Browsed by
Month: May 2023

Self Talk: “Sudahkah Diriku Puas Untuk Dibanggakan?”

Self Talk: “Sudahkah Diriku Puas Untuk Dibanggakan?”

Apa goals penting dalam hidupmu 10 tahun yang lalu? 15 tahun yang lalu?

Kalau aku boleh ‘sedikit curhat’ tujuan hidupku saat itu sangat simple. 

Menjadi Anak Kebanggaan orang tuaku. Kalau perlu, mengalahkan saudaraku. Kalau perlu lagi, mengalahkan semua teman yang pernah membullyku. 

10 dan 15 tahun yang lalu tujuan hidupku adalah tentang bagaimana caranya agar aku menjadi manusia yang patut dibanggakan.

Dan hari ini, aku cukup sering menatap diriku sendiri di kaca sambil bertanya, “Apakah tujuan hidupku yang dulu sudah terealisasi?”

Menjadi Seorang Anak yang Bisa Dibanggakan

Jujur, tulisan ini terinspirasi dari drakor on going yang sedang aku tonton. The Good Bad Mother judulnya. Kurasa aku selalu tertarik menonton drama yang memiliki unsur baper di dalamnya. Terlebih jika itu berkaitan dengan inspirasi kehidupan, apalagi jika itu berkaitan dengan hubungan ibu dan anak. Duh, rasanya hati ini ikut merasakan sakit, senang dan sedih. 

Hingga episode ke-10, aku sangat merasakan bagaimana rasanya berada diposisi Kang Ho, dan bagaimana rasanya berada diposisi Sang Ibu. 

Awalnya, sebagai anak tujuan hidupku simple. Membahagiakan orang tua.

Disisi lain, sebagai orang tua atas berbagai alasan di dalamnya kadang memiliki tujuan yang lumayan melenceng. Entah itu menuntut anak untuk bisa berstrata sosial di atas, mengupayakan apa yang tak bisa dicapai orang tua dahulu. Sisi ‘bad’ sebagai orang tua adalah membuat anak menjadi senjata dalam hidupnya. Dan anak biasanya akan selalu mencoba goals orang tua tersebut tercapai.

Sepertiku dan Kang Ho dalam drama The Good Bad Mother. Kang Ho yang akhirnya terobsesi untuk ‘berhasil menjadi jaksa’, padahal passionnya sebenarnya adalah Menggambar-Melukis. Demi bisa membanggakan orang tuanya. Dan membantu orang tuanya untuk mengungkap keadilan. Sebenarnya, disisi ini aku merasakan kemiripan hidupku dengan Kang Ho.

Entah sejak kapan hidup Mama begitu meterialis. Ada sisi gelap dalam hidupku yang membuat kepalaku terus terobsesi dengan uang. Pertengkaran tentang uang, tangisan tentang uang, menghemat uang, hingga membicarakan profesi yang menghasilkan banyak uang dan meningkatkan strata sosial. Alih-alih membuat anak paham akan bakatnya.. Orang tua pada generasiku terobsesi dengan profesi keren dan uang. Itu tak hanya dialami oleh orang tuaku. Aku melihat fenomena ini dialami oleh hampir semua orang tua.

“Ingin kuliah dimana setelah lulus?” Tanyaku pada temanku

“Aku mau jadi bidan”

“Aku mau jadi perawat”

Jawaban yang terasa aneh bagiku karena mereka jurusan IPS sepertiku. Namun jawaban itu terasa keren karena profesi beken pada zamanku adalah profesi yang berkecimpung di dunia kesehatan. Entah itu Dokter maupun yang berhubungan dengan uang.

“Wah, nanti kerja di dinas dong setelah lulus” Tanyaku pada temanku yang telah lulus kuliah

“Enggak, aku mau kerja di Bank”

Tidak mengherankan jika 90% teman-temanku saat sekolah memilih profesi yang itu-itu saja. Teller Bank, atau dunia kesehatan. Nah, bagaimana denganku sendiri?

Jujur sejak SMA aku sama sekali tidak memiliki minat di jurusan IPA. Tidak memiliki passion di bidang itu (kecuali biologi). Aku jauh lebih senang mengamati fenomena sosial-ekonomi, atau merenung dan membuat cerita sendiri yang baper-baper. Kadang, aku mirip seperti Kang Ho. Suka menggambar untuk menghabiskan waktu. Mungkin, jika profesi jaksa saat itu sudah ‘beken’ aku akan melirik ke profesi itu. Atau andai saja profesi ilustrator atau animator sedang beken.. Mungkin aku akan memilih itu. Zaman dulu, aku tidak terlalu terbuka dalam mindset memilih profesi. Aku hanya memikirkan 1 goal penting dalam hidupku. Bagaimana caranya agar hidupku selalu bersinggungan dengan uang? Dan tak pernah kehabisan uang? Dan membantu orang dengan uang?

Karena otakku rasanya ingin melonjak setiap kali mendengar celotehan tentang uang. Thats why, aku memilih jurusan akuntansi ketika kuliah. Sesimple itu. Alih-alih memikirkan passion, aku lebih nyaman dengan diriku sendiri saat orang tua membanggakanku bahwa aku kuliah di akuntansi dan suatu saat akan bekerja di bank atau perusahaan bonafit atau profesi lain yang bersinggungan dengan uang.

Tetap Berusaha Menjadi Anak yang Membanggakan

Keadaan seketika berubah kala aku dekat dengan asisten dosen di kampusku. Niatku dekat dengannya, jujur saja karena dia orang yang cukup unik dalam berbicara tentang impian. Karena itu aku berani berpacaran dengan orang unik plus mindset out of the box demikian. Aku ingin terus mengasah mimpi yang benar. Aku perlu tau apa mimpuku. Bukan sekedar tentang profesi untuk harga diri yang membanggakan.

Tapi, yang namanya hubungan selalu punya tujuan. Kalau tidak, hubungan itu akan melayang tidak jelas. Begitulah perkataan mama. Hubungan kami menjadi serius kala keluarga mengetahui satu sama lain. Mereka sepakat menikahkanku sebelum pacarku kuliah S2. Mama menceritakanku sekian banyak cerita horor tentang nasib anak gadis yang tak kunjung menikah saat menolak lamaran. Menceritakan itu berulang-ulang layaknya kaset rusak. Membuatku menuruti kata-kata mama. Menikah saat kuliah semester akhir. Aku bahkan baru saja ingin menyusun skripsi. Tapi, aku kekeuh ingin tetap menjadi anak yang baik. Anak yang bisa membanggakan. Jika saat itu menikah bisa membanggakan alih-alih bekerja dengan profesi keren.. Kenapa tidak?

Menikah-langsung hamil (tak terencana)-punya anak-jadi IRT. 

Awalnya rasa bangga itu masih aku rasakan kala hamil dan punya anak. Semakin anakku besar, rasa bangga itu berangsur menghilang. Mama, mama mertua, semuanya. Mulai memudar. Aku tak lagi tahu jalan mana yang perlu aku tempuh untuk memperoleh rasa bangga lagi. Memasak, berusaha berjualan kue, fokus mendidik anak. Aku sadari segala material yang dulu ingin kukejar hilang seiring aku menjadi ibu.

Alih-alih membanggakan orang tua, mertua atau suami.. Aku bahkan sering melihat diriku sendiri di kaca dengan rasa minder. Seorang Ibu yang bahkan tak mandiri finansial. Ibu yang bahkan terus terpaksa meminta uang saat mau tak mau jatah bulanan habis. Apa itu pencapaian, harga diri, kebanggaan.. Semua hilang.

Saat itulah aku sadar. Bahwa menjadi anak yang membanggakan.. Menjadi istri yang berusaha sempurna.. Menantu yang ingin selalu terlihat sama dengan mama mertuanya.. Membuat aku kehilangan apa yang berharga bagiku.

Diriku yang bahkan tak pernah mendapatkan haknya untuk keluar dan berdaya dengan benar

Menjadi Istri yang Benar = Menemukan Diri Sendiri Lewat Relasi

Memiliki anak pertama tanpa terencana, LDR, hingga kesibukan masing-masing membuat hubunganku dengan suami tak berjalan lancar. Terlebih 5 tahun pertama. Alih-alih berkomunikasi, aku lebih memilih berusaha menjadi sempurna untuk melayani. Alih-alih menanyakan kelayakan nafkah, suamiku lebih fokus membangun bisnisnya dibanding sering mengevaluasi kenapa istrinya sering menangis tak jelas. Kami adalah pasangan yang buruk dan sulit sekali belajar. Bahkan berlangsung hingga anak ke 2. Pasang surut empati dibangun atas dasar material semata. Tanpa memahami hal yang lebih jauh dibanding itu.

Aku bersyukur atas konflik yang muncul setahun yang lalu. Ledakan konflik yang membuatku marah luar biasa. Aku sempat menulis konflik itu di blog ini bahkan. Dan tentu sudah kuhapus sekarang. Konflik itu membuat suami mulai memahamiku. Meski hubunganku dengan yang lain menjadi tak baik, tapi aku bersyukur karena dari konflik itulah keluarga kami akhirnya bertumbuh dengan cara yang benar. Dulu, aku adalah pelayan di rumah ini. Di kantor yang dibangun oleh kerja keras keluarga kami. Aku menjaga kedua anakku, membuatkan cemilan untuk pegawai, membersihkan rumah, bahkan mengurus administrasi kantor. Tanpa gajih. Tulus ikhlas. Orang melihatku sebagai istri dan ibu yang sempurna. Namun di dalam aku bukanlah menjadi istri yang baik. Tapi sejak konflik itu.. Sejak kemarahan itu.. Aku berhasil menentukan prioritas yang baik: menjadi istri yang baik.

Alih-alih sempurna dalam hal melayani layaknya pembantu. Aku lebih memilih menghargai diriku sendiri lagi. Memahami lebih dalam psikologis laki-laki. Rutin workout, membeli lingerie, belajar teknik komunikasi, kembali menjadi teman komunikasi terbaik saat pacaran. Alih-alih selalu bertanya tentang mau makan apa atau ini itu. Topik komunikasi kami mulai seru. Tentang bagaimana membangun branding perusahaan kami, mengembangkan inovasi. Alih-alih bertengkar soal hemat dan irit uang belanja, kami lebih fokus untuk mengembangkan dana yang ada untuk hal produktif. Merekrut pekerja lagi, membangun project baru, menginvestasikan dana dengan aman. 

Hubungan yang baik dengan suami, membuatku kembali menemukan diriku sendiri.

Dalam setahun ini, banyak hal yang aku pelajari. Mulai dari investasi, digital marketing, design, copywriting, apply project pemerintah, belajar administrasi, pajak, belajar berkomunikasi. Perlahan aku mulai menemukan diri dalam hal yang tak bisa dijelaskan dengan sebutan profesi.

Diluar, orang mengenalku sebagai IRT biasa. Di dunia maya, orang mengenalku sebagai pembuat konten drakor. Di kantor, aku dikenal sebagai Direktur. Di dunia lain di malam hari, aku dikenal anakku sebagai guru yang galak. 

Sehingga jika ditanyakan kembali, “Sudah puaskah diriku untuk dibanggakan?”

Aku mulai tak peduli tentang apa profesiku di mata orang lain. Apalagi yang tak kenal dengan diriku. Mereka boleh saja berkata aku IRT pemalas, tidak bisa membuat pepes ikan atau penulis pembuka aib keluarga. 

Disisi lain aku juga sebenarnya kurang suka dengan orang tua yang membanggakanku berlebihan. Aku sedikit tak nyaman saat dipamerkan bahwa posisiku adalah direktur perusahaan sekarang. Bagiku, its too much. Aku tidak setinggi itu. Tapi jika itu membuat orang tuaku bahagia, aku tetap bisa nyengir bahagia. Merekalah yang terus berdoa untukku setiap hari. Mungkin mereka dulu sangat materialis dalam memandang profesi. Tapi aku bangga memiliki orang tua demikian. Merekalah yang membuatku ada di posisi sekarang.

Semakin lama, aku merasa ‘cringe’ jika ada yang membanggakan apa profesiku. Tapi jujur, saat ada yang bercerita mendalam tentang bagaimana aku berjuang di dalamnya.. Itu membuatku tersentuh. Aku yang sekarang tak peduli tentang kebanggaan di mata orang lain. Yang aku tau, hidupku hanya sekali. Aku ingin membuatnya lebih berarti.

Terima kasih untuk anakku yang lahir disaat aku tak siap.

Terima kasih untuk orang tua yang selalu mendoakanku, menyuruhku untuk menikah dini.

Terima kasih untuk konflik dalam hidupku, tanpa itu aku mungkin tak akan meledak dan bertumbuh

Terima kasih untuk suami yang akhirnya mau mendengarkanku dan menjadi support terbaik.

Terima kasih diriku, untuk puas pada dirimu sendiri. Terlepas bisa dibanggakan atau tidak.. Kamu tetaplah kamu. Sedari awal, kamu tau apa yang terbaik dalam hidupmu. 

The Glory Versi Ibu-Ibu

The Glory Versi Ibu-Ibu

Ada luka yang membekas, tak bisa sembuh namun merencanakan kesembuhannya.

Ada sakit yang menghantui malam demi malam, tak kunjung bisa terhindar. Namun tak sadar aku kutuki rasa sakit itu perlahan.

Disisi lain drama Korea the Glory.. Ada ibu yang berjuang untuk kemenangan. Dari hal-hal yang pernah menyakitinya.

Mulut-mulut nyinyir itu.

Wajah-wajah meremehkan.

Tawa lepas mentertawakan.

Ini bukanlah kisah tentang pembalasan rasa sakit. Ini adalah kisah bagaimana hati seorang ibu bisa meraih kemenangan.

Untukmu Yang Mendengar Mulut-Mulut Tajam

Sebenarnya, aku sudah lama ingin menulis tentang ini. Tulisan yang kubuat untuk mendamaikan hatiku pada mulut-mulut yang tajam. Mulut yang selama ini mengganggu aktivitasku sebagai seorang ibu. Sebagai seorang istri. Dan terakhir, sebagai diriku sendiri. Jika monster itu keluar dan kambuh. Mungkin aku bisa saja membiarkan blogpost menyeramkan itu tetap ada. Tapi, atas nama menjaga dan menjaga aku memilih menghapusnya. Aku memilih kalah. Dan memang sebagai orang bawah. Aku harus kalah bukan?

Demikian egoku berkata dengan mengalah sok elegan. Hatiku sakit dan tak nyaman. Tak nyaman hingga suatu hari aku menemukan konten sejuk dari risalah amar.

Dari cerita ini aku menyadari bahwa sindir menyindir dan menjelek-jelekkan orang bahkan bisa dilakukan oleh istri Rasulullah. Yang sebenarnya.. sungguh mereka pun adalah orang baik. Hanya saja, kebencian.. iri, dengki.. sering melintas pada hati manusia pada situasi dan kondisi yang berbeda.

Maka, kenapa aku tak mencoba seperti Shafiyyah?

Kenapa aku malah berusaha menjelaskan dan marah pada satu orang, berharap orang tersebut memahamiku dan bisa menjadi penengah konflikku?

Sungguh, andai bisa mengulang waktu. Aku akan mengurung rasa-rasa marah itu dan membuangnya jauh. Tapi apa daya. Ternyata aku manusia biasa yang belum cukup bisa untuk mindfullness.

The Glory Versi Aku

Konten dari Risalah Amar tersebut sebenarnya sudah lama. Aku hanya menekan love dan menyimpannya untuk kubaca kala hatiku sedang sedih lagi. Perlahan, sejak bulan puasa kemarin aku mulai mengurangi keaktifan di sosial media. Lari pada hal lain.

Belajar menang tanpa perlu curhat. Belajar waras tanpa perlu curhat. Itulah misi hidupku sejak ramadhan kemarin. Dan ini juga sudah aku jadikan microblog beberapa hari yang lalu.

Untuk belajar seperti Shafiyyah, yang perlu aku perbaiki adalah hatiku sendiri. Hatiku yang selalu sedih mengingat perkataan yang tak enak. Hatiku yang saat marah bisa tak terkontrol. Hatiku yang rasanya ingin bicara mencari pendukung tapi tak tau harus mengeluarkannya kemana.

Entah kenapa, sejak menonton berbagai drama Korea sedikit demi sedikit.. aku ingin sekali mengambil pembelajaran dari itu. Menulisnya tanpa perlu membeberkan kisah hidupku. Melakukan hal itu, membuatku bisa curhat dalam media berbeda.

Sejak itu pula aku nyaman melakukan workout, perlahan saat malam datang dan anak sedang tidur aku mulai belajar meditasi. Streching tubuhku sebelum tidur dengan yoga. Itu membuatku nyaman dan tidur lebih nyenyak. Perlahan kata-kata tak mengenakkan itu pun teralihkan. 

Menjadi Shafiyyah mungkin terasa mustahil. Tapi nyatanya, saat bertekad melakukan hal baik secara konsisten.. Kemenangan itu datang.

Bukan menang seperti Drakor the Glory. Tapi aku menang dalam hal menenangkan diri sendiri. Bagiku sebagai ibu, itu adalah sebuah kemajuan yang besar 

Output dari Kemenangan

Sejauh ini, aku belum merasa bahwa sakit hati memerlukan balasan. 

Aku merasa bahwa hati yang sakit perlu diobati. Itu saja. Dan urusan hati adalah urusanku dengan diri sendiri. Memaafkan adalah tentang kebaikan diri sendiri. Kurasa itu benar adanya.

Aku tak tau apakah ini memaafkan atau tidak. Tapi aku sudah tak merasa bersalah lagi kala setiap hari aku bolos tak menyiapkan cemilan kantor. Aku tak merasa bersalah kala hanya memasak sesuka hatiku saja. Tak merasa perlu pengakuan versi mereka. Aku merasa nyaman menjadi Ibu versi diriku sendiri. 

Anakku berkata masakanku enak. Suamiku pun demikian. Untuk apa aku perlu pengakuan dari yang lain lagi?

Badanku nyaman dengan workout. Skinny fat ku berkurang. Untuk apa aku tampil sempurna lagi. Aku tak perlu pengakuan dari luar. Membeli alat olah raga dan lingerie cantik sudah cukup membuatku berharga.

Anakku butuh ibu bahagia. Yang bisa mencintai mereka dan mengajarkan mereka tentang kehidupan. Bukan ibu sempurna yang sebentar-sebentar menangis minta pengakuan. 

Maka ketika aku bisa bahagia dengan caraku tanpa memikirkan harus bisa seperti standar mereka..  bukankah aku sudah menang?

Menang melawan diriku yang lain. Alhamdulillah. Ternyata benar, bahwa musuh terberat itu adalah diriku sendiri. Diriku yang berusaha menjadi orang lain. Diriku yang selalu memikirkan ucapan orang lain.

Hai diriku. Bertumbuh dan berharga lah dari sekarang.

Ngobrolin Tentang YOLO Parenting

Ngobrolin Tentang YOLO Parenting

“Kalau Parenting style versi aku, itu aku namain YOLO Mother”

“YOLO Parenting? Apaan Tuh?”

“Yah.. You Only Live Once. Dalam artian, kalau pekerjaan itu bikin kamu pusing as a mother, gak usah dikerjain. Gak usah maksain apa yang kata orang-orang harus lakukan. Kalau gak suka ya udah.. Tinggalin aja”

-Nikita Willy

Nyinyirin Hidup Nikita Willy as a YOLO Mother dan Lomba Perbandingan Penderitaan

Jujur, suka banget ketawa dengan konten-konten yang menggabungkan life style Nikita Willy as a Mother dengan keadaannya sendiri. Lucu sih, aku akui konten-konten begini sangat amat menghibur. Aku saja nonton sampai cekikikan di kamar. Nah, ini contoh konten yang lucu itu:

Lucu kan?

Tapi, semuanya tak lagi jadi hiburan kala iseng membaca kolom komentar. Awal mula yang niatnya hanya mengisi hiburan saja malah jadi manggut-manggut membaca penderitaan orang lain. Sambil berkeluh begini di dalam hati..

“Ah iya.. Nikita Willy mah enak. Bisa memilih mana pekerjaan yang disukai untuk mengisi kesehariannya.. Lah kita emak-emak yang privilegednya gak kayak Nikita Willy punya pilihan apa?”

Gak ngerjain cucian baju dan piring.. Apakah baju dan piring bisa membersihkan dan merapikan dirinya sendiri?

Gak masak sehari. Keluarga makan apa?

Gak bersihin rumah. Apakah rumah bisa bersih dengan sendirinya setelah dipakai beraktivitas?

Nikita Willy mah enak gak kek aku bla bla bla. 

Iya.. Gak kayak kita..

Lantas ibu-ibu yang merasa senasib berpelukan. Gak salah sebenarnya kalau ibu-ibu ini saling berpelukan dan berbagi rasa. Apalagi ketika mengeluh misal, ada yang menawarkan bantuan. Hehe..

Yang jadi masalah adalah ketika iri pada Nikita Willy ini berlanjut. Mencoba meniru YOLO Mother plek ketiplek versi Nikita sambil terlebih dahulu berdiskusi dengan suami. Padahal, ya.. Kita tau sendiri bahwa gak semua suami itu sama dengan suami Nikita. Yang ada, kalau kita ingin hidup sama seperti Nikita dan diskusi ke suami, suami malah merasa direndahkan karena tak bisa membuat kita seperti Nikita.

Yang jadi masalah kedua lagi adalah, saat rasa iri itu berlanjut dan memandang rendah kearah Nikita Willy. Seakan-akan hidupnya 180 derajat berbeda dengan hidup kita dari lahir tanpa usaha apapun. Lantas kita menganggap bahwa yang namanya nasib itu tak perlu diusahakan karena privileged itu sudah ada tercipta dan terbentuk dari lahir. 

Thats the problem. Saat liat kehidupan orang lain lantas berusaha menjadi orang lain itu. Atau saat liat kehidupan orang lain lantas nyinyir dan iri berkepanjangan dengan orang tersebut tanpa berusaha lebih realistis.

Nyatanya: YOLO Parenting Itu Ada Benarnya

Aku pribadi sih, merasa bahwa perkataan Nikita Willy itu ‘ada benarnya’. 

Terutama dalam bagian, “Gak usah maksain apa yang kata orang-orang harus lakukan. Kalau gak suka ya udah.. Tinggalin aja”

Kenapa aku merasa perkataan itu ada benarnya? Karena ‘Setiap Ibu punya prioritas yang berbeda’

Misal, ketika aku memiliki bayi yang masih kecil dan dalam keadaan pemulihan pasca cesar.

Aku akan berusaha banget tutup telinga dari perkataan orang-orang yang menyakitkan seperti..

“Wah, padahal gak kerja tapi punya ART di rumah”

Orang nyinyir yang bahkan bertemu aku baru 15 menit saja. Tau apa dia tentang hidupku? Tau apa dia tentang bagaimana aku menggajih ART.. yang mana harus menabung saat hamil demi bisa memiliki ART selama 3 bulan pasca melahirkan. Tau apa mereka bahwa aku juga berusaha mencari uang meski terlihat tidak bekerja di luar.

Contoh perkataan lain seperti..

“Wah, rumahnya kok berantakan. Wah, bersihin anak pup kok begitu. Bla bla..”

Orang nyinyir yang bahkan tak tau bahwa anakku adalah makhluk hidup yang butuh bereksplorasi. Yang bukanlah robot dan bisa kukontrol. Dan mereka bahkan tak tau bahwa aku punya waktu sendiri kapan harus membereskan rumah dan kapan tidak. Mengapa mereka tidak tau adab bertamu yang seharusnya memberitahu terlebih dahulu pada pemilik rumah jika ingin bertamu?

Alih-alih klarifikasi, membela diri atau melakukan apa yang ‘orang nyinyir’ inginkan. Jauh lebih baik bagi seorang ibu untuk memahami apa prioritas hidupnya sendiri. 

Saat memiliki anak bayi, prioritas aku ya si bayi. Bukan rumah yang perfect.

Saat anak sudah mulai besar, prioritas aku adalah mengasah habbit anak agar bisa disiplin. Bukan membiarkan anak berlama-lama dengan gadget agar rumah dan dapur kita sempurna.

Saat anak sudah mulai mandiri, prioritasku adalah mulai mengejar mimpi yang sempat tertunda. Mulai bonding ulang dengan suami agar kerja sama kami bagus. Tak sungkan mengeluarkan budget untuk kelas belajar hingga membeli lingerie.

Nikita Willy ada benarnya bahwa You Only Live Once.. Just Do What You Want.. Not What They Wanted…

Hanya saja, kita dan Nikita memang berbeda. Dan memang harus berbeda. Kenapa pula Nikita Willy harus sama dengan kita yang mengerjakan semua pekerjaan rumah sendiri? Kan dia berhak melakukan hal yang lain. Bukan berarti dia tidak bisa mengerjakan pekerjaan rumah, tapi dia punya privileged untuk meninggalkannya. And its good. Aku pun jika senasib dengan Nikita dengan senang hati lebih memilih work out atau ngegym diluar dibanding mengerjakan pekerjaan rumah. Akan lebih senang jika separuh waktuku diisi dengan belajar dan berkarya. 

Tapi YOLO Mother bagiku.. Ada Batasnya

“Yah.. You Only Live Once. Dalam artian, kalau pekerjaan itu bikin kamu pusing as a mother, gak usah dikerjain”

Jujur, selain Nikita.. Ada satu orang lagi yang bilang kata-kata begini ke aku.

Kalian tau siapa??

Suami… HAHAHA

Suami tuh pernah bilang gini ke aku pas aku kecapean kerja di rumah, “Kalau capek gak usah dikerjain. Selesai kan urusannya”

Langsung deh, aku mendegap degupkan langkah kakiku. KODE KERAS bahwa aku sedang marah saat dibilang begitu. Berkata di dalam hati, “Harusnya solusinya dibantu dong. Bukannya enggak dikerjain.”

Baca Juga: Jika Ingin Istri Seperti Nikita Willy

Sebagai Young Mom diusia 22 tahun, bagiku semua pekerjaan rumah itu jujur saja MEMUSINGKAN. Menyusui anak saat perut masih nyeri dan lukanya tak sembuh itu menyakitkan. Tidak tidur malam karena anak selalu bangun, itu memusingkan. Ditambah jadi manusia yang harus makan demi teirisinya ASI itu juga memusingkan. Karena kalau ditanya, apa yang tidak memusingkan as a mother itu cuma dua hal. Lihat wajah anak yang lucu dan tidurrrrr. 

Dan bagaimana bisa itu terjadi jika anak terus menangis, perut lapar dan perlunya kebersihan. Kita diciptakan sebagai manusia yang bisa survive dengan makanan bergizi dan lingkungan yang bersih. Kalau itu tidak bisa tercipta dengan tidur maka apa boleh buat bukan? 

YOLO Mother punya batasan. Diakui atau tidak, setelah menjadi Ibu tidak ada kata-kata ‘Ayolah Nikmati Hidup karena Hidup Cuma Sekali’

Karena… Masa kecil anakpun.. Tak akan terulang lagi… Anak kita hidup hanya sekali. Dan Tak Akan Terulang. Itu yang harus sangat disadari.

Berkorban itu nyata adanya. Anak memang tak meminta dilahirkan, tak meminta kita berkorban. Kita memilih langkah itu sendiri karena insting seorang ibu yang menyayangi dan melindungi. 

Jika dibilang pusing. Semuanya pusing. Semuanya melelahkan. Tapi jika dipikirkan lagi Kenapa aku tetap mengerjakannya? Dan merasa wajib mengerjakannya?

Karena Cinta. Sesimple itu.

Capek. Mengomel saat kelelahan dan tak dibantu. Meski menangis sambil menahan sakit tetap dikerjakan. Karena semua pekerjaan saat itu prioritas dan tak bisa didelegasikan. 

YOLO Mother punya batasan, saat seorang Ibu tau bahwa untuk kualitas hidup anaknya.. Ia perlu berlelah-lelah sebentar. 

YOLO Mother punya batasan, saat seorang Ibu tau bahwa keluarganya dalam kesulitan.. Ia perlu merasakan pusing sebentar.

Kita memang bukan Nikita Willy, tapi kitalah yang paham seperti apa persisnya hidup kita sendiri.

Tentang Hubungan Mana yang Perlu diperbaiki

Tentang Hubungan Mana yang Perlu diperbaiki

Ada konten yang selalu terngiang-ngiang dipikiranku sejak bulan ramadhan kemarin. Kalian tau konten tentang apa?

FYI, Aku suka sekali memfollow akun instagram dari para psikolog. Sejauh ini, ada 3 psilokog dan psikiater yang senang aku ikuti. Antara lain adalah wantja, jiemi adrian dan verauli. Ketiganya punya value unik masing-masing. Wantja menjelaskan struktur fenomena psikologis dengan ilustrasi uniknya, Jiemi yang  lebih realistis dan bagus dalam berkomunikasi. Serta Verauli yang lebih membahas tentang cara membina hubungan yang baik antar keluarga. 

Adalah konten dari Dr Jiemi Adrian yang banyak sekali aku renungkan 2 minggu bekalangan ini. Sudahkah kalian menonton reels dari beliau?

Hablum-Minannas

Jika kalian sudah menonton reels dari Jiemi Adrian yang aku selipkan di postingan ini, kalian pasti ‘manggut-manggut’ dan mungkin kalian sependapat dengan reels tersebut. Tentang sumber kebahagiaan yang berasal dari ‘hubungan yang baik’. Hubungan yang baik antar manusia.

Sebagai orang islam, kita mengenal hal ini dengan istilah Hablum-Minannas. 

Manusia tercipta sebagai makhluk sosial yang membutuhkan orang lain untuk bertahan hidup. Bukan cuma tentang perkara kebutuhan biologis. Namun juga perkara kebutuhan psikologis. Penelitian yang memakan waktu berpuluh tahun pun menunjukkan bahwa sumber kebahagiaan manusia ternyata ada pada ‘hubungan yang baik’. Hubungan yang baik antar sesama.

Aku sering bertanya-tanya. Tentang ‘hubungan yang baik’. Seberapa efektif hal itu? I mean, Apakah semakin banyak kita memiliki hubungan baik dengan manusia..maka semakin banyak pula kita memiliki kebahagiaan?

Apakah jika kita memiliki hubungan yang baik dalam jumlah sedikit.. Maka kebahagiaan kita tak sebanyak dari mereka yang memiliki banyak hubungan baik?

Atau dalam era sosial media sekarang.. Apakah mereka yang memiliki banyak followers dan persentasi engangement yang tinggi akan memiliki kebahagiaan lebih tinggi dibanding mereka yang memiliki puluhan follower saja? Yang bahkan malu-malu berinteraksi didalamnya.

Jika kebahagiaan adalah tentang kuantitas jumlah hubungan baik dengan manusia, apakah itu bisa melawan kualitas hubungan baik dengan manusia?

Pertanyaan yang berulang aku tanyakan. Dan sebenarnya konteks yang aku pikirkan bertolak belakang dengan nasehat salah seorang guru di daerahku..

“Jika melakukan kebaikan, jangan berharap balasan dari manusia. Kalau berharap pada manusia, hatimu akan sakit. Berharaplah hanya pada Allah. Dia yang paling memahami rasa dan niat dari dirimu..”

Ya, jangan berharap pada manusia. Sering kali aku paham dengan nasehat ini, namun seringkali aku juga lengah dengan insting sosialku. Saat melakukan kebaikan, kadang aku ingin dianggap ‘baik’ oleh orang lain. Aku ingin sekali ditatap dengan tatapan berharga. Tatapan kasih. Ucapan kebaikan yang tulus. Pujian. Ingin sekali. Saat mendapatkan hal itu aku merasakan keterikatan dengan manusia. Merasakan hidup yang berarti. Ada energi positif yang masuk dalam diriku. Sesaat, Aku meyakini bahwa itulah yang dimaksud dengan ‘hubungan yang baik’ oleh Dr Jiemi. 

Namun, saat aku tak mendapatkan itu semua. Rasanya ikatan itu longgar. Enggan rasanya mendekat dengan lebih jauh. Saat mendapat sindiran atau celaan. Aku lebih memilih melindungi harga diriku. Menyindir dan mencela balik dengan cara implisit. Demi melindungi ego yang masih ada. Agar masih bisa teguh berdiri. Aku mengumpulkan orang yang mendukungku dan senasib denganku agar bisa terus membelaku. Sekilas, aku bertanya-tanya.. Orang-orang yang mendukung egoku ini dan terus disampingku.. Lantas, Apakah mereka yang mendukungku juga dinamakan ‘hubungan yang baik’?

Lantas timbul pikiran mengerikan. Siapakah yang mungkin akan datang dan menangis saat aku sudah meninggal nanti? Siapakah yang merasakan kehilangan teramat dalam? Apakah mereka itu yang masuk dalam ‘hubungan yang baik’ dan membuat aku bahagia bahkan ketika sudah meninggal?

Saat menulis hal ini pikiranku membayangkan dan mataku menjadi panas. Aku sering bertanya-tanya.. Apakah ada yang merasa nyaman saat aku sudah tidak ada? Berapa banyak perbandingan jumlahnya dengan mereka yang menangis? Apakah itu sumber timbangan kebahagiaanku di alam akhir nanti?

Lantas aku diam lebih jauh. Lebih memikirkan kata-kata guru dan ceramah yang pernah aku dengarkan. “Jangan berharap pada manusia atau hatimu akan sakit”

Benar rasanya. Jika mengkhayal dan mengharapkan sifat baik dari manusia.. Hatiku malah merasakan rasa tak nyaman. Dalam beberapa periode hidupku, aku sulit sekali berkhusnuzhon pada sesama manusia. Ada trauma kecil yang pernah aku alami saat kecil dulu. Dan rasa itu sering membengkak jika sudah menemui triggernya. Aku menyadari bahwa setiap rasa dengki dari orang lain yang terus berhembus kearahku tanpa tau kebenarannya akhirnya menjadi penyakit bagi hatiku sendiri saat mengetahuinya.

Karena itulah mungkin orang-orang terdekatku selalu berkata untuk membaca surah Al-Falaq setiap kali muncul prasangka buruk. Allah Bersama kita, dalam setiap hubungan dalam sesama manusia. Aku baru-baru saja mengerti lebih dalam kenapa surah ini menjadi salah satu surah yang sakti. Karena dalam surah ini, kita menjaga hati tak baik dari orang lain. Kita juga menjaga hati sendiri. Dalam dunia luas ini, selalu ada sisi hitam dibalik itu. Maka sebenarnya hubungan antar manusia adalah tentang menjaga hati dan usaha tanpa batas untuk bisa ikhlas. Bukan tentang kuantitas hubungan, bukan pula tentang kualitas hubungan. 

Hablum-Minallah

Pertanyaan yang sering aku pertanyakan setelah menonton reels itu kembali adalah Bagaimana jika ternyata dalam hidup salah seorang manusia ia dikelilingi oleh orang yang ‘hitam’. Orang yang tidak baik. Yang kemudian manusia tersebut tetap berusaha menjadi terbaik diantara yang tak baik. Maka atas kehendak itu pula ia melukai hubungan yang baik. Untuk bisa menjadi baik. *berputar sekali bahasaku..

Keadaan demikian mungkin banyak terjadi di sekililing kita. Ingin keluar dari circle KDRT misalnya, maka seseorang harus berani melawan. Melaporkan orang yang dulu ia sayangi dan ia yakini harus bisa menjaga hubungan yang baik. Ingin keluar dari circle patriarki untuk bisa berdaya misalnya. Maka mau tak mau harus ada yang ‘merasa tersakiti’ demi keberdayaan diri. Ada saatnya komunikasi baik tak efektif. Ada saatnya kita sebagai manusia memutuskan untuk keluar dari hubungan yang baik. Demi diri sendiri, demi orang yang kita sayangi. Maka kepada siapa kita bersandar untuk terus bisa yakin? untuk diberikan ‘jalan yang lurus’?

“Jika ingin hubungan antar manusia membaik, maka perbaiki dulu hubunganmu dengan Allah” Nasehat lama dari seorang Guru yang sudah lama aku lupakan.

Yang kadang manusia sepertiku lupakan adalah terlalu fokus untuk menjadi makhluk sosial yang baik, makhluk sosial yang bisa diterima, diakui manusia yang lain.. sampai lupa bahwa sebenarnya hubunganku dengan penciptaku sendiri mulai tak kunjung diperbaiki.

Lupa untuk sholat malam dan mengadu tentang hati. Tapi masih bisa menulis panjang lebar sekian jam untuk curhat. Lupa untuk khusyuk dalam sholat. Malah memikirkan pekerjaan domestik untuk serba sempurna. Lupa bahwa setiap doa tak hanya sekedar dari lisan namun juga dari hati yang sungguh-sungguh. 

Manusia sepertiku kadang begitu egois. Ingin hubungan dengan manusia membaik. Tapi lupa bahwa setiap hati pada manusia bisa lunak dalam kehendak-Nya. Dan sebanyak apapun aku mengadu pada manusia. Tak ada yang benar-benar memahami diriku sendiri kecuali Allah. 

Tak ada yang benar-benar tau masa laluku, hatiku, apa yang sedang aku usahakan. Sebanyak apapun aku ‘mengadu’ dan mencari dukungan dari sesama manusia rasanya dahaga itu tak kunjung terpuaskan. Ramadhan kemarin, aku off sosial media dan blog. Rasanya hatiku lebih nyaman saat tak memikirkan apa penilaian manusia kepadaku. 

Karena yang tau betul tentangku hanya Allah.

Maka, mungkin menjawab judul artikel ini.. Tentang hubungan mana yang terlebih dahulu diperbaiki? Hablum-minannas atau Hablum-minallah..?

Mungkin Hablum-minallah jawabannya. Dan jika dipertanyakan kembali.. Apakah itu akan membuat manusia merasa bahagia? 

Mungkin kita perlu merenungi kembali tentang apa itu definisi bahagia. Aku pun masih sering merenung tentang variabel bahagia hingga sekarang. 🙂

IBX598B146B8E64A