Saat Suami Istri Debat Tentang Sekolah Anak

Saat Suami Istri Debat Tentang Sekolah Anak

“Liat deh ka, Ada konten terbaru dari Ci Feli di Instagram Reelsnya”

“Oya, bahas Apa?”

“Bahas biaya sekolah anak sama Annisast..wkwkwk”

“Mana sini aku liat”

Dan wajah suami pun menciut kesal.

“Waduh, gak bagus banget Feli bikin konten begini. Bikin orang tua lain pada insecure”

“Ealah.. Bukan disitu pointya kaliiii” Ketusku menengahi

Akupun berbicara lebih detail dengan suamiku tentang perjalanan Annisast menyekolahkan anaknya, gimana kondisi ekonominya dahulu dll. Aku  juga cerita tentang gimana mindset para orang tua lain. Pada akhirnya kami bisa menyatukan persepsi setelah sekian lama diskusi dan debat panjang tentang ‘sekolah mahal’.

Sekolah Anak Mahal? Memang akan Menjamin Kesuksesannya di Masa Depan?

Siapa sih win Ci Feli itu?

What? Kalian belum kenal sama Felicia Putri Tjiasaka? Waduh. Kalian harus kenalan. Karena aku banyak belajar tentang finansial dari dia dibanding mbak Prita Ghozie. Kalau Prita Ghozie banyak ngajarin tentang manage keuangan maka Ci Feli yang ngajarin aku tentang selak beluk investasi, terutama reksadana plus saham. Ci Feli juga bikin insight aku terbuka bahwa investasi itu bukan soal untung tapi tentang menyesuaikan dengan profil risiko kita sendiri. Wah, pokoknya banyak belajar dari beliau. Aku awal kenal dengan beliau lewat konten reksadana seriesnya di youtube. 

Teruss.. Kenapa akun financial demikian nyemplung ke parenting kamu win?

Ya karena dia ngebahas biaya sekolah anak sama Annisast. Ya tentu aja aku gatell pengen ikut nimbrung. Haha. Tapi as always ya, aku tuh agak males komentar di konten orang, termasuk orang yang aku follow. Aku lebih suka nulis kontenku sendiri, entah itu di instagram story atau blog begini sambil kepo lama sama komentar-komentar netizen. Wkwk. 

Ada salah satu komentar menarik di reelsnya Ci Feli yang juga dia sematkan. Komentar ini serupa dengan sedikit komentar suamiku dan mungkin juga serupa dengan komentar orang tua lainnya.

Komentar ini adalah komentar yang lumayan seru karena banyak netizen yang membenarkan. Ada pula yang meluruskan dll. Wah, pokoknya seru. Haha. Intinya komentar tersebut meluncur demikian karena statement dari Annisast ketika ditanya Ci Feli:

“Apakah sekolah anak mahal menjamin masa depannya akan sukses?

“Ya namanya orang tua pastinya pengen yang terbaik buat anaknya. Masalah di masa depan dia sukses atau enggak itu tergantung dari orang tuanya masing-masing” – Annisast.

Ya Netizen be lyke… 

“Lah.. pinter bener tinggal ngelempar tergantung orang tuanya. Sekolah itu Kan udah 50% dari waktu yang dihabiskan per hari. Bla bla”

Aku yang awalnya merasa “Betul sih kata Annisast” malah jadi ikutan kepo juga tentang gimana sih mindset orang yang berpikiran begini. Iya, tahu tentang gimana perilaku orang tentang suatu hal adalah apa yang aku lakukan pada ‘jam istirahat’ kerjaanku sehari-hari. Biarin ah orang bilang gak ada kerjaan kepo tentang komentar orang tapi bagi aku seru loh liat fenomena sosial itu.

Karena orang bilang demikian kan pasti ada ‘ceritanya’. Mungkin yang berkata demikian merasa sekolah begitu banyak menyumbang kesuksesannya dibanding peran orang tuanya di rumah. Bisa aja kan begitu ya kan.

Sama halnya dengan suamiku yang bilang gini.. “Sekolah itu mau dimana aja yang terpenting adalah gimana ortu mendidik dan mengarahkan anaknya. Peran sekolah tuh cuma sekian persen. Peran dari dalam itu tetap saja dari orang tua sendiri”

Suamiku bilang demikian juga karena dia punya cerita sendiri tentang pengalaman hidupnya. 

Membaca satu per satu komentar netizen, Aku jadi ikut membenarkan komentar dibawah ini loh.

Kok ngeri sekali orang tua zaman sekarang suka ‘lempar’ 100% pendidikan anak ke sekolah hanya karena waktu anak lebih banyak di sekolah. Padahal, selain pendidikan dari sekolah, anak sangat butuh orang tuanya. Butuh bercerita pada orang tuanya, butuh bimbingan tentang minat dan bakatnya, bahkan butuh didikan lebih untuk membangun ‘habbit’. Sedih rasanya kalau ketika anak di sekolah ‘sudah dibimbing sekian rupa’ oleh gurunya. Ketika di rumah anak tak perhatikan emosinya, curhatannya atau lainnya. Kita malah sibuk melayani kebutuhan materialnya tanpa paham apa isi hati anak sebenarnya.

Well, Thats is.. Akar materialisme. 🙁

Iyakan, memikirkannya saja jadi ngeri. Terus kalau semua orang tua punya mindset demikian. Masa depan apa yang akan ada pada diri anak? Orang tua hanya berharap dengan memasukkan anak ke sekolah mahal maka anak suatu saat akan menjadi ‘orang berdasi’ atau ‘orang berduit banyak’ tanpa memoles jiwa n value dari anak. Masa depan apa yang kita harapkan jika kita hanya memoles anak dari sesuatu berdasarkan harga dan nilai diatas kertas saja.

Maka, menurutku benar kata Annisast kalau.. “Kita itu sebagai orang tua tentu mengusahakan yang terbaik buat anak. Termasuk soal sekolah. Masa depan anak tergantung pada orang tuanya.”

The point is.. Mau apapun sekolahnya.. Tetaplah menjadi orang tua yang ‘berusaha maksimal’ dan hadir untuk anak. 

Aku percaya sih, sukses itu dari banyak faktor. Bukan hanya dari sekolah tapi banyak dari hal lainnya. Tapi ‘biasanya’ yang menyumbang peranan terbesar adalah ‘kegigihan orang tua’, doa, dan tentu saja keinginan dan usaha anak. Trigger dari lingkungan pun bahkan peranannya cukup besar. Maka, jika orang tua ingin mencari lingkungan dan pendidikan terbaik untuk anaknya.. Termasuk memasukkan ke ‘sekolah mahal’… Well, Apa yang salah?

Persepsi ‘Sekolah’ ala Suami

“Anak yang disekolahkan mahal-mahal itu belum tentu sukses kok. Contohnya aku nih.. Bla bla…”

Siapa yang bilang gitu? Itu tuh… Suami aku.. LOL

Well, aku mau cerita kalau suami aku itu lahir di orang tua yang punya keyakinan, “Banyak anak, banyak rejeki”

Suami aku itu punya 8 sodara. Suami aku anak ke 4. Ayahnya suamiku kerja sebagai PNS, sementara ibunya adalah IRT. Tapi, ibunya juga berusaha menambah pemasukan keluarga dengan memasak. Sempat berjualan, sering juga membuka pesanan makanan untuk kawinan dan undangan lainnya request dari tetangga. Dulu beliau juga nganterin makanan ke kos-kosan mahasiwa. Jadi ya secara finansial sebenarnya ‘keduanya bekerja’. Pemasukan untuk kebutuhan sehari-hari hingga biaya lainnya memakai sumber uang itu. Dan sebenarnya…

Itu gak cukup. 

Makanya suami aku ‘berempati’ dengan keadaan finansial keluarganya. Karena dia tau kakaknya masih sekolah/kuliah plus belum kerja dan adeknya banyak. Sejak SD suamiku inisiatif sendiri mengajukan beasiswa dan itu berlangsung sampai kuliah S2. Suamiku itu Beasiswa hunter. 

Jadi kalau meneladeni suami, rumus kesuksesannya itu adalah: Empati pada orang tua ditambah empati pada saudara tambah lagi trigger kerja keras belajar demi sukses ambil beasiswa ditambah lagi semangat dari ‘setumpuk buku koleksinya’. 

Apa itu sekolah mahal? Suamiku masih gak habis pikir kalau ada orang tua yang menghabiskan sekian ratus juta per tahun buat SPP anak demi SATU ANAK bisa sukses. Sementara kalau buat dia, uang sebanyak ratusan juta itu bisa buat nyekolahin adeknya, biaya pensiun mamanya, sampai bikin ini dan itu.

“Kenapa musti keluarin banyak uang demi satu hal kalau bisa untuk banyak hal”

Demikianlah mindset yang ada pada suamiku. Haha.. Dan tentu saja aku tidak bisa menyanggah persepsi demikian karena…

Sebenarnya kami mirip-mirip saja LOL..

Suamiku itu tipikal koleris-melankolis, sedangkan aku melankolis plegmatis. Satu hal yang sama banget dalam konsep pemikiran kami adalah kami begitu menghargai uang karena kami sama-sama sarjana akuntansi. Ckck. (Suamiku itu mantan asisten dosenku btw)

Aku sih setuju saja dengan mindset suami bahwa uang itu harus ‘rata pemberdayaannya’. Thats why, aku oke-oke aja dulu menuruti persepsinya. Saat ekonomi kami sedang ‘merintis’ diawal pernikahan. Prioritas kami saat itu adalah memiliki rumah. Anakku Pica yang langsung hadir pasca setahun menikah pun mengikuti rintisan ekonomi keluarga kami. Dari yang awalnya hanya membeli rumah yang terbilang perlu banyak renovasi sampai akhirnya rumah kami sangat layak huni, berkembang jadi perusahaan IT dan pindah kantor ke yang lebih besar. Semuanya, berkat usaha kami mengatur uang dengan baik. Memprioritaskan mengembangkan usaha dibandingkan biaya anak.

Memilih Sekolah Itu Harus Sesuai Kemampuan

Lanjut ngomongin soal ekonomi. Suamiku adalah seorang PNS, sedangkan aku memutuskan menjadi IRT saja sejak Pica hadir dalam hidup kami. Gajih PNS seorang dosen saat itu sebanyak 3,7 juta rupiah. Dimana 1,7 juta habis untuk biaya kredit rumah dan sisa 2 juta rupiah untuk hidup sehari-hari.

Aku mendapat jatah 1,5 juta sebulan dari kami punya rumah sendiri. Sebelumnya, aku menumpang di rumah mertua. Sisa 500rb itu untuk sangu suami 1 bulan. Suami mendapatkan uang extra (gajih ke 13) setahun sekali. Namun, tidak diberikan kepadaku karena suami juga merasa memiliki kewajiban pada adik-adiknya dan ibunya. Jadi biasanya dalam setahun aku akan mendapatkan gajih ke 13 sebanyak 500ribu.

Selain PNS suami juga membuka usaha IT di rumah. CV share sistem namanya. Usaha itulah yang akhirnya bisa menyejahterakan ekonomi keluarga kami. Kami akhirnya bisa menabung, merenovasi rumah, membangun kantor, mempekerjakan 8 pegawai tetap. Hingga usaha itu berubah menjadi PT Inovasi Informatik Sinergi dan ingin menjangkau pasar yang lebih luas. Kami merasa sangat perlu memprioritaskan perkembangan usaha ini dibanding segalanya. Karena ada sekian pegawai yang menggantungkan hidupnya pada kami. Dan usaha ini telah membuat pernikahan kami memiliki makna lebih. 

Untuk pengembangan usaha itulah, aku tak mau mengeruk semua profit hanya untuk keluarga kami. Jatah bulananku dari yang awalnya 1,5 juta, 2 juta, 3 juta hingga menjadi 4,5 juta sejak usaha ini mulai maju. Sementara kami memerlukan biaya 30 juta perbulan untuk pengembangan usaha. Suami juga perlu memberi uang pada keluarganya. Untuk profit, perusahaan kami masih tak menentu. Rata-rata pendapatan tetap bulanan sebanyak 50 juta. Tapi pendapatan tak terduga.. itu beda cerita. Masih banyak hal yang ingin kami kembangkan dan itu perlu…

Cuan..cuan..cuan..

Maka, kami sepakat bahwa menyekolahkan anak memang penting. Tapi mungkin ‘bagi kami’ urgensinya lebih penting mengembangkan perusahaan. Karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Etdah kenapa jadi pidato.😅

FYI, dari jatah 4,5 juta perbulan itu. Aku menggunakan 2,5 juta untuk kebutuhan pokok. Sementara 1 juta sebulan aku sisihkan untuk tabungan pribadiku yang ingin sekali aku pakai untuk ‘investasi belajar’, aku menunggu uangnya terkumpul supaya aku bisa segera eksekusi. Sisanya budget 500ribu untuk anak pertamaku Pica dan anak keduaku Humaira. 250ribu aku jadikan ‘nabung rutin’ di Reksadana untuk biaya pendidikan anak-anakku. Dan sisanya sebanyak 250ribu lagi untuk biaya ‘foya-foya’. Semacam biaya untuk makan diluar bareng keluarga atau biaya jajan renyah.haha

Well, mungkin ada yang bertanya apa iya cukup 2,5 juta sebulan buat makan 4 orang. Tentu saja cukup. Apa perlu aku tulis diblog bagaimana caranya? Hihi.

Mungkin juga ada yang bertanya, Bukannya Humaira masuk daycare? Nah, biaya daycare Humaira itu tanggung jawab suami. Termasuk biaya hosting blog ini. hihi.

Menurut keluarga kami pribadi, sangat penting loh untuk menyesuaikan kemampuan ekonomi dan sekolah anak. Kami sendiri sepakat menyekolahkan Pica di SD Negeri saja. Sppnya free dan budget untuk Pica bisa kami alihkan ke hal lain. Seperti les coding, ikut karate, mengasah skill lain diluar sekolah. Jadi, Bukan karena kami pelit. Tapi kami lebih memprioritaskan biaya pendidikan masa depan. Mungkin semacam uang kuliah di luar pulau atau luar negeri (Aamiin anak bisa sekolah disini kelak) itu mahal (menurut kami) dan kesejahteraan ekonomi kami itu chartnya tidak seperti RDPU Yang selalu meningkat, tapi seperti saham.. ada pasang surutnya.. itulah mental seorang pengusaha yang merintis. Kami harus utamakan money management diatas segalanya untuk bisa mengcover risiko pada usaha kami.

Orang mungkin akan mengira kami pelit pada anak karena terlihat tak mengusahakan maksimal untuk sekolahnya. Di Banjarmasin, sudah lumayan banyak kok sekolah Islam yang bagus dan bonafit. Tetapi, harganya masih membuat kami ‘terkejut’. Mungkin,jika penghasilan usaha kami sudah memiliki fix return minimal 100juta perbulan kami tak akan berpikir 2x untuk menyekolahkan anak di sekolah yang bagus. Tapi, karena usaha kami masih merintis dan masih harus dikembangkan maka kami jauh memprioritaskan uang untuk perkembangan usaha.

Aku cukup salut sebenarnya dengan orang-orang yang ingin mengusahakan yang terbaik untuk anak, terutama soal sekolah. Bahkan ada yang biaya SPP anak SD nya sama dengan biaya gajihnya satu bulan. Katanya, “SD Islam itu bagus. Tak seperti SD negeri yang anak-anaknya suka ngomong kotor” . Well, aku menatap anakku sendiri yang sekolah di SD Negeri. Ya rada-rada banyak sih yang demikian. Hehe. 

Lambat laun orang tersebut sering mengeluh di sosial media. Apalagi suaminya sering mengeluh kalau SPP anaknya kemahalan. Lantas menyuruhnya ikut membantu bekerja karena sebetulnya uang bulanan tidak cukup. 

Bukannya biaya sekolah dan nafkah keluarga itu kewajiban suami ya. Kenapa istri yang sudah capek kerja di rumah disuruh nyari uang juga? IRT sambil nyari duit itu Bla bla bla. Jangan bebankan biaya pendidikan anak sebagai beban..bla bla..

Sebenarnya, aku ingin sekali ikut nimbrung memberi saran. Eh tapi aku urungkan niatku. Sosmed sekarang kan mengerikan. Bisa jadi kita berniat baik membantu, malah dijudge balik. Banyak yang demikian bukan?

Jujur melihat perkembangan zaman sekarang.. Ibu-ibu zaman sekarang tuh banyak sekali yang terinfluence untuk menyekolahkan anak di sekolah mahal yang bonafit. Tapi terkadang, sering lupa dengan hal inti untuk itu. Yaitu sekolahkanlah anak sesuai kemampuan. 

Jujur aku sering sedih melihat lingkunganku sendiri. Kadang, ada loh yang menghampiri suamiku atau mamaku untuk berhutang. Katanya untuk biaya susu anaknya yang masih kecil. Aku terkadang memunculkan setan di kepalaku sambil berpikir, “Loh, masih bayi kok dikasih sufor? Kenapa gak diusahakan ASI aja” ((aku aja kedua anakku ASI semua.. dan tuh kan mulai sombong.. Astaghfirullah))

Namun aku pendam perasaan demikian. Tapi saat ada ibu-ibu yang ingin berhutang untuk SPP anaknya yang sekolah mahal sementara anak kami saja sekolah di SD Negeri biasa itu seperti.. hmm.. apa ya apa ya… tak terlukiskan deh perasaannya. Diriku yang kedua serasa ingin memberikan ceramah terkait finansial.

Kalau Bahkan untuk hidup saja sulit, tidak punya asuransi minimal BPJS, tidak punya dana darurat, bahkan tuntutan dan gaya hidup juga tidak bisa ‘ngerem’ kenapa sih pilih sekolah mahal untuk anak? Karena orang sekitar bisa memberikan empati? Itulah yang ada dipikiranku. Judge me ya karena berpikir demikian tapi kenapa ya aku kok dongkol sama orang yang tak bisa mengontrol pengeluaran sesuai dengan keadaannya demi yah…hmm..

Kalau teladan ibu-ibu zaman sekarang adalah seorang Annisast maka seharusnya mereka juga harus tau bahwa pemasukan Annisast itu juga meningkat. Mbak Annisast selalu usahakan kontrol diri diatas segalanya. Pengeluaran sekolah anaknya itu kan memang seimbang saja dengan pemasukannya. Dan Mbak Annisast gak pernah loh ngutang demi bayar SPP anak. Semua sudah diperhitungkan dari dana darurat, asuransi, biaya pendidikan, investasi.. lah.. kalau mau ikut gaya Influencer keren kenapa yang ditiru hanya setengah-setengah? Yang ditiru pun yang tak sesuai dengan kemampuan. Hmm..

Astaghfirullah aku membaca ulang bagian tulisan ini kenapa jadi agak sedikit julid ya. Dan parahnya aku tak mau menghapus. Mungkin mau realese curhat.hihi.

Semoga yang ngutang baca.. aduh jahat amat ya aku.

Debat Soal Sekolah Anak dengan Suami

Hal yang paling gak aku suka dari suamiku dulu tuh adalah dia selalu membandingkan kehidupannya diatas kehidupan anak-anaknya.

“Masa biaya anu aja segitu. Aku dulu… bleh bleh”

“Ya pas aja lah sangu anak segitu.. aku dulu bleh bleh.”

Jujur, pernah bertengkar hebat gara-gara ini. haha..

Aku tuh nyimak loh semua cerita suami. Aku paham hidupnya berat. Aku tau hidup berat demikianlah yang membentuknya seperti sekarang. Tapi masa iya kehidupan anak-anak kami mau dibentuk persis seperti dirinya. Sedangkan zaman pun berkembang. Sedangkan ekonomi kami tak seperti dulu. Sudah jauh lebih baik. 

Konten Felicia yang kami tonton beberapa hari lalu seakan membangkitkan moment diskusi sekian waktu yang lalu. Dan kemudian aku memutuskan untuk berdiskusi kembali soal pro dan kontra ‘sekolah mahal’.

Aku memulai diskusi dengan amat sangat soft. Memulai dengan menceritakan film Enola Holmes, dimana si Ibu mendidik sendiri anaknya (tapi kan punya banyak pembantu..hihi), Aku bahkan bercerita tentang Film Game of Thrones dimana klan Stark juga memiliki banyak anak yang pendidikannya bagus namun semua juga diajari oleh guru yang bagus plus juga Ayah dan Ibu yang ikut serta berperan. Sampai kemudian ceritaku berbelok ke Anime Magi. Yang tokoh utamanya adalah seorang anak haram raja yang lahir diluar kehidupan kerajaan namun memiliki mindset lebih maju. 

Dari sekian story telling pembukaku. Ada satu yang ingin aku luruskan bahwa apapun lingkungan anak, baik terlihat elite maupun tidak.. Peran orang tua itu nomor satu. Dan perkara sukses secara ‘material’, tekanan lingkungan itu sangat mempengaruhi. Jadi kalau ingin anak yang Sholeh Solehah plus juga sukses dunia akhirat modal utamanya adalah orang tua sendiri. Note: Orang tua yang berusaha maksimal.

“Iya memang gitu. Tapi aduh.. sekolah yang kata annisast itu apa ya.. punya toilet di dalam ruangan, guru-guru dari luar negeri, punya tempat berkuda.. so.. what’s the point? Value-nya apa?”

Dan aku terdiam. Kalau suami sedang ngomong begini.. Jiwa ‘leadership’nya sedang dominan dan aku tak mau menyela. Dia kemudian melanjutkan kata-katanya.

“Kalau dengan penyampaian singkat demikian bisa dilihat bahwa value yang ingin ditonjolkan pada sekolah mahal itu adalah fasilitasnya. Apa pointnya melebihkan toilet yang ada di dalam ruangan? Apakah itu menjadi lebih baik dibanding toilet umum untuk satu SD? Apa gunanya anak SD punya tempat berkuda? Dan guru-guru luar yang bisa berbahasa Inggris? Itu value-nya apa?”

Haha.. sebenarnya aku sudah bisa menebak diskusi kami akan ketempat demikian. Dan ya… Bentar, suami ngomong lagi.

“Kalau fasilitas hanya bersifat memanjakan anak, itu tidak mendidik tapi melayani. Anak itu ketika sekolah diharapkan bukan tentang mendapatkan pelayanan terbaik. Tapi tentang menghargai keberagaman bergaul, beradaptasi dengan lingkungan dan fasilitas lain, dan guru yang bisa berbahasa Inggris? Kita bisa membuat anak belajar hanya dengan menonton kartun bahasa Indonesia dengan text bahasa Inggris. Perlahan anak belajar.”

Well, meski terkesan agak ‘gimana’. Sebenarnya perkataan suamiku ada sisi benarnya. Tapi, aku tetap tidak setuju soal kemandirian anak mungkin jadi tumpul karena fasilitas sekolah mahal. Aku yakin sih fasilitas itu sifatnya ya tetaplah sebagai memfasilitasi, bukan memanjakan. Sekolah mahal buatku tetap yay kalau seandainya budget pemasukan sudah memenuhi. 

Untuk sekarang, kegiatan anak kami meski bersekolah di SD negeri biasa tetapi juga lumayan ‘padat’. Jam 1 siang anakku sudah pulang sekolah. Dilanjutkan makan siang, sholat dan tidur sebentar sampai jam 3 siang. Biasanya aku memberikan waktu bermain dengan teman lingkungannya sebentar. Kemudian jam 4-6 sore anakku mengaji di TPA. Terkadang juga pada jam yang sama anakku Karate. Hari Minggu pun diisi dengan latihan karate. Malamnya, Pica latihan menggambar. Kadang dia juga membuat komik dan kami juga sering nonton kartun bersama. 

Baca Juga: Sekolah Negeri Itu Gak Seram

Baca Juga: Kelas Komik Pica

Kurasa jadwal demikian saja sudah lumayan berisi untuk anak-anak seusia Pica. Beda halnya Humaira yang aku masukkan daycare dan aku jemput jam 4 sore. Jadwalnya pun butuh perbedaan. Hehe.

Menurutku pribadi, untuk anak umur kecil seusia Hum dan Pica.. Prioritas utama adalah membentuk Habbit yang positif, membangun circle pertemanan, serta menumbuhkan kesenangan. Karena itu masa kecil yang benar-benar indah dan waktu bermainnya mungkin akan terkenang selamanya. Namun, jika punya budget untuk memprioritaskan itu kesekolah mahal yhaa..why not? Selama duitnya ada dan termanajemen dengan baik. Dan tentu.. selama tidak mengeluh berlebihan lalu berhutang. *Uhuk..batuk keras

Jangan sampai ketika anak masih kecil kita sibuk sekali memasukkannya ke sekolah mahal dan terbaik tapi kemudian tak punya rencana untuk masa depannya. Tak mempersiapkan dana pendidikannya hingga tak mempersiapkan dana pensiun kita sendiri. 

Karena anak.. bagaimanapun memang tanggung jawab kita.. Setidaknya secara material maupun non material sampai mereka bisa mandiri. Diri kita pun adalah tanggung jawab diri kita sendiri. Seimbangkan kebutuhan mereka baik untuk masa kini.. maupun masa depan. 

Happy Parenting!

Komentar disini yuk
0 Shares

22 thoughts on “Saat Suami Istri Debat Tentang Sekolah Anak

  1. Aku pernah kerja di sekolah swasta Mak. Tipe orang tua yang “terima jadi” tuh banyak banget! Terima jadi di sini maksudnya cuma nyerahin ke sekolah tentang pendidikan akademik dan moralnya. Jadi kalo ada apa-apa, yang disalahin sekolah. Padahal di rumah nggak pernah quality time sama sekali atau jarang banget. Sebeeelll banget ngadepin tipe orang tua yang kayak gitu. Diedukasi sama psikolog anak pun seringnya denial mulu dengan bilang “Dia anakku. Aku yang paling tau dia”. Hish, nggak ngerti lagi deh kalo susah banget disuruh berubah juga orang tuanya.

  2. memang urusan sekolah ini ada aja yaaa mba .. yang pasti perlu persiapan yang baik dan komitmen yang kuat dari kedua orang tua karena memang sekolah itu tidak murah

  3. Iya mbak, aku pun berpikiran demikian, mau sekolah mahal atau murah, selama gak ada sinergi antara sekolah dan ortu anak mungkin akan jauh dari sukses. karena sebenernya anak itu mengharapkan bantuan dari orang tua, dukungan dan doa dari orang tuanya. aku penganut, orang tua adalah guru pertama anak. jadi memang perlu tanggung jawab juga mengenai pendidikan anak agar anak memiliki kekuatan dalam belajar dan memiliki motivasi untuk sukses

  4. Kalau aku pilih sekolah itu karena kurikulum dan biaya
    Kalau bagus tapi aku g mampu ya nggàk bisa memaksakan
    Alhamdulillah sekarang bisa Nemu sekolah blended learning yang kurikulum nya kece dengan harga yang masih terjangkau dengan kantongku
    Plus sekolahnya mengharuskan pelibatan orang tua dalam pelaksanaan pendidikan

  5. Kalo kata suamiku, sekolah mahal bukan sekadar membeli pendidikan tapi juga koneksi/ networking. Kalau masih mampu menyekolahkan anak di tempat yang mahal, ya kenapa enggak? Karena memang benar pergaulannya berbeda & itu mungkin akan jadi koneksi untuk pekerjaan nantinya. Dari segi kurikulum, memang jauh berbeda dengan sekolah pemerintah yang gratis. Apalagi sekolah dgn kurikulum internasional. Bahasa Inggris anak-anak akan lebih fasih. Wawasan dan kemampuan teknologi juga lebih baik, karena fasilitasnya juga jauh berbeda. Sebagai ortu lulusan sekolah negeri, aku dan suami nabung mati-matian demi pendidikan anak kalo bisa di sekolah dgn kurikulum internasional. Kalo soal pengasuhan, ortu tetap terlibat karena kami juga bukan ortu yang sibuk2 amat sih xixixi.

  6. pembahasan yang sangat menarik Mak. Jujur ini soal sekolah juga saya mulai pusing, pengennya anak sekolah di swasta nanti kalau sudah SD, etapi belum ketahuan ini bakal ada biayanya berapa.

  7. Pertimbangan memilih sekolah ini kudu detailiing sekali sih memang. Bukan hanya dari segi biaya tapi mungkin orangtua yang menyekolahkan mahal ini adalah menyaring pergaulan.

    Jadi rata-rata, sekolah mahal itu latar belakang keluarganya bisa dibilang 11 12. Misal, kedua orangtua sibuk, sehingga waktu mengantar anak sekolah pas dengan waktu menjemput anak sekolah. Nah, dari sini pasti pemilihan sekolah mahal dan full-day school tentu yang diutamakan.

    Yah, pilihannya apapun…
    Harapannya memang tetap akhlak dan doa dari kedua orangtua mengiringi tumbuh kembang anak. Tidak hanya faktir uang yang kita keluarkan. Semua kembali lagi dari niat. Kalau memang butuh uang yang membantu perkembangan sekolah, in syaa Allah menjadi wasilah di dunia pendidikan karena akan bermanfaat panjang hingga adek kelasnya kelak.

    Wallahu ‘alam bishowab.

  8. Waahh masalah sekolah yaa terus terang aku termasuk yang selow hihihi. Anak2ku HS semua sekarang ini. Sekarang lebih fokus ke anak sukanya apa semoga bisa jadi jalan buat masa depannya.
    Tapi setuju banget soal pendidikan anak kedua ortu kudu saling sepakat, diobrolin dengan serius, saat si anak udah bisa diajak diskusi dilibatkan sekalian.
    Memilih sekolah gk cuma memilih anak belajar apa tapi juga lingkungan pergaulannya sih ya. Sedikit banyak juga berpengaruh pd masa depannya.

  9. alhamdulillah masalah sekolah anak aku dan suami 1 pemahaman dan sama visi misinya, jadi belum ada perdebatan tentang hal tersebut hingga sekarang. mungkin saat anak hendak kuliah baru deh tuh ada perdebatan

  10. Diskusi dengan pasangan tentang anak sekolah ke mana nantinya memang sangat menarik. Kalau kami nantinya memang pengen yg terbaik untuk anak, termasuk sekolahnya. Tapi ya itu, kami juga harus melihat kemampuan, bisa apa enggak dg biaya yang sekian-sekian tiap bulannya.

  11. Seru banget bacanya. Soal biaya sekolah aku pun memilih sesuai dengan kemampuan. Apalagi anakku baru aja pindah ke sekolah baru yang biayanya jauuuh dari sekolah sebelumnya. Tapi ini sudah dipertimbangkan, kami sama-sama mengukur juga seberapa kami mampu.

    Dan aku setuju kalau orang tua di rumah berperan paling besar dalam mendidik anak. Bagiku, menyekolahkan anak itu agar anak bisa belajar dari ahlinya, apa-apa yang aku nggak bisa ajarin ke dia. Tapi kan orang tua tetap kontrol, kasih motivasi, kasih fasilitas dan sebagainya.

    Oh ya, terkait biaya hidup yang Mbak sebutkan, aku jadi merasa ada temannya. Haha. Semangaaat.

  12. Kalau suamiku selama ini mengikuti pendapatku yang penting tidak memberatkan anaknya yang menjalankan belajarnya. Karena memang goals kami berdua sama, jadi minimal anaknya enjoy sekolah dan bisa lebih baik dari ayah dan ibunya. Kalau biaya memang kita sudah membuat perencanaan, kebetulan anakku sekolahnya swasta.

  13. Saya dulu daftarin anak sekolah di MIN tapi 2 kali daftar gak lolos, ya udah sepakat sama suami buat sekolah negeri aja.
    Anak temanku di Banjarmasin sekolah negeri mbak, tapi anaknya tetap bisa berprestasi

  14. Saya pernah berbeda pendapat ketika anak-anak mulai masuk SMP. Suami inginnya ke sekolah negeri. Sedangkan saya tetap ingin di swasta. Yang menjadi perdebatan justru bukan karena faktor finansial. Tapi, ada banyak hal lain.

    Setelah lumayan alot, akhirnya sepakat untuk memilih sekolah negeri (diusahakan) hingga SMA. Tetapi, sekarang saya beberapa kali bilang ke anak-anak, ketika nanti punya anak, usahakan tetap sekolah di swasta.

    Bukan berarti kami menyesal karena udah salah pilih. Tapi, berdasarkan pengalaman saat ini, memang lebih memilih swasta deh daripada negeri

  15. Bener banget mbak. Kita sepemikiran. Buatku pun tak apa bangettt loh. Kalau budget sudah seimbang dan mencukupi maupun belum.. memiliki impian sekolah mahal yg bagus itu gakpapa.

    Kekurangan yg sangat aku rasakan pada sekolah negeri memang bagian ini. Kenyamanan interaksi. Aku sempat sedih n kecewa sm wali kelas anak ktk kelas 2. Tp kembali membaik ketika kelas 4. Ada beberapa point kelemahan yg berusaha aku tutupi ketika anak sudah sampai di rumah. Aku perlu sekian waktu untuk menumbuhkan ‘ketertinggalan’. Dan kalau dibandingkan sekolah swasta lain sekolah negeri memang nyata tertinggal. Tp kembali lg setiap keputusan pasti memiliki kekurangan masing2. Anak aku dr segi pertemanan sangat cocok dg circle disana. Dan kulihat anaknya juga baik2. Jadi ya.. aku Let it go aja.. semoga kelak anak kita mendapatkan pendidikan terbaik ya mba Istiana..

  16. buat aku, gak masalah dengan sekolah mahal. betul memasukkan sekolah memang harus sesuai kemampuan. buat apa memaksakan di sekolah mahal sedangkan kemampuannya belum sampai.

    menurut aku lagi, gak apa-apa banget kita punya impian menyekolahkan anak di mana, sekolah mahal sekalipun, bisa jadi itu pembakar semangat supaya kita bisa lebih banyak bergerak menjemput rejeki. kita yang pelan-pelan memantaskan diri supaya bisa diamanahkan rejeki yang banyak itu untuk memaksimalkan pendidikan anak (yang juga merupakan amanah dari Tuhan)

    bisa jadi, yang betul betul sesuai value keluarga (bukan hanya sesuai budget) itu ya memang sekolah mahal.

    soalnya, yang aku temui, memang rata-rata sekolah mahal itu bukan hanya menjual fasilitas, tapi kenyamanan berinteraksi antar warga sekolahnya.

    anak aku yang pertama sekolah swasta, dan itu gurunya enak banget. gurunya kayak temen sama ortu, bisa banget diajak diskusi tentang anaknya, bukan hanya tentang akademis, tapi sisi emosional anaknya pun. hal-hal kayak gini yang gak bisa didapat dari sekolah dasar negeri (menuru aku)

  17. Aku pernah dicurhati, dia berharap anaknya di sekolah mahal dan sampai rumah udah nggak mau megang lagi, ngajari lagi. Makanya dia pindahin anaknya ke swasta. Sampai di swasta juga masih ada aja yg dia kecewain. Sedih dengarnya, kalau masalah anak2 aku mellow. Ortu dan sekolah tuh harus kolab kan, kerja sama, nggak bisa sekolah aja atau ortu aja. 22nya punya peran penting untuk didik anak, kan berangkat dari rumah, lingkungan jg membentuk mereka…
    wah ini debatnya pasti panjang ya 😀 smoga dimampukan, dicukupkan segala kebutuhan kita ya mba

  18. Aduh, ribet banget sekolah kalau udah masuk ajang perdebatan di sosmed yaa… kalau aku sih cukup tahu bahwa ada sekolah yang levelnya begitu mahal dengan fasilitas itu, ya karena memang pasarnya ada, ortu yang uangnya banyak tentu saja. Yang penting, sekolah gak bikin susah ortunya sampai hutang-hutang, makanya perlu pertimbangan matang dan gak bisa buru-buru ya mak.

  19. Mbaaak aku tergerak mampir setelah baca lewat e-mail.
    Nyatanya demikian ada yang cemplungin anak ke sekolah berbiaya tinggi, fasilitas lengkap dengan harapan anak lulus jadi Einstein.
    Entah di rumah kek mana kan anak SUDAH SEKOLAH. Di rumah dikasih gawai, makin gede anak kerjaannya di kamar, bergelimang fasilitas namun hatinya kering. Hiks, itu nyata.
    Ada juga yang memaksakan diri anaknya masuk sekolah yang itu. Secara gengsi dapat, walau bayar SPP nunggak. Saat mau dipindahkan ke sekolah yang lebih terjangkau dari sisi dompet ortunya, anak gak mau karena udah nyaman di sana.
    Ada yang mikirnya “yang penting sekolah internasyenel, guru bule paling OK”.
    Mau sekolah negeri atau swasta model apa, peran orang tua yg utama dalam pengasuhan anak. Ortu mendelegasikan pendidikan anak ke sekolah. Yg namanya delegasi kan perlu dicek gimana, udah bener apa belum. Sama seperti nitipin anak ke ART. Sampe di rumah dipasang CCTV kan.

  20. Bener banget mba. Meski tidak semua ortu demikian, tp nyatanya memang ada yg sekolahin anak sekolah mahal trus lepas tangan. Ada pula yg nyekolahin anak tidak sesuai kemampuan. Agak miris pengen meronta kalau itu circle sendiri. Tp Masya Allah.. ada juga yg macam Annisast dr segi keuangan macem2nya udah seimbang. Kalau aku sih oke2 aja masukin anak sekolah mahal asal dr berbagai segi udah memenuhi.

Komentari dong sista

Your email address will not be published.

IBX598B146B8E64A