Browsed by
Month: June 2023

Cara Asyik Mengajarkan Tentang Ilmu Ekonomi dan Keuangan pada Anak

Cara Asyik Mengajarkan Tentang Ilmu Ekonomi dan Keuangan pada Anak

“Mama, mama ini sarjana akuntansi ya?” Pica bertanya padaku hari itu.

“Iya Pica, trus kenapa?” 

“Abah ternyata jurusan akuntansi juga ya..” Pica kembali bertanya.

“Iya Pica.. Kalau Abah kamu itu S2 Akuntansi”

“Terus, Kenapa Mama gak kerja jadi akuntan? Kenapa Abah jadi Dosen Komputer? Kenapa jadi programmer?”

“Emangnya Pica mau Mama sama Abah jadi Akuntan? Akuntan itu kerjaannya ngitung duit, manage duit.. Tapi duit orang.. Hehe..” Celetuk aku sambil tertawa iseng

“Terus, ilmu mama sama abah waktu kuliah jadi apa dong sekarang?”

Pengalaman Mengajarkan Basic Ilmu Ekonomi Pada Anak

1. Transparan Dengan Keadaan Ekonomi Keluarga

“Hmm.. Jadi apa ya. Coba Pica kesini sebentar.” 

Pica melihat handphoneku dan aku memperlihatkan google sheet padanya. Tak hanya berisikan tentang pencatatan keuangan perusahaanku dan suami tapi juga berisi tentang pencatatan investasi. Oya, bagi yang belum tau cerita keluargaku. Keluargaku punya bisnis IT yang dikelola sendiri. Jadi, aku dan suami berbagi tugas. Suami mengelola project ITdan para programmer. Sedangkan aku mengelola administrasi, pencatatan akuntansi dan manajemen. 

Pica mengernyitkan dahi membaca catatanku itu lantas berkata, “Oh, ternyata ilmu mama berguna buat kantor bisnis abah ya..”

Aku tersenyum. Pica memang kurang paham tentang bisnis IT yang kami kelola. Dia cuma paham kalau itu usaha Abahnya. Yang mana awal mula merintis usaha memang hanya bermodalkan 4 orang programmer dan dibangun otodidak oleh suamiku. Jadi, dia tidak paham apa kontribusiku disana.

Aku kemudian menyuruhnya melihat catatan keuanganku lagi. Sambil memperlihatkan sheet demi sheet aku menjelaskan pada Pica kalau dahulu… Kondisi ekonomi keluarga tidak sestabil ini.

“Ini catatan waktu mama masih dapat uang bulanan sebanyak 1,5 juta. Dan ini ketika 2 juta sebulan.”

Pica melihat dengan detail caraku membagi pos keuangan. Untuk makan, listrik, jajan anak, hingga untukku sendiri. Kadang surplus, kadang juga minus. Tapi kadang aku juga menyisipkan adanya uang extra yang aku dapatkan dari bekerja freelance.

“Pica tau gak, ngatur keuangan itu susah. Ada saatnya kita berada diposisi mengatur apa yang ada karena tidak bisa produktif menghasilkan uang. Contohnya ketika Pica masih kecil. Mama gak bisa ikut nyari duit. Jadi, pemasukan sehari-hari hanya mengandalkan Gajih Abah. Yang mana gajih itupun harus terbagi lagi untuk biaya rumah, modal membangun bisnis, dan tumpuan sandwich generation. Saat itulah mama bersyukur karena sudah dididik tentang ilmu ekonomi baik di rumah nenek dulu maupun di dunia pendidikan. Mama gak pernah ngerasa ilmu mama gak bermanfaat. Semua bermanfaat. Meski mama saat itu hanya jadi Ibu Rumah Tangga aja.”

Sejak Pica menginjak usia 9 tahun, aku sudah mulai transparan tentang kondisi ekonomi pada Pica. Hal demikian aku lakukan sebagai insight buat anak agar mulai paham tentang ilmu ekonomi. Sebelumnya, mamaku sendiri juga menerapkan hal yang sama padaku. Mama bilang padaku bahwa jatah uang jajanku sebulan ‘segini’. Gajih mama ‘segini’ dan alokasinya tak hanya tentang keperluan hari ini. Tapi juga keperluan menengah dan masa depan. 

2. Ajarkan Bahwa: Setiap Keluarga Memiliki Prioritas dan Kebutuhan yang Berbeda

Sederhananya, ekonomi adalah ilmu tentang bagaimana memenuhi kebutuhan manusia. Keinginan manusia tak terbatas sementara sumber daya itu terbatas. Maka, self control adalah kunci dalam ilmu ekonomi. Sebelum paham tentang teorinya. Jauh lebih baik mengatur psikis. Memahami kondisi diri. Menentukan mana hal yang primer, sekunder dan tersier. Dan setiap rumah tangga tentu tak sama kondisinya.

“Jadi, Pica jangan ngiri kalau liat teman Pica yang uang sakunya lebih banyak dari Pica. Pica juga jangan bingung kalau liat teman Pica yang hemat banget. Karena peraturan ekonomi tiap keluarga itu beda-beda. Prioritasnya beda. Basic banget dalam mengatur ekonomi adalah: Kita gak boleh iri dengan orang lain ataupun membandingkan mereka dengan kita”

Keluarga kami sendiri memiliki aturan bahwa kebutuhan tersier hanya boleh dibeli setahun sekali dengan budget yang sesuai. Sementara kebutuhan primer tak melulu tentang sandang pangan papan tapi juga pendidikan. Uang extra untuk memupuk skill dan minat anak, bagi kami adalah kebutuhan primer. Sementara kebutuhan sekunder kami beli sekitar 3 bulan sekali. 

3. Pentingnya Mengajarkan Dana Darurat dan Konsep Investasi 

Apakah penting anak diajarkan ilmu tentang dana darurat dan investasi? Menurutku, perlu. 

Berkaca dengan hidupku, Sejak kecil aku sudah paham tentang pentingnya mindset investasi dan dana darurat. Jauh sebelum aku kenal dengan para influencer keuangan.. Mama adalah teladanku dalam mengelola uang. Quote yang selalu mama ulang dan ulang adalah, “Karena kita tidak tau apa yang terjadi di masa depan.”

Sewaktu kecil, aku tidak memiliki dana darurat sendiri. Semua diatur oleh mama. Sedangkan Pica berbeda. Aku menyuruhnya untuk menyisihkan uang lebaran ke dana darurat. 50% dari dana darurat Pica disimpan secara cash olehnya sendiri. Sementara 50%nya lagi aku simpan di Reksadana Pasar Uang (RDPU). Selain memiliki Dana Darurat aku juga mengajarkan Pica untuk memiliki investasi biaya pendidikannya kelak. Jadi, sejak dini aku sudah menabung sedikit demi sedikit untuk investasi jangka panjang

Aku bilang pada Pica bahwa pada RDPU dan investasi lainnya, setiap tahun uangnya akan bertambah 3-4% bahkan lebih dan bisa diambil kapanpun diperlukan. Namun perlu waktu beberapa hari. Dana Darurat yang Pica miliki secara cash bisa langsung dipakai untuk keperluan darurat. 

Mengajarkan Anak Akan Pentingnya Memiliki Tujuan Keuangan

Kalau dari ceritaku diatas, terlihat bukan bahwa basic yang aku ajarkan sebenarnya adalah tentang cashflow keuangan agar bisa survive dalam mengatur ekonomi. Sebelum level mengatur cashflow, anak sebenarnya juga sudah harus mengerti tentang bagaimana menghasilkan uang. Lantas memiliki tujuan keuangan setelah itu.

Bukan mengajarkan anak jadi materialistis. Tapi menunjukkan fakta di dunia bahwa dalam hidup.. uang memang diperlukan. Dan dalam mencapai cita-cita di depan, kita harus memiliki tujuan keuangan yang bervalue. 

“Hidup kita itu sebenarnya mirip games Pica. Ada gold untuk membeli apa yang kita butuhkan agar bisa naik level. Tanpa gold, kita gak bisa apa-apa. Nothing. Jadi mencari uang itu bukan simbol dari matre. Tapi simbol survive dan bisa naik level. Jadi, dengan paham cara memiliki uang kita bisa punya tujuan keuangan dimasa depan. Pica pengen apa? Pengen kuliah, pengen punya skill baru, bahkan pengen punya rumah atau impian memiliki anak.. Itu adalah tujuan keuangan.”

“Gimana caranya supaya dapet uang Ma?”

“Uang itu bisa didapatkan dengan banyak hal. Pertama dengan tenaga. Pica bisa aja ngambil jasa loundry atau setrika. Diluar sana ada yang berprofesi sebagai pembantu dan tukang untuk mendapatkan uang. Kedua, dengan otak dan skill. Itulah gunanya Pica sekolah dan mengasah apa yang Pica suka. Misal, Pica suka menggambar. Diluar sana mungkin Pica bisa jadi pembuat komik. Pica senang. Pica juga dapat uang.”

Banyak yang beranggapan bahwa tujuan keuangan adalah melulu tentang hal berbau materialis. Padahal, di dunia ini suka tak suka kita harus bisa mengatur dengan seimbang masa kini dan masa depan dengan uang. Masa produktif manusia untuk bekerja itu terbatas. Sementara manusia mungkin saja hidup lebih lama tanpa masa produktif. Tujuan keuangan meliputi kecukupan masa kini dan masa depan. Bagi anak, tujuan keuangan adalah tentang bagaimana ia bisa meraih cita-citanya sekarang dan tetap seimbang jalannya hingga di masa depan.

Wah, kalau membahas tujuan keuangan dengan seimbang demikian. Sepertinya tak cukup kalau hanya sekedar menjelaskan pada anak bahwa menjadi produktiflah yang selalu menghasilkan uang. Karena faktanya, ada yang namanya pasif income. Orang bisa mendapatkan uang tanpa terus bekerja di hari tua bukan?

Ngajarin Anak Tentang Pasif Income Melalui Game

“Tapi, Pica juga musti tau gimana cara orang-orang menghasilkan duit dengan cara yang diluar itu.. Pica tau gak, nenek sama kakek itu gak kerja lagi loh. Pertanyaannya, gimana cara mereka masih dapat uang?”

“Bukan dari Mama ya? Berarti Ada cara lain dong ma untuk dapat uang. Gimana tuh?”

“Namanya Pasif Income Pica. Kita bisa tetap dapat uang meski diam aja. Bisa lewat investasi. Bisa lewat menyewakan barang, menjual properti ketika harga tinggi, yang dulu dibeli dengan harga rendah. Banyak cara lainnya. Sini, Mama mau ngajarin Pica lewat game. Mau tau gak gimana?”

Aku lalu membuka laman money games . Aku baru tahu tentang website money game ini dari temanku. Surprise, ternyata disana ada berbagai game yang seru untuk mengedukasi anak tentang uang. Dari cara mendapatkan uang, simulasi uang, bahkan hingga saham dan NFT pun ada. Tapi buat anakku itu masih terlalu jauh. Sekarang aku hanya ingin mengajarkan kepada Pica tentang pasif income yang related dengan game. Nama-nama game itu antara lain:

Kingdoms War

Game Kingdoms War ini mirip dengan monopoly. Dulu, sewaktu SMP hingga SMA aku sering memainkannya dengan kakakku. Bahkan ketika muncul versi aplikasi game di komputer pun aku sering memainkannya. Nah, sekarang bisa dimainkan di website mortgage calculator juga.

Dimulai dengan bekal tabungan 500 koin. Dan kita memainkan game dengan lemparan dadu. Ketika mendarat di properti dan tersedia untuk dibeli maka  kita dapat membelinya. Jika orang lain menempati properti itu, maka ia harus membayar sejumlah sewa. Sewa di awal cukup terjangkau dan bisa bertambah mahal jika ada rumah diatasnya. Dengan memiliki 3 properti berturut-turut kita bisa membangun rumah dan meningkatkan pendapatan sewa. Kita juga bisa membeli tanah dan properti dari orang lain dan menyewakannya.

Meski permainan ini bergantung pada kesempatan dan keberuntungan dalam pelemparan dadu. Namun ada satu hal baru yang dipelajari oleh Pica. Melalui game akhirnya ia paham maksud dari sewa. Dan menyewakan properti adalah salah satu bentuk dari pasif income.

Aku bercerita ini related dengan pasif income Nenek Pica. Nenek Pica memiliki lahan karet yang disewakan pada petani. Ketika panen, nenek akan mendapatkan pembagian hasil tanpa bekerja. Tentu saja ini tidak diperoleh secara instan. Ada kerja keras dan konsisten menabung sebelumnya agar bisa membeli lahan yang potensial.

Real Estate Tycoon

Game Real Estate Tycoon adalah game yang membuat anak belajar tentang harga properti yang naik dan turun. Dalam game ini, uang kita akan bertambah jika sukses membeli properti dengan harga rendah dan menjualnya saat harga tinggi. Hmm… related banget dengan kehidupan kita bukan?

Dalam game ini, sebagian besar bangunan naik nilainya saat pertama kali muncul dalam garis yang cukup lurus, lalu mendingin dan memperlambat apresiasinya sebelum berbelok ke selatan. Ketika kita masuk lebih jauh ke dalam permainan, bangunan muncul lebih cepat dan beberapa bangunan mengalami siklus harga berkali-kali. Waduh, related sekali dengan harga properti di sekeliling kita. Thats why, membeli property itu tricky. Terutama membeli rumah.

Game ini mengajarkan pada Pica bahwa ada pasif income yang tricky untuk ditiru. Aku mengajarkan padanya tentang harga properti yang bisa jatuh sewaktu-waktu. Namun ada pula yang bisa mengambil keuntungan dari jual beli properti. Dalam keadaan tertentu, kadang ada beberapa orang yang menjual propertinya dalam harga rendah dan dibawah harga pasar. Kalau ada kesempatan demikian maka itu boleh diambil. Karena potensi mendapatkan keuntungan ketika dijual masih tinggi. Namun, sangat penting untuk menghindari perasaan greedy dalam membeli properti. Atau uang kita akan menyusut nilainya.

Aku bercerita bahwa Nenek Pica sering kali membeli tanah yang dekat dengan jalan besar. Beliau membeli tanah yang memang saat itu harganya sedang murah. Bertahun-tahun kemudian, harga tanah itu 70% naiknya. Dan ketika menjualnya, Nenek bisa membiayai anak-anaknya kuliah di kedokteran. Menggunakannya untuk umroh. Dan sisanya bisa disimpan di deposito bank, dan tentunya keuntungannya menjadi pasif income.

Web Tycoon Simulator

Game Web Tycoon Simulator ini mungkin terlihat sederhana. Ini adalah game dimana anak hanya melakukan ‘click’ untuk mendapatkan penghasilan.Tapi tahukah dimana sisi uniknya dilihat dari potensi pasif income? Disini anak diajak untuk meningkatkan aspek bisnis berbasis web. Dimana kita tahu sendiri sekarang bukan? Bahwa bisnis digital adalah ladang untuk mendapatkan uang lebih cepat.

Dari Aspek Workstation, website, advertising, private server, dll.. Pica jadi tahu bahwa zaman sekarang ini untuk mendapatkan pasif income bisa dalam ladang digital. Dalam game ini, kita dapat klik di mana saja di layar untuk menghasilkan pendapatan. Jumlah tabungan kita pun ditampilkan di bagian atas layar.

Game ini mengajarkan penghasilan juga dapat dihasilkan secara pasif ketika kita tidak mengklik, meskipun mungkin hanya sekitar 20 persen dari tarifnya.

Kita dianjurkan untuk menggunakan penghasilan untuk membeli peningkatan workstation, situs web, strategi periklanan, server pribadi, merchandising, pasar, dan mengembangkan dominasi web.Uniknya, Setiap fitur dapat ditingkatkan berkali-kali dengan biaya peningkatan yang tumbuh secara geometris. Ketika kita ingin meningkatkan berbagai aspek bisnis, pendapatan pasif kita akan meningkat.

Game ini related dengan kehidupan nyata sekarang. Banyak yang berprofesi sebagai youtuber, blogger, tiktoker, dan bisa mendapatkan pasif income dari adsense. Ketika menjelaskan hal ini, Pica jadi excited. Ternyata pasif income zaman sekarang bisa didapatkan dengan ‘memupuk proses’.

***

“Ah ternyata, belajar keuangan itu seru. Pica pikir awalnya.. Mencari uang itu selalu tentang kerja keras.”

“Ya awalnya memang harus kerja keras. Keras pada minat yang ingin kita gali sendiri. Bahkan membuat konten saja perlu konsep matang dulu agar menarik loh. Jadi, belajar tentang pasif income tak melulu mengajarkan untuk malas ya.. Tapi mengajarkan bahwa manusia itu tak selamanya bisa produktif maksimal. Karena itu kita perlu belajar untuk bisa merdeka finansial meski tak produktif lagi dengan belajar memiliki pasif income.. Contohnya seperti Nenek dan Kakek Pica. Jujur, mama bangga banget punya orang tua seperti mereka.”

Pendapatku pribadi, penting mengajari anak tentang pasif income untuk mengoptimalkan dana pensiun maupun rencana masa depan. Dan ternyata mengajarkan anak tentang keuangan dan pasif income itu bisa banget melalui game yang renyah dan seru. Kalau menurut kalian bagaimana? Penting gak ngajarin anak sejak dini tentang pasif income dan mengelola uang? Sharing yuk!

Yang Berperang Kala PMS: Hati atau Pikiran?

Yang Berperang Kala PMS: Hati atau Pikiran?

Hari ini, jujur aku hanya ingin mengisi blog ini dengan curahan semata. Bukan curhat. Tapi lebih dalam mempertanyakan kepada diri sendiri, kenapa sering sekali kejadian menyedihkan mengulang memorinya dikala PMS melanda? *PMS (Premenstrual Syndrome) mood swing parah kala 3 hari sebelum menstruasi.

Contohnya hari ini. Jauh sebelum subuh hari aku sudah bangun dan meminta agar hatiku dijaga oleh Allah. Tapi kemudian, antara keheningan pagi itu. Kembali lagi dan lagi kepalaku dihantui oleh rasa keinginan sempurna. Alih-alih merenung lebih dalam dan memperbanyak curhat pada Allah. Aku lebih memilih menghabiskan waktuku untuk membersihkan rumah. Selama membersihkan rumah, banyak kenangan buruk yang singgah di kepala dan membuatku meneteskan air mata sambil bekerja. Sedih sekali rasanya pagi itu. Sedih dan tak bisa diungkapkan dengan kata, tak ada kejadian buruk dalam durasi pendek. Aku hanya mengingat kenangan lama yang tak kunjung membaik. Hanya air mata tak berhenti mengalir. Dan bingung pula bagaimana cara mengungkapkannya pada pasangan. Takut hal yang keluar tak benar. Takut ini dan itu.

Hati dan Pikiran

Seminggu yang lalu aku menonton channel Ade Rai tentang meditasi. Pada channel itu, Ade menjelaskan lebih dalam tentang apa itu meditasi dan tingkatannya. Aku jadi merasa related sekali tentang kenapa meditasi itu luar biasa susah dilakukan. Susah sekali. Jika dibandingkan workout, meditasi yang benar-benar sampai pada fase hening dan mindfullness itu sulit.

Itulah kenapa, aku memutuskan hanya bermeditasi dikala hati sedang tenang. Justru makin sulit dilakukan kala hati sedang resah karena gangguannya banyak sekali. Saat hati resah, mengaji dengan nyaring adalah obat. Sebenarnya ada yang lain.. sih.. Curhat misalnya, tapi aku SANGAT JERA melakukannya. Meditasi tidak bisa menyembuhkan, karena dikala diam dan merenung lantas berusaha menerima ada hal lain yang mengganggu. Entah itu pikiran logika. Entah itu hati. Keduanya merasa ingin dimenangkan. Huft.

Meditasi just like charging our chakra. Workout just like charging our energy. – Quote yang aku ciptakan terinspirasi dari Naruto dan mengenal meditasi.

Itulah kenapa Ninjutsu lebih sulit diterapkan dibanding Taijutsu. Karena sebelum ‘charging our chakra’.. Kita harus mengenali hati dan pikiran kita. Apa sebenarnya yang ingin kita kendalikan? Apa identity kita? Apa elemen dominan dalam diri kita?

Kalau kata Mas Ade Rai, kita itu bukan pikiran kita. Kita juga bukan hati. Kita itu lebih dari itu.

So What? Mungkin itulah inti dalam dalam ‘manusia sebenarnya’. Kita adalah Sang Pengendali. Pengendali unik dari hati dan pikiran unik yang Allah ciptakan secara spesial pada diri kita.

Masalahnya, untuk sampai pada level Sang Pengendali, kita justru harus memeluk hati dan pikiran kita sendiri. Tau gak? Bagi aku itu level tersulit. Pikiranku berontak ingin menjelaskan kebenaran versiku yang tak pernah kunjung bisa keluar dengan benar. Hatiku? Merasakan dampak buruk dari pikiranku yang terpendam. Menangis tak jelas, marah tak jelas, satu saja pencetusnya… Pikiran akan mengeluarkan hal-hal terpendam yang selama ini ia sembunyikan. Parahnya, pikiran saat PMS hanya mengeluarkan hal buruk terlebih dahulu. Sementara hati tak bisa mengontrolnya karena emosi didalamnya pun didominasi oleh Sadness and Angry.

Antara Logika dan Emosi

Sampai sekarang, aku termasuk salah satu manusia yang sering bingung kenapa Laki-laki dan Perempuan itu diciptakan untuk hidup berdampingan. Please, dont get me wrong. Maksudku adalah dari sekian banyak hal indah. Ada satu hal yang membuat laki-laki dan perempuan itu rentan sekali berkonflik. Satu hal itu adalah perbedaan pola pikir. Laki-laki dominan pada logika-otak kiri. Sementara perempuan dominan pada emosi-otak kanan.

Jangan tanya sudah berapa konflik yang tercipta karena perbedaan ini. Banyak. Banyak sekali.

Bukankah banyak pasutri yang berkonflik diluar sana dimulai dari perbedaan ini.

Tau gak? Keduanya… saat ditemui dan berkonsultasi pada psikolog. Selalu merasa dipihak yang ‘benar’. Suami contohnya, merasa tindakannya tak pernah salah ketika tidak paham dengan kesibukan istri di rumah. Alasannya begini, “Kenapa tidak minta tolong langsung?”

Contohnya lagi, laki-laki kerap marah ketika istri mengeluarkan emosi dominan, menangis tak jelas dll. Inginnya adalah perempuan harus bisa berkomunikasi dengan baik menggunakan pikirannya tanpa perlu menangis bombay. “Kenapa drama sekali?” -Perkataan yang kerap ditanyakan laki-laki ketika berkonflik

Sebaliknya istri.. Juga selalu merasa pada pihak yang benar. Merasa tindakannya tak pernah salah ketika tidak ngomong ‘minta tolong’ di rumah. Alasannya begini, “Pernah dimintai tolong tapi responnya tak baik. Dan akhirnya jera”

Alasan lainnya, “Harusnya paham-paham sendiri lah. Bla bla”

Contohnya lagi, perempuan kerap marah ketika suami mengeluarkan pikiran dominan tanpa disertai dengan emosi dan reframing dalam berkomunikasi. Inginnya lelaki..  semua langkah hanya berdasarkan logika dan tak mempedulikan perasaan. “Kenapa tak bisa mengerti aku?” – Perkataan yang kerap ditanyakan perempuan ketika berkonflik.

Perbedaan demikian kerap terjadi tak hanya dalam berkonflik.Tapi juga dalam kehidupan receh sehari-hari. Saat nonton film bersama misalnya. Laki-laki cenderung akan mempercepat ketika adegan menangis atau konflik bicara yang mengemukakan emosi. Thats why, laki-laki benci dengan drama korea yang biasanya bagus sekali dalam menggambarkan emosi. Sebaliknya, perempuan justru tidak suka dengan adegan action yang begitu lama dan berputar-putar. Drama sekali pikirnya. Kenapa tidak dipercepat saja. To the point saja. Siapa yang menang dan siapa yang kalah?

Pertanyaannya. Siapa yang benar? Antara laki-laki dan perempuan? Laki-laki dengan otak dominan logika atau perempuan yang dominan dengan emosi? Sang Otak kiri atau Kanan?

Tak ada yang benar. Keduanya salah karena tak bisa memahami yang lain.

Beberapa orang berkata bahwa laki-laki lebih nyaman dalam bermeditasi. Aku tak bisa sepenuhnya ‘membenarkan’ hal itu. Bisa saja saat bermeditasi yang keluar dalam otak laki-laki hanya logika saja. Ia ahli dalam hal ini: mengebelakangkan emosi. Laki-laki ahli dalam hal itu karena begitulah ia tercipta.

Karena itu, konten dalam Ade Rai tsb dijelaskan bahwa level 1 dalam meditasi sebenarnya terletak pada Etika Sosial. Etika Sosial dalam hal ini bukan logika atau pikiran realistis. Tapi tentang ‘memahami yang lain’.

Sudahkah kita memahami satu sama lain?

Memahami Mood Swing pada Diri Sendiri

Beberapa hari yang lalu, aku mengambil kelas pengasuhan remaja yang dikelola oleh Rangkul Banjarmasin. Pada kelas itu, aku memahami bahwa mood swingku pertama kali muncul saat remaja. Kala itu, umurku 13 tahun. Aku tak paham kenapa setelah selesai berbicara dengan mama aku menangis tak jelas. Rasanya sakit sekali saat itu. Aku sering mengunci diri di kamar. Kadang merenung. Kadang menangis sendiri. Semua itu sering aku alami saat PMS. Tapi dulu, aku tidak tau kalau periode itu namanya adalah PMS. Aku hanya tau kalau perempuan itu lebih sensitif pada kata-kata yang kasar. Dan biasanya, beberapa hari setelah gangguan sensitif akan tiba saatnya menstruasi.

Belakangan, aku sering refleksi pada diri sendiri. Tentang hal apa yang paling sensitif bagi diriku. Aku sadar setiap kali PMS melanda, kenangan yang berputar dipikiran tanpa di ‘play’ itu adalah kenangan tentang perasaan disalahkan, perasaan tidak dianggap becus dll. Sejak remaja pun kenangan demikian sering berputar sendiri tanpa di ‘play’. Perasaan dibedakan. Perasaan dianggap sebelah mata.

Karena itu aku mencoba menyembuhkan rasa-rasa demikian dengan membersihkan rumah. Kadang, saat melihat rumah yang kotor dan kemudian bersih.. Aku merasa seakan sedang menyikat hati kotorku sendiri. Itulah kenapa saat kenangan itu datang, aku tak bisa berlama-lama curhat pada Allah. Alih-alih berkomunikasi dengan hati, aku lebih plong saat melakukan yang terbaik yang bisa aku lakukan di pagi hari. Aku tau itu salah. Tapi itu yang paling membantu saat PMS melanda. Sama halnya dengan melakukan pilihan antara meditasi atau workout… Aku merasa lebih nyaman melakukan workout. Karena prosesnya terlihat nyata. Bukan tak terlihat.

Kurasa peerku masih jauh sekali. Aku masih sering berfokus pada hasil nyata untuk membuatku bahagia. Aku masih sering terbayang kata-kata buruk dari orang lain. Aku masih menjadikan kata-kata itu sebagai bahan bakar untuk memotivasi diriku sendiri. 

Antara Hati dan Pikiran. Antara Logika dan Emosi.

Aku masih tak bisa untuk menjadi pengendali yang benar. Terlebih saat PMS. Karena kenangan itu berputar tanpa di play. Tak ada yang memintanya untuk Play sendiri. Tak ada yang meminta air mata untuk menangis sendiri. Tak ada yang meminta kemarahan untuk keluar di ending tangisan. Tapi itu nyata sering terjadi saat PMS melanda. Itu adalah siklus yang mungkin harus aku terima keberadaannya. Siklus menyebalkan sebagai seorang perempuan.

Menyebalkan tapi itulah yang harus diterima. Diterima bahkan oleh diriku sendiri.

Yang aku yakini lagi, mungkin ada alasan besar kenapa Allah menciptakan perempuan sedemikian. Lengkap dengan periode PMSnya. Secara biologis, mungkin fase PMS adalah bahan bakar agar proses menstruasi berjalan dengan baik. Secara psikologis, mungkin fase PMS adalah bahan bakar untuk refleksi diri. Refleksi pada kenangan menyakitkan. Refleksi untuk mencari jalan tengah pada sekian konflik yang mungkin tertunda ending baiknya.

Seni Menghapus Luka Pengasuhan

Seni Menghapus Luka Pengasuhan

Kemarin, aku membuat konten tentang pola asuh otoriter. Konten ini terinspirasi dari drakor The Good Bad Mother yang baru saja tamat kamis kemarin. Jujur, niatnya pengen jadi pembanding aja sih dengan konten tentang Ibu Permisif sebelumnya. Tapi makin kesini dan baca tulisan sendiri… kok agak mewek ya jadinya.. Huhu

Kenangan Pola Asuh Semi Otoriter

Sebelumnya, disclaimer dulu ya.. Tulisan kali ini bukan dibuat untuk mengupas dan menjelek-jelekkan pola asuh orang tuaku dahulu. Tapi, semata-mata dibuat untuk bisa saling berempati dan memaafkan. Aku sering banget bikin tulisan yang berbau curhat. Tapi kadang sedihnya itu, orang cuma baca sisi jeleknya tanpa mengupas tuntas inti dari tulisan aslinya. Dalam artian, gak membaca dengan hati. Hanya melihat sisi jelek, liatin heading yang biasanya gak mewakili..  opening dan closing yang sedikit.. Lantas mengadu ngadu kesana kemari,,, eh, ada yang begini? Ya ada. Kalau yang baca termasuk tipe begini. Mending closed tulisan ini. Dan no comment ya. Wkwk.. 

Uhuk, napa jadi baper gini ya aku.. Haha

Kembali ke cerita, dulu.. Jujur aku punya banyak kenangan baik dengan orang tuaku. Khususnya di masa kecil. Saat umurku masih berkisar hingga 6 tahun. Aku mengingat jelas bagaimana mama menyayangiku. Memeluk dan sering melakukan permainan ‘Ungga Ungga Apung’ setiap malam. Aku tau bahwa aku adalah anak yang dicintai dan sangat diharapkan kehadirannya. Anak perempuan yang dinantikan setelah kakak laki-lakiku. Mamaku saat itu, memiliki pola asuh yang permisif-demokratis. Menjadikanku Ratu namun tak semua inginku bisa tercapai. Tak masalah meski aku tumbuh sebagai perempuan yang mewarisi baju laki-laki kakakku. Aku bahagia. Sangat. Dan sampai sekarang aku masih mengingat rasa bahagia itu. Asal aku penurut, mama menyayangiku. Sesimple itu.

Tapi semua mulai berubah sejak aku beranjak sedikit lebih besar. Hingga kini aku masih mengingat begitu banyak aturan disiplin yang diterapkan mama padaku. Ketika kedisiplinan dilanggar, hukuman menanti. Entah kenapa saat itu, aku merasakan bahwa hukuman yang aku terima tak sekedar tentang hukuman mendidik. Namun sebuah pelampiasan. Keadaan berlanjut hingga aku punya adik kembar. Sebagai anak tengah, aku merasakan life crisis tingkat 1. Dimana aku harus mencontoh kakakku sebagai panutan disiplin. Disisi lain, aku juga kehilangan kasih sayang yang dulu sempat aku dapatkan ketika masih kecil. Kasih itu beralih sepenuhnya pada adik kembarku. Tiba saatnya mama mulai melakukan gerakan yang sedikit patriarkis dalam memberlakukan anak perempuan. Aku tau saat itu aku sudah besar dan tak boleh cengeng. Namun, rasanya benih-benih iri itu tumbuh begitu saja. Aku jadi kehilangan identitas diri. Bukan sebagai anak paling disayang. Bukan pula kakak yang bisa dibanggakan. Hanya anak tengah yang bingung harus berjalan ke arah mana ditengah identitas perempuan yang harus bisa ini dan itu. 

Apakah mama otoriter? Hingga sekarang aku menganggap pola asuh mama bukanlah otoriter seperti Ibu Kang Ho. Mama adalah sosok semi otoriter dimataku. Satu sisi, aku masih mengingat bagaimana sisi permisif dan demokratisnya mama saat aku masih kecil. Disisi lain, mama bisa mendadak berubah otoriter. Bahkan hingga aku dewasa, mama adalah tipe otoriter di mataku. Begitu banyak aturan, namun tanpa alasan jelas. Komunikasi satu arah dan ketika ingin mengemukakan pendapat, pendapat itu selalu dihakimi atas alasan simple. Hidup harus kuat, harus bisa survive.. Bla bla..

Kenangan demikian, membuatku sedikit baper ketika menonton drakor The Good Bad Mother. Mama mungkin tak mengatur cita-citaku layaknya Ibu Kang Ho. Namun mama mempengaruhi mindsetku dalam memilih cita-cita. Mama yang selalu menegaskan bahwa uang adalah segalanya. Aku yang dulu begitu respect dengan profesi guru, mulai berubah arah tujuan dalam bercita-cita. Tidak ada passion, tidak ada semangat dalam ilmu. Yang ada dalam pikiran hanyalah.. Apakah kelak aku bisa bekerja dan memperoleh banyak uang? Apakah kelak aku akan berada di strata sosial diatas saudaraku? 

Belajar Memahami Mindset Ibu Otoriter

Jujur, dalam 70% hidupku, rasanya semua diatur oleh Mama. Dari mindset, disiplin, hingga ya.. Jodoh.  Meski aku menikahi pacarku yang memang aku cintai. Tapi mama yang mengatur untuk cepat menikah. Sebuah langkah yang bertolak belakang dengan ‘meterialisme’ dan mengejar profesi. Aku sering bertanya, kenapa mama ingin aku cepat menikah? Bukannya mama pula yang sering berceramah padaku bahwa perempuan harus bekerja, mandiri finansial, bla bla.. Apakah menikah dini segera menjawab hal itu? Pikirku bingung. 

Mama hanya menjawabnya dengan jawaban simple. “Perempuan tuh harus cepat menikah. Beda dengan laki-laki.. Perempuan tuh nanti punya anak bla bla.. Nanti kalau gak nikah sekarang gak laku lagi.. Kapan lagi punya calon suami dosen… bla bla”

Sebuah saran yang bertolak belakang dengan Abah. Namun, di dalam rumah kami saat itu.. Pendapat mama lebih dominan. Abah justru berkata padaku, “Kamu tuh cantik. Gak nikah sekarang juga gakpapa.”

Trust me, jika abah berkata hal demikian di depan mama. Maka Abah akan mendapat ceramah besar tentang banyaknya anak perempuan yang tidak laku karena jual mahal bla bla.

Aku memilih lebih taat dengan mama karena alasan simple. I just wanna be a good girl again. Anak perempuan kecil yang dulu selalu dipuji karena melakukan hal kecil. Pikirku, dengan melakukan perintah mama maka mungkin aku akan menjadi anak yang disayangi lagi dan jauh dari aturan otoriter. 

Menikah-langsung memiliki anak-terpaksa berpindah pindah rumah dari rumah orang tua ke rumah mertua dll dsb.. Membuatku sadar bahwa menikah dan langsung menjadi Ibu adalah level terberat dalam hidupku. Ditambah ternyata, Sang Ibu Semi Otoriter mulai membawa-bawa harapan untuk menyuruhku bisa mandiri finansial. Itu adalah krisis besar dalam hubungan kami berdua. Aku sempat marah dengan mama. Dan atas perjalanan panjang marah-empati-marah-empati.. Akhirnya aku bisa paham dengan luka, keadaan dan psikologis mama.

Apakah empati itu instan? Tentu tydak. Bayangkan aku bahkan butuh waktu sekian tahun untuk paham dengan mama. Padahal kami adalah dua orang yang terikat secara biologis, cinta, ruang dan waktu.

Bagaimana agar tak mengulang pola semi otoriter yang sama?

Pada ending konten, aku gampang sekali menuliskan kata-kata ini.

Nyatanya, sungguh itu sangat sulit. Kadang kala disiplin dan hukuman itu terulang. Kadang kala aku merasa pola asuh dari mama adalah yang terbaik yang bisa kuulang kembali. 

Toh aku hidup dengan baik sekarang bukan? Bisa saja anakku di masa depan hidup dengan baik pula?

Tapi, kadang kala aku sering bertanya ulang. Dimana batas wajar otoriter itu?

Dan sekarang, lambat laun aku mulai paham dimana mencari batasnya. Intinya cuma 2 hal. Pertama tentang bagaimana kita bisa membuat hati kita untuk bisa memaafkan pola asuh yang dahulu. Kedua tentang bagaimana kita berusaha menyayangi diri sendiri.

Memaafkan adalah tentang membuang hati yang kotor, mengobati luka. Sedangkan menyayangi diri sendiri adalah sumber dari hati yang terus diisi air bersih. Hati itu yang bisa berbicara secara demokratis dengan anak. Hati yang bisa berkomunikasi dengan baik dan menahan amarah berlebih.

Tahukah bahwa diantara 2 inti solusi, ada cara lain untuk tak mengulangi pola otoriter yang sama. Cara itu adalah dengan menjadikan pasangan kita sebagai partner dalam pengasuhan. Aku selalu mengingat, saat Mama sedang dalam mode otoriter yang luar biasa.. Aku lari pada Abah. Abah selalu membelaku, mendukung apapun impian konyolku.

Milikilah pasangan yang bisa meredam amarahmu dan memeluk hangat anak-anakmu. Sungguh itu sangat menenangkan.

Apakah pola otoriter bisa hilang? Mungkin tak sepenuhnya hilang namun setidaknya berubah menjadi lebih baik. Karena.. Ya.. tidak ada ibu yang sempurna di dunia ini bukan?

Parenting Dimata Chat GPT

Parenting Dimata Chat GPT

Chat GPT, hal yang sudah jauh hari ramai diperbincangkan oleh teman-temanku. Kalangan blogger serta teman-teman yang bekerja di dunia digital mulai ramai membuat status di sosial media berceloteh tentang AI yang serba bisa ini. Beberapa diantara mereka berkata bahwa ini sedikit ‘waw’ dan sebagian yang lain berkata bahwa ini akan menggeser profesi blogger. Namun, tak banyak pula yang melihat bahwa chat GPT hanya sekedar alat untuk mempermudah. 

Aku sendiri sudah sekitar 3 bulan yang lalu mulai aktif menggunakan Chat GPT. Jujur, aku sama sekali tidak berminat menggunakan chat GPT untuk tulisan blog shezahome.com. Blog ini pure ditulis dengan ‘emosi’ dan sedikit pencerahan pada endingnya. Sifatnya adalah media healing dan pengingat diri. Aku menggunakan Chat GPT hanya untuk keperluan konten branding perusahaan. Aku juga menggunakan Chat GPT untuk bertanya hal-hal yang tidak aku tau.

Dan jujur, jawabannya lebih to the point dan rinci dibandingkan mencari artikel yang related di google. Untuk keperluan materi, Chat GPT sangat membantu. Tapi, bagaimana untuk urusan parenting?

Iseng, aku bertanya berbagai hal yang berbau parenting pada Chat GPT. Dan kalian tau bagaimana responku?

Tentang Menjadi Ibu yang Baik ala Chat GPT

Iseng, aku bertanya hal demikian pada Chat GPT.

Jawaban yang cukup panjang dan sungguh menurutku cukup lengkap. Tapi, cobalah baca berulang kali. Sound so familiar sih kata-katanya menurutku sendiri. Seperti baru saja menyimak seorang psikolog parenting yang membeberkan webinar tanpa pengalaman di dalamnya. Seperti menyimak tulisan blogger yang cuma membeberkan teori parenting di artikelnya. Seperti blog-blog parenting tanpa branding personal. Ibu beranak 2 sepertiku kadang hanya bisa melihat sambil sesekali menguap membaca hal demikian. Jujur, menyimak materi tanpa emosi di dalamnya maka materi tersebut seakan ‘tak related’

Beda halnya ketika aku membaca sebuah status tentang pengalaman seorang ibu, jatuh bangunnya untuk mewaraskan diri sendiri, hingga mungkin memiliki anak-anak yang juga menguji emosinya. Keluhan di awal namun mencoba stabil di tengah cerita. Lantas meski tau tak mudah, mencoba menulis solusi dan penenangan diri di akhir cerita. Rasanya beda. Seakan aku baru saja menemukan teman yang sama sepertiku. 

Itulah yang tak dimiliki Chat GPT. Emosi. Pengalaman. Chat GPT mungkin bisa mengemukakan cara menjadi ibu yang baik. Tapi ia tak punya pengalaman berkaitan tentang itu. Ia tak punya emosi yang membuat pembaca merasakan hal yang sama.

Chat GPT Bisa Menjadi Acuan dalam Masalah yang Solutif

Sebagai blogger, jujur aku sempat sekali menulis pengalaman-pengalaman baper di blog. Tapi seiring berjalan waktu, aku memutuskan menjadikan separuh diriku layaknya Chat GPT. Itulah kenapa Blog yang dulunya hanya ladang curhat, aku ganti Taglinenya dengan ‘Sok Bijak’. 

Namun demikian, Chat GPT menurutku cukup menarik. Ia mulai bisa membuat solusi pada emosi. Dari yang awalnya hanya teori, berkembang menjadi teori-solutif. Ini seakan membuatku sadar bahwa andai kita memiliki masalah mungkin Chat GPT bisa memberikan kerangka solusinya. Misalnya saja seperti pertanyaanku dibawah ini, “Bagaimana cara Ibu memberdayakan diri?”

Meski terkesan teoritis, namun kata-kata yang dituliskan oleh Chat GPT adalah to the point ke solusi. Dan jujur solusinya itu benar semua. Berbeda denganku dulu yang perlu berjuang untuk paham arti berdaya. Dari mulai mengutamakan me time, belajar, mencari komunitas sosial, curhat, akan tetapi semua jadi gamang dan tanpa tujuan saat aku tidak mendelegasikan tujuan dan rencana. Semua jadi tetap saja terasa stressnya karena aku tidak menjaga kesehatan fisik dan emosional lewat workout dan meditasi. Chat GPT menjawab masalah dengan solusi rinci meski tanpa emosi. Dan jawabannya mirip… dengan jawaban laki-laki.. Hahaha.

Dan aku sungguh merasa tersentuh sih soal jawaban Chat GPT pada point 7. Meski mungkin itu adalah teori yang ada pada database AI.. Namun, itu mengandung emosi. Jangan lupakan diri Anda sendiri, kata-kata itu bahkan perlu aku dapatkan setelah 7 tahun menjadi Ibu. Tapi lewat bertanya pada Chat GPT? Aku mendapatkan jawaban itu secara instan. Sungguh Instan.

Sisi Mengerikan Chat GPT: Dia Bahkan Bisa Bercerita

Seakan menggigit lidah, aku kembali menarik perkataanku bahwa Chat GPT tidak memiliki pengalaman. Iseng, aku bertanya, “Ceritakan pengalaman tentang proses menjadi ibu”

Dan jawabannya seakan menjadi ‘teman’ dan mencoba untuk ‘related’ dengan kita.

Meski ya memang sih.. Ceritanya seakan sok bijak banget. Tapi, kurasa bukan tak mungkin Chat GPT lebih berkembang lagi. Seperti mencoba menjawab pertanyaan dengan versi empati lebih tinggi atau bahkan membuat kita seorang Ibu merasakan keterikatan. Bukan tak mungkin seiring berjalan waktu AI menjadi partner baik dalam pengasuhan. Menjadi teman curhat dan pendengar yang baik. Bukankah itu yang sebagian manusia lain inginkan? Ketika seorang Ibu sedang sedih dan baper.. Jangan curhat, jangan ngeluh, jangan nulis kesana kemari. Curhatlah hanya pada Allah. Duh, sebuah kata-kata diatas level bijak sekali. Bahkan Allah saja menjadikan manusia sebagai makhluk sosial untuk bisa terkoneksi.

Coba renungkan sekali lagi, andai saja seorang Ibu yang terkena Mom Shaming justru curhat pada Chat GPT. Dan lagi-lagi.. Jawabannya pun solutif.

Saat membaca solusi dari Chat GPT aku bahkan mendapatkan kesimpulan bahwa AI saja menyuruh seorang ibu untuk memiliki teman bicara. Teman yang bisa dipercayai, keluarga yang baik yang bisa mendukung. Seorang AI saja tidak memberikan solusi seperti, “Jangan ini itu, curhat pada Allah saja”

Lantas kenapa kita sebagai manusia level bijaknya seakan sudah diatas sekali? Ada khayalan mengerikan yang terlintas begitu saja saat aku iseng memberikan beberapa pertanyaan demikian pada Chat GPT…

Bagaimana jika kelak, AI hadir bukan hanya tentang memberikan solusi.. Tapi menjadi teman. Masihkah manusia membutuhkan manusia yang lain?

Bagaimana jika kelak, manusia mulai lelah berhubungan dengan sesamanya dan mulai serba menggunakan AI dalam hidupnya. Masihkah layak disebut manusia?

Jujur, aku pribadi saja sudah ‘sedikit’ mengalaminya. Dulu, aku sering dibully tentang pekerjaan rumah yang tak becus. Rumah yang tak rapi, masakan yang tidak perfect, atau anak yang tidak dididik seperti pola mereka. Orang-orang demikian, membuatku trauma berhubungan dengan manusia terutama ibu-ibu yang berbeda generasi denganku. Seiring dengan meningkatnya ekonomi hidupku, aku lebih memilih membeli teknologi untuk mempermudah hidupku dibanding memiliki ART. Teknologi bisa membuat hidupku lebih baik. Mesin cuci, robot vacuum, setrika uap.. Jauh lebih membuatku waras dibanding memilih memiliki ART yang mana mungkin saja merupakan generasi diatasku. Alih-alih membantu orang dalam bekerja, aku lebih memilih memiliki teknologi. Bagaimana jika kelak, untuk teman curhat pun aku lebih memilih AI? Haha.

Meski terkesan ‘gimana’. Percayalah.. Inti dari tulisanku adalah.. Yuk, jadilah manusia yang bisa memanusiakan manusia lainnya. Jangan sampai teknologi AI malah memiliki empati yang lebih baik dibanding manusia. Aku tau, AI sebenarnya tak punya ‘rasa’. Aku tau, manusia tempatnya khilaf dan sering berbuat salah maupun melanturkan kata-kata menyakitkan. Namun, di era serba digital ini.. Jangan sampai dunia nyata dan relasi nyata pun tergantikan. 

Bagiku, yang namanya ilmu parenting tetaplah tentang petualangan menjadi orang tua yang baik. Tentang bagaimana menemukan teman untuk berbagi, dan menemukan diriku sendiri. Bagaimanapun juga, AI tak bisa mengambil alih cinta dari keluarga. AI tak bisa memahami karakter manusia disekitar kita. Empati itu ada pada diri manusia. AI hanya memanipulasinya dalam bentuk kata.

IBX598B146B8E64A