Browsed by
Month: February 2023

5 Emosi Pada Seorang Ibu, Kamu Termasuk yang Mana?

5 Emosi Pada Seorang Ibu, Kamu Termasuk yang Mana?

Apa sih definisi ‘Ibu yang baik’ itu?

Ibu yang baik adalah Ibu yang sempurna..? Tet tott..

Ibu yang baik adalah Ibu yang selalu hadir 24 jam untuk anaknya? Tet tott..

Ibu yang baik adalah Ibu yang mau terus belajar.. 🙂

Ibu yang baik adalah Ibu… yang bisa memahami emosinya sendiri.. 🙂

Hal itulah yang aku pelajari 3 bulan yang lalu. Aku secara iseng mengikuti kegiatan ‘Me Time’ bersama Rangkul Keluarga kita. Dan akhirnya, perlahan aku mempelajari hal-hal baru. Termasuk halnya dalam memahami emosiku sendiri.

Setidaknya ada 5 emosi dominan negatif yang paling sering dirasakan oleh Ibu sepertiku, 

1. Marah

 Menurut Pica, Mama suka marah gak?” Tanyaku pada Pica hari itu.

Dan Pica menjawab.. “Mama jarang marah, tapi sekali marah.. Anu…”

Aku melihat raut wajah Pica, berkaca pada beberapa kemarahan dahsyat yang pernah aku keluarkan. Wah, kalau diingat rasanya kok menyeramkan sekali. Haha.

Jujur, aku termasuk dalam orang yang cepat sekali tersulut emosi. Tapi disisi lain, aku juga bisa ‘pause’ emosi dan menunda kemarahan. Tak hanya marah, aku juga bisa menunda emosi sedih, kecewa dll. Namun, sekali saja ‘trigger’nya muncul maka emosi itu bisa meluap seketika.

Tumpah semua. Bahkan tumpah berlebihan.

Kalau diibaratkan, kondisi emosi marahku ketika sudah meluap itu bagaikan kyubi ekor 6. Dan bisa saja sampai mencapai level 9 jika ‘triggernya tidak tau diri’. Hahaha.

Sesuai dengan saran dari relawan rangkul keluarga kita, saat kita sedang menunjukkan emosi dominan maka kita harus tahu apa penyebab utamanya. Dan jika aku berkaca pada kehidupanku sendiri, ‘ada penyebab utamanya…’

Sebenarnya sosokku yang marah mengerikan ini adalah warisan innerchild. Aku bukannya ingin mengklaim bahwa Mamaku adalah sosok pemarah, namun hal yang ingin aku sampaikan adalah aku lahir dalam lingkungan yang menganggap kemarahan adalah hal yang biasa saja. Sehingga, secara tidak langsung aku memiliki ‘imunitas’ atas rasa marah. Refleks, skill kemarahan itu akan keluar begitu saja ketika Pica melakukan hal yang tidak aku sukai. Bagiku dengan imunitas yang sudah ada, kemarahan adalah jalan keluar. Bagi Pica, hal itu adalah ‘virus’ dan ‘penyakit’ baru yang harus dihadapi dengan emosinya. Emosinya yang berwujud Sedih dan Kecewa.

Tanpa sadar, aku melupakan perasaan sedih dan kecewa pada masa kecilku dulu. Aku lupa, tentang rasa trauma akan teriakan mama. Aku lupa akan rasa takutku sendiri. Lupa bahwa itulah yang menyebabkanku sering mengurung diri di kamar. Yang tertinggal sekarang hanyalah rasa empati pada perasaan Mama. Rasa sayang pada Mama karena sudah memahami Mama. Dan sungguh, aku merasa jurus yang sama mungkin akan membuat Pica merasakan ‘takut untuk mengulanginya lagi’. Reward and Punishment adalah metode terbaik dalam masa kecilku, aku menyadarinya saat sudah bisa berempati pada Mama. Entah kenapa saat menerapkannya kembali pada masa kini, hal itu menjadi kurang efektif.

Baik untukku, untuk pasangan, maupun untuk anakku sendiri.

Dari sini aku sadar, marah adalah emosi dominan kedua yang aku miliki. Mungkin marah adalah pemegang saham emosiku sebanyak 15%. Whahaha, banyak sekali.

Wah, kalau marah saja termasuk dalam dominan kedua, berarti ada yang lebih dominan dari marah dong win?

Iya, dan kalian harus tau emosi dominan lain yang kadang juga sering muncul pada seorang Ibu.

2. Mudah khawatir

Setidaknya aku sempat mengalami emosi ini secara dominan selama 2 tahun. Kalian tau kapan?

Pertama, itu terjadi saat aku baru melahirkan anak pertama. Kedua, itu terjadi ketika pandemi melanda kehidupan. Oya, aku juga sering mengalami emosi ini saat sekolah. Terutama sewaktu ulangan. Namun moment demikian aku skip karena saat itu aku kan belum jadi Ibu. Xixi

Untuk masa sekarang, aku mengaku bahwa perasaan demikian sudah sangat jarang muncul. Terutama dalam keluarga. Jujurly, perasaan mudah khawatir atau berprasangka negatif itu justru sering muncul saat keluar rumah dan bertemu banyak orang. 

Biasanya perasaan demikian muncul ketika mau tak mau harus berhadapan pada ruang bicara Ibu-ibu yang tidak satu generasi. Yang sering berpandangan sempit akan peran perempuan, yang suka mengkerdilkan peran IRT. Jujur, takut sekali kalau berhadapan pada circle demikian. Takut diinjak, direndahkan, dianggap tidak punya power dan tak berharga. 

Maka, karena aku sudah tau pemicu akan emosi ini aku lebih memilah milih dengan circle siapa aku ingin berkumpul dalam durasi lama. Atau dengan circle mana aku cukup bertahan 15 menit saja.

3. Enggak Enakan

Pernah gak kalian merasa gak enakan dalam menolak ajakan atau permintaan tolong dari seseorang? Kalau aku, jujur saja sih dulu ‘lumayan sering’. Tapi itu ketika sebelum menjadi Ibu. Waktu zaman sekolah, fase remaja.. Aku sering sekali merasa tidak enakan kalau disuruh oleh seseorang. Manut mulu. Sekali saja ditolak, kok jadi merasa berdosa sekali. Sekali saja menghindar, kok sekejap teman itu berbisik kesana kemari. Kalau dipikir-pikir, kenapa ya dulu itu jadi anak plegmatis banget. Manuut aja gitu. Aih.. gemes.

Tapi, sejak jadi Ibu emosi ini sangat jarang muncul. Jujur sejak jadi Ibu aku lumayan tegas dengan orang-orang yang ingin ‘mengatur’ku. Tapi tetep sih, emosi enggak enakan ini masih berlaku sama suami sendiri. Haha. Jujurly, hampir 90% pekerjaan rumah tangga.. aku tetap mengerjakannya sendiri dan aku sih oke-oke saja. Karena memang sudah terbiasa hidup demikian. Karena kami sama-sama sibuk pada bidang berbeda. Bagiku asalkan biaya daycare Humaira dihandle suami dan aku masih bisa berdaya dari jam 8 pagi-4 sore, itu sudah sangat cukup. Yha. memang anaknya sejak dulu legowo aja gitu sama hal hal demikian. Yang enggak legowo itu, kalau sudah capek-capek apa-apa sendiri, sudah pinter banget manage keuangan rumah tangga n perusahaan.. Ada aja yang bilang cas cus cas cus diluar sana.. Yha.. yang demikian biar Allah aja yang mengatur orang yang suka ‘cas cus’ begini.

4. Mudah Merasa Bersalah

Kalau dibilang sensitif, iya sih aku orangnya ‘lumayan sensitif’. Konon kebanyakan anak zodiak Virgo itu demikian. Perasaannya Halus. Tapi kalau mudah merasa bersalah? Hmm, kayaknya sejak jadi Ibu aku berusaha banget improve harga diri aku. Sampai-sampai nih, udah jelas-jelas salah aja tapi mengumpulkan keberanian untuk minta maaf itu sulit sekali. Anyone like me? 

Jadi sungguh perasaan mudah merasa bersalah ini sangat jarang muncul. Yang sering muncul adalah perasaan takut menyakiti orang lain. Karena itu, biasanya kalau aku berkumpul dengan orang yang ‘gak kenal banget’ atau ‘kenal banget tapi gak cocok’.. Aku biasanya akan setting mulut aku ke mode silent dan mode ‘enggih enggih’ aja. Istilahnya.. Ya.. Main aman lah ya..

Bahkan nih saking enggak sensitifnya sama perasaan bersalah.. Aku itu kalau marah sama anak, bisa lupa buat minta maaf loh. Justru lebih memutuskan bicara santai dan biasa aja sama anak setelah marah. Seakan bilang dalam hati, “Gak terjadi apa-apa kok tadi, lupain ya..lupain”

Ya, kalau dinilai sampai sini nih. Kayaknya aku itu punya ego yang lumayan tinggi untuk bisa merasa bersalah dan meminta maaf. Padahal, merasa bersalah itu adalah rasa yang harus kita miliki sebagai manusia yang kudu sadar kalau diri sendiri itu banyak punya khilaf.

5. Ingin Mendapat Pengakuan

Diantara Marah, Mudah Khawatir, Enggak Enakan, Mudah Merasa Bersalah, dan Ingin Mendapat Pengakuan.. Jujur yang paling banget aku rasakan sekarang adalah Ingin Mendapat Pengakuan. Kalau Marah tadi menguasai 15% emosi aku, Sedangkan Ingin mendapat pengakuan itu mungkin menguasai 25% emosi aku. Dan sampai sekarang pun iya.. Mungkin masih.

Sedih sih, ini merupakan emosi yang enggak tuntas-tuntas sejak remaja. Mungkin bahkan sejak kecil. Gak ngerti kenapa aku itu merasa haus akan validasi dari orang lain. Orang bilang tahapan dari pengakuan itu ada 3. Pertama adalah toleransi. Kedua adalah eksistensi. Dan ketiga adalah validasi. 

Aku selalu bertanya-tanya apa penyebab aku selalu haus rasa validasi dari orang lain. Kenapa aku ingin serba sempurna dalam mengerjakan sesuatu. Aku bahkan suka menjerit kalau pagi-pagi terjadi kehebohan yang membuat rumahku tak sempurna. 

“Gimana kalau ada yang datang? Entar kalau rumahnya kotor pasti yang ditanya ‘mamanya mana? Maka mamanya gak kerja di rumah aja’..”

Aku suka menjerit kalau suamiku memakai baju yang sama dengan hari sebelumnya kalau keluar rumah apalagi kalau ke tempat mertua..

“Apa sih susahnya memakai baju yang beda? Bukannya baju yang kemarin dan sudah aku cuci ditaroh dilipatan bawah? Kenapa sih harus diambil lagi? Entar ada yang protes, protesnya malah ke tempat aku.. ‘Harusnya suami itu kalau pakai baju diperhatikan, pakai parfum supaya gak bau.. Dulu pas hidup sama aku bla bla bla’ “

Padahal yang ‘nyinyir’ gak ada di rumah. Tapi kata-katanya terus saja terbayang. Seakan-akan orangnya tepat berada di hadapan sendiri. 

Apa sih yang dikerjakan di rumah jadi gak bisa masak pepes ikan? Bukannya gak kerja?

Orangnya..yang nyinyir gak ada.. Tapi kata-katanya berulang seperti kaset rusak. Membuatku menjadi merasa berdosa kalau siang-siang tidak membantu perusahaan suami, tidak menghasilkan uang, tidak membuatkan cemilan, tidak memasak, atau lelah dan tidur siang. 

Jadi dinding kesempurnaan yang coba aku ciptakan terasa ‘haus’ akan validasi. 

Aku mencoba mengorek-ngorek apa sebenarnya penyebabnya. Dan aku paham, aku sulit sekali melupakan perkataan menyakitkan dari orang lain. Aku sulit memaafkan orang lain. 

Toleransi, eksistensi, dan validasi. Kalau dipikir lagi, padahal manusia cukup mendapatkan ‘toleransi’ dari sekitar untuk bisa move on. Andai ada toleransi, manusia tak perlu capek menunjukkan eksistensi dirinya. Andai ada toleransi, manusia tak perlu capek mencari validasi. 

Tak perlu capek ingin mendapat pengakuan dari orang lain. 

Aku sering bertanya-tanya, kenapa sih manusia itu sering sekali menganggap dirinya lebih sempurna dan menganggap apa yang orang lain kerjakan tak sepenting dirinya? Mom shaming, perbedaan pendapat tak berkehabisan. Penghancuran harga diri perempuan yang berstatus mulia sebagai Ibu. Ah, padahal kalau semua orang bisa bertoleransi dan berempati.. Kurasa emosi haus akan pengakuan orang lain ini.. Mungkin bisa diredam dan dihilangkan.

Pada akhirnya, dari kelima emosi yang sudah aku sebutkan. Aku yakin banyak diantara kita mulai merasa ‘ini kayaknya aku banget’ dan kemudian bergumam.. Penyebabnya ini nih… Bla bla..

Ya, penyebabnya ‘orang lain’ bukan?

Sama. Aku pun merasa demikian. Namun, aku pun juga sadar.. Kita mungkin tak akan pernah bisa mengubah orang lain. Tulisan receh demikian pun andai terbaca oleh orang ybs mungkin hanya akan dicerca lagi. Aku sadar sih, sebanyak apapun kita menjelaskan dan membela diri.. Itu mungkin tak akan mengubah apapun dari sikap orang lain. 

Tapi, aku sadar. Bahwa kita bisa mengubah diri sendiri. Kita bisa mulai mengontrol emosi tak baik yang sering kali muncul pada diri sendiri. 

Marah.. Ingin mendapat Pengakuan.. Adalah emosi dominan yang aku miliki. Saat aku mendapat pengakuan, kontenku diapresiasi oleh para pegawai di kantor, cemilan yang aku buat sekejap habis.. Kadang aku merasa senang dan aku bisa melawan rasa marahku jika rasa senang itu ada. Kadang, aku sering bertanya-tanya pada diriku sendiri. Apakah aku sedang ‘memberi makan’ emosi ingin mendapat pengakuan ini? Ataukah aku baru saja merasa senang karena bisa ‘merasa bermanfaat’?

Aku sadari, ternyata its okay kok punya emosi ingin mendapat pengakuan dan marah. Emosi yang ada sebenarnya bukan untuk dihilangkan. Tapi dikontrol. Emosi marah, aku turunkan levelnya menjadi emosi tegas yang membuat anak patuh dan disiplin. Emosi ingin mendapat pengakuan, aku turunkan levelnya menjadi ‘senang membantu orang lain’ atau ‘senang karena merasa bermanfaat’.

Pada akhirnya, aku mulai menemukan celah cahaya dari sekian emosi jelek yang telah mampir dihidupku. Kelima emosi ini.. Hampir semuanya pernah muncul dalam hidupku. Hanya saja, aku ingin terus menjaga levelnya agar tetap stabil.

Semoga kita semua diberikan hati yang luas untuk bisa mengontrol setiap emosi negatif yang timbul. Karena seorang Ibu.. harus menjaga hatinya.. Dari prasangka, dari sakit hati berkepanjangan.. Jagalah hati.. 

Terima kasih untuk komunitas rangkul banjarmasin yang telah mengenalkanku pada keluarga kita dan menginspirasiku untuk tulisan ini..

Fenomena Miring di dunia, Dimulai dari Apa dan Bagaimana Mengakhirinya?

Fenomena Miring di dunia, Dimulai dari Apa dan Bagaimana Mengakhirinya?

Well, judul tulisan yang cukup absurd aku tulis malam ini.

Berawal dari celotehan demi celotehan di sosial media yang berkaitan tentang pro dan kontra soal childfree. Hingga aku akhirnya mulai ‘kepo’ tentang apa sih “komentar” mengganggu yang ditulis oleh ‘Si Mbak’. Akupun mulai membatin dan berkata “Ohhh…” di dalam hati. Tanpa sadar hatiku diikuti rasa amarah hari itu. Aku sempat membuat sekian bar igs demi menenangkan diri. Mengingat kembali ‘luka lama’ saat aku melahirkan anak pertamaku di dunia.

Seorang Ibu muda yang ‘memang sih’ mendadak tua karena anaknya telah menguras fisiknya. Tak terbayang jika saat itu aku sudah mengenal sosial media. Mungkin saja, jari-jari kejamku dengan lantangnya mengetikkan kata-kata yang sedikit baper dan mungkin juga tak pantas.

Tapi, hari ini aku menghela nafas lebih baik setelah sekian lama workout. Memperhatikan kembali duniaku hari ini yang begitu berbeda dengan dunia 10 tahun yang lalu. Berbeda pula dengan dunia 20 tahun yang lalu. Kusadari.. Bumi, manusia dan pikiran orang-orang sudah mulai berubah tajam.

Apakah teman-teman berpikiran serupa?

Tentang Telur vs Ayam

Pilihan tentang Childfree menjadi sebuah pro dan kontra. Begitupun celotehan ‘Mbaknya’ pada kolom komentar. Ada yang berempati padanya, ada pula yang memakinya. Yang berempati padanya berkata bahwa pilihan childfree bukanlah hal yang salah karena trauma masa kecil ‘si Mbak’ begitu mengerikan sehingga memicu depresi dan pembelaan diri berlebihan. Sementara yang memaki beralasan bahwa hal sedemikian tak pantas diungkapkan di publik, apalagi jika sudah dalam fase menjelek-jelekan kubu tertentu. 

Pertanyaanku selanjutnya, siapa sebenarnya yang ‘terlebih dahulu’ bersalah?

Apakah itu orang tua ‘si Mbak’ karena menorehkan trauma pada anaknya?

Ataukah ‘Si Mbak’ karena dengan nyamannya berkomentar tanpa peduli hati yang mungkin tersakiti?

Atau orang tua dari orang tuanya ‘Si Mbak’ karena juga telah menorehkan luka yang kemudian menurun? Atau orang tua yang lain yang turut menghakimi dan menyakiti pada kehidupan orang tua ‘Si Mbak’ di masa lalu?

Atau emak-emak yang kontra dengan childfree dan membully berlebihan setelah tau pilihan ‘Si Mbak’ ?

Menjawab pertanyaan demikian sama rumitnya dengan pertanyaan, “Mana yang lebih dulu? Telur atau Ayam?”

Semua punya asumsi sendiri, punya alasannya masing-masing. Tak ada yang mutlak salah dan mutlak benar. Yang perlu dipahami lebih lagi sebenarnya adalah.. Apakah rasa memaafkan itu ada? Apakah empati terhadap perasaan satu sama lain itu ada?

Karena jika itu tak ada. Tak berkesudahan. Maka, fenomena ini mungkin akan terus berlanjut. Disadari atau tidak sebenarnya ini adalah awal dari fenomena miring lainnya.

Saat manusia kehilangan empati pada sekelompok golongan yang seharusnya lebih baik. Lantas kemudian memutuskan tak lagi ingin menambah keturunan, ditambah penolakan dari sekitarnya. Hal ini membuat tameng transparan antara circle sosial satu dengan lainnya. Manusia menjadi terkelompok pada sekian golongan. Tak merasakan empati pada golongan yang ia benci. Dan tentunya ditandai oleh hilangnya rasa empati pada satu golongan.

Aku.. setelah begitu panjang ingin mengomel pada ‘Si Mbak’ akhirnya sadar jika aku tak berempati pada keadaaannya bagaimana bisa ‘Si Mbak’ juga berempati pada sosok Ibu. Bagaimana bisa ‘Si Mbak’ memaafkan trauma masa lalunya jika pasukan emak-emak menyerbu perspektifnya tanpa berkesudahan. Akhirnya pada suatu waktu ledakan penolakan itu bersatu dengan gelombang narsistik dan terpublishlah komentar tidak mengenakkan itu.

Pertanyaan selanjutnya, Apakah yakin kita sebagai emak-emak tak pernah merasakan hal demikian? Merasa jumawa karena bisa ‘begitu sempurna’ dengan pilihan kita lantas merendahkan yang lain. Merasa bangga dan bertahan dari rasa sakit dengan membela kelebihan diri sendiri dan merendahkan orang lain terutama segelintir golongan yang secara masif ‘nyinyir’?

Ah entahlah. Fenomena Ayam vs Telur. Duluan yang mana? Kurasa kita harus menyadari hukum sebab akibat terlebih dahulu untuk menjawabnya. 

Fenomena Pengurangan Jumlah Manusia, Apakah ini Pertanda Baik bagi Bumi?

Sebelum ramai karena kasus komentar. ‘Si Mbak’ juga pernah terkenal karena komentarnya tentang stunting. Setelah itu ramai teman-temanku juga membuat postingan yang menyebut bahwa ‘Si Mbak’ juga mendukung ‘lagibete’. Entahlah, aku kurang tau tentang 2 hal ini karena saat itu memang ada sedikit pekerjaan kantor yang sedang aku kerjakan. So itu berlalu begitu saja. Aku tak mencari tau lebih jauh.

Tapi, seandainya benar bahwa si mbak pro ataupun toleran dengan ‘lagibete’ aku lagi-lagi mencoba berempati pada mindsetnya yang konon openminded tersebut. Bisa jadi ia mirip dengan Dear Alyne yang memilih child free karena merasa populasi manusia di bumi begitu banyak dan mulai berdampak negatif. 

Disisi lain tak berkejauhan dari fenomena childfree. Kita dapat melihat secara nyata bahwa hubungan sesama jenis mulai dinormalisasi. Tak cukup sampai situ, hubungan demikian begitu digemborkan, dikampanyekan bahkan menjadi solusi untuk pengurangan jumlah penduduk. Jangan tanya tentang seks bebas, asalkan ‘tidak hamil’ maka itu tidak masalah. 

“Mempertajam kualitas dibanding kuantitas. Demikianlah manusia zaman sekarang. Namun, apakah benar kualitasnya menjadi jauh lebih baik setelah mengurangi kuantitas kelahiran manusia?”

Anak dilambangkan sebagai pembawa beban bagi orang-orang yang ingin bahagia dan produktif. Apalagi bagi orang yang memiliki trauma, pilihan childfree terkesan jauh lebih bijak. Tentu, aku tak menyalahkan mereka yang berpikir demikian. Well, justru aku mendukung wanita untuk memilih pilihan berdasarkan hatinya. Tapi, kembali lagi manusia hanya bisa berencana. Selebihnya Allah tau yang terbaik. Itulah prinsip hidupku.

Aku percaya bahwa dibalik sekian fenomena yang ada pasti ada rahasia Allah dibalik itu. Termasuk kelahiran Pica yang tidak aku rencanakan. Namun, fenomena pengurangan jumlah manusia? Apakah ini pertanda baik bagi Bumi?

Secara teori mungkin iya. Bumi membaik dengan berkurangnya populasi manusia. Terutama mungkin sampah akan berkurang. Akan tetapi, sadarkah kita bahwa seiring berkembangnya fenomena pengurangan jumlah manusia sekarang maka fenomena sosial dan penyakit jiwa pun ‘entah kenapa’ semakin meningkat?

Mungkinkah ini dimulai dari Kebebasan tanpa Kritik?

“Terserah aku dong mau memilih apa. Itu urusanku kenapa kalian yang repot?”

Kata-kata demikian mungkin sudah lazim didengar. Manusia mulai tak menyukai urusan pribadinya dicampuri. Aku bisa memaklumi jika itu hanya perkara tentang ‘masak atau tidak’, ‘sekolah negeri vs swasta’, ‘ibu bekerja atau di rumah saja’, ‘memiliki art atau tidak’ hingga hal seperti ‘beranak vs child free’. Sungguh, aku tak ingin mencampuri hal-hal sedemikian. Itu hak masing-masing individu maupun pasangan. 

Tapi belakangan, aku mulai berpikir bagaimana kalau sebenarnya hal-hal demikian terjadi dimulai dari kebebasan tanpa kritik? Bagaimana jika semuanya dimulai dari hilangnya perasaan menghormati kita pada orang yang lebih tua? Bagaimana jika sebenarnya, karena keegoisan kita sendiri dalam memantapkan pilihan maka kita menjadi cenderung closed minded terhadap saran dari orang lain? Aku bertanya-tanya sambil berkaca pada kehidupanku sendiri.

Jujur, pernah sekali pada fase demikian. Aku merasa ‘muak’ dengan orang yang suka mencampuri aturan dan prioritas hidupku. Tentang memasak repot atau tim memasak praktis, tentang pilihan ‘mengeluarkan duit berapa’ sampai pilihan yang sebenarnya adalah keputusan hidupku sendiri. Berusaha meluangkan waktu untuk berdaya setelah jungkir balik hidup ditekan secara finansial maupun waktu. Sungguh, jika ingin jujur aku ingin berteriak bahwa ‘orang-orang rese dan kepo terhadap hidup orang lain’ adalah penyebab utamanya. 

FYI, karena pernah mengalami hal demikian aku sempat terkena Sosial Anxiety. Aku jadi malas berinteraksi dengan orang lain. Rasanya melihat orang berkumpul sekitar rumahku pun membuat aku kembali mengurungkan diri untuk keluar rumah. Pikiranku dipenuhi prasangka negatif seperti, “Bagaimana kalau mereka bertanya ‘begini’?” Apa aku harus jumawa dan tegas atau aku pergi begitu saja?”

Dulu, aku bukanlah orang yang terlahir tanpa kritik demikian. Sungguh banyak kritik yang mampir dalam hidupku. Tapi toh aku baik-baik saja. Kurasa ‘closed minded’ pada pikiranku hadir sejak cercaan pada pilihan hidupku diremehkan. Aku jadi sempat merasakan ingin bebas sebebas-bebasnya oleh pilihan hidupku sendiri. Pada ‘dark mind’ yang terdalam sempat berpikiran sangat amat ingin melakukan hal tak biasa. Namun, kembali lagi saat melihat bagaimana aku lelah berproses untuk dekat pada-Nya. Hal itu aku urungkan. Jika hanya untuk mengikis iman dan ketaatan yang ada. Aku memilih kembali dan merenung.

Belajar Untuk Terkoneksi, Berempati, dan Memaafkan

Jujur tulisan ini tidak akan menemukan ‘ujungnya’ dan mungkin hanya akan mengendap menjadi draft tidak karuan jika malam itu aku tidak membuka facebook. Entah kenapa postingan ini lewat begitu saja lewat akun Baper.id. Lama aku menatap gambar ini merenung dan.. Ealah.. Baper beneran sampai meneteskan air mata. Wkwk.. 

Aku sering sekali merepost sebuah kalimat yang kurang lebih bunyinya begini, “Kamu lihat kan paku yang telah menancap pada kayu ini? Kemudian pakunya dilepas. Apakah kamu melihat bahwa bekasnya masih ada dan tak pernah bisa hilang? Begitupun halnya dengan luka. Bekasnya akan selalu tetap ada”

Aku selalu membenarkan kata-kata demikian. Benar halnya bahwa namanya bekas luka tak akan pernah hilang. Maka jangan pernah melukai hati orang sembarangan. 

Tapi bagaimana kalau sebenarnya aku salah memahami konsep kayu dan paku tersebut? Bagaimana kalau sebenarnya kisah paku dan kayu memang ditakdirkan untuk terkoneksi dan bersatu demi sebuah bangunan yang indah? Jika paku terus dilepas, justru efeknya tak akan pernah ‘sembuh’ karena kayu menjadi sendirian, tak berguna, dengan sekian banyak bekas luka.

Susah payah kayu ‘menyembuhkan luka’ tak akan pernah benar-benar sembuh karena teman hidup yang terkoneksi dan bisa menyembuhkan lukanya sebenarnya adalah paku. Paku dan pukulan oleh palu.

Sama halnya dengan konsep orang tua yang mungkin menyakiti hidup kita, mungkin mereka bagaikan paku.. Menciptakan trauma pada diri kita. Namun sejatinya, paku tersebut membuat kita menjadi bangunan yang indah. Palu yang memukul paku sejatinya adalah kekuatan untuk kita bangkit. Mereka bukan untuk kita salahkan. Namun.. Kita peluk dan rasakan.

Karena itu dalam hidup selalu berterima kasihlah pada setiap emosi yang datang. Entah itu bahagia, sedih, marah, kecewa, takut.. Karena emosi membuatmu bertumbuh. Itulah kenapa setiap orang yang dekat dengan kita selalu menciptakan emosi dengan ‘versi komplit’ bukan untuk membuat kita menjauh tapi untuk semakin merasakan dan membuat sinergi yang lebih baik. Karena itulah sejak kecil kita diajarkan 3 kata ajaib.. Tolong, Terima kasih, dan Maaf. Kata-kata demikian bukan hanya sekedar terucap tapi dirasakan dengan menghubungkan emosi-emosi agar berakhir lebih baik.

Pada akhirnya, untukku, untukmu, untuk ‘Mbaknya’ atau siapapun itu.. Mungkin sebenarnya hidup ini bukan sekedar hanya membangun kualitas dan melupakan kuantitas. Mungkin hidup ini bukan hanya tentang menerima siapa-siapa yang cocok dengan kita dan membully yang tak cocok dengan kita. Percayalah, kita itu sebenarnya ‘saling membutuhkan’. Ada rahasia dan takdir unik yang menyebabkan orang-orang terdekat dengan kita memunculkan luka dan trauma.

Mungkin itu karena Allah mengajarkan ilmu Memaafkan melalui rasa sakit. 

“Pada Akhirnya, Dalam Hidup ini Belajarlah Untuk Terkoneksi, Berempati, dan Memaafkan. Itu Tidak Membuatmu Bebas Mungkin. Tapi Mungkin, Itu Justru Membuatmu Indah dan Kuat”

Aswinda Utari

Well, aku membaca ulang tulisan yang cukup aneh ini, namun pede sekali mempublishnya. Biarlah untuk dijadikan pengingat diri sendiri.

Saat Suami Istri Debat Tentang Sekolah Anak

Saat Suami Istri Debat Tentang Sekolah Anak

“Liat deh ka, Ada konten terbaru dari Ci Feli di Instagram Reelsnya”

“Oya, bahas Apa?”

“Bahas biaya sekolah anak sama Annisast..wkwkwk”

“Mana sini aku liat”

Dan wajah suami pun menciut kesal.

“Waduh, gak bagus banget Feli bikin konten begini. Bikin orang tua lain pada insecure”

“Ealah.. Bukan disitu pointya kaliiii” Ketusku menengahi

Akupun berbicara lebih detail dengan suamiku tentang perjalanan Annisast menyekolahkan anaknya, gimana kondisi ekonominya dahulu dll. Aku  juga cerita tentang gimana mindset para orang tua lain. Pada akhirnya kami bisa menyatukan persepsi setelah sekian lama diskusi dan debat panjang tentang ‘sekolah mahal’.

Sekolah Anak Mahal? Memang akan Menjamin Kesuksesannya di Masa Depan?

Siapa sih win Ci Feli itu?

What? Kalian belum kenal sama Felicia Putri Tjiasaka? Waduh. Kalian harus kenalan. Karena aku banyak belajar tentang finansial dari dia dibanding mbak Prita Ghozie. Kalau Prita Ghozie banyak ngajarin tentang manage keuangan maka Ci Feli yang ngajarin aku tentang selak beluk investasi, terutama reksadana plus saham. Ci Feli juga bikin insight aku terbuka bahwa investasi itu bukan soal untung tapi tentang menyesuaikan dengan profil risiko kita sendiri. Wah, pokoknya banyak belajar dari beliau. Aku awal kenal dengan beliau lewat konten reksadana seriesnya di youtube. 

Teruss.. Kenapa akun financial demikian nyemplung ke parenting kamu win?

Ya karena dia ngebahas biaya sekolah anak sama Annisast. Ya tentu aja aku gatell pengen ikut nimbrung. Haha. Tapi as always ya, aku tuh agak males komentar di konten orang, termasuk orang yang aku follow. Aku lebih suka nulis kontenku sendiri, entah itu di instagram story atau blog begini sambil kepo lama sama komentar-komentar netizen. Wkwk. 

Ada salah satu komentar menarik di reelsnya Ci Feli yang juga dia sematkan. Komentar ini serupa dengan sedikit komentar suamiku dan mungkin juga serupa dengan komentar orang tua lainnya.

Komentar ini adalah komentar yang lumayan seru karena banyak netizen yang membenarkan. Ada pula yang meluruskan dll. Wah, pokoknya seru. Haha. Intinya komentar tersebut meluncur demikian karena statement dari Annisast ketika ditanya Ci Feli:

“Apakah sekolah anak mahal menjamin masa depannya akan sukses?

“Ya namanya orang tua pastinya pengen yang terbaik buat anaknya. Masalah di masa depan dia sukses atau enggak itu tergantung dari orang tuanya masing-masing” – Annisast.

Ya Netizen be lyke… 

“Lah.. pinter bener tinggal ngelempar tergantung orang tuanya. Sekolah itu Kan udah 50% dari waktu yang dihabiskan per hari. Bla bla”

Aku yang awalnya merasa “Betul sih kata Annisast” malah jadi ikutan kepo juga tentang gimana sih mindset orang yang berpikiran begini. Iya, tahu tentang gimana perilaku orang tentang suatu hal adalah apa yang aku lakukan pada ‘jam istirahat’ kerjaanku sehari-hari. Biarin ah orang bilang gak ada kerjaan kepo tentang komentar orang tapi bagi aku seru loh liat fenomena sosial itu.

Karena orang bilang demikian kan pasti ada ‘ceritanya’. Mungkin yang berkata demikian merasa sekolah begitu banyak menyumbang kesuksesannya dibanding peran orang tuanya di rumah. Bisa aja kan begitu ya kan.

Sama halnya dengan suamiku yang bilang gini.. “Sekolah itu mau dimana aja yang terpenting adalah gimana ortu mendidik dan mengarahkan anaknya. Peran sekolah tuh cuma sekian persen. Peran dari dalam itu tetap saja dari orang tua sendiri”

Suamiku bilang demikian juga karena dia punya cerita sendiri tentang pengalaman hidupnya. 

Membaca satu per satu komentar netizen, Aku jadi ikut membenarkan komentar dibawah ini loh.

Kok ngeri sekali orang tua zaman sekarang suka ‘lempar’ 100% pendidikan anak ke sekolah hanya karena waktu anak lebih banyak di sekolah. Padahal, selain pendidikan dari sekolah, anak sangat butuh orang tuanya. Butuh bercerita pada orang tuanya, butuh bimbingan tentang minat dan bakatnya, bahkan butuh didikan lebih untuk membangun ‘habbit’. Sedih rasanya kalau ketika anak di sekolah ‘sudah dibimbing sekian rupa’ oleh gurunya. Ketika di rumah anak tak perhatikan emosinya, curhatannya atau lainnya. Kita malah sibuk melayani kebutuhan materialnya tanpa paham apa isi hati anak sebenarnya.

Well, Thats is.. Akar materialisme. 🙁

Iyakan, memikirkannya saja jadi ngeri. Terus kalau semua orang tua punya mindset demikian. Masa depan apa yang akan ada pada diri anak? Orang tua hanya berharap dengan memasukkan anak ke sekolah mahal maka anak suatu saat akan menjadi ‘orang berdasi’ atau ‘orang berduit banyak’ tanpa memoles jiwa n value dari anak. Masa depan apa yang kita harapkan jika kita hanya memoles anak dari sesuatu berdasarkan harga dan nilai diatas kertas saja.

Maka, menurutku benar kata Annisast kalau.. “Kita itu sebagai orang tua tentu mengusahakan yang terbaik buat anak. Termasuk soal sekolah. Masa depan anak tergantung pada orang tuanya.”

The point is.. Mau apapun sekolahnya.. Tetaplah menjadi orang tua yang ‘berusaha maksimal’ dan hadir untuk anak. 

Aku percaya sih, sukses itu dari banyak faktor. Bukan hanya dari sekolah tapi banyak dari hal lainnya. Tapi ‘biasanya’ yang menyumbang peranan terbesar adalah ‘kegigihan orang tua’, doa, dan tentu saja keinginan dan usaha anak. Trigger dari lingkungan pun bahkan peranannya cukup besar. Maka, jika orang tua ingin mencari lingkungan dan pendidikan terbaik untuk anaknya.. Termasuk memasukkan ke ‘sekolah mahal’… Well, Apa yang salah?

Persepsi ‘Sekolah’ ala Suami

“Anak yang disekolahkan mahal-mahal itu belum tentu sukses kok. Contohnya aku nih.. Bla bla…”

Siapa yang bilang gitu? Itu tuh… Suami aku.. LOL

Well, aku mau cerita kalau suami aku itu lahir di orang tua yang punya keyakinan, “Banyak anak, banyak rejeki”

Suami aku itu punya 8 sodara. Suami aku anak ke 4. Ayahnya suamiku kerja sebagai PNS, sementara ibunya adalah IRT. Tapi, ibunya juga berusaha menambah pemasukan keluarga dengan memasak. Sempat berjualan, sering juga membuka pesanan makanan untuk kawinan dan undangan lainnya request dari tetangga. Dulu beliau juga nganterin makanan ke kos-kosan mahasiwa. Jadi ya secara finansial sebenarnya ‘keduanya bekerja’. Pemasukan untuk kebutuhan sehari-hari hingga biaya lainnya memakai sumber uang itu. Dan sebenarnya…

Itu gak cukup. 

Makanya suami aku ‘berempati’ dengan keadaan finansial keluarganya. Karena dia tau kakaknya masih sekolah/kuliah plus belum kerja dan adeknya banyak. Sejak SD suamiku inisiatif sendiri mengajukan beasiswa dan itu berlangsung sampai kuliah S2. Suamiku itu Beasiswa hunter. 

Jadi kalau meneladeni suami, rumus kesuksesannya itu adalah: Empati pada orang tua ditambah empati pada saudara tambah lagi trigger kerja keras belajar demi sukses ambil beasiswa ditambah lagi semangat dari ‘setumpuk buku koleksinya’. 

Apa itu sekolah mahal? Suamiku masih gak habis pikir kalau ada orang tua yang menghabiskan sekian ratus juta per tahun buat SPP anak demi SATU ANAK bisa sukses. Sementara kalau buat dia, uang sebanyak ratusan juta itu bisa buat nyekolahin adeknya, biaya pensiun mamanya, sampai bikin ini dan itu.

“Kenapa musti keluarin banyak uang demi satu hal kalau bisa untuk banyak hal”

Demikianlah mindset yang ada pada suamiku. Haha.. Dan tentu saja aku tidak bisa menyanggah persepsi demikian karena…

Sebenarnya kami mirip-mirip saja LOL..

Suamiku itu tipikal koleris-melankolis, sedangkan aku melankolis plegmatis. Satu hal yang sama banget dalam konsep pemikiran kami adalah kami begitu menghargai uang karena kami sama-sama sarjana akuntansi. Ckck. (Suamiku itu mantan asisten dosenku btw)

Aku sih setuju saja dengan mindset suami bahwa uang itu harus ‘rata pemberdayaannya’. Thats why, aku oke-oke aja dulu menuruti persepsinya. Saat ekonomi kami sedang ‘merintis’ diawal pernikahan. Prioritas kami saat itu adalah memiliki rumah. Anakku Pica yang langsung hadir pasca setahun menikah pun mengikuti rintisan ekonomi keluarga kami. Dari yang awalnya hanya membeli rumah yang terbilang perlu banyak renovasi sampai akhirnya rumah kami sangat layak huni, berkembang jadi perusahaan IT dan pindah kantor ke yang lebih besar. Semuanya, berkat usaha kami mengatur uang dengan baik. Memprioritaskan mengembangkan usaha dibandingkan biaya anak.

Memilih Sekolah Itu Harus Sesuai Kemampuan

Lanjut ngomongin soal ekonomi. Suamiku adalah seorang PNS, sedangkan aku memutuskan menjadi IRT saja sejak Pica hadir dalam hidup kami. Gajih PNS seorang dosen saat itu sebanyak 3,7 juta rupiah. Dimana 1,7 juta habis untuk biaya kredit rumah dan sisa 2 juta rupiah untuk hidup sehari-hari.

Aku mendapat jatah 1,5 juta sebulan dari kami punya rumah sendiri. Sebelumnya, aku menumpang di rumah mertua. Sisa 500rb itu untuk sangu suami 1 bulan. Suami mendapatkan uang extra (gajih ke 13) setahun sekali. Namun, tidak diberikan kepadaku karena suami juga merasa memiliki kewajiban pada adik-adiknya dan ibunya. Jadi biasanya dalam setahun aku akan mendapatkan gajih ke 13 sebanyak 500ribu.

Selain PNS suami juga membuka usaha IT di rumah. CV share sistem namanya. Usaha itulah yang akhirnya bisa menyejahterakan ekonomi keluarga kami. Kami akhirnya bisa menabung, merenovasi rumah, membangun kantor, mempekerjakan 8 pegawai tetap. Hingga usaha itu berubah menjadi PT Inovasi Informatik Sinergi dan ingin menjangkau pasar yang lebih luas. Kami merasa sangat perlu memprioritaskan perkembangan usaha ini dibanding segalanya. Karena ada sekian pegawai yang menggantungkan hidupnya pada kami. Dan usaha ini telah membuat pernikahan kami memiliki makna lebih. 

Untuk pengembangan usaha itulah, aku tak mau mengeruk semua profit hanya untuk keluarga kami. Jatah bulananku dari yang awalnya 1,5 juta, 2 juta, 3 juta hingga menjadi 4,5 juta sejak usaha ini mulai maju. Sementara kami memerlukan biaya 30 juta perbulan untuk pengembangan usaha. Suami juga perlu memberi uang pada keluarganya. Untuk profit, perusahaan kami masih tak menentu. Rata-rata pendapatan tetap bulanan sebanyak 50 juta. Tapi pendapatan tak terduga.. itu beda cerita. Masih banyak hal yang ingin kami kembangkan dan itu perlu…

Cuan..cuan..cuan..

Maka, kami sepakat bahwa menyekolahkan anak memang penting. Tapi mungkin ‘bagi kami’ urgensinya lebih penting mengembangkan perusahaan. Karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Etdah kenapa jadi pidato.😅

FYI, dari jatah 4,5 juta perbulan itu. Aku menggunakan 2,5 juta untuk kebutuhan pokok. Sementara 1 juta sebulan aku sisihkan untuk tabungan pribadiku yang ingin sekali aku pakai untuk ‘investasi belajar’, aku menunggu uangnya terkumpul supaya aku bisa segera eksekusi. Sisanya budget 500ribu untuk anak pertamaku Pica dan anak keduaku Humaira. 250ribu aku jadikan ‘nabung rutin’ di Reksadana untuk biaya pendidikan anak-anakku. Dan sisanya sebanyak 250ribu lagi untuk biaya ‘foya-foya’. Semacam biaya untuk makan diluar bareng keluarga atau biaya jajan renyah.haha

Well, mungkin ada yang bertanya apa iya cukup 2,5 juta sebulan buat makan 4 orang. Tentu saja cukup. Apa perlu aku tulis diblog bagaimana caranya? Hihi.

Mungkin juga ada yang bertanya, Bukannya Humaira masuk daycare? Nah, biaya daycare Humaira itu tanggung jawab suami. Termasuk biaya hosting blog ini. hihi.

Menurut keluarga kami pribadi, sangat penting loh untuk menyesuaikan kemampuan ekonomi dan sekolah anak. Kami sendiri sepakat menyekolahkan Pica di SD Negeri saja. Sppnya free dan budget untuk Pica bisa kami alihkan ke hal lain. Seperti les coding, ikut karate, mengasah skill lain diluar sekolah. Jadi, Bukan karena kami pelit. Tapi kami lebih memprioritaskan biaya pendidikan masa depan. Mungkin semacam uang kuliah di luar pulau atau luar negeri (Aamiin anak bisa sekolah disini kelak) itu mahal (menurut kami) dan kesejahteraan ekonomi kami itu chartnya tidak seperti RDPU Yang selalu meningkat, tapi seperti saham.. ada pasang surutnya.. itulah mental seorang pengusaha yang merintis. Kami harus utamakan money management diatas segalanya untuk bisa mengcover risiko pada usaha kami.

Orang mungkin akan mengira kami pelit pada anak karena terlihat tak mengusahakan maksimal untuk sekolahnya. Di Banjarmasin, sudah lumayan banyak kok sekolah Islam yang bagus dan bonafit. Tetapi, harganya masih membuat kami ‘terkejut’. Mungkin,jika penghasilan usaha kami sudah memiliki fix return minimal 100juta perbulan kami tak akan berpikir 2x untuk menyekolahkan anak di sekolah yang bagus. Tapi, karena usaha kami masih merintis dan masih harus dikembangkan maka kami jauh memprioritaskan uang untuk perkembangan usaha.

Aku cukup salut sebenarnya dengan orang-orang yang ingin mengusahakan yang terbaik untuk anak, terutama soal sekolah. Bahkan ada yang biaya SPP anak SD nya sama dengan biaya gajihnya satu bulan. Katanya, “SD Islam itu bagus. Tak seperti SD negeri yang anak-anaknya suka ngomong kotor” . Well, aku menatap anakku sendiri yang sekolah di SD Negeri. Ya rada-rada banyak sih yang demikian. Hehe. 

Lambat laun orang tersebut sering mengeluh di sosial media. Apalagi suaminya sering mengeluh kalau SPP anaknya kemahalan. Lantas menyuruhnya ikut membantu bekerja karena sebetulnya uang bulanan tidak cukup. 

Bukannya biaya sekolah dan nafkah keluarga itu kewajiban suami ya. Kenapa istri yang sudah capek kerja di rumah disuruh nyari uang juga? IRT sambil nyari duit itu Bla bla bla. Jangan bebankan biaya pendidikan anak sebagai beban..bla bla..

Sebenarnya, aku ingin sekali ikut nimbrung memberi saran. Eh tapi aku urungkan niatku. Sosmed sekarang kan mengerikan. Bisa jadi kita berniat baik membantu, malah dijudge balik. Banyak yang demikian bukan?

Jujur melihat perkembangan zaman sekarang.. Ibu-ibu zaman sekarang tuh banyak sekali yang terinfluence untuk menyekolahkan anak di sekolah mahal yang bonafit. Tapi terkadang, sering lupa dengan hal inti untuk itu. Yaitu sekolahkanlah anak sesuai kemampuan. 

Jujur aku sering sedih melihat lingkunganku sendiri. Kadang, ada loh yang menghampiri suamiku atau mamaku untuk berhutang. Katanya untuk biaya susu anaknya yang masih kecil. Aku terkadang memunculkan setan di kepalaku sambil berpikir, “Loh, masih bayi kok dikasih sufor? Kenapa gak diusahakan ASI aja” ((aku aja kedua anakku ASI semua.. dan tuh kan mulai sombong.. Astaghfirullah))

Namun aku pendam perasaan demikian. Tapi saat ada ibu-ibu yang ingin berhutang untuk SPP anaknya yang sekolah mahal sementara anak kami saja sekolah di SD Negeri biasa itu seperti.. hmm.. apa ya apa ya… tak terlukiskan deh perasaannya. Diriku yang kedua serasa ingin memberikan ceramah terkait finansial.

Kalau Bahkan untuk hidup saja sulit, tidak punya asuransi minimal BPJS, tidak punya dana darurat, bahkan tuntutan dan gaya hidup juga tidak bisa ‘ngerem’ kenapa sih pilih sekolah mahal untuk anak? Karena orang sekitar bisa memberikan empati? Itulah yang ada dipikiranku. Judge me ya karena berpikir demikian tapi kenapa ya aku kok dongkol sama orang yang tak bisa mengontrol pengeluaran sesuai dengan keadaannya demi yah…hmm..

Kalau teladan ibu-ibu zaman sekarang adalah seorang Annisast maka seharusnya mereka juga harus tau bahwa pemasukan Annisast itu juga meningkat. Mbak Annisast selalu usahakan kontrol diri diatas segalanya. Pengeluaran sekolah anaknya itu kan memang seimbang saja dengan pemasukannya. Dan Mbak Annisast gak pernah loh ngutang demi bayar SPP anak. Semua sudah diperhitungkan dari dana darurat, asuransi, biaya pendidikan, investasi.. lah.. kalau mau ikut gaya Influencer keren kenapa yang ditiru hanya setengah-setengah? Yang ditiru pun yang tak sesuai dengan kemampuan. Hmm..

Astaghfirullah aku membaca ulang bagian tulisan ini kenapa jadi agak sedikit julid ya. Dan parahnya aku tak mau menghapus. Mungkin mau realese curhat.hihi.

Semoga yang ngutang baca.. aduh jahat amat ya aku.

Debat Soal Sekolah Anak dengan Suami

Hal yang paling gak aku suka dari suamiku dulu tuh adalah dia selalu membandingkan kehidupannya diatas kehidupan anak-anaknya.

“Masa biaya anu aja segitu. Aku dulu… bleh bleh”

“Ya pas aja lah sangu anak segitu.. aku dulu bleh bleh.”

Jujur, pernah bertengkar hebat gara-gara ini. haha..

Aku tuh nyimak loh semua cerita suami. Aku paham hidupnya berat. Aku tau hidup berat demikianlah yang membentuknya seperti sekarang. Tapi masa iya kehidupan anak-anak kami mau dibentuk persis seperti dirinya. Sedangkan zaman pun berkembang. Sedangkan ekonomi kami tak seperti dulu. Sudah jauh lebih baik. 

Konten Felicia yang kami tonton beberapa hari lalu seakan membangkitkan moment diskusi sekian waktu yang lalu. Dan kemudian aku memutuskan untuk berdiskusi kembali soal pro dan kontra ‘sekolah mahal’.

Aku memulai diskusi dengan amat sangat soft. Memulai dengan menceritakan film Enola Holmes, dimana si Ibu mendidik sendiri anaknya (tapi kan punya banyak pembantu..hihi), Aku bahkan bercerita tentang Film Game of Thrones dimana klan Stark juga memiliki banyak anak yang pendidikannya bagus namun semua juga diajari oleh guru yang bagus plus juga Ayah dan Ibu yang ikut serta berperan. Sampai kemudian ceritaku berbelok ke Anime Magi. Yang tokoh utamanya adalah seorang anak haram raja yang lahir diluar kehidupan kerajaan namun memiliki mindset lebih maju. 

Dari sekian story telling pembukaku. Ada satu yang ingin aku luruskan bahwa apapun lingkungan anak, baik terlihat elite maupun tidak.. Peran orang tua itu nomor satu. Dan perkara sukses secara ‘material’, tekanan lingkungan itu sangat mempengaruhi. Jadi kalau ingin anak yang Sholeh Solehah plus juga sukses dunia akhirat modal utamanya adalah orang tua sendiri. Note: Orang tua yang berusaha maksimal.

“Iya memang gitu. Tapi aduh.. sekolah yang kata annisast itu apa ya.. punya toilet di dalam ruangan, guru-guru dari luar negeri, punya tempat berkuda.. so.. what’s the point? Value-nya apa?”

Dan aku terdiam. Kalau suami sedang ngomong begini.. Jiwa ‘leadership’nya sedang dominan dan aku tak mau menyela. Dia kemudian melanjutkan kata-katanya.

“Kalau dengan penyampaian singkat demikian bisa dilihat bahwa value yang ingin ditonjolkan pada sekolah mahal itu adalah fasilitasnya. Apa pointnya melebihkan toilet yang ada di dalam ruangan? Apakah itu menjadi lebih baik dibanding toilet umum untuk satu SD? Apa gunanya anak SD punya tempat berkuda? Dan guru-guru luar yang bisa berbahasa Inggris? Itu value-nya apa?”

Haha.. sebenarnya aku sudah bisa menebak diskusi kami akan ketempat demikian. Dan ya… Bentar, suami ngomong lagi.

“Kalau fasilitas hanya bersifat memanjakan anak, itu tidak mendidik tapi melayani. Anak itu ketika sekolah diharapkan bukan tentang mendapatkan pelayanan terbaik. Tapi tentang menghargai keberagaman bergaul, beradaptasi dengan lingkungan dan fasilitas lain, dan guru yang bisa berbahasa Inggris? Kita bisa membuat anak belajar hanya dengan menonton kartun bahasa Indonesia dengan text bahasa Inggris. Perlahan anak belajar.”

Well, meski terkesan agak ‘gimana’. Sebenarnya perkataan suamiku ada sisi benarnya. Tapi, aku tetap tidak setuju soal kemandirian anak mungkin jadi tumpul karena fasilitas sekolah mahal. Aku yakin sih fasilitas itu sifatnya ya tetaplah sebagai memfasilitasi, bukan memanjakan. Sekolah mahal buatku tetap yay kalau seandainya budget pemasukan sudah memenuhi. 

Untuk sekarang, kegiatan anak kami meski bersekolah di SD negeri biasa tetapi juga lumayan ‘padat’. Jam 1 siang anakku sudah pulang sekolah. Dilanjutkan makan siang, sholat dan tidur sebentar sampai jam 3 siang. Biasanya aku memberikan waktu bermain dengan teman lingkungannya sebentar. Kemudian jam 4-6 sore anakku mengaji di TPA. Terkadang juga pada jam yang sama anakku Karate. Hari Minggu pun diisi dengan latihan karate. Malamnya, Pica latihan menggambar. Kadang dia juga membuat komik dan kami juga sering nonton kartun bersama. 

Baca Juga: Sekolah Negeri Itu Gak Seram

Baca Juga: Kelas Komik Pica

Kurasa jadwal demikian saja sudah lumayan berisi untuk anak-anak seusia Pica. Beda halnya Humaira yang aku masukkan daycare dan aku jemput jam 4 sore. Jadwalnya pun butuh perbedaan. Hehe.

Menurutku pribadi, untuk anak umur kecil seusia Hum dan Pica.. Prioritas utama adalah membentuk Habbit yang positif, membangun circle pertemanan, serta menumbuhkan kesenangan. Karena itu masa kecil yang benar-benar indah dan waktu bermainnya mungkin akan terkenang selamanya. Namun, jika punya budget untuk memprioritaskan itu kesekolah mahal yhaa..why not? Selama duitnya ada dan termanajemen dengan baik. Dan tentu.. selama tidak mengeluh berlebihan lalu berhutang. *Uhuk..batuk keras

Jangan sampai ketika anak masih kecil kita sibuk sekali memasukkannya ke sekolah mahal dan terbaik tapi kemudian tak punya rencana untuk masa depannya. Tak mempersiapkan dana pendidikannya hingga tak mempersiapkan dana pensiun kita sendiri. 

Karena anak.. bagaimanapun memang tanggung jawab kita.. Setidaknya secara material maupun non material sampai mereka bisa mandiri. Diri kita pun adalah tanggung jawab diri kita sendiri. Seimbangkan kebutuhan mereka baik untuk masa kini.. maupun masa depan. 

Happy Parenting!

Ketika Anak Ingin Pesta Ulang Tahun di Sekolah

Ketika Anak Ingin Pesta Ulang Tahun di Sekolah

“Ma, Humaira mau ulang tahun..!!” Kata Anakku usai sekolah hari itu

Aku meng’iya’kan sambil tersenyum dan berpikir.. “Ah, paling besok-besok sudah lupa”

Satu minggu kemudian, Humaira jingkrak-jingkrak sambil memberikanku undangan ulang tahun dan berkata, “Yeay, Humaira besok ulang tahun Ma..”

Aku mengernyitkan dahi sambil melihat undangannya, “Iya, ini memang Alisha yang ulang tahun. Tapi bukan Alisha Sheza Humaira.. Bukan Humaira, ini Alisha teman Humaira..”

Humaira manyun sambil bilang, “Oooow ukaan ya..”

“Iya, nanti kita beli kado besok ya..” 

“Oke mama.. Asik beli kado..”

“Kadonya buat teman Humaira ya, bukan buat Humaira..”

“Oooow.. Ukaan yaa”

Mama, Aku Mau Ulang Tahun Juga!

Malam itu, aku membungkus kado dengan Humaira. Lalu memasukkannya ke dalam tasnya. Kemudian bilang kepadanya, “Kado ini nanti buat teman Humaira ya. Nanti Humaira kasih ke temannya ya”

Humaira manyun sambil berkata, “Oh.. Bukan punya Ummai?”

“Iya, kan Humaira udah punya warna pink. Punya temannya warna putih” Kataku

Humaira manggut-manggut menyimak perkataanku. Yah, demikianlah drama yang terjadi setiap kali teman Humaira ulang tahun. Setiap membeli kado untuk temannya, kok gak tega kalau Humaira tidak ikut dibelikan. Hiks, padahal dulu ketika era Pica aku oke-oke aja sih kalau tidak membelikan Pica. Pica tidak begitu kecewa. Aku pun lebih bisa merem nafsuku. Mungkin juga sih karena kala itu ekonomi kami memang tidak sebagus sekarang.

Singkat cerita, esok harinya aku menjemput Humaira dengan tangisan di wajah Humaira. Aku bertanya sebabnya kepada Gurunya.. Ulala.. Ternyata drama tidak mau memberikan kado pada temannya. 

“Itu punya Ummai.. Itu kado Ummai!” Kata Humaira. Membuatku hanya bisa ‘nyengir’ sambil senyum pada anak yang berulang tahun. Lantas meminta maaf dan segera pulang dari pada ‘drama berlanjut’.

Di perjalanan, aku membelikan Humaira 1 pcs yupi untuk menghiburnya. Syukurlah drama itu berakhir. Tapi, ketika di rumah drama ulang tahun dilanjutkan. Kali ini, dengan ‘imajinasi ala Humaira’

“Mama.. tadi di sekolah Ummai ulang hahun.. Banyak hanal kadonya. Tadi tiup lilin sama-sama.. Teyus tepuk tangan semuanya”

Dan aku pun senyum sambil berkata dalam hati, “Dan Hum mulai ‘Halu’..”

HAHAHA

Merencanakan Ulang Tahun di Sekolah

Perkataan Humaira seringkali terngiang di kepala. Pada akhirnya, aku mulai iseng mencari perintilan pesta ulang tahun di shopee. Mulai dari Banner, Topper Kue, Lilin, Plastik Godie Bag, alas kue ulang tahun hingga Undangan. Scroll demi scroll hingga mendapatkan best price telah aku lakukan. Dan.. Ops.. Dasar emak-emak, keranjang penuh ‘harapan anak’ itu akhirnya di check out juga…

Ckckck

Perlahan malam-malam aku mengingat ulang moment ulang tahun Farisha di rumah dulu. Butuh apa saja ya? Dan tentu saja Kue Ulang Tahun. Berhubung aku tidak punya waktu untuk membuatnya maka jariku mulai berselancar mencari kue ulang tahun seputaran banjarmasin. Mulai dari di Go Food hingga di instagram dan facebook. Dan iseng-iseng percakapan harga pun dimulai.. Dan akhirnya, dipesen juga.. Ckckck

Tinggal mencari makanan untuk snack ringan anak dan nasi. Awalnya, aku hanya ingin yang praktis-praktis saja. “Ah, pesan di Rocket Chicken aja. Beress”

Ulala, rencana itu berakhir jadi melenceng hanya karena melihat kotak bento yang lucu di Shopee. Scroll demi scroll aku lakukan hingga menemukan best price. Dan ujung-ujungnya? Di Check Out juga.. Ckck…

Ya begitulah emak-emak. Tanpa pikir panjang. Best Price=Harus segera di check out.

Rencana Ulang Tahun dipikiran kini sudah berujung kepastian akan dilaksanakan. Apa hal selanjutnya yang dilakukan? Tentu saja.. Mengatur budget.. HAHA.

Budget Ulang Tahun Anak di Sekolah

Bu, anak di TK Humaira berapa ya jumlahnya? Saya berencana ingin mengadakan ulang tahun di sekolah..

Aku menanyakan kepada Guru sekolah Humaira via WA

Dan balasan pun aku terima dari WA.. 

Anak kelompok bermain sekitar 32 Bu, termasuk Humaira. 

Kalau jumlah Gurunya berapa Bu?

Gurunya sekitar 12 orang.

Aku menghitung jumlah pegawai pada kantor perusahaan kami. Sekitar 10 orang termasuk anak magang. Maka, fix jumlah nasi kotak sebanyak 60an. Termasuk memberi tetangga. Tapi tetangga dekat saja sih. Hehe

Maka aku pun mulai membuat perhitungan. Perhitungan ini mungkin juga bisa menjadi insight untuk kalian yang ingin mengadakan pesta ulang tahun di sekolah.

Untuk Nasi Box, karena aku sudah terlanjur membeli tempat makannya. Maka fix deh, ini bakal dibuat dengan tangan sendiri. Rencana awal sih, aku mau memesan saja untuk lauknya. Qadarullah gak jadi, karena penjualnya cancel mendadak. Jadi lah emak 3 hari sebelum acara membeli ayam mentah di pasar untuk.. Dibikin sendiri.. Hehe.. Berikut perhitungan Budget Nasi Box, Snack dll:

Jujur budgetku awalnya 1,2 juta saja. Tapi realitanya kan tentu saja berbeda. Dari budget diatas total pengeluaran termasuk biaya gocar dll mungkin sebesar 1,5 juta. Tapi, aku happy.. setidaknya dengan mengerjakan semuanya sendiri aku tidak memberatkan uang keluarga. Hehe.

Acara Ulang Tahun Humaira di Sekolah

“Win, anak kamu ulang tahun pake MC n Badut gak?” Salah seorang temanku bertanya.

Alhamdulillah, sih.. enggak..wkwk..

Karena acara ulang tahun ini cuma sebentar saja durasinya. Dari jam 9.30 sampai jam 10.00. Kurasa sih tak akan sempat untuk menggelar berbagai acara. Waktu demikian hanya sempat untuk tiup lilin, potong kue, berdoa dan bernyanyi. Jadi ya.. Aku enggak menyewa MC apalagi badut.

Bahkan, pesta ulang tahun ini cuma aku yang tukang organisirnya. Dan cuma aku yang dateng standby disamping Humaira. Awalnya, suami memang datang. Tetapi kemudian ada klien perusahaan kami menelpon selama hampir 30 menit. Udah deh, kami akhirnya berdua saja. Haha. Untung teman-teman Humaira pada seruu aja. Seru ngomongnya. Ngomong macem-macem dengan lidah polosnya.

“Aku nanti mau ulang Tahun juga loh Tante..” Kata Azkia, salah satu teman Humaira

“Bagus banget Hum Kue Ulang Tahun kamu. Kuda Poni. Aku juga suka..” Habibah berseru.

Dan yang lain asik menarik perintilan dekorasi. Sebagian lainnya merengek minta balon. Duh, seru. Haha. Untung guru-gurunya baik sekali menengahi yang menangis dan yang over lincah.

Saat fase meniup lilin, baru saja api dinyalakan. Semua teman Humaira langsung meniup. Dinyalakan lagi, mereka serentak meniup lagi. Astaga, seru sekali. Anak-anak memang lucu dan polos. Katanya kita semua ulang tahun hari ini. Wkwk.

Awalnya, aku membawa 3 kado ke sekolah. Aku tidak berharap banyak teman-teman Humaira akan memberi kado. Tapi, Aku mengantisipasi kalau-kalau tidak ada yang memberi kado. Maka, aku meletakkan kado yang kubungkus sendiri di meja ulang tahunnya. Supaya sesuai dengan imajinasi Humaira.

Siapa sangka setelah adegan potong kue dan tiup lilin selesai.. Beberapa teman Humaira menuju lokernya masing-masing dan membawa kado. Alhamdulillah, Humaira dapat banyak hadiah di hari ulang tahunnya.

Tak sia-sia aku berlelah-lelah di pagi hari. Jam 3 sudah bangun untuk menggoreng puluhan potong ayam. Jauh-jauh hari sudah kepasar membeli bahan mentahnya dan mengungkap ayam untuk bisa langsung digoreng pada hari H. Sehari sebelumnya, aku membeli sayur segar agar masih fresh saat dimasukkan box. Dan malam harinya, aku memasukkan sendok dan tisue sambil menonton drakor untuk mencicil pekerjaan. 

Yang kuharapkan pada hari ulang tahun itu hanya satu. Kebahagiaan Humaira karena harapannya untuk bisa mengadakan pesta ulang tahun di sekolah telah terwujud. ❤️

Alhamdulillah, hari itu mungkin hari yang tak terlupakan untuk Humaira. Karena dia senang sekali.

Semoga Anak mama kelak menjadi anak sholehah. Putri yang membanggakan dan selalu memiliki rasa syukur di hatinya. Ingatlah hari ini nak, dimana mama berusaha untuk membuat senyum dan tawamu merekah sempurna. Kuharap ini akan menjadi salah kenangan paling indah dalam hidupmu. ❤️

Special Thanks buat guru-guru Humaira yang super baik dan teman-teman Humaira yang super lucu plus baik hati. Terima kasih doa dan hadiahnya. ❤️

6 Langkah yang Perlu Kalian Lakukan Agar Kulit Tubuh Tetap Lembab dan Sehat

6 Langkah yang Perlu Kalian Lakukan Agar Kulit Tubuh Tetap Lembab dan Sehat

Pernah gak sih kulit kalian berada dalam fase super kering seiring bertambahnya umur?

Hal itulah yang sedang aku alami sekarang. Hiks

Semula, kupikir yang namanya merawat tubuh itu gak terlalu penting. Karena sejauh ini, kulit tubuh tanpa perawatan maksimal ya tetap sehat-sehat saja. Bahkan jauh lebih baik dibanding dengan kulit wajah yang dirawat. Jadi kupikir, mungkin kulit tubuhku sedikit punya privileged dibanding kulit wajahku.

Ternyata aku salah.

Drama Kulit Umur 30an: “Kenapa Jadi Kering Begini?”

Ada satu musim kemarau panjang pada masa kecilku dulu. Saat itu, beberapa sumur di desa kami mengering. Termasuk sumur yang ada pada rumahku. Padahal, daerah tempat tinggalku bisa dibilang tak pernah kekeringan. Lahannya subur. Ibaratnya, dilempar biji rambutan pun akan selalu tumbuh. Tapi, kemarau saat aku berumur 8 tahun itu berbeda. Sumur kami kering dan terpaksa kami berjalan kaki ke sumur belakang yang berjarak 1 km untuk bisa mandi dan mencuci baju. Zaman itu, tak ada air PDAM yang masuk ke desa kami. 

Well, kenapa aku bercerita tentang kondisi kemarau di masa lalu? Kok out of topic sekali? Hal itu tak lain karena kondisi kulit tubuhku menginjak usia 30an punya kemiripan dengan tanah di masa kemarau dulu. Kering dan berpetak-petak.

Naas kalau dilihat n dipikirkan ya, padahal aku merasa masih sangat muda loh. Xixi.

Tapi, kurasa dalam hidup kita akan dihadapkan pada fase krusial sewaktu-waktu. Seperti kemarau panjang yang sangat jarang terjadi. Solusinya, hanya satu: mengevaluasi diri sendiri dan keadaan. Apakah kira-kira hal yang bisa menyebabkan semua ini?

Kalau berkaca pada keadaan diri, sepertinya aku memang kurang memperhatikan kulit tubuhku sendiri. Pertama, aku selalu membeli sabun mandi batangan yang murah dan aku tak terlalu peduli dengan kandungannya. Kedua, aku jarang sekali memakai scrub untuk menghilangkan sel kulit mati. Ketiga, aku hampir selalu lupa untuk memakai handbody lotion setelah mandi. Karena kupikir… Ya.. Aku kan di rumah saja, ngapain? Kecuali keluar rumah kan. Kita sebagai ibu-ibu itu harus hemat. Lagi pula kulit tubuh ini ajaib kan, tanpa dirawat saja mana pernah dia jerawatan seperti halnya wajahku. Haha. Kelima, Aduh.. bahkan aku tak pernah ke salon untuk sekedar luluran n massage, mana waktunya??. Mana paham diriku akan fungsi dari body serum, dll. Sungguh, kurasa kalau kulitku sering layaknya musim kemarau.. Ya tentu saja itu wajar.

Ini azab win.. HAHAHA

6 Langkah Yang Aku Lakukan Agar Kulit Tubuh Tetap Lembab dan Sehat

Alhamdulillah kalau dibandingkan dengan zaman dulu, kulitku sekarang sudah jauh lebih baik sih. Meski memang masih kering pada bagian telapak tangan, dan sedikit hitam karena antar jemput anak naik kendaraan. Tapi, percayalah bagian lainnya itu sudah jauh lebih baik. Nah, hal apa saja yang sudah aku lakukan untuk itu? 

  1. Menjaga Kebersihan: Mandi 2 kali sehari

“Aww.. Ya iya lah win.. Cewek itu kudu mandi”

Percayalah, ada fase dimana aku 2 hari baru bisa mandi. Yaitu saat operasi cesar dulu. Kemudian, saat suami tak ada di rumah. Aku juga sering curang pada diri sendiri. Mengganti waktu mandi dengan menonton drakor. Ya Allah, sungguh apakah itu namanya pemalas atau memang mau me time. Haha. 

Kita perempuan, kadang suka sekali mengganti prioritas dengan alasan ‘me time’ atau ‘nanggung kan lagi ini’ . Akhirnya kebablasan. Mulai sekarang, prioritaskan kebersihan diri sendiri diatas yang lain

  1. Mulai Peka dengan Produk yang Cocok dengan Kulit

“Berapa harga sabun anu itu?” 

“Ikh.. Kok mahal banget. Merk anu beli 2 gratis 1. Bisa buat 3 bulan”

Tet.. Tott… Hapus kebiasaan memprioritaskan kuantitas diatas kualitas. Karena kalau kulit sudah kering kerontang. Membuatnya untuk bisa lembab kembali itu butuh effort yang luar biasa juga.

  1. Memakai Body Scrub 2x Seminggu

“Kalau pakai scrub bukannya bikin kulit tambah kering ya”

Iya tambah kering.. Kalau pakainya 2x sehari.. Hehe

Body Scrub dipakai untuk menghilangkan sel kulit mati. Karena jika sel kulit mati menumpuk dipermukaan kulit, maka percuma saja berbagai perawatan yang akan kita pakai. Tak akan berdampak maksimal.

  1. Rutin memakai Body Lotion setelah mandi

Gak lagi deh skip untuk penggunaan body lotion. Apalagi ngisi air ke botol bodylotion demi penghematan. Dipakai seminggu pula. Haha. 

Ya, gakpapa sih kalau ekonomi kita sedang sulit. No pain No gain ya. Tapi jika ekonomi kita sudah membaik.. Yuk mulai rutin memakai body lotion setelah mandi. Karena bodylotion menjaga kulit kita agar tetap lembab sehabis mandi.

  1. Memakai Body Cream untuk menambah kelembaban kulit

Uhuk, body cream? Makhluk apa lagi tuh win?

Body Cream kegunaannya untuk menambah kelembaban pada kulit. Wajib banget dicoba untuk kulit yang sudah kena ‘azab kekeringan’ seperti kulitku. Kandungannya sedikit berbeda dengan body lotion. Teksturnya pun juga tak sama. Body Lotion lebih liquid dibanding Body Cream. Body Lotion ketika dipakai pun akan langsung meresap, sementara body cream punya power melembabkan ekstra yang membuatnya sedikit lambat meresap di kulit.

  1. Memakai Body Serum

Aku mengenal istilah body serum baru sekitar 1,5 tahun ini. Ada beberapa body serum yang telah aku coba. Biasanya, aku memakai body serum di malam hari. Kegunaan body serum adalah untuk melembabkan kulit dari dalam serta menjaga lapisan skin barrier yang akan mengunci kelembapan agar bertahan lama. 

Body Serum ini meresap lebih cepat, selain itu body serum tidak meninggalkan lapisan yang terasa lengket di kulit. 

Maksimal Glowing Bersama Rangkaian Scarlett Bodycare Jolly Lengkap dengan Body Cream dan Body Serum

Pertama kenal dengan produk scarlett, hal yang paling khas pada produknya adalah wanginya. 

“Hmm.. Berasa pergi ke taman bunga”

Aku sudah sekian kali memakai Body Lotion Scarlett. Bahkan, reviewnya juga sudah pernah aku tulis. Yes, I try it more and more..

Baca juga: Review Scarlett Body Lotion

Daaan.. Tadaa.. Sebulan yang lalu, aku dapat rangkaian bodycare terbaru dari scarlett varian Jolly.. So Happy!!

Aku sudah pernah mencoba body scrub dan body shower varian jolly. Untuk orang yang menyukai wewangian sepertiku produk ini sangat meningkatkan mood. Oya, reviewnya juga pernah aku tulis sebulan yang lalu.

Baca Juga: Review Body Scrub dan Body Shower Scarlett varian Jolly

Sebelumnya terkadang aku masih menggunakan varian bodycare dari merk lainnya untuk melembabkan kulit. Seperti misalnya body serum. Untuk kulit kering sepertiku, body serum sudah menjadi semacam kebutuhan. 

Dan aku senang sekali akhirnya scarlett mengeluarkan rangkaian produk bodycare lainnya untuk melengkapi. Selain Body lotion juga ada body cream dan juga body serumnya.. Love It! Akhirnya aku move on ke scarlett deh untuk body serumnya juga. 

Review Body Lotion, Body Serum dan Body Cream Scarlett varian Jollly

Berikut review singkat dariku tentang Body Lotion, Body Cream dan Body Serum Scarlett varian jolly.

  1. Body Lotion Scarlett varian Jolly
  • Packaging

Menurut pendapatku, baik bodylotion, body cream, hingga body serum dari scarlett ini khas banget. Dari kejauhan pun, kita sudah bisa tau, “Wah ini body lotion scarlett.”

Karena kemasannya yang transparant namun elegan dan unik. Sampai ketika adegan drakor Reborn Rich aja aku langsung peka banget itu scarlett walau tanpa perlu di zoom in. Coba, bodycare mana yang punya kesan mendalam on the first sight begini.. Unik lah tampilannya..Xixi.

Dan yang aku suka body lotion ini bisa di lock. Kebayang deh, emak-emak sepertiku yang punya 2 anak perempuan.. Ehh.. kalau keturutan aku suka ‘nyolong’ skincare n make up mamaku dulu.. Maka, habislah sudah semuanya. Haha 

Btw, aku baru saja kesal loh karena anakku Humaira menghabiskan sebotol sabun salam sekali mandi. Tentu saja, itu tidak akan terjadi pada semua rangkaian bodycare scarlettku. Karena design packagingnya aman dari anak kecil. Haha.

  • Kandungan

Aqua Demineralisata, Cetearyl Alcohol, Cetyl Alcohol, Mineral oil, Glycerin, Perfume, Propylene Glycol, Kojic Acid, Niacinamide, Titanium Dioxide, Glutathione, DMDM Hydantoin, Triisopoprapanotamine, Tocopheryl Acetate, Acrylate Copolymer

  • Tekstur dan Wangi

Tekstur dari body lotion ini lembut dan gampang menyerap di kulit. Perlu durasi setidaknya 1 menit hingga rata dikulit. Dan wanginya enak plus soft banget. Akan lebih tajam lagi wanginya jika sebelumnya memakai body scrub varian jolly. 

  1. Body Cream Scarlett
  • Packaging

Packaging body cream ini hampir mirip dengan body lotionnya. Hanya saja bentuknya lebih medium dan tak berbentuk layaknya botol. Tingginya lebih rendah sedikit jika dibandingkan dengan body serumnya dan mempunyai tingkatan layaknya tangga diatasnya.

  • Kandungan

Ada beberapa kandungan aktif dalam body cream scarlett ini: 

  • Hyaluronic Acid: untuk kelembapan dan kelembutan kulit.
  • 5 Phyto Oil: membantu melembapkan dan menghaluskan kulit, serta merawat kesehatan kulit.
  • Shea Butter: merawat keremajaan kulit dan membuat kulit terasa lebih kencang.
  • Aloe Vera Extract: membantu menyejukkan kulit yang teriritasi ringan.
  • Niacinamide: membantu mencerahkan kulit dan menyamarkan noda gelap pada kulit.
  • Glutathione: membantu meratakan warna kulit.
  • Titanium Dioxide: melindungi kulit dari efek buruk sinar UV.
  • Tekstur dan Wangi

Tektur dari bodycream scarlett ini memang lebih rich dibanding bodylotionnya. Tapi, itu kan juga sesuai fungsinya yaitu untuk lebih melembabkan. Meski sedikit lebih lambat menyerap kulit namun teksturnya tetap nyaman di kulit. Terutama yang punya kulit kering.

Wangi dari bodybutter ini sama seperti bodylotionnya, jadi.. Kalau kita memakai sabun, body serum, body lotion dan body creamnya. Wanginya jadi double triple wangi.

  1. Body Serum Scarlett
  • Packaging

Sekilas, packaging body serum dan body cream ini mirip sekali. Tapi, ada beberapa perbedaan kok. Kalau body serum ini punya tutup transparant dan kemasannya lebih tinggi dan ramping. Seakan ingin menjelaskan bahwa, “Akulah varian yang dipakai dulu”

Design pumpnya pun sedikit berbeda, seakan berkata, “Pelan pelan ya, sedikit saja karena aku lebih liquid”

  • Kandungan 

Scarlett Whitening Happy Body Serum memiliki dua tipe kandungan moisturizer yaitu emollient dari Shea Butter dan Ceramides dan humectant dari Glycerin dan Sodium Hyaluronate. 

Shea butter dikenal mampu meregenerasi dan menenangkan kulit juga kaya akan antioksidan. Ceramide merupakan lapisan pelindung water-proof, yang menjaga agar kulit tetap sehat dan terhidrasi. Diusia sepertiku, ceramide merupakan kandungan yang wajib ada agar kulit tetap terhidrasi.

Kandungan yang aku suka lagi adalah Glycerin. Inilah yang menyebabkan kulit kita tidak terasa kering dan tetap lembap walau mungkin sebelumnya sudah memakai scrub. Selain itu adanya Sodium Hyaluronate yang yang populer dengan nama yaitu Hyaluronic Acid membantu kulit menahan air, sehingga membuatnya  kenyal dan elastis.

Kandungan lengkap dari Scarlett Whitening Happy Body Serum adalah 

Aqua Demineralisata, Acrylates Copolymer, Mineral Oil, Cetearyl Alcohol, Propanediol, Titanium Dioxide, Cetyl Alcohol, Fragrance (Perfume) Components and Finished Fragrances, Shea Butter (Butyrospermum Parkii), Niacinamide, Dimethicone, Triisopropanolamine, Glycerin, Ceramide 2, Acrylates/C-10-30 Alkyl Acrylate Crosspolymer, Dmdm Hydantoin, Glutathione, Tocopheryl Acetate, Sodium Hyaluronate, Glycolic Acid, Cl 12490.

  • Tekstur dan Wangi

Tekstur dari body serum scarlett ini adalah yang paling aku suka dibanding yang lain. Karena sangat mudah meresap di kulit dan bikin kulit secara kenyal banget. Hmm.. Makanya untuk kulit kering aku sangat merekomendasikan memakai body serum. Karena memang senyaman itu dipakai. Wanginya juga lebih soft kurasa. 

“Wind, banyak banget ya rangkaian produknya. Step by step makainya gimana aja tuuuh”

Aplikasikan saja sesuai dengan 6 langkah yang sudah aku jabarkan tadi ya gaiss. Mandi memakai scarlett bodywash, kemudian rutin memakai body scrubnya 2x seminggu untuk exfoliasi, dan dilanjutkan dengan body serum plus body cream untuk kulit kering sepertiku. Nah, kalau kalian merasa its too much bisa kok pakai scarlett body lotion saja. Tapi saranku tetap pakai body serum ya ketika malam hari. Its help your skin better. Sedangkan body creamnya bisa dipakai ketika kulit sedang terasa kering. Seperti saat kita berada di ruang ber AC.

Hasil Glowing Up Bersama Scarlett Body Care Varian Jolly

Punya rangkaian bodycare scarlett selengkap ini kadang membuatku mengkhayal, bisa gak kulit indonesia sepertiku mulus bersinar macam Song Jong Ki? 

PLAK…Haluuuuu win!

Iya, bener sih halu. Ada satu hal yang tidak bisa diubah sampai kapan pun yaitu kode genetik. HAHA

Kalau sudah dari sononya sawo matang, ya mungkin mustahil tiba-tiba bisa semulus dan bersinar macam Song Jong Ki. Tapi, satu hal yang pasti, sebagai manusia kita itu HARUS merawat ciptaan Tuhan. Hal itu adalah salah satu bentuk ikhtiar dari syukur. Jadi, seandainya kita memiliki kulit sawo matang ya minimal kita rawat kulit kita agar tidak kering. Kita jaga agar kulit tidak kusam. Dan bisa glow up bersinar dengan seapa adanya keadaan terbaik kulit kita.

Aku merasakan sendiri gaiss, kulitku sebelum dan sesudah dirawat itu beda banget. Dirawat dengan sabun dan bodylotion murah dan kualitas Beh aja beda banget sama dirawat pake scarlett. Makin beda lagi kalau dibandingin zaman punya anak kecil dulu.. Yang sangat jarang perawatan dan kadang suka lupa mandi. Wkwk.

Berikut penampakan kulitku sebelum dan sesudah memakai rangkaian bodycare scarlett varian jolly. 

Gimana, lumayan beda kan? Btw, kalian sudah nyoba scarlett body serum n bodycare juga belum? Buat yang belum bisa banget beli produknya disini https://linktr.ee/scarlett_whitening

Kalian juga bisa cek keaslian produk disini https://verify.scarlettwhitening.com

Buat yang udah pernah nyoba.. Varian apa nih yang kalian suka? Sharing yuk!

IBX598B146B8E64A