Browsed by
Month: January 2021

Mengulas Novel Selamat Tinggal-Tere Liye

Mengulas Novel Selamat Tinggal-Tere Liye

Pernah gak sih kamu kalo baca novel tetiba ngerasa ‘ih, kok bener’ atau ‘ih, iya juga’ bahkan ‘kok mirip aku’ dsb..

Kalau kamu pernah merasakan hal tersebut. Berarti, penulis telah sukses membawakan pesannya dalam novel tersebut.

Artinya apa?

Artinya, buku tersebut menjadi bagian yang akan merubah hidupmu kelak.

“Untuk apa kita mengungkapkan kritik dalam sebuah tulisan? Toh paling-paling yang dikritik tidak akan berbuat lebih baik.”

Anda lupa hakikat sebuah tulisan yang sebenarnya. Tulisan itu bukan untuk membuat si A menjadi lebih baik. Ah itu terlalu kecil. Tapi untuk mengubah pola pikir generasi menjadi lebih baik. Itu jauh lebih besar efeknya

Selamat Tinggal, Novel Karya Tere Liye yang JLEB

Pernah gak sih kamu merasa kalau sebagian dari hidupmu dipenuhi kepalsuan?

Palsu untuk mendapatkan sebuah penerimaan.

Palsu karena itulah penawar saat susah.

Harus palsu karena circle yang mendorong.

Jika iya, maka novel ‘Selamat Tinggal’ akan membuat pikiranmu tertembak dan merasakan penyesalan yang indah. Karena sejatinya.. Semua orang pernah memasang topeng untuk melindungi dirinya. Dan itu, tidak sepenuhnya salah.

Tetapi semuanya akan menjadi salah ketika kepribadian kita terlanjur membenarkan yang salah lantas tak mau belajar.

Itulah yang aku rasakan ketika selesai membaca novel ‘Selamat Tinggal’ karya Tere Liye. Entahlah, aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Karena sungguh banyak pembelajaran yang ‘Jleb’ saat membaca novel ini.

Well, novel ini bercerita tentang apa win?

Ehm, Aku tidak begitu pandai membuat sinopsis. Lebih tepatnya ‘aku malas’ menulis sinopsis yang bagus seperti penulis pada umumnya. Aku lebih suka menulis sesuka jariku saja.

Adalah Sintong Tinggal. Seorang remaja yang kuliah di jurusan sastra dimana kehidupannya terasa ‘stuck’ ketika memasuki semester 7. Tanpa disadari ia hampir menjadi mahasiswa abadi karena kepingan puzzle kehidupannya berjalan berlawanan dengan hati kecilnya. Ia adalah seorang penjaga toko buku bajakan, padahal dia sendiri memiliki bakat menulis. Sepotong kehidupan cintanya yang kandas juga telah mengikis semangatnya.

Sampai suatu hari seorang mahasiswi bernama Jess memberi warna baru di kehidupannya. Ia mulai melupakan masa lalu suramnya. Kemudian belajar membuat lembaran yang baru. Termasuk pada skripsinya.

Siapa sangka penelitian pada tokoh penulis ‘Sutan Pane’ di masa lalu untuk skripsinya telah membuat percikan semangat menulisnya bangkit lagi? Dan karena asyik berburu sumber penelitian, ia mendapatkan jejak-jejak yang seru dan bermakna dalam hidupnya.

Dari Berburu Jejak Sutan Pane hingga Pencarian Jati Diri

Karakter Sintong Tinggal digambarkan Tere Liye sebagai remaja yang memiliki bakat menulis, namun merasa kehilangan semangat ditengah-tengah kuliahnya.

Well, Siapa yang sering mengalami hal berikut:

Merasa diri tidak berkembang, ingin berubah takut dijauhi. Ingin maju dan berkata benar takut disalahkan dan menjadi benar-benar salah. Tapi diam juga jadi salah karena memendam kebenaran. Terasa sangat sulit untuk mengucapkan ‘selamat tinggal’ pada kesalahan karena sudah menjadikan kesalahan tersebut sebagai hal yang biasa saja.

Toh, semuanya menganggap hal itu adalah hal biasa saja.

Zona nyaman yang salah kadang membuat kita stuck. Begitupun sebuah kesalahan. Kesalahan yang sudah berlaku umum maka terasa bukan lagi sebuah kesalahan. Tetapi menjadi, Ah.. Biasalah. B aja gitu.

Sintong Tinggal terperangkap pada zona yang demikian. Sampai akhirnya ia menemukan sebuah buku dari Sutan Pane. Tokoh penulis di zaman revolusi. Tokoh tersebut menginspirasinya. Membuat semangatnya untuk menulis kembali bangkit. Bukan hanya semangat untuk menyelesaikan skripsinya tapi juga semangat untuk menjadi penulis.

Sintong sendiri digambarkan merupakan sosok generasi milenial sepertiku. Yang mana keseharian dan circlenya hampir sama dengan generasi milenial pada umumnya. You know lah.. Something like menyukai hal murah, berburu barang prestise. Generasi yang suka dan bangga sekali berburu barang murah untuk jenis-jenis yang tidak bisa dipamerkan. Lantas kemudian bersedia bayar mahal untuk sesuatu yang bisa dipamerkan.

Dari berburu jejak Sutan Pane, Sintong mendapatkan hal-hal baru. Bukan sekedar untuk penyelesaian skripsinya. Ia juga banyak belajar dari tokoh Sutan Pane. Dan pembelajaran itu membuatnya bisa menulis dengan baik lagi. Mungkin itulah hal yang dinamakan ‘terinspirasi’.

Pesan Buku Selamat Tinggal: Dunia ini Dipenuhi dengan Hal Palsu

Jujur, kalau membaca status Tere Liye di FB sekilas cepat saja tanpa melihat dari sisi lain. Pasti ada yang berpikir bahwa Tere Liye ini memiliki pola pikir sempit. Seperti, “Apa sih, dikit-dikit nyinyirin orang pamer. Beda tau antara pamer dan menginspirasi. Bla bla”

Well, aku yakin sebagian besar pembaca setia buku Tere Liye pasti tidak setuju dengan kalimat tersebut. Termasuk aku. Tere Liye selalu sempurna dalam mengulas sebuah karakter. Layaknya drama korea, karakter yang diciptakannya pada novelnya tidak ada yang ‘uh jahat banget’ atau ‘uh baik banget’. Semuanya manusiawi.

Dan tahukah? Palsu pun juga manusiawi. Karena itulah bentuk adaptasi diri. Walau Tere Liye benci dengan kepalsuan, buku bajakan dsb. Tapi dia menempatkan kekecewaan tersebut pada tokoh Sintong dengan cara yang manusiawi.

Dalam buku ini aku sedikit banyak belajar dari karakter Jess, Bunga, Mawar, dan Sutan Pane. Dari dunia Endorser, Percetakan Buku Bajakan, Obat Palsu hingga fakta kelam dibalik dunia penulis terbaik. Semua penuh kepalsuan yang manusiawi.

Mama Jess yang merupakan seorang influencer. Ternyata hidupnya penuh dengan kepalsuan. Suaminya pergi, segala yang dijualnya disosial media adalah produk palsu. Kemewahan itu, terasa tidak menyenangkan di mata Jess.

Nasib sama dengan Bunga, teman Jess. Ayahnya yang merupakan pemilik percetakan buku bajakan, namun ia tidak bisa menghentikannya. Bunga dan Jess adalah sahabat yang sama-sama ingin keluar dari dunia yang palsu.

Tidak hanya buku dan sosial media yang bisa berujar kepalsuan. Bahkan dunia farmasipun juga memiliki musuh. Obat palsu, waw.. Luas sekali pemikiran penulisnya. Dan cara menghubungkannya dalam tokoh Mawar itu keren. Hanya saja, aku sedikit kecewa kenapa Sintong begitu setia pada cinta pertamanya. Layaknya novel Sunset Bersama Rosie.. Fix, penulisnya suka sekali pada karakter yang setia. Padahal.. Cinta dan Realitas itu bukannya harus seimbang. Ehm. Apakah penulis merupakan golongan ‘cinta ini kadang-kadang tak ada logika?’ Hihi.

Dan akupun belajar dari kehidupan Sutan Pane. Kalian tahu apa yang aku pelajari dan sangat aku garis bawahi dari kehidupan Sutan Pane?

Bahwa kadang, penulis terlalu sibuk menuliskan hal-hal baik. Mengkritik sana dan sini. Sibuk dengan produktivitas di dunia kertas. Sampai kemudian lupa, bahwa dunia ini harus seimbang.

Dalam ending kehidupan Sutan Pane, ia menjual 5 buku terbaiknya untuk menutupi hutang adiknya. Memilih menghilang dari kehidupan karena malu dengan dirinya sendiri. Penulis terbaik itu, memiliki kisah nyata yang suram. Dan sungguh, sebenarnya.. Ini banyak terjadi.

Dibalik kata-kata bijak itu terdapat inspirasi dari melihat ketidakadilan dan kejahatan diluar sana. Tapi kadang-kadang, penulis lupa dengan orang terdekatnya. Kenapa penulis bisa hilang begitu saja? Karena prinsip hidupnya sendiri yang membantingnya.

“Hidup adalah kesesuaian antara perkataan, tulisan dan perbuatan. Apalah arti kehormatan seorang manusia saat tiga hal ini tidak sesuai lagi. Apalah arti martabat seorang manusia ketika hal tersebut bertolak belakang.”

“Dan kita bertanggung jawab tidak hanya terhadap diri kita sendiri, tetapi juga orang-orang disekitar kita. Atasan bertanggung jawab atas anak buahnya. Orang tua bertanggung jawab atas anak-anaknya. Memastikan perkataan, tulisan dan perbuatan itu selalu sama.” (Selamat Tinggal,Tere Liye: 337) 

Sungguh, inilah kepalsuan yang sangat membuatku belajar hingga aku selalu mengingatkan pada diriku sendiri. Family first, healing with curhat. Baru belajar dan menulis hal yang ‘sesuai’. Karena lucu sekali kalau di blog aku menulis ‘ceramah’ tapi aslinya aduh, jauh sekali.

Every Novel Just Like a Horchux

Menurutku, setiap kepribadian tersembunyi Penulis seperti terpecah di karakter beberapa novelnya. And Damn.. I like it. Aku selalu suka setiap karakter yang dia bangun. Dari Bujang, Thomas, hingga Ali. And the Last, I feel like Sintong is half of Tere Liye.

Kadang saat membaca buku selamat tinggal ini aku mencoba flashback dengan status-status Tere Liye di fb. Maklum, aku adalah salah satu follower setianya. Jadi, kadang aku sedikit tertawa kalau dia ‘memanfaatkan’ novelnya untuk menyampaikan pesan-pesan dan ‘nyinyirannya’. Wkwk. I know.. Bagi sebagian orang mungkin suka sekali mencerca gaya menulis yang begini. Tapi, itulah ciri khasnya. Bukankah setiap penulis punya branding yang unik? Hargailah.

Dan setiap membaca novel Tere Liye, aku jadi ingat dengan istilah Horchux pada buku Harry Potter. Kalian tau? Horchux adalah benda-benda yang merupakan bagian dari nyawa Voldemort. Hilang satu, masih ada yang lain. Horchux adalah benda yang berasal dari ilmu hitam dimana didalamnya ada bagian nyawa dari pemiliknya. Jadi, si pemilik selalu bisa hidup abadi.

Buku karya sendiri membuat kita bisa abadi. Bukankah begitu?

Aku selalu percaya bahwa penulis memiliki banyak dunianya sendiri. Setiap buku yang dibaca menjadi akar yang baru. Setiap buku yang ditulis menjadi dunia yang baru. Setiap buku memiliki kode uniknya, dan memiliki karakternya. I feel it. Entahlah kapan aku bisa memecah karakterku menjadi seperti itu. Supaya tidak begitu labil didunia nyata. Wkwk.

NB: Buku Selamat Tinggal telah banyak mencerahkan. Kuakui aku pernah tak sengaja dan sungguh bodoh membeli buku Tere Liye yang bajakan di market place saat era jahiliyah hidupku. Hiks. Semoga itu yang terakhir. Dua tahun terakhir aku sudah berhenti dan membeli buku asli. Kini, aku adalah seorang pemburu buku diskon. Maaf, bagaimanapun juga aku Mamak beranak dua yang ingin hemat tapi tidak pelit dan masih baik hati. Terima kasih sudah berani mengajarkan arti kepalsuan dalam hidup ini lantas mengakui kepalsuan lalu keluar dari itu semua.

Untuk kalian yang ingin membeli buku Tere Liye Original dan mendapatkan tanda tangan aslinya bisa banget. Karena Tere Liye punya toko di shopee. Just klik ‘Tereliyewriter’.

Surprise Januari 2021: Kalsel Banjir Parah

Surprise Januari 2021: Kalsel Banjir Parah

“Jembatan Pabahanan di Pelaihari ternyata roboh bah.. Arus banjir kali ini luar biasa..”

“Terus gak bisa kesana dong aku..”

“Iya, gak bisa. Rencana kita batal. Apa boleh buat kondisinya begini. Mudahan banjir segera surut.”

“Bakal lama banget dong ya disana.. Huhu..”

Terdiam aku dibuatnya. Kulihat lagi video ambruknya jembatan penghubung provinsi itu berkali-kali. Tidak, ini bukanlah mimpi. Jembatan itu, benar-benar roboh.

Banjir Kalimantan Selatan tahun ini benar-benar luar biasa.

Banjir, Musibah Tak Terduga Kalsel di awal tahun

Aku pikir, banjir tahun ini bakal ‘so so’ aja. Toh, daerah bati-bati itu setiap tahun sih juga banjir. Sudah sangat terkenal kiranya. Banjir selutut, sedada. Setiap tahun siklusnya selalu terulang. Dan enggak ada juga tuh drama mengerikan menyusul dibelakangnya. Karena ibaratnya, orang bati-bati sendiri sudah sangat kenyang makan banjir setiap tahun.

Tapi, banjir kali ini berbeda.

Saat aku memutuskan untuk berkunjung ikut ke tempat orang tuaku di pelaihari, aku tak berpikir dua kali walaupun saat itu musim hujan dan banjir. Toh, ‘biasa aja’ pikirku. Setiap tahun bati-bati juga langganan banjir. Bahkan, aku berencana untuk piknik ke pantai di hari minggunya bersama keluargaku. Mengingat pantai pasti sepi. Maklum, sudah stress tingkat tinggi selama hampir setahun di rumah saja. Jadi bisa ke pelaihari dan tinggal di tempat orang tua adalah sebuah oasis ditengah rasa stress. Tak kusangka, bencana banjir yang diawali dengan terputusnya akses ke bati-bati dan hanya bisa melalui jalan alternatif hanyalah drama pembuka saja.

Esok harinya, aku dikejutkan pada kabar teman-temanku di sosial media. Barabai banjir besar. Aku melihat warung yang terbawa arus banjir di sebuah video. Akupun melihat rumah-rumah pemukiman terendam banjir hingga dada. Teriris hatiku dibuatnya. Daerah sawahan di pelaihari pun tak kalah menyeramkan. Saat itu, daerah bati-bati memiliki nasib sama layaknya barabai. Begitupun beberapa tempat di banjarmasin.

Hari ketiga di Pelaihari aku dikejutkan pada berita mengerikan. Jembatan retak. Dan itu adalah jembatan provinsi. Penghubung antara kota-kota. Akses ‘satu-satunya’ yang sehat untuk ke pelaihari. Saat itu, pengendara dipulangkan. Tidak diperbolehkan melintas. Jangan tanya bagaimana yang bekerja bolak balik antara jembatan itu. Mereka memutar melewati jalan alternatif yang ‘sakit’. Tanah longsor kabarnya mulai menggeronggoti jalan alternatif tersebut.

Hari keempat di Pelaihari aku shock saat melihat video di sosial media. Jembatan pabahanan ambruk. Roboh disatu bagian. Esok harinya, bagian satunya ikut ambruk. Dan menyisakan jembatan ditengah-tengah yang lengang. Gotong royong para warga membangun jembatan darurat. Esok harinya, jembatan darurat ikut roboh dijatuhi pohon besar. Menyisakan satu bagian yang takut-takut bakal roboh juga.

Para penduduk ramai membangun lagi jembatannya. Pengungsi ramai berbondong-bondong mencari bantuan. Kalian jangan mempertanyakan soal klaster covid yang mungkin bertambah karena pengungsian yang menjadi satu. Apalagi mempertanyakan, “Kok gak pake masker?”

Peduli setan. Kata mereka. Kami hanya butuh makan, tempat berlindung dan hidup. Covid seakan terlihat bagai buih kecil ditengah bencana banjir dan setumpuk masalah lainnya.

Kenapa Banjir Kali Ini Berbeda?

Adakah yang masih mempertanyakan dengan wajah sok polos kenapa banjir kali ini berbeda?

Tentu saja ada. Dia adalah anakku, Pica.

“Orang-orang pada buang sampah sembarangan sih. Makanya banjir.” Kata Pica ‘sok menghakimi’

“Ini bukan soal buang sampah aja Pica. Pica harus tau bahwa bumi ini imunnya sudah dibuat Allah sedemikian kuat. Setumpuk sampah mungkin bisa diobati dengan secuil banjir. Tapi jika paru-paru dunia sudah digeronggoti, maka obatnya tidaklah mudah..”

“Maksudnya ma?”

Aku mencabut rumput di pekarangan rumah Mama. Beruntung ditempat mama merupakan dataran tinggi dan tidak terkena banjir. Lantas memperlihatkan akar rumput itu pada Pica.

“Pica tau, apa fungsi hutan? Apa fungsi pepohonan? Hutan itu punya akar-akar ajaib dari pohon yang bisa menyerap air di musim hujan sehingga menghindari banjir. Ibaratkan akar rumput ini adalah akar pohon. Sudahlah dicabut, digali lagi tanahnya sampai sedalam-dalamnya seluas-luasnya. Kira-kira apakah hutan bisa normal lagi?”

Hutan kalimantan sudah berangsur hilang. Pegunungan meratus adalah pertahanan terakhir. Tapi apa boleh buat, katanya meratuspun harus dikorbankan.

“Kenapa manusia suka menggali-gali hutan?”

“Mereka butuh energi. Butuh batu bara, intan hitam, emas dsb untuk bisa hidup. Listrik berasal dari sana. Sayangnya, manusia tak pernah mengenal rasa ‘cukup’.”

Dan pertanyaanpun beruntun. Tentang bagaimana batu bara bisa menjadi listrik, kenapa batu bara tidak beranak pinak layaknya pohon dsb. Entahlah, dunia ini kadang rumit nak. Buah simalakama ‘kata mereka’. Padahal toh andai saja manusia bisa menyeimbangkan antara nafsu dan realitas mungkin mereka akan kenal apa itu konsep cukup. Sayangnya, katanya kebutuhan manusia itu tidak terbatas. Padahal, bukannya keinginan mereka yang ‘ada-ada saja’? Tidak ada habisnya. Lantas kalau hujan dan banjir salahkan saja orang yang menebang pohon untuk kayu bakar. Atau yang membuang bungkus permen sembarangan. Itu lebih mudah.

Sama halnya dengan tragedi asap yang selalu terjadi setiap tahun. Salahkan saja para petani yang membakar, toh itu lebih mudah.

Maaf, mamak memang bakatnya nyinyir. Tapi semoga yang tersinggung tidak marah mencak-mencak. Lantas membenarkan diri dengan bilang.. “Hei, kalau bukan karena kami ditempat kalian gak akan ada penerangan bla bla.”

Jadi, ada yang punya jawaban lagi untuk kenapa banjir kalsel kali ini berbeda?

Guilty Feeling ditengah Banjir

Rasa-rasanya baru saja aku menulis diawal bulan ini bahwa aku punya banyak guilty feeling di tahun 2020. Entahlah kenapa pula diawal tahun 2021 perasaan itu malah bertambah.

Seperti malam ini, aku merasa ‘stuck’ di rumah mama. Dengan sinyal super lelet dan perasaan ‘ingin pulang’. Rasa cemas, bersalah, bodoh, bertubi-tubi muncul bergitu saja.

Apalagi saat melihat status teman-temanku yang beberapa adalah relawan banjir. Entahlah rasanya aku ingin ‘ikut terjun’ melalui pintu kemana saja dan mengulurkan tanganku. Itu jauh lebih seru dibanding uring-uringan di rumah bermain bersama anak-anakku. Sudah lama sekali ‘otot ini merasa nganggur’. Perasaan tidak berguna seperti biasa selalu menghampiri.

Seharusnya, kemarin aku tidak ikut ke pelaihari.

Aku meninggalkan suami di banjarmasin untuk keegoisanku bertemu orang tua. Kangen rasanya menjadi ‘anak’ lagi. Tapi aku lupa hal penting bahwasanya aku tidak berada pada level itu lagi. Tugasku sudah berbeda, perasaanku berbeda dibanding saat menjadi anak SMA dulu. Aku kangen membantu suami di rumah. Tak kusangka pekerjaan rumah itu dirindukan juga. Padahal, bukankah itu membosankan win?

Lalu aku melihat Mama dan Ayahku. Seminggu sudah aku mendengarkan curahan hati mereka. Melihat mereka bermain bersama cucu-cucunya.

Mereka sangat senang. Sampai tanpa sadar Mama sudah ‘sekian kali’ bertanya padaku, “Apa gak bisa suamiku bekerja disini saja?”

Dan jawabanku selalu sama lalu disusul dengan ukiran sedih pada wajah Mama.

Jika mengingat hal ini, aku mengubur perasaan bersalahku lagi. Kemudian berkata didalam hati,

“Setahun tidak ke tempat orang tua. Anggaplah seminggu lebih ini bagaikan oasis bagi mereka. Jika melihat mata mereka, aku sadar betapa berharganya diriku ada disini.”

Banjir di Banjarmasin, Kota Seribu Sungai

Saat beberapa kota di kalsel mulai surut banjirnya dan mulai cerah harinya, kota banjarmasin malah terancam banjir karena pasangnya air. Dan sepertinya, aku akan lebih lama lagi di pelaihari.

Kota seribu sungai itu kini benar-benar ‘beribu sungainya’. Disana sini penuh hamparan ‘sungai baru’. Aku tidak bisa membayangkan ditengah air itu mungkin ada biawak dan ular yang berenang dari rawa. Kabar terakhir yang aku tau, bahkan kelotok saja mampir ke spbu untuk mengisi solar. Benar-benar sebuah perubahan di awal tahun.

Dan kuharap itu tidaklah lama. Kabarnya hari kamis air pasang tidak akan meninggi lagi dan berangsur surut. Hari ini, beberapa rumah anggota keluargaku di banjarmasin mulai terendam banjir dibagian dapur. Dan aku bersyukur hingga saat ini rumahku masih aman. Hanya bagian halaman jalan yang terendam penuh dengan banjir. Pegawai PT kami masih bisa bekerja. Tapi dibeberapa daerah lain di banjarmasin, situasinya memprihatinkan.

Dan lagi-lagi aku bermimpi untuk bisa menjadi relawan. Sepertinya mengasyikkan. Apalagi aku kemarin menonton film love in flood. Kok seru andai saja aku bisa ikut naik perahu bersama suami ke jalan-jalan dan bernyanyi ‘row row row your boat’

Abaikan imajinasiku. Aku sedang haus sensasi petualangan. Dan tulisan ini mulai tidak jelas hulu dan hilirnya. Maklum, yang menulis saja kadang tersenyum kadang tergugu. Aneh sekali.

Bencana di awal tahun ini memang benar-benar mengiris hati. Dan kenapa pula itu terjadi disaat hatiku riang ingin piknik. Hatiku ingin istirahat, tapi kemudian disuruh sedih dengan berbagai bencana. Seakan empatiku sedang diuji ditanah lapang. Jika aku menulis untuk mencurahkannya. Kepalaku berjalan kemasa depan. Berpikir, bagaimana kiranya nasib anak cucu di masa depan? Jika toh sekarang saja bencananya sudah sedemikian?

Hai manusia, apakah kamu bekerja keras untuk dirimu sendiri? Atau untuk masa depan anak cucumu? Atau sebenarnya hanya untuk rasa nyamanmu dimasa depan? Lantas kedepannya tidak dipikirkan lagi? Kemudian berdalih bahwa kepintaran manusia dan kemajuan teknologi mungkin akan mengatasi kesalahan-kesalahanmu?

Entahlah. Manusia itu membingungkan. Termasuk diriku.

Bedakan antara Suami Pelit dan Suami Hemat

Bedakan antara Suami Pelit dan Suami Hemat

“Sayang, kayaknya bulan ini keperluannya bakal lebih deh. Buku anak mesti dibeli karena tahun ajaran baru. Pengeluaran yang lain juga ada nih..”

“Ya dicukup-cukupkan dulu bisa gak Ma. Soalnya uang kita juga ngepas kan..”

“Tapi bukannya Papa kemarin dapet uang sampingan dari kerjaan?”

“Ya tapi kan buat Mama. Kan kasian loh adek aku juga masih sekolah.”

Sang Istri pun menunduk lantas tak sengaja meneteskan air mata. Sudah berkali-kali rasanya suaminya seperti itu. Sering sekali. Seakan ia hanyalah orang kedua yang membutuhkan nafkah darinya. Seakan hanya dia-lah yang harus berputar-putar mencari cara agar keuangan rumah tangga kami mencapai kata ‘cukup’. 

Dan kadang, Sang Istri sering bertanya pada diri sendiri.. 

“Apakah suamiku ini pelit? Atau terlalu hemat?”

Suami Terkesan Pelit, Salahkah? 

Abaikan cerita diatas. Berhentilah berimajinasi seolah-olah itu adalah cerita curhat dariku. Jujur, enggak juga sih mirip, tapi aku yakin pasti diantara pembaca disini pernah mengalami posisi yang sama. Terutama di ujian awal pernikahan. Iyakan? Nafkah lahir memang ujian sensitif.

Huft. Yup ujian pernikahan terberat memang pada tiang ekonomi. Masa ketika punya ambisi memiliki rumah sendiri, berdiri sendiri, ditambah sudah memiliki anak dengan gajih yang pas-pasan. Belum lagi soal cobaan menjadi sandwich generation. Digeronggoti sana dan sini. Lalu kemudian keadaan menjadi serba salah. Ingin bekerja, tetapi anak harus bagaimana? Tak bekerja namun keuangan tak memadai. 

Merajuk, tapi kenyataannya tidak bisa. Karena begitulah keadaannya. Lalu kemudian setan-setan mulai berbisik ramai ditelinga.. 

“Dia pelit sekali”

“Bahkan anaknya sendiri tidak penting baginya.”

“Dia lebih memilih Ibunya dibanding dirimu.”

“Harusnya dia menikah dengan Ibunya saja.”

Setan-setan itu, membuat istri yang keadaannya serba salah menjadi bertanya-tanya pula. Lalu kemudian berakhir dengan tetesan air mata. Ingin berkomunikasi takut ditekan lantas dianggap tak bisa mengatur keuangan rumah tangga. Tapi jika terus dipendam maka kapan ada jalan keluar? 

Pernahkah kalian berada diposisi demikian ketika ingin berkomunikasi tentang keadaan ekonomi? Aku? Pernah banget! 

Lalu apa yang aku lakukan? Apakah aku langsung menangis bombay dan berteriak parau dihadapan suami? Tidak. Aku mencari ‘jeda’. 

Jeda itu aku gunakan untuk mengoreksi diri. Mengekspresikan kemarahan melalui jempol-jempolku. Mengukir prasasti pada WA story yang aku atur privasinya. Berharap ada 10 dari teman dekatku yang memiliki nasib yang sama lalu memelukku. Kadang, harapanku tak muluk-muluk. Hanya ingin didengar. Itu saja. Itulah kenapa, diantara 10 kontak itu. Suamiku adalah salah satunya. Aku berharap dia bisa membaca luapan amarah itu. Aku ingin dia tau bahwa aku marah tapi aku takut marah dihadapannya. 

Saat itu setan sedang ramai sekali menari di jemariku. Mungkin mereka tertawa. Aku tidak tau apa yang ada dibenak teman-teman yang membaca status privasiku. Tapi satu hal yang jelas. Aku lega. Dan jeda itu aku ulang lagi dan lagi. Seperti menjadi candu. 

Saat waras menghinggapiku. Dan setan itu sudah lelah dan tertidur. Aku menatap nanar ke arah suamiku yang kelelahan dalam tidur malamnya. Berkata dalam hati, “Mungkin, sebenarnya dia memiliki beban yang tak kalah besar dariku.. Apakah aku yang selama ini menutup mata akan bebannya? Apakah selama ini kami saling memendam rasa karena ‘malu pada beban masing-masing’?”

Bagaimana kalau.. Memang dia tidak punya pilihan? Atau dia takut berkomunikasi? 

Dan hal yang paling aku takutkan saat itu adalah, “Bagaimana kalau ternyata aku tidak dipercayai..?”

Lalu, aku terlempar pada masa lalu. Masa saat kami masih berkenalan dulu. Aku ingat dia pernah berkata padaku.. 

“Dalam kehidupan. Kita harus punya mimpi yang tinggi. Prinsipku adalah aku harus punya mimpi setinggi bintang. Walau senjataku hanyalah tangga. Setidaknya aku punya pijakan untuk melangkah. Walau ujungnya hanyalah atap rumah atau bahkan buah mangga sekalipun. Setidaknya aku sudah menaiki tangga itu.”

Kadang aku melamun dan berpikir. Bagaimana kalau ia sedang membuat anak tangga sendiri? Namun tidak melibatkanku karena ia takut jika aku terlibat maka aku akan memberikan opsi yang tidak maksimal untuk kualitas anak tangganya? 

Jangan-jangan selama ini kami memasang senjata yang salah. 

Ia pelit dan sukar berkomunikasi untuk senjata dan tamengnya. Sedangkan aku diam dan marah untuk senjata dan tamengku sendiri. 

Hidup kami pun pernah mengalami masa-masa itu. Masa dimana kami tidak terbuka, saling curiga. Dia menganggapku tidak bisa mengatur uang karena aku tak pernah melibatkannya. Dan aku menganggapnya pelit karena dia tak pernah mengikutsertakan diriku dalam membangun anak tangganya. 

Akhirnya aku mengerti. Ini bukan perkara pelit. Ini soal saling mengerti. 

Jika Suami Pelit, Mungkin… 

Mungkin sebenarnya.. Dia sedang membangun mimpi. Maka, berusahalah masuk kedalam mimpinya itu. Libatkan dirimu. 

Rasakan bebannya, kemudian ringankan beban itu. Berusahalah memahami. Tekan ego itu, walau butuh sekalipun berusahalah untuk tetap membangun anak tangga itu. Karena pernikahan harus memiliki mimpi. Semua mimpi dilalui dari rasa susah. Ini berat. Banget. Tapi, sebisa mungkin. Berkomunikasilah. 

Jika rasa pelit itu sudah sangat berlebihan tak ada salahnya untuk mencoba jurus-jurus yang pernah aku tulis ini

Baca juga: Jurus-jurus jitu ketika budget keuangan pas pasan

Memiliki suami yang tak paham dengan pengeluaran rumah tangga itu adalah cobaan sejuta wanita. Banyak sekali wanita diluar sana yang memiliki cobaan yang sama apalagi diawal-awal pernikahan. Sesungguhnya, pelit itu tidak bisa disalahkan selama banyak unsur mimpi didalamnya. Seperti yang pernah terjadi padaku. Tapi jika karena faktor lain, mungkin jurusnya pun berbeda pula. Suami pelit itu salah. Tapi tak sepenuhnya salah. Yang bisa kita lakukan adalah meyakinkan diri dan pasangan. 

“Kita harus hemat, bukan pelit..”

Suami Hemat dan Pelit? Apa Bedanya? 

Ya beda dong marimar. 

Suami Pelit itu egois, mengesampingkan kepercayaan dan menganggap goalsnya paling benar. Sedangkan Suami Hemat itu memiliki visi dan misi di masa depan dan melakukannya disertai dengan sifat keterbukaan bersama istri sehingga jikapun ‘susah’ maka susahnya terkesan bersama. Bukan dipikul sendirian. Berjalan masing-masing. Heh, pernikahan macam apa itu. 

See? Dalam menikah itu komunikasi adalah koentji. Termasuk itu dalam hal mengkategorikan suami pelit atau hemat. Mau si Suami punya Duit segudang kek, kalau ‘enggak terbuka’ sama pemasukan dan pengeluarannya.. Maka tetep aja namanya SUAMI PELIT. Catet tuh! 

So, kembali ke pembuka artikel ini. Tentang percakapan diatas, apakah menurut kalian suami tersebut adalah suami yang pelit atau terlalu hemat? 

Suami sudah berkata pada istri bahwa uang sampingannya ia berikan pada keluarganya karena mereka juga membutuhkan. Akan tetapi, ia memberikannya begitu saja tanpa berkomunikasi terlebih dahulu pada istri. Mungkin, suami takut si istri tidak memperbolehkan tindakannya. Apakah itu salah? 

Perlu koreksi diri, apakah selama ini sebagai istri kita sering ‘mendikte’ suami ketika ia memberikan uangnya pada yang lain sehingga menyebabkan adanya ketidak-terbukaan. 

Sebaliknya, reframing diposisi istri. Ketika istri sudah ‘meminta’ itu artinya ia sedang membutuhkan. Maka, tentu saja ia berharap bisa diberi. Kalimat balasan suami sedemikian akan menyebabkan istri merasa dinomor-duakan. Kembali lagi, dalam pernikahan.. Sungguh komunikasi adalah kunci. 

Karena andai saja suami tidak gengsi berkata, “Maaf..” Karena sudah tidak jujur soal uang sampingan dsb. Lalu kemudian berusaha agar ia menunaikan kewajibannya. Maka tentu tidak akan ada konflik dan berburuk sangka dalam diam. 

Jika masalah dibiarkan dan istri selalu ‘diam’ maka suami tidak akan merasa bersalah. Maka harus dikomunikasikan. 

Ketahuilah, permasalahan ekonomi ini adalah tiang dalam kesejahteraan rumah tangga. Maka, keterbukaan adalah penawarnya. Ini bukan soal suami pelit atau hemat aja. Bukan soal ‘mengatur uang’ saja. 

Percayalah, bahkan suami boros sekalipun mungkin masih lebih baik dibanding suami hemat tapi tidak terbuka. Dalam catatan suami boros tersebut terbuka tentang keuangannya. 

So.. Suami Misua Hubby Honey diluar sana.. 

Percayailah Istrimu. Itu saja. 

IBX598B146B8E64A