Browsed by
Month: December 2020

Jadi, 2020 Ngapain Aja?

Jadi, 2020 Ngapain Aja?

Kalau ditanya sepanjang perjalanan ngeblog kayaknya tahun 2020 adalah tahun terpasif aku dalam ngeblog. 

I mean, see.. Dalam satu bulan bahkan ada saja yang cuma nulis 1-2 tulisan. Bulan desember bahkan hampir zonk. Bukan, ini bukan semata-mata karena pandemi. Ada hal lain disamping itu yang butuh perhatian lagi. 

Kadang bertanya lagi pada diri sendiri, kok gini amat ya? Pemalas kah diriku? Tapi, saat aku melihat seisi rumahku.. Suami dan 2 anakku sendiri hingga kantor kecil kami. Aku tersenyum dan berkata. Its okay. Mereka mungkin tidak melihat perkembanganmu dari blog. Tapi sebenarnya, aku berkembang dengan cara yang lain di tahun ini. 

Couse this year.. 2020 is so special. 

Guilty Feeling di Tahun 2020

Entah kenapa aku sering merasa bersalah dengan tahun ini. Sering sekali. Dan maaf aku menuliskannya disini. Bukan apa-apa. Ini semata-mata untuk mengingatkan kepada diriku sendiri. Bahwa, “Win, kamu jangan begini lagi ya. Setidaknya berubahlah sedikit.. “

Tahun ini aku membuat amat banyak kesalahan. Dari mulai parno berlebihan kepada si virus, ngomel-ngomel nyampah dan khilaf sendiri, lalu kemudian terjatuh hingga menyebabkan jahitan di bibir hingga gigi seri yang patah dibagian ujung. Dan terakhir, gigi Humaira mengikuti nasib yang sama. Bahkan hampir nyaris ompong sekarang. 

Semuanya terjadi karena 2 sifatku yang tidak bisa move on. Sifat jelek pertama adalah panik, sedang yang kedua adalah takut dan meledak-ledak. Dua sifat ini berkembang hampir dua kali lipat sejak pandemi menyerang. Aku jadi sulit untuk multitasking seperti pada hari-hari normal. Akibatnya sungguh banyak hal yang terbengkalai. Untukku sendiri aku masih bisa memaafkannya. Tapi ketika sifat jelek itu sudah berimbas ke anakku. Entah kenapa sulit sekali menghilangkan rasa bersalah itu. 

Perkembangan Positif di tahun 2020

Ditengah musibah kecil namun menyisakan perasaan bersalah yang besar itu, jujur aku dan keluarga sangat bersyukur di tahun 2020 ini ternyata kami bisa sedemikian survive. Bahkan lebih. 

Aku sempat memenangkan beberapa lomba blog. Beberapa job dan hadiah dari lomba blog bisa untuk membeli HP dan sepeda sendiri. Mungkin ini receh buat kalian. Tapi buatku ini luar biasa. 

Dan hal yang membuatku sangat bersyukur lagi adalah perkembangan bisnis keluarga kami. Dari yang awalnya hanya berupa CV kecil, namun kini sudah bisa mempekerjakan 4 pegawai tetap dan berkembang menjadi sebuah PT. Ditengah pandemi, kami bersyukur bisa membantu ‘anak-anak berbakat’ yang telah kehilangan pekerjaannya. 

Aku pun memiliki status baru selain menjadi blogger, yaitu belajar menjadi CEO. Itulah kenapa kemarin aku bersemangat sekali menulis review drama start up kemarin. Setidaknya aku merasa terwakili dengan keadaan Dal Mi. Tapi sungguh duhai Dal Mi.. Menjadi CEO dengan status emak-emak itu melelahkan. Aku bahkan masih sering bertanya-tanya. Apa aku ini hanyalah emak-emak yang bersembunyi dalam status CEO atau sebaliknya. 🤧 

Sungguh untuk kembali menulis dan menjadi blogger normal adalah Peer untukku. Karena yah.. Seseorang pernah berkata padaku, “Untuk bisa mencapai tujuan dalam mimpimu, kadang kamu harus menurunkan standar mimpi yang lain.”

Efeknya, shezahome.com sedikit berdebu. Sangat disayangkan. Tapi entah kenapa, aku ingin memulai sesuatu yang baru. Bukan tentang shezahome dan rutinitas emak-emak saja. Aku ingin aktivitas baru. Yang lebih membuatku bersemangat. 

Welcome 2021

Dan tahun 2021 pun tiba. Malam ini, petasan bersahut-sahutan di telingaku. Menggerakkan jempolku untuk merunut ceklis. Namun, aku masih tidak tau apa tepatnya hal yang harus kutulis. Lamunanku jatuh pada berita yang tak sengaja muncul di beranda sosial mediaku. Mutasi virus jenis baru katanya. Dan sungguh aku semakin stuck jika memikirkan kapan ini akan berakhir, kapan anakku bisa berteman dengan normal, kapan hidupku bisa kembali kurengkuh, dan kapan inspirasi seperti dulu tak sungkan untuk berteman dengan jari-jariku.

Aku masuk ke dalam kantor kecil di rumahku. Berdiskusi hangat dengan suami. Merangkai mimpi-mimpi baru kami. Bukan untuk sekedar mengumpulkan hal receh yang dulu sering kami tengkarkan. Kami melihat ke kursi-kursi itu. Ada beban disana. 

“Dulu, kupikir pekerjaan paling gampang di dunia itu adalah menjadi bos. Ternyata, itu adalah pekerjaan paling susah di dunia. Rejeki orang lain bergantung pada kita. Semangat orang lain bergantung pada kita. Ketika kita terjatuh maka mereka ikut terjatuh pula.”

Mimpi itu pun perlahan kami ulas. Kami sudah tidak peduli dengan pandemi. I mean, apa yang bisa kami pedulikan saat ini? Memupuk rasa takut? Atau mulai move on dan memajukan ekonomi sekitar kami agar kami waras dan sehat bersama? 

Kami memilih yang terakhir. Untuk berpikir luas dengan cara kami. Bahwa ini bukan sekedar mimpi kami saja. Ini adalah mimpi semuanya. Mimpi orang terdekat kami, hingga mimpi sebuah obsesi yang dulu sering kami sundul mundur keinginannya untuk eksis. Obsesi itu dulu sangatlah mustahil, tapi tahun 2020 membuka semuanya. Dan 2021 adalah tahun awal perjalanannya. 

2020, 2021. Aku bukan lagi seorang blogger yang bersemangat menulis apa saja. Writing is not a healing anymore.

Aku mencoba move on dengan cara yang lain. Itulah langkah abstrack-ku di awal 2021.

Drama Start Up dan Warna-Warni Perasaan di Dalamnya

Drama Start Up dan Warna-Warni Perasaan di Dalamnya

Minggu 6 Desember sudah berlalu.. Minggu yang benar-benar spesial karenaaaaa… 

Episode Terakhir Start Up udah kelarrr… 

Jadi, siapa pemenangnya? 

Kamu Tim #NamDosan atau #HanJiPyong? 

Begitu kan yang sedang trend akhir-akhir ini di dunia perdrakoran? Sampai ada war-nya segala.. 🤣

Well, gak salah sih ya kelakuan Writer Nim emang juara banget dalam ngaduk-ngaduk perasaan netizen. Sudahlah diaduk, ditambahin micin sama gula pula. Padahal sudah emak bilang loh, micin ya micin.. Gula ya gula. Jangan barengan. Nanti terlalu sedap! 

*ini ngomong apaan sih? 

Pokoknya, nonton ini itu perasaan nano-nano. Manis, asem, asin, kegeeran. Ya begitulah kalau yang nonton sok-sokan reframing jadi Seo Dal Mi segala. Wkwk.. Bener-bener deh nih pandemi, bikin emak keracunan nonton drakor aja dari kemarin.

Nah, berikut ini adalah Warna-Warni perasaan emak ketika menonton drama Start Up:

Mengalami 2nd Lead Syndrome

Jujur ya, emak tuh sudah sering nonton drakor. Tapi, baru kali ini yang bener-bener terpana dengan 2nd lead. Bahkan selalu protes saat netizen bilang kalau Ji Pyong adalah 2nd lead. Karena bagi emak sih ya kok gak pantas gitu. Peran karakternya lumayan dominan loh. Dan yang utama adalah dia yang membangun drama ini jadi up n down. 

Dari pertemuannya dengan si nenek, surat dengan Dal Mi, caranya membangun dan memotivasi Samsan Tech dari belakang. Wow, super sekali sih. Sudah pantas banget jadi 1st lead gitu. 

Tapi kenyataannya, menurutku writer nim agak kebablasan dalam memasukkan karakter Ji Pyong ini. Terlalu dominan ngebaperinnya jika dibandingkan dengan Nam Do San. Padahal, kelihatan sekali kalau Nam Do San lah sebenarnya 1st leadnya. Biasanya loh namanya karakter 2nd lead gak sebaper ini. 

Sejak awal aku jujur saja sudah simpatisan berat sama karakter Han Ji Pyong. Caranya berekspresi itu menggemaskan. Aura denialnya saat menolak menjadi anak baik itu menggemuruhkan dada (halahh). Apalagi kalau melihatnya mendadak jadi pahlawan, luluh seketika. Gak heran, tim Han Ji Pyong ini banyak banget. 

Tapi, apakah aku juga Tim Han Ji Pyong seperti ‘mereka’? Jujur, enggak segitunya sih. Hihi. 

Story di instagram ini aku buat tanggal 22 November. Aku #TimJiPyong tapi aku mendukungnya untuk selalu menjadi anak baik. Bukan mendukungnya untuk memenangkan hati Dal Mi. Karena aku benar-benar terinspirasi dengan karakternya. Suka sekali. Menurutku ya, karakter Ji Pyong ini adalah karakter terbaik yang pernah Writer Nim ciptakan. 

Meski jujur, aku sempat kecewa dengan perubahan mendadak karakternya di episode 13 dan 14. Seakan sedikit dipaksakan. Sempat malas sekali nonton episode terakhirnya. Karena takut karakternya diubah demi kemenangan Do San. Tapi ternyata, endingnya mengagumkan. Salut dengan penulisnya. 

Merasa Senasib dan Satu Sifat dengan Do San

Aku mendukung Do San mendapatkan Dal Mi. Tapi, karakternya masih tidak bisa mengalahkan ke-baperanku pada karakter Ji Pyong. Maka, aku bukan tim Do San. 

Aku mendukungnya untuk mendukung diriku sendiri. Karena aku merasa mirip dengannya. *Tapi katanya bukan tim Do San. GIMANA SIH? 

Well, Aku tumbuh di lingkungan keluarga yang sangat mirip dengan Do San. Walau jujur aku tidak sepintar Do San. Scene yang membuatku merasa sangat mirip dengannya adalah tentang meraba-raba tujuan hidupku. Aku sungguh sangat baper ketika menonton scene dimana Do San hidup untuk membahagiakan dan membanggakan orang tuanya. Sungguh sama.. 😭

Aku juga sangat baper ketika melihat Do San bingung meraba mimpinya ketika ditanya, “Apa cita-citamu?”

Aku juga merasakan hal yang sama ketika orang tuanya berbisik tentang cita-cita seharusnya. Aku merasakan kebingungan dihati Do San. 

Pokoknya, Karakter Do San sangat mewakili generasi Milenial sepertiku. Sangat. Up and Down Do San dalam Quarter life crisis itu sangat related dengan kehidupan remaja seumurannya dan juga seumuranku dahulu.

I’m so happy ketika Do San sudah paham dengan mimpinya sendiri. Yes, Just Follow Your Dream!

Kadang juga Merasa Mirip Dengan Dal Mi

Apaan sih? Tadi merasa mirip Do San. Sekarang Sok kegeeran mirip Dal Mi? Mirip dimana? Nasibnya? Direbutin dua cowok super legit juga? 

Enggak lah.. Mirip mukanya maksudku.. (Auto ditoyor berjamaah para fans Suzy..🤣) 

Becanda denk. 

Jadi, aku tuh merasa sangat terinspirasi dengan sosok Dal Mi ini. Ada dibeberapa scene hidupnya yang mewakili perasaanku banget dimana aku ngerasa. “Ih iya. Aku juga pernah gini..”

Masalah-masalah yang ada dalam perjuangan hidup Dal Mi ini sebenarnya sangat mirip dengan kehidupan kita, bukan kehidupanku saja loh. Tau gak miripnya dimana? 

Yaitu, kalau kita sudah memutuskan memilih. Maka itu berarti kita sudah siap dengan risikonya. Dan harus menghadapinya. TANPA PENYESALAN. *eh, apa lu capslock main dimari.. 

Ketika Dal Mi memilih ikut dengan Ayahnya maka ia juga harus menanggung risiko dengan beratnya beban hidup. Begitupun ketika ia memutuskan menandatangani kontrak akuisisi bakat dengan Alex tanpa teliti, maka ia harus terlepas dengan Samsan Tech. 

Aku pernah merasakan hal yang sama dengan Dal Mi. Ketika ia berkata, “Nenek, apakah aku bunga kenikir yang terlambat?” *kalau tidak salah begitu ya? 

So related dengan hidupku sekarang walau beda latar ceritanya. 

Tapi, begitulah hidup. Hidup penuh kejutan bahagia. Juga kejutan rasa sedih. 

Dari Dal Mi aku belajar untuk tidak pernah menyesali keputusanku. Juga tidak pernah menyesali kecerobohanku. Keputusan benar maupun salah memiliki risikonya masing-masing. Kuncinya ada pada diri kita, mau terus berjalan atau stuck? 

Dari Dal Mi aku ikut termotivasi untuk bisa ‘naik kembali’ dan menemukan tempat yang tepat untukku.

Paham dengan Berbagai Selak Seluk Bisnis

Drama start up ini sungguh banyak mengajariku insight baru tentang bisnis. Aku akhirnya paham dengan maksud suami untuk ‘membangun ekosistem’ pada bisnis kami. Well, sungguh aku banyak belajar dari sini. 

Yup sebagai pebisnis pemula sungguh niat awalku nonton start up adalah kegugupan diri sendiri karena bulan ini aku sudah memiliki npwp untuk ikut serta berperan dalam bisnis suami. Walau jujur, suami mungkin hanya butuh namaku untuk jadi CEO perusahaan kecil kami tapi dalam sudut hatiku.. Aku ingin menjadi CEO yang layak. Bukan sekedar nama saja. 🙂

Maka, boleh dong aku juga memposisikan diri sebagai Dal Mi dan menganggap suamiku adalah Do San. Huahaha. Dan lucunya, di kantor kami juga punya Yo San dan Chul San sama seperti Samsan Tech. Sungguh aku bersemangat sekali mengkhayal bisnis kami akan sukses layaknya Chong Myong Company. *eh, kok jadi curhat gini? 

Oke, back to ekosistem bisnis. Aku akhirnya jadi paham dengan model profitnya PayPal dan Flip. Berbekal dengan nonton start up aku mengerti pentingnya sebuah tim yang solid, tata cara pembagian saham hingga membangun bisnis agar berkembang. 

Well, ternyata tim yang solid itu bukan hanya diisi oleh orang yang satu passion loh. Ini benar adanya. Selama 3 tahun suamiku memiliki posisi sama dengan Do San dalam bisnisnya. Ia memiliki teman yang satu passion, akan tetapi rasanya hanya berputar disitu-situ saja. 

Drama start up benar-benar mengispirasi dalam menjalankan bisnis. Tapi jujur kami belum bisa meniru itu semua. Suami bilang, lebih baik mengumpulkan laba untuk menjadikannya modal usaha. Rasanya kami tidak bisa menghubungkan investor untuk bisnis kami. Karena kami belum punya relasi yang trust soal ini. Hmm.. Anggap lah posisi kami sekarang layaknya Itaewon Class dimasa awal. Kurasa aku harus banyak menonton drama seperti ini untuk dijadikan inspirasi.

Merasa Nostalgia Melihat Kelakuan Sa-Ha dan Chul San

Jika bertanya bagaimana cerita kehidupan cintaku dengan suami dahulu maka mungkin bisa dikatakan mirip dengan kekonyolan cinta  Sa-Ha dan Chul San. Walau jujur sih karakter suami tegas, gak seperti Chul San juga. Tapi untuk beberapa scene, 60% bisa dikatakan mirip. Huahaha. Karena itulah aku selalu senyum-senyum gemas kalau sudah melihat kelakuan mereka berdua. 

Wah, kaget ya. Nulisnya norak gini tapi aslinya jaim kayak Sa-Ha? Percayalah, aslinya dulu ‘topeng’ aku begitu. Karakter topengku waktu kuliah mirip dengan Sa-Ha ini, suamipun mengiyakan. Judes dan jaimnya sangat mirip padahal itu hanya topeng. ((Aslinya, ya begini.. 🤣)) 

Apalagi kalau ingat dulu aku dan suami juga diam-diam pacaran. Tidak ada yang tau. Saat adegan Yong San ingin memecahkan script dengan Sa-Ha, I can related it dengan adegan suami yang tiba-tiba menyuruh teman diskusiku untuk maju ke depan kelas. Sementara aku bengong dibuatnya. Ah sungguh kangen masa-masa itu. 

Bercita-cita ingin Menjadi Halmoni di Hari Tua

Diantara Ji Pyong, Do San, Dal Mi hingga In Jae.. Siapa sih karakter favoritku? 

Jawabanku adalah Nenek Dal Mi. Sungguh sosok yang luar biasa luas hatinya. 

Melihatnya aku jadi teringat mertuaku. I mean, dalam banyak sisi mirip loh sebenarnya. 

Beliau yang masih setia bersama Ayah Dal Mi ketika down, lalu membesarkan Dal Mi seorang diri ketika Ayahnya Dal Mi meninggal, tidak hanya itu.. Beliau juga membesarkan Ji Pyong ditengah keterbatasan ekonominya. Merangkul Ji Pyong hingga selalu memanggilnya ‘Anak Baik’. Membelikannya sepatu, memeluknya. Hiks. Kok baper pen nangis dulu bentar. 

Tidak hanya itu, beliau masih menerima mantan menantunya yang telah membuang anaknya sendiri. Luas sekali hatinya. 

Mirip sekali dengan mama mertua yang membesarkan anak yang ditelantarkan ibunya dari kecil hingga sudah kuliah kemudian membesarkan 2 anak yang lahir bukan dari rahimnya melainkan dari istri kedua suaminya. Jika dihitung, maka sebenarnya Mertua sudah membesarkan 9 anak ditengah keterbatasan ekonomi keluarganya. Luar biasa. Tidak hanya itu, masih saja mau direpotkan dengan membesarkan 4 cucunya. Emejing bukan? 

Saking emejingnya dulu aku sampai meniru kebiasaan mertua dalam mengatur ekonomi. Tapi aku tidak sanggup.. 

Akupun bercita-cita ingin menjadi seperti Nenek Dal Mi suatu saat nanti. Walau pemikiranku masih sesempit ini, kadang masih labil dan bla bla. Bahkan mungkin hampir mustahil bisa seperti itu. Tapi aku ingin bisa sebaik itu suatu hari. Entahlah bagaimana caranya

Belajar Rasa Ikhlas Dari Ji Pyong

Sejak episode 4 aku sudah sangat yakin bahwa Ji Pyong pasti tidak akan mendapatkan Dal Mi. Ji Pyong menolak perasaan cintanya, sementara Do San langsung mengakuinya. 

So related dengan kisah cinta emak zaman SMA yang kandas. Makanya emak sangat yakin pasti gak bakal bersama Dal Mi. Biar berasa senasib dan bisa berpelukan. Huahaha 

Selain itu tokoh utama dalam drama Start Up ini mengusung tokoh andalan yang sifatnya from zero to hero. Tentunya Do San yang lebih cocok untuk itu bukan Ji Pyong. Karena Ji Pyong sudah dalam keadaan sukses menjadi investor ketika bertemu dengan Dal Mi. 

Banyak yang menganalogikan Do San dan Ji Pyong bagaikan tokoh Naruto dan Sasuke. Dan berharap Sasuke (Ji Pyong) akan bersama Sakura (Dal Mi) di endingnya nanti. Akupun jujur juga pernah berharap demikian meski tidak ekstrem sekali. 

Saat episode 12, aku sudah yakin seyakin yakinnya bahwa Ji Pyong gak akan mendapatkan Dal Mi. Meski begitu, aku tetap melanjutkan menonton drama ini untuk semata-mata melihat Ji Pyong sampai akhir. Apakah dia akan bahagia? Apakah dia bisa ikhlas? Itulah yang aku pikirkan. 

Karena seperti kata-kataku diawal tadi, aku adalah #TimJiPyong tapi aku mendukungnya untuk selalu menjadi anak baik. Bukan memenangkan hati Dal Mi. 

Dan ternyata endingnya sesuai dengan harapanku. Ji Pyong sukses mencuri hatiku untuk menjadi anak yang benar-benar baik. Ditengah kesedihannya karena tidak bisa mendapatkan hati Dal Mi. Ditengah kesepiannya itu ia melepaskan semuanya dengan menjadi Investor yang sesungguhnya. 

Surat 15 tahun yang lalu, usaha menunggu hati Dal Mi yang terbuka untuknya, berakhir dengan ‘oh gitu ya’

Tapi Ji Pyong melepaskan semuanya dengan bertemu dengan Yeong sil versi asli dan menjadi ‘Sand Box’ yang sebenarnya. 

Tanpa Ji Pyong, drama ini tidak berarti. Banyak belajar dari Ji Pyong tentang hati yang dimulai dengan keras bisa menjadi selunak dan sebaik itu. 

Mungkin karena si nenek selalu menyebutnya ‘Anak Baik’. Karena setiap ucapan itu adalah doa. Bukankah begitu?

Belajar Pentingnya Kesetiaan dari Pasangan

Drama start up ini dimulai dari cerita tentang Ayah Dal Mi yang memutuskan untuk berhenti bekerja di perusahaan dan memulai merajut impiannya. Akan tetapi, keadaan finansial tidak mendukungnya. Ia memiliki keluarga yang perutnya harus diisi. Karena itulah, istrinya langsung mengancam untuk menceraikan Ayah Dal Mi jika berhenti bekerja. I know that feeling. Saat semua orang mengutuki kelakuan Ibu Dal Mi tapi entah kenapa aku bisa paham posisinya. Sungguh jadi Ibu itu posisinya serba salah ya. Coba deh saat kejadian ini bisa ada keajaiban layaknya film go back couple juga. Eh, tapi kan gak mungkin.

Seseorang pernah bilang padaku.. 

“Ujian seorang istri adalah ketika suami dalam keadaan terpuruk, sementara ujian seorang suami adalah ketika ia sudah menemui kesuksesan.”

Unknown

Maka sesungguhnya, seterpuruk apapun kondisinya.. Tugas istri adalah mendukung suami dalam menggapai impiannya. Ini menjadi catatan untukku dikemudian hari juga. Bahwa apapun cita-cita suami, aku harus terus berada disampingnya untuk mendukungnya. 

***

Well, itu dia perasaan-perasaan nano-nano yang sudah aku tuangkan setelah menonton drama start up. Sedikit banyak curhat didalamnya tapi aku senang menulisnya. Karena drama ini sunguh banyak memberikan pembelajaran dan insight baru untuk kehidupanku. 

Kalau kalian bagaimana? Sudah nonton drama hits ini juga? Curcol denganku yuk! 

Ketika Passion Menantu dan Mertua Berbeda, Haruskah ada Perselisihan?

Ketika Passion Menantu dan Mertua Berbeda, Haruskah ada Perselisihan?

“Gak boleh anak perempuan itu begitu. Nanti kalo tinggal di tempat mertua malu loh..”

“Jadi anak cewek tuh harus bisa masak, malu kalo tinggal sama mertua nanti.”

“Ish, masakan rasanya kek gini. Malu ah kalo diicip mertua.. “

***

Mertua, mertua, mertua. 

Belum juga menikah, cerita horor tentang mertua sudah sering menjadi kambing hitam kala sang single tidak becus melakukan pekerjaan. Kenapa sih ya orang suka sekali menceritakan karakter horor tentang mertua. Seolah-olah kita harus menjadi ‘seperti ini’ kalau tinggal dengan mertua. Padahal nih ya.. Kan gak semua mertua itu jahat? Ya kan! 

Selama 8 tahun berumah tangga. Sedikit banyak aku mengerti sekali kenapa hubungan mertua-menantu perempuan itu kadang sedikit rentan dengan gesekan. Kalian tau gesekan apa yang sering terjadi? 

Kalau aku amati sih. Ini bukan karena gesekan mertua horor dsb kek cerita zaman old dulu. Tapi, gesekan yang sering terjadi adalah tentang perbedaan passion dan gaya hidup karena adanya perbedaan generasi. Kalau mertua sih coba deh dicari sisi baiknya, pasti adakok. Ehm bener gak? 

Mendekati Hati Mertua, Bagaimana Caranya? 

“Mertuaku ini suka begini loh. Kalo gak bisa masak sering disindir-sindir gak bisa menghemat duit suami bla bla”

Tentunya gak sedikit dong ya yang mengalami hal demikian. Kadang karena perbedaan generasi, mertua dan menantu perempuan sering berselisih atau menyembunyikan perasaan tidak nyaman. Akibatnya, jadi malas sekali bertemu mertua. Bukan hanya itu, kalau pun bertemu rasanya takut sekali kalau salah ngomong dsb. 

Well, sambil menulis ini.. aku jadi teringat dengan film The Croods. Ada yang tau? Film ini fun banget dan rekomen buat ditonton. Latarnya di zaman prasejarah tentang sebuah keluarga croods yang tinggal di dalam gua lalu kemudian bertemu dengan Guy si manusia modern. 

Sisi menarik yang aku pelajari dalam film ini adalah cara Guy menarik perhatian Grug atau Ayah dari Epp. Well, iya.. Ini memang antara menantu laki-laki dan calon mertua laki-laki. Tapi, sungguh cara ini juga tentu berlaku untuk menantu perempuan dan mertuanya. 

Guy (si manusia modern) punya cara yang jauh berbeda untuk dapat survive dalam hidup. Dan hal ini sering mendapat penolakan dari Grug. Hal ini sangat sama jika dibandingkan dengan kita (sang menantu yang hidup di generasi milenial) dan mertua (yang hidup di generasi baby boomers). Pada akhirnya, walau Grug sering menolak cara-cara Guy.. Akan tetapi pada akhirnya Grug luluh juga. Apalagi ketika melihat anak perempuannya Epp yang bisa menengahi keduanya. 

Dari Guy, aku belajar banyak cara untuk mendekati hati mertua. Pertama, adalah dengan selalu mengikuti pola pikirnya. Kedua, adalah dengan mencoba memasuki kesamaan kebiasaan positif dalam generasinya lalu perlahan membantu dengan cara sendiri. Dan ketiga adalah dengan menghormatinya. Yah, setidaknya berpura-puralah kalau cara mertua adalah yang paling benar walaupun itu kuno dan tidak modern. 

Rumusnya adalah.. Hargai dulu. Karena setiap orang tua butuh hal itu. 

Haruskah Menyamakan Gaya Hidup dengan Mertua? 

Apakah aku sudah pernah bercerita bahwa aku pernah tinggal di rumah mertua selama 1 tahun? Oh sudah ya. Aku pernah menulis sedikit tulisan baper dahulu tentang mertua. Haha. No.. Aku tidak mau menghapusnya. Bisa menjadi pembelajaran buatku untuk move on walau ceritanya begitu amat. Hihi. 

Mertuaku hidup dalam generasi baby boomers dan sangat menjunjung tinggi caranya sendiri untuk hidup. Beliau termasuk pribadi yang keras dan tidak mau mengikuti perkembangan teknologi. Dan beliau bangga akan hal itu. 

Sewaktu tinggal dengan mertua, di hari pertama aku kaget sekali ketika beliau masih menggunakan kayu bakar untuk merebus air. Ya ampun, asapnya kemana-mana. Aku yang sejak kecil alergi dengan debu, bulu kucing, dan asap langsung bersin-bersin ketika menciumnya. Berakhir dengan kikuk meringkuk di sudut dapur. Menggaruk lantai dan bingung mengerjakan apa. Wkwk. (Oke kalimat terakhir sedikit hiperbola) 

Dan tragedi asap ini berlangsung hingga siang hari. Disiang hari mertua terbiasa membuat ikan bakar dengan menggunakan kayu bakar hingga menjadi bara. Walau mataku berbinar-binar karena alergi, aku memberanikan masuk dapur dan pura-pura lihai memasak. Ya, aku mengaku bisa memasak waktu pertama berkenalan dengan mertua. Tapi sungguh tidak tau kalau metode memasaknya sebegitunya. Hihi. 

Well, itu sedikit gambaran hidup dengan mertuaku. Bisa dibayangkan hidup setahun disana sudah begitu banyak cerita suka duka. Mertua memiliki metodenya sendiri untuk hidup. Memasak memakai kayu bakar, tidak mau menggunakan mesin cuci, tidak mau menggunakan pengering, mengepel lantai dengan cara tradisional, semua serba membuat sendiri. Tapi aku tidak mau menurutinya. Well apakah aku menantu durjana?

Aku tetap belajar padanya. Belajar untuk memanggang ikan kesukaan suamiku. Tapi, aku tetap tidak mau menuruti cara yang lain. Kenapa? Karena aku juga punya impian. Dan aku tidak mau impianku terkubur hanya karena menuruti metode mertua dalam bertahan hidup. Karena layaknya film the croods, aku memposisikan diri sebagai manusia yang hidup di generasi berbeda. Tidak mungkin bukan aku harus menuruti cara hidup generasi yang lain bukan?

Karena aku sudah pernah mencoba hidup ‘seperti mertua’ dan psikologisku berakhir bagaikan film Kim Ji Young. 🙂

Mencari Jalan Tengah dari Perbedaan dengan Mertua

Dengan prinsipku yang berubah sedemikian, apakah aku tidak pernah berselisih pendapat dengan mertua? 

Tentu saja sering. Huahaha. Satu tahun hidup satu atap loh. Dan ini termasuk ujian 5 tahun pernikahan yang terberat.

Something like, “Jangan mencuci baju dengan menumpuk 2-3 hari, Memasak ikan harus begini begitu.. Jangan begini, jangan begitu..Begini cara hidup hemat.. Bla bla “

Konflik itu adalah sesuatu yang sangat wajar. Bahkan Guy dan Greg juga sering berbeda pendapat. Akan tetapi, pada akhirnya ada yang menyatukan mereka berdua. Apakah itu? 

Pertama adalah inovasi. Kedua adalah Epp. Yang dalam hidupku maka aku memerlukan jalan tengah dari suamiku. 

Aku selalu mencoba menghormati cara mertua untuk hidup termasuk dengan kearifan lokal yang dijunjung tinggi. Semuanya mengagumkan. Tapi, aku juga harus berusaha menunjukkan pada mertua bahwa ‘cara hidupku juga benar loh’.

Bahwa aku juga bisa mencari uang dengan caraku sendiri dan tidak perlu berhemat secara berlebihan. Aku juga memiliki cara sendiri untuk merawat diri, tidak terbatas pada cara tradisional saja. Aku juga bisa memasak dengan caraku sendiri, mencuci dengan caraku sendiri, mendidik anak dengan caraku. Aku menghormati cara mertua, tapi tidak bisa meniru semuanya. Karena cara waras kami berbeda. 🙂 

Untuk meyakinkan hal itu maka aku butuh ‘Epp-Ku’ atau Suamiku. Dialah jalan tengahku. 

Dan tentu saja mengatur jalan tengah pun tak semudah yang dikira loh. 

Suamiku adalah fans berat Ibunya. Apapun yang dilakukan ibunya adalah terbaik dimatanya. Awalnya, aku mencoba menjadi sebaik Ibunya untuk mengambil hatinya. Akan tetapi, seiring berjalan waktu aku harus menegaskan padanya bahwa. ‘Aku adalah aku’ dan ‘Aku tak bisa menjadi seperti Ibunya’. 

Alhamdulillah seiring waktu dia bisa mengerti hal itu. Aku selalu menerornya (menuliskan dengan lemah lembut beberapa artikel pernikahan..wkwk) agar dia paham betapa pentingnya menjaga hati istri dan impiannya. And its worked. 

Jadi, setiap ada sedikit perselisihan tentang metode hidup dengan mertua. Suami datang membela, menjelaskan caraku dengan bahasa yang sedap didengar. Sejak itu, mertua sedikit demi sedikit paham dengan diriku. Sebaliknya, melalui ‘dongeng’ suami aku juga perlahan memahami betapa baiknya sifat mertua. 

Dan yaa.. Akhirnya aku dan mertua saling mengerti kehidupan kami masing-masing. Dan kami saling menghargai passion masing-masing. 

Mertua pandai memasak, apapun yang diolah dengan tangannya selalu enak. Mungkin karena kayu bakar itu. 

Dan aku? Aku sedang mencari impianku sendiri. Yang jelas, aku tidak bisa meraihnya dengan kayu bakar. 

Dan mertua sudah memahami itu. Bahwa tanganku berbeda. 

Bahwa aku berbeda. 

Aku adalah aku. Aku tidak mau menjadi seperti mertua untuk mendapatkan kasih sayang suami. 

Suami menyayangiku, karena aku adalah aku. Bukan karena mirip dengan Ibunya atau mencoba mirip dengan Ibunya. 🙂 

Dan tentunya, mertuapun menyayangiku karena aku adalah aku..

IBX598B146B8E64A