Ketika Pandemi Corona Mengaburkan Mimpi Kami
Yes, absolutely.. Can we uninstall it and install again?
Virus Corona Ini Bukan Mimpi
Kadang aku terbangun di pagi hari. Berharap kepanikan kemarin hanyalah sebuah mimpi. Karena mimpiku memang biasanya se-ngaco itu.
Tentang alien yang menjajah bumi..
Tentang astronot yang nyasar ke rumah mencari kentang..
Tentang kucing yang bisa berbicara..
Tentang orang-orang yang mendadak berwarna ungu semua..
Tentang virus? Ayolah.. Ini bukan hal yang baru. Mimpiku memang selalu sengaco dan terlihat senyata itu.
Tapi ketika aku terbangun. Semua itu nyata adanya.
Korban positif yang mencapai angka ribuan itu nyata..
Farisha yang diliburkan sekolah entah sampai kapan itu nyata..
Bahkan sekarung beras ini juga nyata. Aku membelinya kemarin karena didesak oleh panic buying karena melihat india yang sudah lockdown..
Kami yang terkurung di rumah saja ini nyata.
Desinfektan itu nyata. Kegiatanku yang selalu menyemprotkan barang dari luar rumah dengan desinfektan itu nyata.
Bayclin yang habis dimana-mana itu nyata adanya.
Ya Tuhan, kenapa ini nyata? Bagaimana nasib kami selanjutnya? Bagaimana dunia ini menghadapinya? Bagaimana indonesia menghadapinya?
Menghadapi Kenyataan dengan Corona
“2 pasien positif corona ada di Jakarta”
Wacana itu membuat hatiku langsung sedih sekaligus seram. Virus itu sudah ada di negeriku. Di Ibu Kota. Daerah mana saja yang sudah dilalui penderitanya? Akankan ia menyebar hingga kesini? Ke banjarmasin?
Aku berusaha tenang sejak pengumuman itu diberitakan. Setiap hari aku mendengar pasien positif selalu bertambah. Tapi aku berusaha tidak panik. Status PDP dan ODP di banjarmasin belum menunjukkan status positif.
Hingga suatu hari…
“Satu pasien di banjarmasin dinyatakan positif corona..”
Disitulah pikiranku mendadak terasa panik. Terlebih ketika mengetahui bahwa daerah penderita sekitar 5 km dari tempat tinggalku. Pikiranku langsung berjalan mengira-ngira daerah mana saja yang mungkin sudah dilakui oleh pasien positif itu.
Untung saja pemerintah sudah meliburkan sekolah sejak seminggu yang lalu sebelum ada kabar pasien positif tersebut. Langkah yang terbilang cukup cepat sebelum virus ini meluas. Paling tidak, kami bisa merasa aman dan nyaman #dirumahsaja untuk sementara ini. Belajar dari Jakarta, kami berusaha untuk selalu di rumah saja, kecuali ada keperluan yang benar-benar penting.
Alhamdulillah, suamiku yang berprofesi sebagai dosen juga diliburkan. Ia malah merasa nyaman sekali karena bisa bebas mengerjakan deadline journal theme dan aplikasi. Suamiku berprofesi luaran sebagai programmer. Sehingga Work From Home adalah hal yang diimpikannya.
Inilah keluarga kecil kami. Kami semua dirumah saja. Tidak ada yang merasa bosan atau tidak nyaman. Suamiku, Farisha dan Humaira selalu tertawa setiap hari.
Tinggallah aku dipojokan. Menonton berita, menyimak sosial media, memantau kondisi covid 19 di daerahku.. Dan perlahan-lahan rasa panik mulai menjalar ke otakku.
YES, IM PANIC.
Hal-hal gila otak melankolisku mulai melakukan segala yang berlebihan di mata keluargaku. Bagi mereka aku seperti OCD. Tapi bagiku sendiri ini adalah WASPADA.
Aku menyemprot semua rumah dengan desinfektan. Seluruh lantainya juga. Kalau dalam sehari aku ketinggalan melakukan semuanya maka aku tidak bisa tidur. Apalagi, sehari-hari masih saja pegawai suami bekerja. Belum lagi beberapa keluarganya yang suka datang.
Dimata suami, mereka yang datang adalah rekan bisnis.
Dimataku, mereka yang datang harus diwaspadai. Kadang otakku berpikir ingin menyemprot mereka memakai desinfektan. Tapi kenyataannya hanya senyum manis yang pura-pura aku lukiskan.hahaha..
Perlu komunikasi.. komunikasi lagi dan lagi dalam memutuskan adab keluar masuk rumah ini. Suamiku yang cenderung bersikap santai selalu menganggapku berlebihan dalam memandang virus. Sampai suatu hari aku memperlihatkan keadaan negara Italia. Barulah ia paham dan mengerti dengan hantu yang selama ini mengisi ketakutanku. And Finally.. Kita setuju untuk aturan keluar masuk rumah ini.
“Yaa.. Kalau sayang enggak mau aku tiap hari nyemprot desinfektan ke seluruh rumah.. Maka yang masuk rumah saja yang harus di bersihkan. Supaya aku enggak cemas..”
Begitulah akhirnya kami memulai kesepakatan untuk mengurangi kadar panik yang ada dalam diriku.
Ya.. Kita harus menghadapi virus dengan ikhtiar yang realistis bukan? Bukankan begitu yang dinamakan insan yang beriman?
Mimpi yang Kabur di 2020 Akibat Virus Corona
“Sudah satu bulan ini enggak ada yang pesan thema.. Duh, padahal gajih karyawan jalan terus”
“Kenapa kira-kira ya pah?”
“Ya karena pandemi corona ini.. Klienku yang dari italia juga curhat masalah ini kemarin..”
Mendengar keluhan suami, aku jadi merasa kasihan. Aku tahu betul bagaimana kerasnya dia membangun usahanya hingga demikian besar.
Well.. Sepertinya aku tidak pernah bercerita ya? Tentang usaha suamiku yang baru?
Kami memiliki CV. Namanya CV share system. Buah dari hobi suamiku yang senang membuat program dengan aplikasi dan web. Yah begitu begitu deh. Akupun juga tidak begitu mengerti dengan yang ia kerjakan. Karena terus terang saja aku sangat gaptek. hahaha.. Blog ini juga buatan dari suamiku btw.
Nah, CV kami memiliki usaha baru yang setahun belakangan ini berkembang pesat. Suamiku mengelola Open Journal Theme (OJT) yang awalnya usaha ini hanya iseng saja. Ternyata akhirnya memiliki banyak pasar. Hingga, tahun 2014 ini suami memutuskan ingin serius menjalani bisnisnya dengan membangun kantor di samping rumah hingga mempekerjakan pegawai. Dia benar-benar serius dengan bisnis ini. Dan akupun sangat mendukungnya.
Kami sudah memiliki 2 karyawan tetap yang berprofesi sebagai programmer. Yang artinya, untung tidak untung.. Akan selalu ada biaya yang keluar setiap bulan. Belum lagi biaya operasional yang bertambah. Sebutlah itu biaya listrik, bpjs, administrasi dsb. Sungguh awal yang tidak mudah untuk pebisnis pemula seperti kami.
Tahun 2020 adalah tahun awal bisnis kami dimulai. Kami memiliki banyak mimpi untuk ini. Banyak.
Dan ketika pandemi corona tiba, satu-persatu masalah datang. Dari project besar yang mungkin cancel hingga pesanan tema yang menurun drastis dibanding tahun kemarin. Ditengah krisis ini, ditengah Work From Home, kami dilanda ketakutan dan kepanikan. Itu nyata adanya.
Kami harus mengakui bahwa mimpi-mimpi di tahun 2020 ini menjadi kabur. Corona telah membuat segala aspek kehidupan berubah. Baik secara ekonomi maupun psikologi.
Itu kenyataannya.
Mengais Mimpi yang Kabur, Kita Harus Bertahan Bersama ditengah Pandemi Corona
Menerima kenyataan. Itulah yang harus kami lakukan sekarang.
Menunda sebagian mimpi itu. Lantas bergerak pada hal yang jauh lebih penting.
Apa itu?
SURVIVE!
Tahun 2020 ternyata bukanlah tahun untuk meluaskan mimpi usaha kami, melainkan tahun untuk evaluasi diri dan bertahan bersama.
Kami termasuk keluarga yang beruntung. Disaat yang lain kesulitan dalam hal keuangan untuk Work From Home, kami masih memiliki tabungan untuk diri sendiri dan berbagi. Dan mungkin tahun ini adalah tahun dimana daya empati kami diuji.
Ada salah seorang janda yang rumahnya digadaikan ke bank, janda tersebut dekat dengan keluarga kami. Suami meminta izin padaku untuk menggunakan sebagian tabungan kami untuk membantunya. Bagaimana perasaanku? Aku speechless. Serius.
Ada perasaan bersalah yang tiba-tiba mampir begitu saja. Sebulan yang lalu aku sempat bertengkar hebat dengan suami perkara keuangan. Aku berpikir, suamiku sedikit zholim padaku. Suamiku tidak mau mengerti dengan pengeluaran darurat. Tetapi lihatlah sisi ini. Betapa empatinya tergerak untuk membantu yang lebih berhak. Seketika, aku merasa malu dan tersentuh. Ada air hangat yang turun begitu saja diujung mataku. Aku bangga sekali memiliki suami yang peduli pada sekitar.
Suamiku juga berkata padaku bahwa.. Mungkin, tabungan kami akan habis di tahun ini. Orang tuanya butuh bantuan, saudaranya juga, pegawainya, si ini, si itu. But, i’m fine. Selama ia selalu jujur dan segala keperluan itu untuk hal yang baik maka aku selalu mendukung. Kadang saat begini aku merasa sangat malu dulu sempat marah-marah padanya.
“Kita tidak boleh hanya survive sendirian. Kita harus membuat orang disekeliling kita juga survive.. Mungkin inti dari 2020 adalah tentang menguji daya empati kita..”
Seketika, kami merasa syukur itu tumbuh begitu saja. Ada rasa kepercayaan diri yang kuat bahwa kami pasti bisa melewati pandemi ini dengan baik. Kecemasan itu luntur seketika. Panik itu kehilangan tujuannya.
Berita bertambahnya pasien positif corona setiap harinya membuat kami merasakan ketakutan pada hal yang seharusnya. Bahwa hidup ini sungguh hanya sementara. Hal yang bisa kita lakukan hanyalah berikhtiar kuat dan terus membantu sesama.
Dan kadang rasa syukur itu tumbuh pada ketakutan semacam ini. Lihatlah kami yang selalu bersama setiap hari di rumah. Tanpa disadari, Tuhan telah menciptakan rasa cinta yang besar ditengah ketakutan ini. Kami semakin menghargai satu sama lain. Kami akhirnya paham akan arti kebersamaan dan cinta.
Stay at home memberikan banyak pembelajaran. Tahun 2020 bukanlah akhir dari cerita kami. Ini adalah awal dimana kami mulai membangkitkan rasa empati. Tuhan, izinkan kami hidup lebih lama lagi. Kami masih ingin memeluk orang tua kami tanpa takut tertular maupun menularkan.
I Hope Corona Virus will be end before Ramadhan comes. Amen
30 Maret 2020
Seorang Ibu yang merindukan orang tuanya, tetapi tau diri untuk tidak pulang kampung