Cara sederhana menjauhkan paham Materialisme pada Anak

Cara sederhana menjauhkan paham Materialisme pada Anak

source: yuk belajar parenting

“Mama, mau beli Itu!!!!” Raung seorang anak kecil di mall sambil menarik tangan Mamanya.

“Tapi kan kamu sudah beli mainan, sudah main di time zone, dan sudah makan ice cream sayang?”

“Tapi aku belum punya yang ini Ma!!!” Raung sang anak sambil memegangi mainan di etalase.

***

Familiar dengan pemandangan diatas? Atau bahkan kita sendiri pernah mengalaminya? Pernahkah terbesit dipikiran anda bahwa anak anda sudah melewati masa tantrum namun kenapa masih sedemikian manja?

Ya, Bisa jadi paham materialisme mulai masuk kedalam pola pikir si kecil loh Bunda!

*tsah.. Penulis kok lebay amat gitu aja dibilang matre! Ini anak kecil loh, belum ngerti apa-apa tentang uang*

Ya, bilang saja begitu. Terus saja anggap mereka anak kecil yang tidak akan membawa inner child nya sebagai dampak psikologisnya di masa depan. Terus saja berpikir bahwa hal diatas adalah hal wajar dengan mengatasnamakan “Biasalah.. Anak kecil” 

Ya.. Terus saja begitu.

Dan jangan salahkan jika suatu saat ketika ia besar maka ia akan meminta hal besar yang tiada habisnya. Lalu saat itu terjadi maka hanya ada penyesalan dalam diri kita sebagai orang tua. Kenapa sedari kecil aku tak menyadari bahwa telah membiarkan paham materialismenya berkembang? 

Sebenarnya apa itu Materialisme?

Materialisme adalah pandangan hidup yang mencari dasar segala sesuatu yang termasuk kehidupan manusia di dalam alam kebendaan semata, ia berkembang dengan mengesampingkan segala sesuatu yang mengatasi alam. Sementara itu, orang-orang yang hidupnya berorientasi kepada materi disebut sebagai materialis. Jadi, paham materialisme bukan soal uang saja tapi segala bentuk pemenuhan keinginan dengan ‘materi’ disebut dengan materialisme. Orang materialisme akan sangat bahagia jika semua keinginannya dapat dipenuhi dengan materi-materi tersebut. *semoga bisa dipahami ya..

Jadi kenapa paham materialisme harus dicegah sejak kecil?

Nah, Taukah anda? Mental anak akan rusak akibat dari paham materialisme. Di negara inggris, dampak paham materialisme pada anak bahkan terus meningkat.

Sekitar 89% orang dewasa sepakat bahwa anak generasi sekarang jauh lebih materialistis dibanding sebelumnya. Pada jangka panjang efek dari paham materialisme dapat membuat anak-anak menjadi sangat individualis, serakah, serta tidak memiliki simpati dan empati saat dewasa nanti.

Siapa yang bertanggung jawab atas hal ini? Orang tuanya? Para pemasar produk komersial pada anak-anak? Televisi? Lingkungan anak? Sosial Media?

Tercatat keuntungan industri di Inggris dari segmen pasar anak-anak diestimasikan mencapai sebesar 30 miliar poundsterling.

Waw.. Bukan cuma segmen pasar cewek loh yang besar!

Ya, menjual ‘life style’ pada anak-anak telah mengakibatkan budaya kompetisi materialisme yang akhirnya membuat anak-anak menjadi sangat individualis ketika dewasa nanti. Jadi, Apakah kita akan membiarkannya?

Menurut pendapatku, paham materialisme pada anak adalah akar dari kehancuran generasi. Setuju?

Karena itu, JANGAN biarkan anak kita menjadi materialistis. Sebab, kita akan menjadi sangat repot untuk memenuhi semua keinginannya. Jika materialisme pada anak terus dibiarkan maka mental anak-anak akan menjadi rusak.

Ya.. Ya.. Kita memang sayang dengan anak. Tapi apakah harus menunjukkannya dengan bentuk materi? Apakah materi adalah segalanya?

Yuk, simak beberapa cara sederhana untuk menjauhkan paham materialisme pada anak:

1. Ajari anak untuk hidup Hemat dan Sederhana

Sejak kecil aku selalu teringat pada sebuah tulisan didinding kamar dan dinding kelas di Sekolah Dasar yang berbunyi,

“Rajin pangkal Pandai, Hemat pangkal Kaya” 

Ya, memang tulisan sederhana tapi cukup berpengaruh.

Waktu kecil aku dipandang sebagai “Anak Orang Kaya” di kampungku. Namun sampai sekarang pun aku tidak pernah merasa kaya. Jika aku menginginkan membeli sesuatu maka aku harus menabung. Kebiasaan ini menular dari orang tuaku dan berlaku sampai sekarang.

Dan aku harus berhasil menularkan kebiasaan ini kepada anakku. Bagaimana caranya?

Pertama aku memperkenalkannya pada nominal uang. Bagaimana wujud seribu, dua ribu dan lima ribu. Uang dua ribu rupiah adalah uang sakunya disekolah setiap hari. Dan dia boleh menghabiskannya atau menabungnya.

Nah, apakah dia menabungnya?

Tentu saja tidak.. 😂

Saat si kecil berada dilingkungan sekolah dimana ia dihadapkan pada pergaulan dengan teman-temannya dan para penjual diluar maka sebagai Ibu aku harus memahami kebutuhannya.

Ya, kebutuhan bahwa ia perlu diterima pada pergaulannya. Kebutuhan mata dan perutnya. Mana bisa aku memaksanya untuk menabung keseluruhan uangnya? Yang bisa aku lakukan hanya membuatnya memilih.

“Buat beli susu atau mainan?” tanyaku

“Mau beli susu tapi mau beli mainan juga” kata anakku

“Tapi kalau begitu uang Farisha enggak cukup”

Source: shutterstock

Dan drama berakhir. Ya, sesederhana itu. Caraku mengatur keuangan anakku adalah dengan membatasi uang sakunya. Karena anak seumur dia belum mengerti cara mengontrol uang yang benar. Dia bahkan tidak tau bahwa uang lima ribu itu harus ada kembaliannya jika ia hanya berbelanja dua ribu rupiah.

Jadi, poin pertama cara menghemat adalah “batasi uang sakunya”

Bagaimana cara membuatnya hidup sederhana dan bersyukur dengan kesederhanaan? Yuk, baca di point 4,5 dan 6.

2. Sejatinya anak adalah peniru, maka jangan jadi Ibu yang materialistis

Anak akan meniru perilaku ibunya. Maka bagaimana bisa kita mengajarkan pola hidup non konsumtif jika kita sendiri sangat konsumtif?

*okeh, abaikan curcolan lipstik saya sebelumnya ya.. Saya kan dapet dari endorse.. 😝 #sokbanget

Pernah melihat anak iri jika kita membeli barang di mall sementara ia tidak membeli apa-apa? Wajarkah? Ya, wajar! Anakku juga demikian.

Karena itu sebisa mungkin kita harus tampil hemat setidaknya dihadapan anak kita. Belilah barang yang sesuai kebutuhan saja, bukan keinginan. Dan yang terpenting, belajarlah untuk menjadi ibu yang produktif.

Ibu produktif? Kerja ya? 

Buat aku, yang dinamakan Ibu produktif itu ga harus kerja diluar. Apalagi untuk sekedar dipandang produktif oleh anak maka kita harus kerja diluar. Itu bukan solusi bijak buat aku. Hehe..

Yang harus kita lakukan untuk terlihat produktif dihadapannya adalah dengan menjadi Ibu ‘Homemade’. Ya, aktifitas produktif dirumah yang dapat dilihat sikecil yaitu memasak dan mengajarinya bermain kreatif.

Baca juga: Kata siapa media eksplorasi anak harus mahal? 

3. Ajari dia untuk belajar pola hidup produktif dengan kreatifitas 

Semua Ibu tentu setuju bahwa ‘membuat mainan’ jauh lebih baik dibanding ‘membeli mainan’. Mengapa demikian?

Karena dengan mengajaknya membuat mainan maka kita telah menghadirkan pola pikir produktif dalam otak anak kita. Sementara dengan membeli mainan maka berarti kita telah mengajarkannya untuk berpola pikir konsumtif. Pemikiran ini akan berdampak sekali ketika ia mengambil keputusan saat dewasa nanti.

Tentunya kita pasti lebih suka dengan anak produktif dong dibanding anak konsumtif?

Dengan membuat mainan sendiri anak akan belajar ‘tantangan’ dan berpikir lebih maju. Hal ini akan berdampak positif dimasa depannya. Ia akan senang ‘membuat’ sesuatu dibanding ‘membeli’ sesuatu. Ya, penemu-penemu hebat di zaman revolusi industri dulu tidak akan pernah bisa ‘menemukan’ jika mereka tidak kreatif.

Ada sensasi menyenangkan tersendiri ketika anak berhasil membuat mainannya sendiri. Hal itulah yang membuatnya merasa bangga lalu bahagia. Itulah point terpenting dari kreatifitas. Ia bahagia karena bisa mengolah sesuatu bukan sekedar memiliki karena sudah membelinya. 😊

4. Ajak dia untuk selalu menengok kebawah 

“Si ‘anu’ saja dibelikan mainan xxx sama mamanya Ma.. Masa aku enggak?”

Familiar dengan kata demikian? Anak suka sekali membandingkan dirinya dengan kondisi ekonomi anak seumurnya. Jika itu terjadi, maka ajarilah dia simpati dan empati.

Baca juga: Empati dan Simpati, Solusi jitu untuk mengakhiri tantrum anakku

Ya, jika anak mulai suka ‘menengok keatas’ maka suruhlah ia untuk lebih sering ‘menengok kebawah’. Perlihatkan kepada anak bahwa masih banyak anak-anak yang tidak seberuntung dirinya. Ajak dia untuk mensyukuri setiap detik kehidupannya. Dan yang terpenting ubah ‘tujuan hidupnya’.

Apa tujuan hidupnya?

Yaitu menolong mereka yang berada dibawah, bukan bersaing dengan mereka yang berada diatas. 😊

5. Ajak dia berteman dengan golongan menengah kebawah 

Oke, point keempat tidak akan terealisasi dengan baik jika point ini diabaikan. Setuju?

Ya, bagaimana bisa anak akan benar-benar merasa simpati dan empati saat teman-teman sekelilingnya hanyalah teman-teman berekonomi menengah keatas yang memiliki hoby pamer dan merendahkan yang lain. Sedikit-banyak, anak kita pasti akan tertular.

Karena itu, ajak dia untuk tidak pemilih dalam berteman. Jika dia berteman dengan golongan yang itu-itu saja, ada baiknya kita membuatnya membaur dengan golongan menengah kebawah. Hal ini agar rasa empatinya dapat berkembang.

source: kid world citizen

6. Ajari anak pola konsumtif yang benar

Pola konsumtif tidak sepenuhnya salah. Asal, konsumtif pada hal yang benar. Apa itu? Sedekah?

Bagaimana mengajarkan si kecil sedekah? Apa harus secara langsung memberi uang kepada yang tidak mampu?

Hmm.. Tidak, Bagiku itu tidak terlalu bijak.

Cara mengajarkan si kecil sedekah itu simple. Yaitu, dengan berbelanja. 😅

Ya, aku sering mengajak anakku kepasar tradisional, ketoko buku, ketoko bahan kue. Dia suka sekali mengikutiku berbelanja untuk mencari bahan memasak. Aku pun mengajarkan rule dasar saat berbelanja.

Pertama, jangan menawar. Apalagi kepada penjual sayur. *kalo ikan boleh lah dikit-dikit.. 😝 (emak ngirit mode on)

Kedua, jangan berbelanja mainan di mall. Belanja mainan hanya di pasar tradisional dan depan sekolah.

Ketiga, jangan berprasangka buruk dengan penjual makanan. Niatkan kita membeli untuk menolong. *anak laper saat diajak jalan? Takut makanan yang dijual orang ga higienis? Singkirkan prasangka! 😉

Keempat, boleh banget belanja Buku. Apalagi di cuci gudang. Hehe😆 *kalo di mall sih tetep yaaa.. Ogah si emak.. Trus dibisikin “kita beli online aja ya nak” 😬

Kelima, pamerlah saat si emak sedang sedekah. *ada kotak amal nganggur? Perlihatkan kepada anak bahwa si emak masukin uang! Pamer sama anak itu boleh banget!

7. Sesulit apapun, jangan keluhkan kondisi keuangan dihadapannya 

Sedang berada di titik bawah keuangan rumah tangga?

Sebisa mungkin jangan pernah mengeluh dihadapan sikecil.. Kenapa?

Karena ia tidak mengerti apa-apa tentang uang. Ia masih dalam tahap mencari passion yang sesuai untuknya. Maka apa jadinya jika saat passionnya belum matang ia malah berpikir untuk mencari uang?

Ya, passionnya terbengkalai. Maka jangan salahkan jika ada beberapa anak kecil yang dulu bercita-cita jadi Guru, jadi Ilmuwan, dan lain-lain tapi ketika besar cita-citanya berubah jadi pegawai bank, menteri keuangan, pencetak uang. Nah, ga banget kan?

Saat cita-citanya berubah dengan tujuan hanya untuk ‘mencari banyak uang’ saat itulah kita sadar telah mendukung paham materialisme dalam dirinya.

Ingat bu! Uang bukan tujuan hidup!

8. Jangan memberikan reward berupa uang atau benda mahal yang bernilai prestise 

“Ayo sholat, kalo sholat Mama beriin dua ribu”

“Yeeey.. Oke Mama!”

Sound Familiar? Atau jangan-jangan itu masa kecil kita dulu. 😅

Oke, jangan diulangi ya!

Kenapa? Karena reward berupa uang itu receh banget buat kebahagiaannya. Dia berhak mendapatkan hal lebih dibanding dua ribu rupiah. *bukaan.. Bukan jadi dua puluh ribu juga bu… 😑

Kenapa tidak boleh membiasakan memberi anak uang sebagai reward?

Karena ia akan terbiasa nantinya. Ia akan menilai segala jasa baiknya dengan uang ketika besar nanti. Ketika disuruh membantu mencuci piring, memasak, menjemur pakaian maka ia akan meminta imbalan berupa uang atau materi lainnya. Mau begini bu? Ga banget kaan?

Maka, sedari kecil biasakan anak untuk membantu kita dengan ikhlas. Kenapa harus ikhlas? Karena ia sayang dengan kita.. 😊

Semoga cara-cara sederhana diatas dapat membantu ya..

Happy Parenting.. 😊

Komentar disini yuk
13 Shares

Komentari dong sista

Your email address will not be published.

IBX598B146B8E64A