihkan mengulang memorinya dikala PMS melanda? *PMS (Premenstrual Syndrome) mood swing parah kala 3 hari sebelum menstruasi.

Contohnya hari ini. Jauh sebelum subuh hari aku sudah bangun dan meminta agar hatiku dijaga oleh Allah. Tapi kemudian, antara keheningan pagi itu. Kembali lagi dan lagi kepalaku dihantui oleh rasa keinginan sempurna. Alih-alih merenung lebih dalam dan memperbanyak curhat pada Allah. Aku lebih memilih menghabiskan waktuku untuk membersihkan rumah. Selama membersihkan rumah, banyak kenangan buruk yang singgah di kepala dan membuatku meneteskan air mata sambil bekerja. Sedih sekali rasanya pagi itu. Sedih dan tak bisa diungkapkan dengan kata, tak ada kejadian buruk dalam durasi pendek. Aku hanya mengingat kenangan lama yang tak kunjung membaik. Hanya air mata tak berhenti mengalir. Dan bingung pula bagaimana cara mengungkapkannya pada pasangan. Takut hal yang keluar tak benar. Takut ini dan itu.

Hati dan Pikiran

Seminggu yang lalu aku menonton channel Ade Rai tentang meditasi. Pada channel itu, Ade menjelaskan lebih dalam tentang apa itu meditasi dan tingkatannya. Aku jadi merasa related sekali tentang kenapa meditasi itu luar biasa susah dilakukan. Susah sekali. Jika dibandingkan workout, meditasi yang benar-benar sampai pada fase hening dan mindfullness itu sulit.

Itulah kenapa, aku memutuskan hanya bermeditasi dikala hati sedang tenang. Justru makin sulit dilakukan kala hati sedang resah karena gangguannya banyak sekali. Saat hati resah, mengaji dengan nyaring adalah obat. Sebenarnya ada yang lain.. sih.. Curhat misalnya, tapi aku SANGAT JERA melakukannya. Meditasi tidak bisa menyembuhkan, karena dikala diam dan merenung lantas berusaha menerima ada hal lain yang mengganggu. Entah itu pikiran logika. Entah itu hati. Keduanya merasa ingin dimenangkan. Huft.

Meditasi just like charging our chakra. Workout just like charging our energy. – Quote yang aku ciptakan terinspirasi dari Naruto dan mengenal meditasi.

Itulah kenapa Ninjutsu lebih sulit diterapkan dibanding Taijutsu. Karena sebelum ‘charging our chakra’.. Kita harus mengenali hati dan pikiran kita. Apa sebenarnya yang ingin kita kendalikan? Apa identity kita? Apa elemen dominan dalam diri kita?

Kalau kata Mas Ade Rai, kita itu bukan pikiran kita. Kita juga bukan hati. Kita itu lebih dari itu.

So What? Mungkin itulah inti dalam dalam ‘manusia sebenarnya’. Kita adalah Sang Pengendali. Pengendali unik dari hati dan pikiran unik yang Allah ciptakan secara spesial pada diri kita.

Masalahnya, untuk sampai pada level Sang Pengendali, kita justru harus memeluk hati dan pikiran kita sendiri. Tau gak? Bagi aku itu level tersulit. Pikiranku berontak ingin menjelaskan kebenaran versiku yang tak pernah kunjung bisa keluar dengan benar. Hatiku? Merasakan dampak buruk dari pikiranku yang terpendam. Menangis tak jelas, marah tak jelas, satu saja pencetusnya… Pikiran akan mengeluarkan hal-hal terpendam yang selama ini ia sembunyikan. Parahnya, pikiran saat PMS hanya mengeluarkan hal buruk terlebih dahulu. Sementara hati tak bisa mengontrolnya karena emosi didalamnya pun didominasi oleh Sadness and Angry.

Antara Logika dan Emosi

Sampai sekarang, aku termasuk salah satu manusia yang sering bingung kenapa Laki-laki dan Perempuan itu diciptakan untuk hidup berdampingan. Please, dont get me wrong. Maksudku adalah dari sekian banyak hal indah. Ada satu hal yang membuat laki-laki dan perempuan itu rentan sekali berkonflik. Satu hal itu adalah perbedaan pola pikir. Laki-laki dominan pada logika-otak kiri. Sementara perempuan dominan pada emosi-otak kanan.

Jangan tanya sudah berapa konflik yang tercipta karena perbedaan ini. Banyak. Banyak sekali.

Bukankah banyak pasutri yang berkonflik diluar sana dimulai dari perbedaan ini.

Tau gak? Keduanya… saat ditemui dan berkonsultasi pada psikolog. Selalu merasa dipihak yang ‘benar’. Suami contohnya, merasa tindakannya tak pernah salah ketika tidak paham dengan kesibukan istri di rumah. Alasannya begini, “Kenapa tidak minta tolong langsung?”

Contohnya lagi, laki-laki kerap marah ketika istri mengeluarkan emosi dominan, menangis tak jelas dll. Inginnya adalah perempuan harus bisa berkomunikasi dengan baik menggunakan pikirannya tanpa perlu menangis bombay. “Kenapa drama sekali?” -Perkataan yang kerap ditanyakan laki-laki ketika berkonflik

Sebaliknya istri.. Juga selalu merasa pada pihak yang benar. Merasa tindakannya tak pernah salah ketika tidak ngomong ‘minta tolong’ di rumah. Alasannya begini, “Pernah dimintai tolong tapi responnya tak baik. Dan akhirnya jera”

Alasan lainnya, “Harusnya paham-paham sendiri lah. Bla bla”

Contohnya lagi, perempuan kerap marah ketika suami mengeluarkan pikiran dominan tanpa disertai dengan emosi dan reframing dalam berkomunikasi. Inginnya lelaki..  semua langkah hanya berdasarkan logika dan tak mempedulikan perasaan. “Kenapa tak bisa mengerti aku?” – Perkataan yang kerap ditanyakan perempuan ketika berkonflik.

Perbedaan demikian kerap terjadi tak hanya dalam berkonflik.Tapi juga dalam kehidupan receh sehari-hari. Saat nonton film bersama misalnya. Laki-laki cenderung akan mempercepat ketika adegan menangis atau konflik bicara yang mengemukakan emosi. Thats why, laki-laki benci dengan drama korea yang biasanya bagus sekali dalam menggambarkan emosi. Sebaliknya, perempuan justru tidak suka dengan adegan action yang begitu lama dan berputar-putar. Drama sekali pikirnya. Kenapa tidak dipercepat saja. To the point saja. Siapa yang menang dan siapa yang kalah?

Pertanyaannya. Siapa yang benar? Antara laki-laki dan perempuan? Laki-laki dengan otak dominan logika atau perempuan yang dominan dengan emosi? Sang Otak kiri atau Kanan?

Tak ada yang benar. Keduanya salah karena tak bisa memahami yang lain.

Beberapa orang berkata bahwa laki-laki lebih nyaman dalam bermeditasi. Aku tak bisa sepenuhnya ‘membenarkan’ hal itu. Bisa saja saat bermeditasi yang keluar dalam otak laki-laki hanya logika saja. Ia ahli dalam hal ini: mengebelakangkan emosi. Laki-laki ahli dalam hal itu karena begitulah ia tercipta.

Karena itu, konten dalam Ade Rai tsb dijelaskan bahwa level 1 dalam meditasi sebenarnya terletak pada Etika Sosial. Etika Sosial dalam hal ini bukan logika atau pikiran realistis. Tapi tentang ‘memahami yang lain’.

Sudahkah kita memahami satu sama lain?

Memahami Mood Swing pada Diri Sendiri

Beberapa hari yang lalu, aku mengambil kelas pengasuhan remaja yang dikelola oleh Rangkul Banjarmasin. Pada kelas itu, aku memahami bahwa mood swingku pertama kali muncul saat remaja. Kala itu, umurku 13 tahun. Aku tak paham kenapa setelah selesai berbicara dengan mama aku menangis tak jelas. Rasanya sakit sekali saat itu. Aku sering mengunci diri di kamar. Kadang merenung. Kadang menangis sendiri. Semua itu sering aku alami saat PMS. Tapi dulu, aku tidak tau kalau periode itu namanya adalah PMS. Aku hanya tau kalau perempuan itu lebih sensitif pada kata-kata yang kasar. Dan biasanya, beberapa hari setelah gangguan sensitif akan tiba saatnya menstruasi.

Belakangan, aku sering refleksi pada diri sendiri. Tentang hal apa yang paling sensitif bagi diriku. Aku sadar setiap kali PMS melanda, kenangan yang berputar dipikiran tanpa di ‘play’ itu adalah kenangan tentang perasaan disalahkan, perasaan tidak dianggap becus dll. Sejak remaja pun kenangan demikian sering berputar sendiri tanpa di ‘play’. Perasaan dibedakan. Perasaan dianggap sebelah mata.

Karena itu aku mencoba menyembuhkan rasa-rasa demikian dengan membersihkan rumah. Kadang, saat melihat rumah yang kotor dan kemudian bersih.. Aku merasa seakan sedang menyikat hati kotorku sendiri. Itulah kenapa saat kenangan itu datang, aku tak bisa berlama-lama curhat pada Allah. Alih-alih berkomunikasi dengan hati, aku lebih plong saat melakukan yang terbaik yang bisa aku lakukan di pagi hari. Aku tau itu salah. Tapi itu yang paling membantu saat PMS melanda. Sama halnya dengan melakukan pilihan antara meditasi atau workout… Aku merasa lebih nyaman melakukan workout. Karena prosesnya terlihat nyata. Bukan tak terlihat.

Kurasa peerku masih jauh sekali. Aku masih sering berfokus pada hasil nyata untuk membuatku bahagia. Aku masih sering terbayang kata-kata buruk dari orang lain. Aku masih menjadikan kata-kata itu sebagai bahan bakar untuk memotivasi diriku sendiri. 

Antara Hati dan Pikiran. Antara Logika dan Emosi.

Aku masih tak bisa untuk menjadi pengendali yang benar. Terlebih saat PMS. Karena kenangan itu berputar tanpa di play. Tak ada yang memintanya untuk Play sendiri. Tak ada yang meminta air mata untuk menangis sendiri. Tak ada yang meminta kemarahan untuk keluar di ending tangisan. Tapi itu nyata sering terjadi saat PMS melanda. Itu adalah siklus yang mungkin harus aku terima keberadaannya. Siklus menyebalkan sebagai seorang perempuan.

Menyebalkan tapi itulah yang harus diterima. Diterima bahkan oleh diriku sendiri.

Yang aku yakini lagi, mungkin ada alasan besar kenapa Allah menciptakan perempuan sedemikian. Lengkap dengan periode PMSnya. Secara biologis, mungkin fase PMS adalah bahan bakar agar proses menstruasi berjalan dengan baik. Secara psikologis, mungkin fase PMS adalah bahan bakar untuk refleksi diri. Refleksi pada kenangan menyakitkan. Refleksi untuk mencari jalan tengah pada sekian konflik yang mungkin tertunda ending baiknya.

Seni Menghapus Luka Pengasuhan

Seni Menghapus Luka Pengasuhan

Kemarin, aku membuat konten tentang pola asuh otoriter. Konten ini terinspirasi dari drakor The Good Bad Mother yang baru saja tamat kamis kemarin. Jujur, niatnya pengen jadi pembanding aja sih dengan konten tentang Ibu Permisif sebelumnya. Tapi makin kesini dan baca tulisan sendiri… kok agak mewek ya jadinya.. Huhu

Kenangan Pola Asuh Semi Otoriter

Sebelumnya, disclaimer dulu ya.. Tulisan kali ini bukan dibuat untuk mengupas dan menjelek-jelekkan pola asuh orang tuaku dahulu. Tapi, semata-mata dibuat untuk bisa saling berempati dan memaafkan. Aku sering banget bikin tulisan yang berbau curhat. Tapi kadang sedihnya itu, orang cuma baca sisi jeleknya tanpa mengupas tuntas inti dari tulisan aslinya. Dalam artian, gak membaca dengan hati. Hanya melihat sisi jelek, liatin heading yang biasanya gak mewakili..  opening dan closing yang sedikit.. Lantas mengadu ngadu kesana kemari,,, eh, ada yang begini? Ya ada. Kalau yang baca termasuk tipe begini. Mending closed tulisan ini. Dan no comment ya. Wkwk.. 

Uhuk, napa jadi baper gini ya aku.. Haha

Kembali ke cerita, dulu.. Jujur aku punya banyak kenangan baik dengan orang tuaku. Khususnya di masa kecil. Saat umurku masih berkisar hingga 6 tahun. Aku mengingat jelas bagaimana mama menyayangiku. Memeluk dan sering melakukan permainan ‘Ungga Ungga Apung’ setiap malam. Aku tau bahwa aku adalah anak yang dicintai dan sangat diharapkan kehadirannya. Anak perempuan yang dinantikan setelah kakak laki-lakiku. Mamaku saat itu, memiliki pola asuh yang permisif-demokratis. Menjadikanku Ratu namun tak semua inginku bisa tercapai. Tak masalah meski aku tumbuh sebagai perempuan yang mewarisi baju laki-laki kakakku. Aku bahagia. Sangat. Dan sampai sekarang aku masih mengingat rasa bahagia itu. Asal aku penurut, mama menyayangiku. Sesimple itu.

Tapi semua mulai berubah sejak aku beranjak sedikit lebih besar. Hingga kini aku masih mengingat begitu banyak aturan disiplin yang diterapkan mama padaku. Ketika kedisiplinan dilanggar, hukuman menanti. Entah kenapa saat itu, aku merasakan bahwa hukuman yang aku terima tak sekedar tentang hukuman mendidik. Namun sebuah pelampiasan. Keadaan berlanjut hingga aku punya adik kembar. Sebagai anak tengah, aku merasakan life crisis tingkat 1. Dimana aku harus mencontoh kakakku sebagai panutan disiplin. Disisi lain, aku juga kehilangan kasih sayang yang dulu sempat aku dapatkan ketika masih kecil. Kasih itu beralih sepenuhnya pada adik kembarku. Tiba saatnya mama mulai melakukan gerakan yang sedikit patriarkis dalam memberlakukan anak perempuan. Aku tau saat itu aku sudah besar dan tak boleh cengeng. Namun, rasanya benih-benih iri itu tumbuh begitu saja. Aku jadi kehilangan identitas diri. Bukan sebagai anak paling disayang. Bukan pula kakak yang bisa dibanggakan. Hanya anak tengah yang bingung harus berjalan ke arah mana ditengah identitas perempuan yang harus bisa ini dan itu. 

Apakah mama otoriter? Hingga sekarang aku menganggap pola asuh mama bukanlah otoriter seperti Ibu Kang Ho. Mama adalah sosok semi otoriter dimataku. Satu sisi, aku masih mengingat bagaimana sisi permisif dan demokratisnya mama saat aku masih kecil. Disisi lain, mama bisa mendadak berubah otoriter. Bahkan hingga aku dewasa, mama adalah tipe otoriter di mataku. Begitu banyak aturan, namun tanpa alasan jelas. Komunikasi satu arah dan ketika ingin mengemukakan pendapat, pendapat itu selalu dihakimi atas alasan simple. Hidup harus kuat, harus bisa survive.. Bla bla..

Kenangan demikian, membuatku sedikit baper ketika menonton drakor The Good Bad Mother. Mama mungkin tak mengatur cita-citaku layaknya Ibu Kang Ho. Namun mama mempengaruhi mindsetku dalam memilih cita-cita. Mama yang selalu menegaskan bahwa uang adalah segalanya. Aku yang dulu begitu respect dengan profesi guru, mulai berubah arah tujuan dalam bercita-cita. Tidak ada passion, tidak ada semangat dalam ilmu. Yang ada dalam pikiran hanyalah.. Apakah kelak aku bisa bekerja dan memperoleh banyak uang? Apakah kelak aku akan berada di strata sosial diatas saudaraku? 

Belajar Memahami Mindset Ibu Otoriter

Jujur, dalam 70% hidupku, rasanya semua diatur oleh Mama. Dari mindset, disiplin, hingga ya.. Jodoh.  Meski aku menikahi pacarku yang memang aku cintai. Tapi mama yang mengatur untuk cepat menikah. Sebuah langkah yang bertolak belakang dengan ‘meterialisme’ dan mengejar profesi. Aku sering bertanya, kenapa mama ingin aku cepat menikah? Bukannya mama pula yang sering berceramah padaku bahwa perempuan harus bekerja, mandiri finansial, bla bla.. Apakah menikah dini segera menjawab hal itu? Pikirku bingung. 

Mama hanya menjawabnya dengan jawaban simple. “Perempuan tuh harus cepat menikah. Beda dengan laki-laki.. Perempuan tuh nanti punya anak bla bla.. Nanti kalau gak nikah sekarang gak laku lagi.. Kapan lagi punya calon suami dosen… bla bla”

Sebuah saran yang bertolak belakang dengan Abah. Namun, di dalam rumah kami saat itu.. Pendapat mama lebih dominan. Abah justru berkata padaku, “Kamu tuh cantik. Gak nikah sekarang juga gakpapa.”

Trust me, jika abah berkata hal demikian di depan mama. Maka Abah akan mendapat ceramah besar tentang banyaknya anak perempuan yang tidak laku karena jual mahal bla bla.

Aku memilih lebih taat dengan mama karena alasan simple. I just wanna be a good girl again. Anak perempuan kecil yang dulu selalu dipuji karena melakukan hal kecil. Pikirku, dengan melakukan perintah mama maka mungkin aku akan menjadi anak yang disayangi lagi dan jauh dari aturan otoriter. 

Menikah-langsung memiliki anak-terpaksa berpindah pindah rumah dari rumah orang tua ke rumah mertua dll dsb.. Membuatku sadar bahwa menikah dan langsung menjadi Ibu adalah level terberat dalam hidupku. Ditambah ternyata, Sang Ibu Semi Otoriter mulai membawa-bawa harapan untuk menyuruhku bisa mandiri finansial. Itu adalah krisis besar dalam hubungan kami berdua. Aku sempat marah dengan mama. Dan atas perjalanan panjang marah-empati-marah-empati.. Akhirnya aku bisa paham dengan luka, keadaan dan psikologis mama.

Apakah empati itu instan? Tentu tydak. Bayangkan aku bahkan butuh waktu sekian tahun untuk paham dengan mama. Padahal kami adalah dua orang yang terikat secara biologis, cinta, ruang dan waktu.

Bagaimana agar tak mengulang pola semi otoriter yang sama?

Pada ending konten, aku gampang sekali menuliskan kata-kata ini.

Nyatanya, sungguh itu sangat sulit. Kadang kala disiplin dan hukuman itu terulang. Kadang kala aku merasa pola asuh dari mama adalah yang terbaik yang bisa kuulang kembali. 

Toh aku hidup dengan baik sekarang bukan? Bisa saja anakku di masa depan hidup dengan baik pula?

Tapi, kadang kala aku sering bertanya ulang. Dimana batas wajar otoriter itu?

Dan sekarang, lambat laun aku mulai paham dimana mencari batasnya. Intinya cuma 2 hal. Pertama tentang bagaimana kita bisa membuat hati kita untuk bisa memaafkan pola asuh yang dahulu. Kedua tentang bagaimana kita berusaha menyayangi diri sendiri.

Memaafkan adalah tentang membuang hati yang kotor, mengobati luka. Sedangkan menyayangi diri sendiri adalah sumber dari hati yang terus diisi air bersih. Hati itu yang bisa berbicara secara demokratis dengan anak. Hati yang bisa berkomunikasi dengan baik dan menahan amarah berlebih.

Tahukah bahwa diantara 2 inti solusi, ada cara lain untuk tak mengulangi pola otoriter yang sama. Cara itu adalah dengan menjadikan pasangan kita sebagai partner dalam pengasuhan. Aku selalu mengingat, saat Mama sedang dalam mode otoriter yang luar biasa.. Aku lari pada Abah. Abah selalu membelaku, mendukung apapun impian konyolku.

Milikilah pasangan yang bisa meredam amarahmu dan memeluk hangat anak-anakmu. Sungguh itu sangat menenangkan.

Apakah pola otoriter bisa hilang? Mungkin tak sepenuhnya hilang namun setidaknya berubah menjadi lebih baik. Karena.. Ya.. tidak ada ibu yang sempurna di dunia ini bukan?

IBX598B146B8E64A