Browsed by
Category: Marriage

Jika Ingin Istri Seperti Nikita Willy

Jika Ingin Istri Seperti Nikita Willy

Judulmu win.. Bau-baunya pengen nulis tulisan berbau ‘judgemental’ gitu ya?

Ya.. Gak juga sih..Cuma entah kenapa sih ya perbincangan tentang Nikita Willy ini seminggu ini ‘agak ramai’ di sosial mediaku. Ini awalnya, cuma dari aku yang entah kenapa ketika membuka fb tetiba muncul saja reels yang memperlihatkan Nikita Willy sedang senam. Aku sih awalnya mikir positif aja. Kebetulan aku kan sedang ‘senang workout’, jadi mungkin postingan bertema ‘serupa’ akan sering muncul di beranda karena aku juga lagi seneng-senengnya follow akun yang berbau olah raga. Jujur saja sih, aku ‘kurang kepo’ dengan berita-berita artis atau semacamnya. Justru aku tau dengan aktivitas artis kalau memang sedang ada job aja yang mengarah kesana.

Tapi semakin kesini, konten yang diarahkan kadang berupa konten tentang mamak-mamak yang membandingkan dirinya dengan Nikita Wily, atau konten tentang suami yang bertanya kenapa istrinya tak seperti Nikita Willy. Eh, kok jadi lari kesini ya? Padahal follow juga enggak. Aku malah lebih suka nonton animasi Tuk Kutuk sama Santon TV. Aduh, parah nih sosmed kadang penggiringannya sejauh ini. Dan parahnya aku juga nonton sampe abis. Haha.

Ya intinya sih. Tulisan kali ini cuma sebagai reminder aja buat aku maupun suami. Reminder bahwa jika sebenarnya hidup ini sesuai dengan apa-apa yang kita tanam. Bagitupun konsep dalam suami-istri dan sebagai orang tua.

Kualitas yang Diinginkan Suami dari Seorang Nikita Willy

Aku sering sih bertanya-tanya sambil kepo ke kolom komentar emak-emak yang terkesan anu dengan Nikita Willy. 

Pertanyaan seperti, “Ya wajar aja kan Niki begitu. Kan hidup dia dari start sampe milih pasangan beda ama kita.. Kenapa pada dibandingin ‘penderitaan’nya… Ya jelas aja beda. Kita kan dari start emang gak punya goals kayak Niki. Gak pengen jadi artis, memilih pasangan yang mungkin berbeda secara material dengannya. Secara hasil, tentu aja berbeda.”

Tapi mungkin begini.. Ada ‘beberapa suami’ yang begitu mendambakan memiliki seorang istri layaknya Nikita Willy. Yang masih ‘seger’ meski sudah memiliki anak. Bisa workout dengan keringet yang ‘tumpeh-tumpeh’ bikin ngiler. Bisa selalu terlihat sabar anggunly. Kok terasa idaman sekali ya. Mana kalau diliat terus bikin tambah pengen punya istri demikian. 

Ya mungkin memang ada suami yang berkata demikian. Memang ada, suami yang suka membanding-bandingkan kualitas istri orang dengan kualitas istrinya sendiri. Tapi, coba deh bertanya kediri kita masing-masing sebagai seorang istri.. Suami demikian mungkin saja kan cuma suami orang. Bukan suami kita sendiri. Hehe. Kadang, konten di sosial media sering mengarahkan hati kita sebagai istri untuk ‘ngegas’ sama suami kalau suami menekankan hal yang mirip-mirip.

Contoh nih ya.. Contoh aja sih..

Sudah sehari ini suami beli alat lompat tali begini. Awalnya aku kira ini ‘cambuk’. Imajinasiku.. HAHAHA

Trus suami bilang, “Bagus ini buat olah raga sambil nonton drakor. Gak perlu liat instruktur senam lagi..”

Secara logis, aku masih mikir.. “Oh iya.. Suamiku pasti mengabulkan requestku karena aku kemarin ngeluh kalau ngedrakor yang series ini gak produktif. Kemarin aku ngeluh kalau nyetrika sambil ngedrakor kan 1 jam selesai. Kadang badan gak gerak itu gak enak. Coba dibawah subtitle itu ada instruktur senam ya.. Bla bla.. Dan suami mengakali dengan membelikan ini.”

Tapiiii… Akan beda ceritanya kalau begini nih..

“Tapi aku gak bisa makenya. Gak bisa main lompat tali”

“Coba liat video Nikita Willy…”

JENG JENG JENG JENG…..

Otomatis pola pikirku yang sudah teracuni konten emak-emak akan berkata be like.. “TERUS KAMU PIKIR AKU GAK KEK NIKITA WILLY GITU.. MASIH KURANG GITU…”

((Inilah kadang awal konflik rumah tangga yang tak jelas penyebabnya dimulai))

Pertanyaannya, Apakah Pelakunya Nikita Willy atau Konten-konten panas lainnya? Atau sebenarnya.. Ya kitanya aja yang ‘kurang self kontrol’?

Menerima Kenyataan Se- Apa Adanya

Wind, seriusan jadi konflik gara-gara suami beliin alat lompat tali?

Ya enggak sih. Sempat memang terbesit pikiran demikian. Sempat banget. Jujur.. Sampe ‘sekian kali’.. Haha

Tapi aku mikirnya relax aja sih. *Untung saat itu gak lagi PMS juga..HAHA

Aku mikirnya, Ya Allah.. Baek banget suami beliin aku begini supaya bisa kayak Nikita Willy. Kenapa gak sekalian sama budget buat workout diluar juga..*Canda..canda..

“Murah banget ternyata sayang.. Cuma 18rebo..” Kata Suami

Me In Reality.. “Wah murah banget ya.. Baik banget sayang”

Me In Deep Deep Heart Terdalam.. “Terus kamu pikir cukup bikin aku kayak Nikita Willy hanya dengan modal 18ribu aja?” 

Tapi tahan, Inhale Exhale.

Pahami lagi, bahwa inilah suami yang telah aku pilih 10 tahun yang lalu. Suami yang dari kencan pertama saja sudah terlihat bahwa dia begitu ekonomis dalam membeli sekian hal. Suami yang sejak 3x pertemuan sudah jujur bahwa dia memiliki banyak tanggungan. Suami yang juga ingin aku perjuangkan mimpinya karena dia punya semangat yang tinggi sekali. 

Inilah suami yang aku pilih. Bukan suami seperti Nikita Willy. Yang dari sononya memang sudah kaya. Dan aku harus menerima seapa adanya. 

Iya mah.. Aku sebenarnya kurang tau juga awalnya dengan suami Nikita Willy itu siapa. Baru tau justru ketika melihat konten dari @emtrade_id. Oh ternyata ya.. 

Setelah selesai makan malam. Aku kemudian mengobrol dari hati ke hati dengan suami. Berawal dari membahas saham idx8 sampai ‘ehm’ iseng membuka akun emtrade_id yang aku ikuti. Aku memang selalu punya teknik khusus kalau berkomunikasi dengan suami. Karena paham suami lumayan sensitif kalau to the point. Tapi kalau diawali dengan ‘kepura-puraan’ yang tak disengaja pasti bisa paham..

“Empat orang terkaya di indonesia…. Wuah.. Coba deh sayang liat.. Ternyata salah satunya suami Nikita Willy”

Suami kemudian ikut ‘kepo’ melihat kontennya.

“Pantes aja ya..”

“Apanya ka?”

“Ya pantes aja Nikita milih.. “

Whehehe… responnya diluar kendaliku.. Padahal yang aku harapkan adalah.. “Pantes aja Niki walau udah punya anak masih sempat ini itu bla bla.. Kan cuannya juga banyak..”

Tapi aku coba berkata begini.. “Ya gitu.. Niki memilih suami yang sesuai dengan standarnya dan gak salah juga sih milih begitu. Semua punya konsekuensi masing-masing. Seperti Output Niki sekarang.. Pada banyak yang suka kan liat kualitas dia sebagai Ibu anak satu.. Masih cantik, Fresh.. Karena ternyata memang ada suami yang support dibelakangnya.. Jadi dia bisa punya baby sister, pembantu, bla bla..”

“Ya tapi disesuaikan kondisi juga kan..” Kata suami

“Iya, sesuai kondisi. Kadang banyak orang yang pengen istrinya kayak Nikita Willy tapi gak support apa-apa. Istri disuruh kerja 24 jam di rumah. Apa-apa sendiri. Pakai daster dikritik. Yang perlu kita sadari poinntnya sebenarnya adalah mulailah menerima kenyataan seapa adanya. Jika ingin memiliki istri seperti Niki maka harus sadar bahwa Suami pun setidaknya punya kualitas seperti Suami Niki..”

Suami termenung sebentar. Uhuk, mungkin perkataanku kan… Ada benernya.. Hehe..

Saling Meningkatkan Kualitas Pasangan Masing-Masing

“Dibalik suami yang sukses ada istri luar biasa dibelakangnya”

“Dibalik istri cantik terawat ada suami luar biasa dibelakangnya”

Miris terkadang kalau ada fenomena begini. Ada seorang istri yang menemani suaminya dari 0. Menderita bersama dari awal menikah. Melayani suami agar suami bisa sukses. Setelah sukses? Suami bukannya membawa istri untuk bisa mencapai kualitas sukses serupa. Tapi malah membiarkannya dibawah. Ia sibuk mencari hal baru yang lebih menyegarkan. Belum lagi melihat konten seperti Nikita Willy berseliweran, makin lah nafsunya bergoyang. Belum lagi tingkah polah keluarga suami yang mungin tak tau diri, melihat istri suami ‘tidak bersinar’ malah ikut memanasi anaknya agar kawin lagi dengan yang lebih segar. Ada yang demikian? Ada loh. Banyak.

Orang sering berkata bahwa ujian terberat seorang istri adalah ketika ekonomi suaminya diuji. Namun apa yang terjadi ketika ekonomi seorang suami itu sudah sukses? Ramai sang istri yang dikira tak bekerja itu di judge ‘begitu beruntung tanpa usaha’. Diruntuhkan harga dirinya hanya karena di rumah saja. Dilebihkan derajat suaminya agar bisa mendua. Dibiarkan istri yang awal mendampingi layu begitu saja. Saat demikian, saat istri baru menduduki kursi yang sama.. Lihatlah.. Apakah rejeki suami akan sama seperti yang dulu? Hmm..

Maka, benar halnya bahwa ketika kita sudah merasa sukses maka ingatlah siapa siapa yang mendukung kesusksesan itu. Tingkatkanlah kualitas pasangan. Istri yang lelah berjuang mendampingi suami yang dari awal tak seperti Suami Niki misalnya. Ia menikahimu jelas bukan karena silau harta. Maka, supporrtlah dia.

Jujur, meski awalnya aku agak ‘Ngeuh’ melihat alat lompat tali ini.. Aku kembali memahami pola pikir suami. Memahami apa-apa saja yang sudah ia usahakan untuk keluarga. Memasukkan Humaira ke Day Care supaya harga diriku meningkat dengan ikut bekerja. Membiarkanku masuk kantor jam 9 pagi agar bisa workout. Membiarkanku sering izin pada jam siang karena paham tugasku di rumah juga banyak. Meski suami adalah seorang CEO Start Up IT dengan 8 pegawai, tapi aku bisa berempati padanya tentang kenapa aku tak punya ART atau tentang kenapa anak pertama kami hanya masuk SD Negeri biasa. 

Rumah Tangga itu adalah Toleransi Seumur Hidup. Pahami suamimu. Pahami istrimu.

Beri apresiasi, berterima kasihlah, berilah hadiah sekecil apapun.

Siang ini, aku mencoba melompat memakai alat ini. Sejak SD aku benci lompat tali sebenarnya. Karena alat ini mengingatkanku pada teman-teman masa kecil yang membullyku. Tapi aku mulai ingin mencoba berdamai dengan alat ini. Sebenarnya, tujuanku workout lebih pada memperbaiki psikologis. Aku merasa sangat membaik secara psikis sejak workout. Berat badanku masih stay pada 50-52 dengan tinggi 160. Sudah termasuk Ideal. Tapi workout membuat mindsetku jauh lebih baik dipagi hari.

This image has an empty alt attribute; its file name is alat_lompat_tali1-1024x1024.jpg

Baiklah hei..lompat tali..

Mari belajar menjadi Nikita Willy dari level 1. 

Saat Marah Kepada Suami

Saat Marah Kepada Suami

“Kalau lagi marah dengan suami it, bicara aja langsung di hadapannya.. Jangan malah kesana kemari..” Someone

Terdengar familiar banget ya, atau apakah kita termasuk dari salah seorang yang pernah mengucapkannya?

Jika pernah mendengar maupun mengucapkannya kepada sesama wanita. Ada baiknya, kalian membaca tulisanku ini.. Karena mengontrol kemarahan merupakan bagian dari mengontrol emosi. Emosi yang terkontrol akan membuat kesehatan jiwa seorang istri sekaligus ibu menjadi lebih baik dalam mengasuh keluarga

Well, semoga kedepannya aku bisa menulis lebih lanjut tentang cara mengontrol emosi saat menikah, baik itu mengontrol perasaan sedih, takut, kecewa, dan over bahagia. Tapi tulisanku kali ini khusus membahas tentang bagaimana mengontrol kemarahan kepada pasangan. 🙂

Marah versi Lajang dan versi Menikah

Tergelitik menuliskan hal ini karena sangat merasa tersentil dengan konten instagram @risalahamar

Sungguh itu amat sangat benar sekali. Marah  di masa lajang dan menikah. Tak bisa disamakan. Marah saat dengan teman misalnya. Saat remaja mungkin kita akan dengan berani melawan atau bahkan membully balik saat merasa memiliki kekuatan. Adapun saat tidak memiliki kekuatan kita akan diam dan pasrah. Keadaan demikian akan berpengaruh ke masa pernikahan kita. Bisa jadi, kita langsung blak blakan marah dengan suami. Tapi bisa jadi lagi, kita malah memendam dan menumpuk semua masalah itu. Karena takut dengan apa yang akan terjadi saat kita ‘melawan’

Bisa jadi kan suami langsung berkata kasar. Bisa jadi pula kita akan dibentak disalahkan. Atau bahkan, ada yang emosinya sangat mengerikan sekali. Langsung tak segan berkata ‘talak’. Padahal mungkin permasalahannya sepele.

Kemarahan yang tidak dikontrol dengan baik akan berakibat fatal dikemudian hari. Baik itu bagi suami maupun istri.

Maka, benar adanya bawa cara marah semasa lajang sangat berbeda dengan semasa menikah. Ada sesuatu yang harus kita kontrol disitu. Menyadari emosi, membuat kontrol kemarahan mereda dan penonjolan empati lebih dominan. Berhenti saling menyalahkan. Tapi fokus pada, “Bagaimana sebaiknya solusinya? Bagaimana agar ini tidak terjadi lagi?” 

Menyadari bahwasanya pada suatu permasalahan. Tidak ada yang mutlak bahwa, “Kamulah yang salah.”

Akan tetapi.. “Kita berdua sama-sama salah. Yuk kita perbaiki bersama-sama”

Jadi, aku tak bisa membenarkan pernyataan dari salah seorang temanku. Bahwa kalau marah langsung kemukakan. Ah, tak bisa begitu. Mungkin bisa bagi wanita yang memiliki suami ‘super sabar’ tapi bagaimana jika suami kita bahkan tidak sesabar itu? Menganggap kita sensitif saat curhat, tak bisa memvalidasi perasaan kita, alih alih saling koreksi diri. Kita malah harus selalu mengobati hati kita sendiri tanpa pernah ‘tercurahkan’ bagaimana perasaan yang sebenarnya ada.

Tentang Bagaimana Islam Mengatur Batasan Saat Marah

Hati yang sakit lalu kemudian merasa marah kadang akan melontarkan pernyataan yang menyakitkan pula. Pertanyaan selanjutnya adalah..

Dari mana kata-kata yang muncul itu? Apakah dari hati kita? Atau dari setan yang memanfaatkan emosi kita?

Berbicara dengan suami, dengan niataan curhat atau sekedar ingin didengarkan tidak akan sukses ketika suami kita sendiri sedang dalam keadaan ‘tidak menerima’. Alih-alih didengarkan dan dipeluk, kita malah akan kembali disalahkan lagi dan lagi. Perdebatan demikianlah yang akan berujung debat kemarahan. Berlanjut saling membuka kelemahan masing-masing hingga masalah yang telah lalu kembali dijadikan ‘bahan bakar’ dan disirami bensin, diledakkan dengan gas, memicu bom waktu masing-masing yang sudah diset sedemikian rupa agar ‘nanti-nanti saja ya meledaknya’

Rasullullah sendiri bahkan mencontohkan agar dalam marah kita tak terlalu banyak bicara. Karena saat marah, bicara menjadi menyakitkan. Biasakan untuk mengambil jeda dalam kemarahan. Berwudhu. Atau sudahi dengan bilang, “Aku sedang marah, nanti saja kita bicara ketika suasana lebih baik” 

Alih-alih mempertahankan pendapat masing-masing yang justru akan meracuni pikiran.

Curhat Pada Pasangan Itu Boleh, Meminta Pada Pasangan Itu Boleh Karena Kalau Tidak dengan Pasangan ya dengan Siapa lagi?

Tahapan mengambil jeda saat marah seringkali menjadi jalan bagi setan untuk masuk.

Saat marah, wajarnya kita menyudahi dan takes time untuk sendirian lantas mengatur strategi untuk bisa berbicara pada pasangan agar masalah kita ‘tersampaikan dengan baik’. Tapi ada kalanya, rasa sakit itu dimanfaatkan oleh setan.

Bagaimana? Mungkin setan berbicara demikian, “Tuh kan, kamu tadi ngomong baik-baik. Dia malah menyalahkan. Malah bilang kamu selama ini cuma begini begitu.”

Lantas rasa demikian akan divalidasi ketika penumpukan-penumpukan emosi kita memuncak.. Seperti..

“Oh iya ya.. Si anu kemarin juga bilang bahwa aku gak bisa menghasilkan apa-apa..”

“Oh iya ya.. Aku gak layak meminta. Karena harusnya aku yang bisa mencari duit sendiri..”

“Kenapa tenagaku tidak dihargai padahal aku sudah berusaha keras dan jarang sekali meminta?”

Kalau direnungkan kembali.. Sebenarnya kenapa pikiran demikian bisa terlintas?

Karena kita memendam perasaan kecewa tanpa pernah tersalur dengan baik. Lantas setan dengan mudah mengolah perasaan kecewa itu menjadi api yang berkobar. Efeknya, jeda pada kemarahan yang harusnya diisi dengan mindfullness. Malah diisi dengan curhat pada orang lain demi meredakan emosi. Curhat pada teman, ipar untuk bisa menengahi, bahkan pada orang tua. Hingga terakhir jika tak juga mendapat solusi curhat pada sosial media. Karena pasangan kita tak mengerti dengan emosi yang kita rasakan. Tak mengerti kenapa air mata kita keluar dan wajah kita sedih dalam waktu yang lama

Padahal, sejatinya emosi dan curhat kita sebagai seorang istri adalah hal yang seharusnya diolah dengan baik oleh pasangan kita. Didiskusikan. Dia lah yang menjadi teman curhat kita, teman kita meminta jika kekurangan, teman kita meminta dukungan. Tapi bagaimana jika ‘teman seumur hidup’ kita justru menghakimi dan tak bisa memahami perasaan kita? 

Menjadi Pasangan yang Dicintai: Pasangan yang Bisa Berempati dan Mengontrol Emosi

Tahukah? Hati perempuan itu luass sekali. Di dalamnya ia menyimpan cinta untuk anaknya, untuk suaminya, untuk ibunya, mertuanya, iparnya, saudaranya. Tuntutan pada diri seorang perempuan itu banyak sekali. Disadari atau tidak, lingkungan kadang memaksanya untuk demikian. Ia dituntut terlalu banyak mencintai dan melayani tapi untuknya sendiri tak pernah ada satupun yang bertanya apakah cinta untuk dirinya sendiri sudah cukup? Bahkan sekedar mengemis cinta agar dirinya merasa ‘terisi kembali’ pun sulit dilakukan pasangannya. Yang demikian bukan terjadi pada kehidupanku, tapi banyak terjadi pada perempuan lainnya diluar sana.

Misalnya, Aku memiliki teman curhat yang bahkan ketika ia meminta uang untuk spp anak tak bisa, jikapun tak ada uangnya tentu istri bisa memahami. Keadaan yang terjadi adalah: Uangnya ada, banyak dan itu tak bisa. Sementara kita dituntut harus jadi Ibu yang baik. Bagaimana bisa menjadi Ibu yang baik dalam keadaan suami yang bahkan tak paham dengan kebutuhan rumah tangganya? Misalnya lagi, Aku memiliki teman curhat yang bahkan ia tak tau harus curhat kemana tentang dirinya yang sedang ‘tidak baik-baik saja psikisnya’ tapi bahkan suaminya mengklaim bahwa ia kurang iman. Ia yang bahkan selalu mengerjakan kewajiban dan sunnah, tak pernah membeli hal yang tak berguna, tak pernah makan diluar bahkan tak pernah menjenguk orang tuanya yang jauh. Bagaimana bisa dikatakan kurang iman dan kurang bersyukur? Padahal, andai ditolong ‘sedikit saja’ mungkin akan berbeda ceritanya.

Hati perempuan tercipta bagai kaca untuk bisa mencintai. Mungkin, sudah demikianlah hatinya diciptakan oleh Allah agar bisa memahami refleksi hati yang lain dan berkasih sayang. Tak dijaga, dia akan keras, kuat dan mandiri serta tentunya.. Ia jadi merasa tak butuh seorang laki-laki lagi dalam hidupnya. Disadari atau tidak, itulah yang terjadi pada ‘kebanyakan perempuan zaman sekarang’.

Maka, untukmu yang ingin memiliki seorang istri dengan hati yang lembut solusinya hanya satu jadilah pasangan yang dicintainya, yang bisa berempati pada perasaannya, kebutuhan anak-anaknya. Bukan ia yang menjadikanmu sosok pemimpin semata. Karena apa gunanya punya seseorang yang selalu patuh padamu tanpa mencintaimu? Apa gunanya punya seseorang yang serba bisa serba sempurna tapi tak punya perasaan. Perasaannya mati karena lelah ingin selalu sempurna. Apa boleh buat, seorang istri memiliki emosi. Bukan robot AI yang tak pernah berbicara dengan perasaan.

Aswinda Utari

Kasus seperti apa yang dialami teman curhatku adalah sekian dari banyak kasus yang bisa menyebabkan ‘gelas kaca yang pecah’. Perempuan, bisa saja menata gelasnya yang pecah sendiri. Mengambil lem dan menempel satu demi satu kepingan itu. Menjadikannya utuh kembali. Tapi, itu tak akan pernah sama lagi. Maka, jika ia mengeluh.. “Tolong jagalah gelasku yang pecah..” jangan disakiti kembali dengan mengatakan hal yang menyakitkan. Karena itu akan membuat pecahan itu kembali terurai berantakan. Tahukah? Sulit sekali menempel kembali kepingan kaca yang warnanya sama. Bahkan tangan sendiri akan terluka dalam prosesnya.

Semakin lembut perasaan perempuan, semakin besar kasih sayangnya maka ia semakin sempurna bagi keluarganya. Dan tentunya, semakin mudah pecah. Kalau menginginkan perempuan yang tangguh dan ‘anti pecah’ maka mungkin perempuan plastik akan menjadi jawabannya. Mandiri, tak perlu dijaga, tak punya kasih sayang. Tapi bukan itu yang laki-laki inginkan bukan? 

Mencegah Fenomena Over Sharing Istri dengan Gelas yang Pecah

Aku pernah mengikuti kelas me time bersama para ibu-ibu di banjarmasin. Kelas yang diharapkan menjadi wadah bagi ibu-ibu untuk ‘sharing’ itu telah membuatku belajar satu hal. Bahwa, eh.. Ternyata.. Semua perempuan itu kalau sedang curhat yang dibicarakan ya ‘tentang rumah tangganya’. Kenapa? Karena ia butuh perasaan validasi dari yang lain. Dan tentunya, butuh solusi nyata dari ahlinya. Kebetulan, dalam kelas saat itu memang diisi oleh psikolog.

Satu per satu curhat aku dengarkan. Ada yang curhat verbal panjang sekali. Ada pula yang sampai ingin menangis. Siapa yang dibicarakan? Suaminya. Komunikasinya yang selalu tidak sinkron. Kebingungannya dalam jalan yang buntu.

Pertanyaan selanjutnya, bisakah hal demikian dianggap sebagai membuka aib suami? 🙂

Dalam persepsiku sendiri, berbicara dan curhat tentang rumah tangga itu sebenarnya dibolehkan. Asalkan dalam lingkup yang privasi. Curhat dengan teman dekat yang sudah lama tau dengan kita, membuat status yang hanya bisa dilihat 1-3 orang teman dekat saja. Sebenarnya itu boleh. Asalkan, orang yang kita percayai bisa menjaga privasi kita. Dan itu tentunya dilindungi oleh kebijakan kita sendiri dalam melakukan sharing.

Lantas bagaimana jika tulisan curhat sudah menyimpang? Again, ending konten @risalahamar ini benar-benar menyentuh hatiku.

Berteriak, histeris, meracau, mengungkit kesalahan lama. Yang demikian, dilakukan secara verbal maupun tertulis ‘sama buruknya’. Dilakukan secara verbal berarti kita telah menyakiti orang yang mendengarnya. Dilakukan secara tertulis kita telah menyakiti hati kita sendiri dan membuat berbagai persepsi dari hati orang yang membacanya. 

Aku tipikal yang pernah melakukan yang kedua. Mengutuki secara tertulis. Karena aku berpikir, “kalau aku keluarkan secara verbal kok sakit banget ya rasanya mungkin bagi dia”. Aku tak mau orang yang aku kutuk merasakan rasa sakit itu, maka aku menyalurkannya dengan cara yang lain. Berharap aku bisa meredakannya dan kembali bisa berkomunikasi verbal dengan merendahkan suara plus mengatur kata-kata. Nyatanya, tulisan itu menjadi bumerang efek pada diriku sendiri. 🙂

Bijaknya, kemarahan pada pasangan adalah tanggung jawab kita dengan pasangan kita sendiri. Itu rahasia. Itu aib. Kurasa semua orang setuju dan paham akan hal itu. Tapi, kembali lagi.. Bacalah tulisan ini perlahan kembali. Berkacalah.. Bertanyalah pada diri sendiri…

“Sudahkah kita berempati pada kemarahan pasangan kita?”
“Sudahkah kita berempati pada kesedihan pasangan kita?”

“Sudahkah kita sadar bahwa.. Ini bukan mutlak kesalahan pasangan kita.. Tapi kita berdua sama-sama perlu mengoreksi diri sendiri.”

Jadilah perisai untuk kemarahan pasangan. Seorang istri mungkin bisa membuka aib mendadak saat marah. Tapi seorang Suami pun juga punya tanggung jawab untuk bisa mencegah hal itu.

Seorang suami mungkin bisa mencaci dengan kata menyakitkan saat marah. Tapi seorang istri, masih punya pilihan diam dan sabar. Ingat, kemarahan yang dipublikasi secara luas mungkin akan menjatuhkan harga diri suami.

Semoga kita dan pasangan kita, selalu diberikan kesabaran dalam proses kehidupan ini.

Mengontrol Marah Bukan Menyumbat Kesehatan Jiwa tapi Latihan Tak Berujung untuk Dapat Maksimal Mengasuh Keluarga

Sabar? Ha? Sabar? Tiap baca tulisan tentang konflik suami istri ujung-ujungnya pasti disuruh SABAR!! BASI!!

“Kenapa ya kalau baca tulisan tentang mengontrol emosi itu, seakan-akan kita disuruh diem aja dan ujung-ujungnya jengkel sendiri. Ah itu menyumbat kesehatan jiwa gak sih? Padahal perlu banget loh release semuanya agar bisa plong.”

Ada gak yang berpikir demikian? Tentu, itu adalah diriku yang dulu. Hihi.

Jujur, rasanya mengontrol kemarahan itu sulit sekali dilakukan. Apalagi aku lahir di lingkup dimana orang tua aku selalu blak blakan kalau marah. Tak peduli ini itu. Tak peduli anak mendengar. Efek positifnya aku jadi tau segala masalah keluarga. Dari masalah ekonomi, hubungan sosial dll. Makanya, lingkungan demikian telah membentuk diriku yang super irit hemat, plus sangat hati-hati dalam bergaul di lingkungan sosial secara nyata. Tapi efek negatifnya adalah, aku kadang menjadi anak peniru ulung kelakukan orang tuaku. 

See? Terlihat receh sebenarnya. Tapi aku yang tak bisa mengontrol kemarahan. Akan berakibat hal yang sama pada pertumbuhan anak-anakku. Seperti mama yang setiap pagi sering kali memarahiku, padahal mama sedang melampiaskan kemarahan pada Abah. Refleks, aku sering melakukan hal yang sama. Padahal, itu bisa dikontrol. Diam dulu, berhenti bicara, atur ulang strategi, curhat pada teman dekat, curhat pada Allah, ulangi lagi berkomunikasi pada suami. Mungkin, karakter suami keras dan kuat. Tapi, bahkan batupun bisa retak jika secara konsisten terpedaya perubahan iklim dari sekitarnya. Kita mungkin tak bisa merubah perilaku orang lain. Tapi, kita bisa mengontrol diri sendiri. Selebihnya, biarkanlah Allah menjawab doa yang selalu kita panjatkan

Jadilah orang baik, dimulai dari mengontrol kemarahan… ya.. Diri sendiri…

Tulisan ini adalah tulisan self reminder untuk selalu bisa kubaca kembali jika mengalami kemarahan. Sangat berterima kasih untuk Risalah Amar yang telah sharing tulisan yang begitu menyentuh tentang rumah tangga. 

Pernikahan yang Sehat itu, Bagaimanakah?

Pernikahan yang Sehat itu, Bagaimanakah?

Bagaimana sih definisi pernikahan yang sehat? 

Apakah pernikahan bisa dikatakan sehat ketika suami istri terlihat kokoh finansial? 

Apakah pernikahan dikatakan tidak sehat ketika tidak kunjung memiliki anak? 

Dan apakah pernikahan bisa dikatakan sehat hanya dengan melihat senyuman? 

Pernikahan yang sehat itu bukan dilihat dari pandangan orang lain, tapi dirasakan oleh hati

Sudah berapa lama umur pernikahanmu? Sebulan? Setahun? Lima tahun? Atau sepuluh tahun? 

Jadi, sudah punya rumah? Atau mobil? Atau memprioritaskan untuk memiliki anak terlebih dahulu? 

Sadar atau tidak, sebenarnya pernikahan yang sehat itu bukan tentang seberapa banyak yang sudah kita miliki. Atau seberapa bagusnya kita di pandangan semua orang. 

Pernikahan yang sehat adalah ketika cinta itu masih tumbuh. Seburuk apapun keadaan yang ada sekarang. Pun kalau kalian merasa terpuruk secara ekonomi, jika cinta masih ada. Sungguh, sebenarnya pernikahan kalian masih dalam kategori sehat. Depresiasi secara finansial bukan berarti pernikahan kalian jauh lebih buruk dibanding yang lain. 

Pertanyaannya, bagaimana caranya menumbuhkan rasa cinta itu ketika kondisi sedang sangat sakit? Baik itu secara ekonomi maupun mental. 

Komitmen. Ingat tentang sebuah tujuan. Ingat tentang janji yang pernah terucapkan. Selama kesakitan yang timbul tidak karena orang yang kita cintai. Sungguh itu tidak apa-apa. 

Misalnya, ketika pernikahan kita sedang diuji secara ekonomi. Pernikahan kita masih dalam kategori sehat asalkan suami masih berkomitmen untuk memberikan kewajiban, sekecil apapun itu. Bahkan, pernikahan kita masih masuk dalam kategori sehat jika suami kehilangan pekerjaannya. Sejauh ia masih berusaha support dengan hidupmu. Maka, secara ekonomi pernikahan kita masih sangat berpotensi untuk sehat, untuk sembuh walaupun cobaannya berat. 

Pernikahanmu masuk dalam kategori sakit. Ketika suami kehilangan rasa tanggung jawabnya. Biarpun ia mampu secara finansial, tapi jika ia tak peduli dengan keuangan bahkan terkesan pelit hingga membanding-bandingkan dengan pengeluaran keluarga lain. Maka, toxic pernikahan sudah muncul dalam pernikahanmu. 

Secara mental, pernikahanmu masih termasuk dalam kategori sehat ketika suamimu terus mendukung dan membelamu (sejauh tindakanmu baik). Contoh, ketika kita berhadapan pada masalah dengan mertua, ipar, dsb. Pernikahanmu masih masuk dalam kategori sehat secara mental jika suamimu mendukung dan membelamu. Tapi, kalau tidak maka pernikahanmu masuk dalam kategori toxic. 

Jadi, pernikahan yang sehat bukan tentang seberapa banyak pencapaian yang telah kita peroleh selama periode pernikahan. Sudah punya rumah, punya mobil, punya anak dll dsb. Pernikahan itu sungguh akarnya adalah antara suami dan istri. Adapun jika yang lain terlihat sejahtera maka itu adalah buah dari akar yang baik. 

Pernikahan yang sehat itu simpel. Ketika kita masih bisa merasakan cinta walau begitu banyak cobaan yang datang. 

Terdengar lebay ya? Ya, tapi begitulah pengalamanku menghadapi pernikahan selama 9 tahun. 

Mengobati Toxic dalam Pernikahan

Selama 9 tahun menikah, bukan berarti cinta antara aku dan suami selalu berada dalam kategori sehat. 

Sungguh, sangat amat sering berada dalam fase toxic. Terlebih, pada awal pernikahan. 

Aku remind dulu ya. Bercerita begini bukan berarti membuka aib. Tapi, kita gak tau siapa tau diantara kalian ada yang memiliki nasib sama sepertiku. 

Masalah yang sempat tumbuh dalam pernikahanku adalah ketika kami diberikan anak. Jujur kami bukanlah pasangan yang siap memiliki anak. Aku belum siap, suamiku apalagi. But, I try.. 

Suamiku bukanlah tipe yang peka dengan peran menjadi Ayah. Terlebih, lingkungan hidupnya sangat patriarki. Sehingga, dia cuma melihat bahwa segala urusan anak, rumah, dapur, itu adalah urusanku. Dia hanya berpikir bahwa kewajiban lelaki adalah mencari nafkah. Cukup tak cukup harus cukup. Lelah tak lelah, hadapi. 

Aku sungguh tak apa menahan hal demikian. Itulah yang aku pikirkan dahulu. Toxic secara finansial sedang menjajah hidupku. Kemudian aku harus berhadapan pada toxic secara mental. Tinggal di rumah mertua, berhadapan dengan budaya baru, keluarga baru yang pandangannya berbeda. Membuatku kaku. Suami mungkin awalnya membelaku. Tapi lambat laun, aku sadar bukan mendapat porsi dominan dalam kepedulian. Ya memang tidak apa-apa. Justru seharusnya begitu bukan? Selamanya bakti anak adalah pada Ibunya. Tapi pertanyaannya, apakah iya aku harus berhadapan pada toxic secara finansial maupun mental dalam rumah mertua? 

Maka apa yang harus aku lakukan? 

Mengobati toxic dalam pernikahan salah satu cara terbaiknya adalah menumbuhkan rasa empati pada pasangan. Caranya bermacam. Mungkin para pakar pernikahan diluar sana selalu berkata bahwa komunikasi adalah kunci. Tapi, sungguh komunikasi setiap orang itu memiliki seni. Kadang, justru ketika dalam diamlah kesadaran akan empati itu datang. 

Baca juga: Tak selamanya komunikasi adalah kunci

Maka, selain mencoba mendapatkan empati dari pasangan sungguh.. Jangan pernah lepas dari doa. Bukan hanya doa pribadi. Doa orang tua adalah jurus terbaik. 

Aku merasakan sendiri. Pernah dalam fase stuck dan sangat merasa tidak dicintai. Di nomor 2,3,4kan dibanding yang lain. Merasa tidak berharga tidak berdaya. Tapi pertolongan Allah selalu datang untuk menjaga pernikahan kami. 

Pernikahan sehat juga tentang refleksi diri plus membersihkan hati

Kadang, kita sangat gampang menyadari adanya toxic yang datang dari pasangan. Tapi, sangat sulit menyadari bahwa.. Hei, jangan-jangan selama ini pikiran aku lah yang kotor? Jangan-jangan hatiku yang selama ini toxic? 

Merasa diri ‘paling’ berusaha. 

Kemudian mulai membanding-bandingkan dengan pasangan lain yang terlihat lebih. Tanpa sadar, meremehkan pasangan sendiri. Lalu merasa gelap sendiri. Gelap karena memang hati kita yang sedang kotor. Kotor oleh rasa angkuh dan iri dengki. 

Sejatinya, setiap pernikahan pasti mengalami rasa-rasa demikian. Sangat wajar sih menurutku kalau itu terjadi. Karena, akupun pernah begitu. 

Merasa diri ini saja yang paling lelah, tidak dibantu, tidak didukung, tidak dihargai. Lalu pikiran mulai berprasangka macam-macam. Apalagi kalau melihat pasangan lain yang rasanya kok ideal sekali. Aduh, panas rasanya. Iri pun datang. Hati pun semakin gelap. 

Ketika permintaan tolong tidak dihiraukan, Terima kasih jarang diucapkan. Lalu, saling gengsi meminta maaf karena merasa, “DIA KOK YANG SALAH”

Padahal, hei.. Jangan-jangan memang ‘Aku’ yang perlu diobati. 

Tidak pernah ada ujungnya yang namanya perselisihan. Jika tidak  dimulai dari saling mengoreksi diri sendiri. 

Seberapa benarnya pun diri kita. Sangat penting untuk berkaca dan mulai mengoreksi diri. Kadang, sangat gampang melihat toxic yang hadir dari pasangan. Tapi hal tersulit adalah mencari sudut gelap dalam hati kita sendiri. 

Telusuri penyebabnya dan kalau perlu mintalah pasangan untuk jujur pada kita. Apa sih kekurangan kita. 

Seni Saling Memberdayakan Pasangan, Kunci Pernikahan Sehat Mental dan Finansial

Permasalahan terbanyak dalam pernikahan adalah masalah finansial karena membuat ekonomi stuck lalu mental jadi down. Kemiskinan terstruktur pun menjadi berakar dan menurun pada generasi selanjutnya. 

Permasalahan kedua yang sering hadir juga sering diawali oleh masalah mental. Banyak ragamnya. Dari trauma innerchild yang belum tuntas dihadapi, PPD ketika memiliki anak, stress karena kehilangan passion dalam bekerja yang bukan pada bidangnya, dll dsb. 

Sebenarnya, ada jurus pamungkas untuk mengurangi masalah mental dan finansial dalam pernikahan. Kalian tau apa itu? 

Yaitu seni saling memberdayakan pasangan. 😁

Kita sering berhadapan pada statement bahwa istri harus mendukung suami dalam bekerja. Agar suami bisa optimal dengan memberdayakan dirinya.. Maka, istri sebaiknya di rumah saja untuk khusus melayani dan mengurus anak. Biarkan suami bekerja diluar. Sungguh, gak salah. Ada benernya kok. Aku pun pernah dalam sepemahaman demikian. 

Saat memiliki anak, kita berdua sepakat dengan skema demikian. Alhamdulillah, rejeki suami memang melesat maju. Kami bisa membeli rumah, mendirikan perusahaan, dll dsb. Ya, pemahaman itu sejatinya benar. 

Tapi, risiko dari hal ini adalah istri rentan stress. 

Kupikir loh, dulu itu kalau aku di rumah saja maka aku bisa menjadi Ibu yang baik. Karena punya banyak waktu untuk anak. 

Kupikir aku bisa jadi istri yang baik. Karena punya banyak waktu untuk merawat diri hingga memasak dan memanjakan suami. 

Kupikir, hidup di rumah saja akan menjadi sesempurna itu. 

Ternyata, aku stress gaes. Aku kena babyblues lalu sempat PPD. Wkwk. 

Hidup di rumah aja. Ternyata bikin value yang aku miliki jadi terdepresiasi. 

Dulu ya aku bangga banget sama diriku. Aku Aswinda Utari, anak yang lumayan disegani di kampus. Suka sekali setiap persentasi. Punya kesibukan, bisa ini bisa itu.. Bla bla.. 

Ketika di rumah aja ngurus rumah dan anak. Aku sempat ada di posisi begini.. “Eh, aku siapa? Eh aku bisa apa? Kok aku begini aja?”

Gak ada hal yang lebih sad dibanding ketika kamu kehilangan diri sendiri lalu merasa gak berdaya. Ngerasa hilang dari dunia dan kok dunia jadi sekedar black n white. Pikiran menyempit, hobinya suuzhon. Masa tergelap dalam hidup aku. 😭

Kalian tau apa solusinya? Berdayakan diri. Mulai berkaca dan temukan tujuan baru dalam hidup. Tujuan yang bikin diri sendiri jadi berdaya. 

Saat menjadi Ibu, ada 2 dunia yang rentan hilang dari kita. Yaitu Dunia sosial dan Dunia untuk diri sendiri. Dalam bahasa kerennya mungkin me time plus social time. Awalnya, aku meremehkan pentingnya 2 dunia ini untuk keseimbangan hidup. Ternyata, itu sangat penting ada. Karena ya.. Begitulah manusia. Manusia punya misi visi untuk dirinya agar bisa bahagia. Manusia juga diciptakan Tuhan sebagai makhluk sosial. 

Maka, kami mulai merombak ulang sistem pernikahan dalam keluarga kami. Memperbaiki skema patriarki yang sekian tahun ada dalam hidup aku. 

“Pasangan itu harus saling memberdayakan”

Jika aku mendukung suamiku dalam pekerjaannya sebagai seorang dosen dan pembisnis IT. Maka, suamiku juga harus mendukungku dalam menekuni hobi menulis. Suamiku membuatkanku blog dan memaklumiku jika sesekali aku sibuk menulis atau ada hal-hal lainnya. Thats our deal. 

Time flies, bisnis IT suami tumbuh diluar perkiraan dan kami memberanikan diri membangun kantor baru. 

Aku sering melamun melihat kantor tersebut. Ada keinginan terbesit dihatiku. Aku ingin bekerja disini. 

Kalian tau? Meski senang menulis. Sebenarnya aku adalah seorang lulusan akuntansi. Sudah 9 tahun lamanya aku tak bersinggungan lagi dengan debit kredit. Yhaa.. Kecuali saat melihat buku tabungan dll. Haha. 

Ada perasaan galau yang timbul akhir-akhir ini. Apakah kami akan berjalan saling mendukung dengan jalan yang berbeda? Atau sebaiknya, aku menempuh jalan yang sama dengan suamiku dan mendukungnya dari jarak dekat sekaligus mengoptimalkan diriku yang dulu lagi? 

Butuh penyesuaian dan belajar kembali. Tapi, mungkin saja aku bisa bukan? Mungkin saja aku bisa membantu suami sambil melakukan hal lainnya. 

Karena sesungguhnya, pasangan yang saling memberdayakan itu bagus. Tapi, pasangan yang bersatu dalam satu pekerjaan mungkin itu akan luar biasa. 

Aku melamun sambil melihat pasangan suami istri yang berjualan martabak. Kulihat mereka yang sama-sama sibuk. Tapi begitu kompak dalam kerja sama. 

Aku pun teringat dengan pasangan yang berjualan sayur di pagi hari di pasar. Yang satu melayani pembeli, dan yang satu membantu mengambilkan sayur. 

Aku melihat pasangan suami istri yang bekerja membudidayakan jamur. Sang suami tekun menanam jamur, sementara sangat istri mengolahnya menjadi berbagai masakan lantas menjualnya. 

Kemudian, aku menonton drama Korea Whats Wrong With Secretary Kim. Sungguh, sepertinya bekerja bersama pasangan mungkin akan menjadi pengalaman luar biasa dalam pernikahanku. 

*Kemudian aku membaca blogpost ini. Astaga, ngobrolnya sudah uncontrol. Maafkan curhat terselubung ini ya gaes.. Haha. 

Ya, intinya begitulah. Jika kalian ingin kunci pernikahan yang sehat mental dan finansial. Tak ada salahnya memulai dari hal ini. 

Yuk, saling memberdayakan pasangan. Dia berdaya, kamu berdaya. Pernikahan kalian punya sehat dan jaya! Aamiin. 

Curcol Tentang Drama Love ft. Marriage And Divorce

Curcol Tentang Drama Love ft. Marriage And Divorce

Pernah gak kalian nonton drama berbau perselingkuhan tapi bawaannya slow aja? Gak mau ngegass, gak mau sumpah serapah.. Tapi rasanya kok penasaran.. XD

Hal begini yang aku rasain setelah coba icip-icip nonton drama Love ft Marriage and Divorce. Drama ini udah 2 season loh berjalan dan season 2 sudah berakhir minggu kemarin. 

Jujurly, pas nonton drama ini dari season 1 tuh agak-agak ngantuk sih. Karena dari episode 1-2 itu terlalu banyak komunikasi. Ada sih kejut-kejutnya tapi tidak membuatku penasaran sampai ingin terus menonton. 

Waktu berlalu, eh tetau udah season 2 aja. Rame banget yang ngebahas drama ini di sosmed aku. Merasa terinfluence, akhirnya aku malah ikut menonton lagi. Loncat langsung ke season 2. 🤣

Trus, ngerasa rame.. Dan lanjott. Dibarengi mengejar season 1 yang ketinggalan. Dasar aku, nonton drama suka loncat-loncat. (Kalian ada yang gini juga? ) 

Eh, tapi seru loh. Karena banyak banget pembelajaran yang aku dapet dari drama ini. Tapi, kali ini aku gak mau nulis point pembelajarannya. Gak mau sok bijak karena drama ini gak mengajak buat bijak, tapi mengajak buat belajar dari sisi-sisi yang lain.  So, aku putuskan buat curcol ringan aja deh ya mengenai drama  ini. 

Mengupas Karakter Kehidupan Suami-Istri di Love ft Marriage and Divorce

Mari dimulai dengan pengupasan karakter dan bertanya-tanya, “Sebenarnya, kehidupan pernikahan macam apa yang sedang dijalani jadi suami memilih selingkuh?”

Drama ini diawali dengan pertemanan antara Boo Hae Ryoung, Sa Pi Young dan Lee Si Eun. Mereka bertiga bekerja pada tempat yang sama. Mereka saling akrab dan senang berbagi cerita. Ketiganya punya karakter berbeda-beda pun juga suami yang berbeda profesi dan karakter. Tapi, mereka punya satu kesamaan yaitu.. 

Sama-sama mencintai pasangannya. Lantas, apa sih yang terjadi? 

Park Hae-ryoon dan Lee Si-eun

“Suamimu masih sangat gagah dan tampan. Kamu tidak khawatir ada yang menggodanya di kampus?” – Boo Hye Ryoung

“Ah, suamiku tidak seperti laki-laki kebanyakan. Dia bahkan sangat jarang minum. Apalagi ikut bermain golf seperti laki-laki pada umumnya” -Lee Si eun

“Tapi sebagai perempuan kita tidak boleh lengah. Paling tidak, kita harus merawat diri. Nanti rasa cinta pasangan bisa hilang. Aku tipe yang sekuat tenaga mempertahankan perasaan cinta itu” – Pi Young

“Kalian bisa bilang demikian karena memiliki ART di rumah. Sedangkan aku tidak seperti kalian, aku punya 2 anak dengan kondisi ekonomi berbeda. Sehingga harus menghemat uang dengan mengerjakan semua pekerjaan..” -Lee Si Eun

“Tapi Si Eun.. Kamu memang tidak pernah berdandan sejak masih muda” – Boo Hae Ryoung

“Ya, benar.. Kami tak pernah melihatmu berdandan dan berpakaian layak.. “

Lee Si Eun diam sejenak. Lalu memaksa tersenyum sambil berkata.. 

“Semakin tua usia pernikahan, rasa cinta berubah menjadi sebuah ikatan dan tanggung jawab. Kalian akan paham hal itu suatu hari nanti” -Lee Si Eun

Aku masih mengingat samar-samar percakapan 3 sahabat ini diawal drama. Saat itu, aku sudah punya hard feeling bahwa karakter Lee Si Eun pasti akan jadi karakter istri teraniaya layaknya sinetron ikan terbang. Karena biasanya, drama perselingkuhan pasti diawali oleh penyebab rata-rata begini. Yaitu, istri yang tidak bisa merawat diri. 

Tapi, dalam lubuk hatiku yang digali-gali. Aku membenarkan ucapan Lee Si Eun. 

“Semakin tua usia pernikahan, rasa cinta berubah menjadi sebuah ikatan dan tanggung jawab”

Aku selalu membenarkan hal itu. Dan aku percaya, bahwa memang ada kok tipikal lelaki yang memegang teguh komitmennya. Seberapapun memudarnya pesona kecantikan si istri. 

Tapi, lelaki memang makhluk yang didesain berbeda. Begitupun dengan Park Hae-ryoon. 

Selama puluhan tahun menikah, Park Hae Ryoon selalu berusaha menerima keadaan istrinya. Bagaimana tidak? Soalnya istrinya sempurna kok. Mandiri Finansial, pintar memasak, seorang ibu yang baik. Kekurangannya hanya satu. 

Tidak bisa merawat diri. Karena terlalu memiliki banyak kesibukan di rumah. 

Lee Si Eun merasa bahwa itu bukanlah kekurangan yang fatal. Namun sebaliknya, bagi Park Hae Ryoon.. Ia merasa sudah cukup bersabar untuk menerima hal tersebut. Masalah ‘ranjang’ bagi perempuan bukanlah hal besar. Bagi lelaki, ini penting. Apalagi jika puber kedua menyerang. Itulah awal mula petaka terjadi. 

Khilaf, Park Hae ryoon lupa dengan statusnya yang dulu. Lupa bahwa ia adalah seorang ayah dari anak-anak yang sudah besar. Ia memutuskan bercerai begitu saja. Lari mengejar perempuan yang lain. 

Pan Sa-hyeon dan Boo Hae-Ryoung

Sa hyeon lahir dari keluarga kaya. Dia anak baik-baik dari keluarga yang juga baik-baik karakternya. Ia berprofesi sebagai pengacara dan menikahi Boo Hye ryoung, seorang penyiar radio yang hits dengan program acara Cinta dan memiliki banyak penggemar. Sekilas, tidak ada kekurangan dari pasangan ini. 

Apalagi, pasangan ini memulai pernikahan dengan rasa cinta. Namun berjalan tidak semestinya. Kenapa? 

Hmm, kenapa ya? Padahal Hye ryoung sudah cantik dan bisa merawat diri. Mandiri finansial pula dan sosok yang tangguh pendiriannya. Sangat berbeda dengan Lee Si Eun. 

Konon Hye ryoung tidak mau memasak dan menyiapkan makanan. Bahkan semua masakan hasil pemberian mertuanya pernah hampir dibuang semuanya. Tidak hanya itu, Hye ryoung juga tidak mau memiliki anak. Tapi apa iya karakter begini pantas untuk dijadikan alasan selingkuh

Setelah menonton sekian season, aku baru merasa bahwa Boo Hye ryoung memiliki sifat leadership yang tidak bisa diimbangi dengan Sa hyeon. 

Hye ryoung adalah wanita cantik yang penuh dengan citra. Sa hyeon tidak menyangka bahwa dibalik citra Hye ryoung, banyak kekurangan baru yang tidak bisa diterimanya. Hye ryoung bukanlah tipe perempuan manis yang bisa dengan nyaman diajak berkomunikasi. Rasa cinta itu kian memudar dalam waktu yang terbilang cukup singkat. 

Shin Yoo-shin dan Sa Pi-Young

Bagaimana bisa pasangan yang sama-sama mencintai dan sama-sama sempurna bisa masuk dalam tragedi perselingkuhan? 

Kenapa? 

Kenapa? Why oh whaaaay? 

Sekian episode sering merasa ‘iri hati’ setiap melihat pasangan Yoo-shin dan Pi-Young. Berimajinasi kapan suamiku bisa seromantis itu. Main peluk-peluk kejutan, dikit-dikit kasih hadiah, sebelum tidur makan es krim, tak gendong kemana-mana dan mandi bareng di bak mandi.. Rasanya kok saya dan suami gak ada apa-apanya.. 😭😂 *PLAK.. Ditoyor suami.. 

Yang Laki profesinya dokter jiwa, dan yang Bini profesinya produser. Punya anak satu perempuan dan manis banget. Hidupnya super sempurnaaaaa. 

Yang Laki tanpa cela. Yang bini luar biasa. Hebat keduanya. Bukan hanya bisa berperan sebagai suami istri yang baik. Tapi juga ibu dan ayah yang baik. 

Lantas kenapa suaminya bisa selingkuh??? 

“Aku bisa maklum jika suamiku selingkuh karena aku yang tak bisa merawat diri, aku juga bisa paham dengan hye ryoung yang tidak mau punya anak. Tapi Pi Young.. Aku tidak bjsa mengerti kenapa suamimu bisa berselingkuh?” Si Eun

“Kalian tau? Laki-laki selingkuh tanpa alasan” -Pi Young

Tapi, sungguh tak ada akibat tanpa sebab. Percayakah kalian akan hukum karma? Kupikir, perselingkuhan yang terjadi dalam keluarga ini adalah teguran keras bagi Pi Young atas perlakuannya pada Ibunya selama ini. Ibu yang tidak pernah ia maafkan karena telah memisahkannya dari Ayah kandungnya. Ibu yang bersikeras bercerai karena tragedi selingkuh. Ia tak pernah memaafkan ibunya karena ia belum ‘merasakan’. Mungkin benar kiranya bahwa ‘rasa’ adalah sebuah bahasa komunikasi yang efektif. Rasa itu berbuah penyesalan yang menyakitkan.

Mengupas Karakter Para Pelakor, Apakah Pelakor Itu Jahad? 

Aku sebelum nonton LOVE Marriage vs Divorce, “Pokoknya semua pelakor tuh jahat. Ya logika aja sih, udah tau laki-lakinya dah bekeluarga masih aja gatel.”

Aku sesudah nonton LOVE Marriage vs Divorce, “Kok kagak ada sih kelakuan pelakornya yang jahat? Kok aku jadi ikutan berempati sih? Duh, konslet nih otak.” 🤣

Jadi kalau ada perselingkuhan, yang salah itu siapa? Apa iya semua salah pelakornya? Coba deh kita kupas tuntas karakter masing-masing pelakor disini:

Nam Ga Bin

Kok bisa sih artis musikal yang masih cantik diusia 40an, tergoda sama Hae ryoon. Si dosen yang sudah punya 2 anak gede? Ini yang kegatelan duluan siapa? 

Perselingkuhan terjadi ketika ada kesempatan. Sungguh hati seorang wanita dan pria itu lemah. Makanya, kalau sudah bekeluarga kagak usah deh sok-sok temenan dekat sama lawan jenis. Apalagi pake acara curhat. Yang ada nanti berempati, pelukan bilang hush hush gak papa, saling melihat mata, berbinar-binar, lalu pengen kiss. Ena ena deh.. Lanjott lanjottt… 😌

Karakter Nam Ga Bin ini sebenarnya gak jahat kok. Dia cuma kelewat polos aja gak ngerti sama dunia. Gak ngerti bahwa di dunia ini ada yang namanya anak broken home. *ini kok jadi julidin orang.. 🤣

Tapi serius, awal hubungan Nam Ga Bin sama Park Hae Ryoon itu kan karena tetiba bertemu dalam profesi. Lalu dekat, dekat dan curhat. Nam Ga Bin overall baik. Tapi, dia memutuskan lari ke Park Hae Ryoon ketika ia sedang sedih. Mana Park Hae Ryoon juga lagi ‘sedih’ melihat istri tak terawat di rumah. Jadi deh selingkuh.. 

Entah kelewat polos atau bagaimana ya si Nam Ga Bin ini, sempat emosi juga melihat cara dia ingin berbaikan dengan Lee Si Eun dengan insight polosnya. Seolah-olah menikah dengan Park Hae Ryoon tidak melukai yang lain. Gak bisa paham dengan posisi anak broken home. 

Dan aku sangat menantikan adegan Nam Ga Bin yang sadar bahwa sikapnya yang kelewat polos itu salah. Aku sangat puas dengan ending karakter Nam Ga Bin yang tersadarkan insightnya ketika kedua orang tuanya meninggal. Bagaimana cara ia meminta maaf pada Lee Si Eun. Seketika… kok jadi pengen ikut nangis.. 😭

“Aku tidak tahu kenapa aku bisa begini.. Padahal kedua orang tuaku baik dan mereka membesarkanku dengan penuh cinta.. Bagaimana bisa aku merenggut kebahagiaan keluarga lain” – Nam Ga Bin

A Mi

Gadis muda, cantik, belia, polos, lugu, ceria, baik.. 

Kok mau-maunya nekat maksa nikah sama Yoo Shin yang umurnya berbeda puluhan tahun? Kok bisa merusak kesempurnaan pernikahan orang? Nyuruh cerai segala? Kok egois banget? Kok manja banget. *Kok minta toyor.. Haha 🤣

Kalau enggak kenal sama karakter A Mi, aku yakin didunia nyata sosok begini bakal dibully dan ramai jadi bahan ghibah. 

Tapiii… Apa iya aslinya memang sejahat itu? 

Kalau aku pribadi, menilai sosok A Mi sebagai gadis lugu yang kehilangan sosok ayah di masa kecilnya. Ia merupakan anak diluar nikah yang dibesarkan ibunya tanpa sosok ayah kandungnya. Ia dibesarkan tanpa pelindung dan dipaksa untuk serba mandiri dan kuat. 

Awalnya ia tinggal di amerika, lalu datang ke korea seorang diri. Dengan pribadi yang masih lugu dan rapuh di dalam. Kemudian, bertemu dengan Yoo Shin. Sosok yang ‘tidak tegaan’ karena mungkin berkaitan dengan profesinya sebagai dokter jiwa. Keadaan yang demikian memunculkan benih-benih cinta pada A Mi. Ia pun mulai aktif mendekati Yoo Shin. 

Aku pribadi sih yakin ya.. Sebenarnya, yang dirasakan oleh A Mi bukanlah rasa cinta. Tapi rasa haus akan kasih sayang dan sosok ayah. Yoo Shin menjawab lobang kosong yang ada pada hidupnya. Dan ya.. Namanya juga lelaki.. Lelaki mana sih yang tidak tergoda dengan sosok sepolos dan secantik A Mi? Yoo Shin yang memiliki istri dan keluarga yang sempurna pun lengah dibuatnya. 

Song Won

“Heran deh aku, gemes tuh sama mertuanya Hye Ryoung. Masa anaknya selingkuh tapi mertuanya malah lebih suka sama selingkuhannya dibanding sama Hye Ryoung istri sahnya?”

Aku membaca salah satu komentar netizen di sosmed temanku. Kok aku jadi cengengesan ya. 

Kalian tau apa yang aku pikirkan? 

“Mungkin, kalau aku jadi orang tua Sa Hyeon.. Aku bakal ngelakuin hal yang sama.. ” XD

Hanya di drama korea ada adegan mertua sayang dengan pelakor. Ya, aku sih baru nonton. Entahlah kalian.. Haha. 

Ya gimana gak sayang. Kelakuan palakornya jauh lebih baik dibanding istri sahnya. *lalu aku ikut dibully netizen.. 😂

Song Won ini di mata aku baik banget. Lemah lembut, bisa berkomunikasi dengan nyaman, penyayang, bisa membawa diri. Jauh banget sama karakter Hye Ryoung. Mungkin di mata Sa Hyeon, Song Won dan Hye Ryoung itu bagai langit dan bumi. Kagak ada mirip-miripnya. Haha. 

Ih, kamu kok ngebela karakter pelakor win? Ingat loh dia pelakor! 

Iya, kenapa ya di drakor pelakornya baek banget gini.. Aku jadi kebawa empati.. 😭

Song Won bukanlah gadis muda, bahkan usianya jauh diatas Sa Hyeon. Bukan pula gadis cantik, ia tidak ada bandingannya dengan kecantikan Hye Ryoung. Bahkan dia bukan gadis lagi kok. Melainkan seorang janda. Tuh, cowok mana mana sih yang matanya keseleo mau selingkuh sama Song Won? 

Tapi, Sa Hyeon melihat Song Won tidak hanya dari luar. Tapi dari hati. 

Song Won adalah sosok wanita yang menjawabnya saat berkonsultasi tentang masalah pernikahannya. Song Won yang menyuruhnya untuk terus mengalah dengan Hye Ryoung. Kebaikan Song Won membuat Sa Hyeon jatuh hati daaan.. Selingkuh.. 

Aku : “Lagian kenapa juga sih nyari konsultan pernikahan yang cewek? Kan sudah kubilang laki-laki dan perempuan itu gak bisa saling curhat. Entar saling berempati, pelukan, kisssin lalu ena ena.. Udah lah gitu aja rumusnya pasti gak jauh-jauh” 😂

Intinya, dalam ketiga kasus perselingkuhan. Kasus Sa Hyeon dan Song Won adalah satu-satunya cerita yang bisa membuatku maklum dan mendukung perceraiannya dengan Hye Ryoung. Aku berharap sih, ending drama ini ditutup dengan kelahiran anak Song Won lalu mereka hidup bahagia. 

Tapii.. 

Ending Drama Love ft Marriage and Divorce yang bikin Bengong

Loh loh loh.. 

Ending Drama Love ft Marriage and Divorce kok gini amat?

Kenapa Sa Hyeon nikah sama A Mi sih? Mereka kenalan dimana? Kejar jodoh? Tabrakan dijalan? 

Waduh, kacau.. Kenapa Song Won malah nikah sama Pak Seo? 

Ini lagi kenapa? Kenapa Pi Young kagak balikan sama Yoo Shin? Kok malah nikah sama pacar Nam Ga Bin? 

Terus Ga Bin gimana? Bunuh diri? Mutusin gak akan pernah nikah? Atau jadi ‘gabin barandam’? *hanya rakyat banjar yang paham ini mungkin.. 🤣

Mana nih si Hye Ryoung? Lee Si Eun? Prof Park? Mereka ngapain ya? Main kelereng? 

Apa drama ini akan berlanjut ke season 3? Apakah menjadi semakin seru? Atau jadi unrasional layaknya penthouse? XD

Entahlah apa yang terjadi, tapi aku setuju dengan kata-kata Lee Si Eun.. 

“Kemarin kita bertiga duduk disini. Saling membanggakan suami kita. Tak sampai setahun, kita duduk bersama lagi.. Saling mengeluhkan masalah yang sama. Kita tidak tau bukan apa yang akan terjadi tahun berikutnya? Bisa jadi kalian berdua menikah lagi. Hidup memang penuh dengan kejutan..”

Ya.. Hidup penuh kejutan. 

Yang bisa kita lakukan sekarang adalah berusaha sebisa mungkin. Tak perlu terlalu bangga dengan kehidupan sendiri. Tak perlu pula terlalu rendah diri. 

Perselingkuhan terjadi bukan karena kita yang tak bisa merawat diri, bukan pula melulu karena ketidaksempurnaan lainnya. Adanya celah dan kesempatan adalah sesuatu yang tidak bisa kita perhitungkan, sebaik apapun pasangan yang kita miliki.

-shezahome

Jadi, hal kecil apa yang bisa kita lakukan untuk mencegah hal buruk terjadi pada pernikahan kita? 

Hal kecil versi aku: Sering-seringlah bercerita horor kepada suami. Bukan tentang hantu tentu. Tapi tentang cerita horor yang terjadi akibat perselingkuhan.. Dari anak broken home, munculnya bibit-bibit depresi, hingga kendala ekonomi. Tidak ada yang bisa menjamin apa yang terjadi di masa depan. Tapi setidaknya, andai hal buruk ingin terjadi. Kita bisa berpikir dua kali untuk mencegahnya. Bukankah begitu?

Intinya, kalian yang belum nonton drama ini.. Aku sangat merekomendasikan buat ditonton bareng suami.. Haha

Kalian ada yang udah nonton juga? Curcol sini juga yuks!

Ujian 9 Tahun Pernikahan: Benarkah Komunikasi Adalah Koentji Untuk Semua Permasalahan?

Ujian 9 Tahun Pernikahan: Benarkah Komunikasi Adalah Koentji Untuk Semua Permasalahan?

“Kamu tuh udah dapet pasangan yang baek. Disyukuri, dinikmati. Kalau ada masalah dikomunikasikan. Bukan ngeluh..”

Ucapku pada diri saat itu. Kala itu, aku mengalami ujian pernikahan yang tidak biasa.

Aku selalu meyakinkan diriku bahwa dalam membangun kehidupan pernikahan setidaknya ada 5 ujian kunci pernikahan yang harus ditaklukkan. Yang pertama adalah ujian penerimaan, lalu ujian ekonomi, ujian anak, ujian orang ketiga, hingga ujian mengeluarkan ekspresi atau komunikasi. Konon, yang terakhir merupakan sebuah kunci jika kita menemui sebuah permasalahan.

Aku membenarkan hal itu. Aku belajar bahwa berkomunikasi dengan pria itu tidak sama dengan berkomunikasi dengan wanita. Pria lebih realistis, lebih to the point. Mengebelakangkan faktor emosi. Tidak suka disalah-salahkan, disindir, apalagi diomongkan dibelakang. Sementara wanita? Kadang sedikit emosional dalam berbicara. Sedikit berkaca-kaca, suka baper dan hatinya jauh lebih dominan dibanding otaknya. Sehingga dia lebih suka mengutarakan sebuah rasa alih-alih to the point dalam berbicara.

Kadang aku bertanya sendiri, apakah cuma aku yang berkomunikasi sedemikian baper? Ternyata, most of wanita memang sedemikian. Bukan cuma aku.

Lantas, kenapa Tuhan membuat pola sedemikian? Pernahkah kalian berpikir kenapa gaya komunikasi pria dan wanita itu berbeda?

Ketika Pria dan Wanita Memiliki Perbedaan Gaya Komunikasi

Sudah pernah aku mencoba berkomunikasi seperti ‘teori komunikasi’ kebanyakan. Bagus memang. Teori komunikasi sedemikian banyak bertebaran sehingga tidak membuat repot bagi wanita emosional sepertiku. Peernya hanyalah bagaimana memanipulasi ekspresi saat sedang kesal. Atau berbicara sok lembut seperti, “Aku kesal kamu begini loh, seharusnya kamu begini. Aku tuh enggak suka bla bla. Aku lebih suka kamu menolong aku begini.. La la la”

Diulang-ulang intonasinya. Entah kenapa, aku merasa sedang membunuh karakter dan ekspresiku sendiri.. ���

Ya, aku memiliki garis keturunan yang berkomunikasi mengedepankan emosi. Mamaku sendiri adalah tipikal yang sering blak-blakan hingga meledak marah-marah saat berkomunikasi tak kunjung menuai hasil. Berkaca dengan masa kecil sedemikian. Karakterku sedikit banyak akhirnya menjadi sedikit mirip dengan Mama. Kalau kelelahan suka mengomel dan mengumpat sendiri. Kalau ingin minta bantuan kadang khilaf berteriak sendiri. Hasilnya? Suami kesal mengutukku tukang sindir bla bla bla.

Karena itu aku mencoba berbagai cara skill komunikasi. Ketika emosiku sedang meledak, sebisa mungkin aku menahan keinginan verbal untuk mengutuk dan mencaci. Sebisa mungkin aku mencoba menulis untuk release. Lalu mendaur ulang tulisan menjadi sebuah nasehat untuk diri dan suami.

Tapi sifat itu tak kunjung hilang. Berkomunikasi dengan kode, tidak bisa blak-blakan saat melihat kondisi suami yang kehilangan empati. Suka menangis andai suami tak kunjung merasa bersalah atas kesalahannya. Aku berpetualang untuk menghilangkan rasa-rasa emosional sedemikian. Ternyata, itu memang tidak bisa dihilangkan. Karena, ya begitulah wanita. Dia makhluk bengkok. Tak bisa langsung diluruskan.

Kemudian aku bertanya-tanya sendiri. Mengapa wanita diciptakan sedemikian? Untuk berdampingan hidup dengan pria yang otaknya realistis dan mengesampingkan emosi? Ternyata, titik temunya.. Ada disatu titik.

Titik itu bernama Cinta.

Ternyata, Kunci Pernikahan Tak Melulu Pada Komunikasi

Sering aku mengintip curhatan para wanita pada grup-grup pernikahan yang aku ikuti. Beberapa memiliki problem yang sama denganku. Aku selalu kepo untuk mengintip kolom komentar, sekedar ingin tau apakah ada pemecahan masalah yang pas untuk kondisiku.

Tak cukup mengikuti grup curhat perempuan aku juga mengikuti ig cerminlelaki demi untuk mengetahui bagaimana sudut pandang lelaki dalam memandang sebuah permasalahan. Aku toh tidak ingin egois. Tak melulu perempuan itu benar bukan? Kadang kita sebagai perempuan juga perlu reframing sedemikian rupa dengan sudut pandang lelaki agar pemecahan masalah menjadi imbang. Kuintip caption dan kolom komentar demi mendapatkan jawaban jika permasalahannya mirip denganku. Tapi lucunya, kolom komentar pun dipenuhi dengan caci maki para kaum emak-emak. Walau sebagian ada juga jawaban yang bijak tapi kadang aku cukup tertawa geli dengan komentar-komentar lucu, saklek, tapi benar.

Setidaknya, melihat dan kepo dengan berbagai masalah diluar sana aku jadi percaya bahwa permasalahan rumah tangga itu selalu ada. Dan jawabannya selalu menjurus pada hal yang sama. Yaitu komunikasi.

Lantas apa iya komunikasi adalah jawaban dari sekian banyak pertanyaan? Lantas bagaimana dengan beberapa permasalahan yang sudah dikomunikasikan sedemikian rupa tetapi tak kunjung mendapatkan solusi?

Sebagai contoh, ada seorang istri curhat tentang sulitnya meminta uang lebih jika suatu hari ada keperluan. Entah itu biaya spp anak, biaya darurat karena mendadak ada sesuatu hingga biaya kebutuhan harian yang mendadak habis di pertengahan bulan. Sang Istri mengeluh ketidakcukupan uang bulanan. Ia mengeluh karena tau suaminya memiliki pemasukan lebih banyak dibanding yang suaminya berikan setiap bulan.

“Gimana ya cara komunikasi sama suami, dia cuma beriin aku uang 1,5 juta sebulan dengan kondisi memiliki 2 anak. Sementara aku tau pemasukannya sebanyak 5 juta. Aku tau kami juga memiliki kewajiban tiap bulan sebanyak 1 juta. Aku juga tau dia memberi sebagian kepada keluarganya. Aku sudah berusaha menambah pemasukan dengan berjualan online. Tapi tidak bisa. Kondisiku juga tidak memungkinkan untuk bekerja diluar. Bla bla bla.. Andai saja dia bisa memberikan uang tambahan setidaknya sebanyak 500ribu..”

Salah seorang netizen mengomentari, “Coba komunikasikan sama suaminya. Rinci biaya pengeluaran sebulan. Rinci kebutuhan spp anak kemudian biaya tambahan lainnya. Juga kemukakan bahwa sebagian biaya sudah dihandle oleh pemasukan mba. Tapi tetep enggak cukup bla bla.. Coba kamu ngertiin aku..”

Kemudian si pencurhat berkata, “Aku sudah sering berkata demikian. Tapi jawabannya selalu sama. Dicukup-cukupkan. Aku juga punya kewajiban sama keluargaku. Ibuku aja cukup segini buat sebulan. Masa kamu enggak bisa..”

Dan netizen pun ramai mengutuki sang suami..

“Lo harusnya nyadar diri pak, kalo gak bisa ngasih nafkah sama istri dan anak. Jangan nikahin anak orang. Urus ibu dan sodara dulu. Kasian anak orang ninggalin dunianya demi elu. Eh.. Elu malah gak ngurusin dia. Malah lebih prihatin ke mama lo.” Komentar salah seorang netizen.

Sementara itu, jika kita mencoba reframing ke kondisi suami. Mungkin saja suaminya merupakan generasi sandwich yang memiliki tanggungan berlebih. Maka, sungguh ini merupakan ujian yang berat. Satu sisi suami memiliki kewajiban pada ibunya. Satu sisi istri dan anak pun dalam kondisi kekurangan. Ditambah mungkin suami tersebut kekurangan empati pada perasaan istrinya dalam sulitnya mengelola keuangan.

Yang membuat aku heran adalah ketika membaca jawaban dari suami ketika istrinya sudah mencoba berkomunikasi. Dimana rasa empati itu? Bukankah pernikahan itu dilandasi oleh adanya rasa cinta?

Setahuku, cinta adalah perasaan yang levelnya lebih tinggi dibanding empati. 

Nah, ini baru permasalahan tentang finansial. Permasalahan rumah tangga itu beragam. Dan salah satu yang paling sering aku temui juga tentang kurangnya pengertian antara satu sama lain.

“Mindad, apakah pekerjaan rumah tangga itu sedemikian beratnya? Saya kalau pulang dari kantor malam-malam pengennya bermanja-manja dengan istri. Tapi melihat isi rumah kepala saya pusing rasanya. Mainan anak berserakan. Masakan dingin dan tak tertata di atas meja. Cucian menumpuk disana sini. Padahal istri saya enggak kerja. Melayani saya diranjang pun tidak bisa. Kadang saya datang bukannya disenyumin malah dikasih muka cemberut. Padahal, sewaktu awal nikah dia gak gitu. Tapi ketika kami sudah punya anak dia jadi 180 derajat berubah..”

Dan aku membaca caption di cermin lelaki, begitu bijak jawabannya. Tidak menyalahkan suami dan tidak pula menyalahkan istri. Dari sering kepo ke akun instagram ini setidaknya aku menjadi paham tentang sulitnya bagi lelaki untuk bisa mengerti kondisi istrinya. Karena ia memang tidak bisa merasakan tanpa melihat langsung dan menjalani secara langsung. Otak lelaki, memang didesain sedemikian rupa. Apalagi untuk lelaki yang masa kecilnya merupakan generasi home service. Apa-apa serba dilayani ibunya. Dia tidak akan mengerti bagaimana rasanya mengerjakan setumpuk pekerjaan rumah.

Raca cinta mungkin merupakan pondasi dalam sebuah pernikahan. Ketika rasa ini memudar karena berbagai permasalahan. Tak melulu jawabannya ada pada kurangnya komunikasi.

Simplenya. Sebelum berkomunikasi pastikan suami memiliki modal ‘rasa’. Atau, jungkir balik komunikasi jawabannya akan percuma saja

Mengisi Tangki Cinta dengan Bahasa Cinta Non Verbal adalah Modal Utama Berkomunikasi Verbal dengan Pasangan

“Kamu salah win, dimana-mana komunikasi itu kunci. Gimana suami bisa ngerti kalo enggak dikomunikasikan?”

“Alhamdulillah ya bund kalau suami Anda langsung nyess ngerti ketika memakai jurus komunikasi. Tapi, kadang masalah tidak sesimple itu solusinya. Tidak semua karakter suami paham akan kondisi istri walau sudah berkomunikasi. Pun sebaliknya.. Jika belum ‘merasakan’ masalah apa yang terjadi..”

“Terus gimana caranya?”

Bangun dulu rasa ‘modal’ cintanya. Agar, komunikasinya ‘berasa’.

Kenapa suamiku berubah? Kenapa istriku berubah? Padahal dulu tidak begini. Padahal dulu ia mengerti kode apapun. Sudah aku kasih kode begini. Dulu dia ngerti, sekarang enggak. Masa aku harus langsung blak-blakan? Kemarin aku langsung blak-blakan tapi suami tak kunjung merasa. Tak kunjung mengerti. Malah membuat pertengkaran yang bikin nyesek.

Pertanyaanku, sudahkah tangki cinta masing-masing pasangan diisi sebelum berkomunikasi? Sudahkah kita mencoba untuk merendahkan ego dan berusaha ikhlas dalam mencintai?

Berterima kasih walau sesedikit apapun nafkah yang ia berikan.

Meminta maaf walau tahu bahwa bukan hanya kita yang bersalah.

Maksimal mencoba mencintai untuk mengisi tangki cintanya. Agar ia mengerti apa sebenarnya maksud komunikasi yang kita utarakan.

Tangki cinta adalah modal receh komunikasi yang tanpa sadar sering tidak kita penuhi. Karena kita sering terdesak ego akan kebutuhan yang mendesak. Tentu itu manusiawi. Tapi, membangun rasa cinta sebelum berkomunikasi itu jauh lebih dibutuhkan.

Pertanyaannya, bagaimana cara membangun dan mengisi tangki cinta?

Well, hanya kamu yang tau caranya..

Mengapa dulu ia sangat mencintaimu? Karena ia melihatmu begitu ikhlas dalam mencintainya. Ciptakan rasa itu kembali. Walau seberat apapun rasanya. Kadang, itulah modal untuk membuatnya merasakan kembali rasa yang sama.

Kalian tau? Cinta itu tak melulu tentang komunikasi verbal. Jauh lebih banyak dibangun oleh hal-hal yang berbeda. Komunikasi hanyalah kunci kesekian dari sekian banyak rumus pernikahan. Cinta adalah dasarnya. Dan bahasa cinta non verbal itu jauh lebih bermakna dibanding susunan komunikasi verbal yang dilatih sedemikian rupa dengan ekspresi yang meyakinkan. Perhatianmu, bahasa tubuhmu, ekspresi mata dan bahkan mungkin masakan dan riasanmu bisa saja menambah rasa cinta. Tak melulu tentang itu mungkin. Hanya kamu yang tau.

Untuk lelaki, ketika perempuan merajuk dan mengemukakan berbagai kode. Ketahuilah ia sedang buntu dalam membangun rasa cinta milikmu. Maka, bawakanlah sedikit perhatian. Tak perlu mahal. Tak perlu susah. Semangkok bakso, seikat bunga di halaman rumah. Duh, ketahuilah.. Tangki cinta istri itu sangat mudah terisi. Dan ketika terisi, lucunya.. hilang sudah sekian masalah yang ada dibenaknya.

“Makan tuh cinta win, emangnya bisa hidup cuma dengan cinta aja!”

Well, lantas sebagai manusia yang memiliki takdir berpasangan seperti aku maka harus memulai dari mana sebagai dasar utuhnya pernikahan? Apa iya pernikahan cukup dibangun dengan finansial yang sukses dan prinsip hidup yang sejalan? Lantas kemudian ketika ada masalah kita lupa akan pentingnya memahami rasa? Lupa akan pentingnya cinta. Bukankah cinta adalah pondasi perasaan insan untuk bisa bersatu?

Well, Ini adalah sebuah tulisan receh. Yang aku tulis berdasarkan pengalaman selama 9 tahun menikah. Jika orang melihat kami seperti baik-baik saja, terlihat bahagia bahkan kehidupan ekonomi kami terlihat jauh lebih baik. Maka ketahuilah, semua ada prosesnya. Dan proses itulah yang telah menempa kami menjadi pribadi yang lebih baik dalam memahami pasangan. Karena kami sadar, cobaan hidup boleh saja bertambah. Tapi seni mengenal cinta hingga mengisi tangki cinta tak melulu dibangun oleh komunikasi. Tapi dibangun oleh rasa.

Sudahkah kalian mengenal tentang rasa?

IBX598B146B8E64A