Browsed by
Month: September 2018

Membuat Rendang Penuh Cinta dan Ceritaku Tentang Suka Duka Memasak

Membuat Rendang Penuh Cinta dan Ceritaku Tentang Suka Duka Memasak

Namanya Rendang. Masakan daging yang sangat populer di indonesia bahkan hingga ke luar negeri. Siapa saja tentu kenal dengan masakan fenomenal yang satu ini. Dan yah, hari ini aku harus mengakui bahwa aku baru saja satu bulanan ini benar-benar berhasil membuatnya. Sedikit memalukan memang untuk seseorang yang memiliki hobi masak sepertiku.

Hoby masak?

Iyes, buat kalian yang menyimak blog shezahome sejak awal tentu saja tau bahwa awalnya aku sering share resep makanan dan pengalaman baking disini. Kemudian seiring berjalan waktu genre tulisan di blogku lebih dominan ke ‘curcolan mak-emak’ hingga paranting. Ah ya, karena aku perempuan lantas salahkah aku juga turut menulis review produk kecantikan terutama lipstik disini? Sepertinya tidak ya. Haha. Mari jangan sebut blog ini adalah blog gado-gado dan tidak punya masa depan. Karena dari namanya saja kalian tentu tau blog ini adalah ruang evolusi yang terjadi di shezahome. *mamak kebanyakan alasan

Terus, mana resep rendang yang endes itu win? Yang dari kemarin-kemarin gembor banget testimoninya di WA (testimoni keluarga lebih tepatnya.. Haha). Oke, sebelum aku sharing mengenai keberhasilan ini, aku terlebih dahulu mau sharing mengenai kegagalan demi kegagalan saat aku membuat rendang dan masakan lainnya.

Kuharap kalian menyimak dengan baik karena ini juga merupakan cerita awal mula aku menikah dengan skill masak yang yah.. Biasa saja..

Tentang Kegagalan dan Cerita Pengalamanku Memasak

Adalah bohong besar bahwa aku bisa memasak sejak dahulu. Aku adalah anak perempuan manja dari 4 bersaudara (yang semuanya laki-laki) dan tidak bisa memasak.. Yah, aku hanya mengandalkan masakan dari mama dahulu. Keinginanku belajar memasak tumbuh begitu saja saat aku akhirnya mengontrak rumah dengan kakakku saat kuliah. Dengan jumlah biaya konsumsi yang saat itu dipercayakan kepadaku, tentu saja insting pertahanan diri ala perempuanku begitu saja muncul.

“Uang ini harus cukup, bahkan harus bersisa.. Lumayan kan buat ditabung.. Hehe..” Pikirku kala itu.

Aku membeli buku resep-resep makanan, kepasar, membeli peralatan kecil untuk memasak dan tadaa.. Jadilah aku chef remaja sang peniru resep makanan. Terkadang masakanku berhasil, terkadang (sepertinya banyak) yang tidak berhasil. Tapi dibalik belajar memasak aku mendapat banyak pembelajaran dan sisi positif. Ya, ternyata memasak dapat menumbuhkan rasa cinta, seni dan kreatifitas dalam mengatur menu. Untuk standar anak kuliahan sepertiku dahulu masakanku terbilang sukses jika anggaran makan dengan memasak ternyata lebih hemat dibanding membeli makanan diluar. Soal rasa, nomor 2.

Nah, setelah aku menikah dan merasakan ‘indahnya’ hidup bersama suami di ‘pondok mertua indah’ akhirnya aku menyadari bahwa skill memasak yang kumiliki sejak kuliah tidaklah cukup. Siapa sangka suamiku adalah type lelaki yang memiliki lidah ‘ulala’. Hal ini karena Ibunya atau mertuaku sendiri adalah seorang tukang masak ahli yang terkadang membuka orderan untuk katering kecil-kecilan dan konon dahulu sekali pada zaman susah-susahnya mertuaku bahkan sempat berjualan masakan untuk makan siang. Masakan beliau terkenal memiliki ciri khas dilidah terutama ‘sambal acannya’.

Bagaimana rasanya punya suami yang memiliki Ibu tukang masak sekaligus membuka usaha katering?

Berat beb. Sungguh.

Suamiku itu addicted dengan vetsin, royco, maggie dsb. Sementara aku? Jujur saja sejak belajar memasak aku berusaha untuk menjauhi semua ‘racun lidah’ itu. Saat pertama kali memasak di tempat mertua, aku selalu ingat bahwa mertuaku suka sekali bersaing denganku tentang rasa makanan ini. Dengan wajah merah padam masakanku sering diperbandingkan dengan masakan mertua dan tentu saja suamiku selalu bilang.. “Enak punya mama..”

Saat itu aku dalam kondisi hamil. Dan you know perasaan orang hamil yang serba sensitif. Entah kenapa aku menjadikan mertuaku sendiri sebagai musuh bebuyutanku dalam mencuri perhatian pada masakan. Saat mertua bertanya padaku tentang berbagai bumbu dapur masakan, aku dengan hati yang angkuh mencoba dengan benar menjawabnya namun selalu enggan belajar betul-betul dengan beliau. Padahal suamiku selalu dan selalu bilang padaku, “Belajar masak sama mama. Jadi nanti bisa..”

Aku dengan segala keangkuhan hatiku hanya menjawab, “Enggih..” seraya bergumam dalam hati, “Ya tentu aja enak, vetsin bejibun royco bejibun.. Aku juga bisa bikin enak begitu..”

Selama berbulan-bulan hidup di pondok mertua indah aku mengabaikan resep jitu memasak ala mertuaku karena selalu berprasangka buruk terhadap vetsin. Aku hanya sesekali memperhatikan beliau memasak dan membantunya sementara selebihnya aku sibuk mengurus anakku.

Dan saat memiliki rumah sendiri, bisa ditebak bahwa suamiku berkali-kali kecewa dengan hasil masakanku. Akupun akhirnya merobohkan ‘pertahanan antivetsin’ milikku. Aku tidak peduli dengan pemahamanku tentang vetsin. Yang penting bagiku adalah “Aku harus mendapatkan pujian dari suamiku.. Seperti layaknya ia memuji masakan ibunya.”

Apakah vetsin berhasil?

Ramuan Rahasia dalam Proses Memasak

Pernahkah kita menuruti setiap resep yang beredar di buku dan internet? Membaca benar-benar langkah demi langkah dengan berhati-hati. Bahkan untuk menunjang keberhasilan, kita tak sungkan untuk membeli peralatan yang sama dengan yang disarankan, entah itu timbangan, panci presto, oven, dll. Namun, hasil akhirnya tidaklah sesuai dengan yang kita harapkan. Tentunya kita kecewa dan mulai berpikir, “Dimana kesalahannya?”

Dan kali ini aku akan menyebutkan kesalahanku dalam memasak sehingga hasil masakanku dahulu sering mengalami kegagalan. Ya, kesalahan utamaku adalah:

1. Hanya terpaku pada Resep

Bagi seorang newbie dalam hal masak memasak membaca resep adalah segalanya. Tanpa petunjuk resep maka seorang newbie akan kebingungan dengan hal yang seharusnya dilakukan selanjutnya dan selanjutnya lagi. Karena terbilang masih baru dalam hal masak memasak, bisa saja masakan yang seharusnya hanya memakan waktu 15 menit dalam pengerjaannya bisa memakan waktu 1 jam. Pernah begini? Hihi.

Saranku untuk para pemula, jangan mengandalkan google saja sebagai sumber informasi. Tapi, bergurulah. Bergurulah pada orang yang benar.

Ya, aku tau bahwa buku adalah jendela dunia. Membaca resep adalah senjata memasak, browsing dan membaca artikel memasak adalah ilmu kekinian. Tapi sampai kapanpun juga kita tidak bisa menghilangkan adab nomor 1 ini. Berguru.

Tentu aku sangat menyesal dengan rasa gengsiku untuk belajar dengan mertuaku. Juga menyesal karena dulu aku tidak terlalu sering membantu mamaku membuat kue. Ah, jika saja waktu bisa diulang lagi mungkin kali ini aku akan lebih serius berguru.

Bayangkan, hanya dalam waktu 1 jam saja aku berguru tentang masakan rendang dengan mertua akhirnya aku bisa membuat rendang yang sungguh enak.

Bahkan suamiku berkata, “Lebih enak dari pada punya Mama.”

Yes, ini adalah pencapaian baru untukku.

2. Cara Hemat yang tidak Tradisional

Sebagai tim ’emak ngirit garis keras’. Sebisa mungkin aku harus berusaha menghemat pengeluaran dalam bidang apapun, termasuk itu memasak.

Karena itu aku menerima paham baru dalam memasak. Kenapa tidak sesekali memasak ikan memakai kayu bakar? Kenapa tidak sesekali belajar membersihkan ikan sungai sendiri? Ya, cara ini aku dapatkan cuma-cuma dari belajar dengan Mertuaku.

Baca juga: Pepuyu Beubar dan Daun Kelakay, Kuliner Khas Banjarmasin.

Cara hemat yang tradisional sungguh punya cita rasa tersendiri. Kalian sang penikmat kuliner tentu tau betapa berbeda rasanya ikan yang dipanggang dengan bara api dan ikan yang dipanggang dengan teplon kekinian.

Tapi, ketika kita mencoba untuk hemat dengan mengabaikan cara tradisional rasa akan jauh berbeda.

Tidak percaya?

Ya, sekedar cerita.. Aku membeli panci presto untuk menghemat gas dalam memasak daging. Setiap kali memasak daging, khususnya rendang.. Aku selalu memakai panci ini. Selain hemat, rasanya sayang saja. Masa cuma memasak 250gr daging kita harus memasak secara tradisional tanpa panci presto? Itu pemborosan. Betul?

Ternyata aku salah, cara hemat yang tidak tradisional ini menyebabkan kuah rendang tidak mengental sempurna. Bumbu tidak meresep sempurna pada daging. Dan Daging juga tidak terlalu empuk.

So, untuk membuat masakan penuh cinta, kita memang perlu modal. *Catat duhai suami.. 😂

3. Mengabaikan proses penuh kesabaran

Mama said, “Memasak itu harus sabar. Enggak boleh grasah grusuh. Nanti hasilnya berantakan”

Harus diakui aku adalah anak mama yang sangat tidak sabaran dan suka berkelempangan dalam hal memasak. Aku tidak suka mengerjakan hal yang monoton berulang ulang tanpa mengerjakan hal lain. Seperti fokus dalam melapis kue, fokus mengaduk caramel, fokus membentuk kue supaya sama. Aku tidak bisa melakukan itu semua. Bagiku waktu terlalu berharga untuk memperhatikan hal yang itu-itu saja. Hihi.

Ternyata aku salah, aku belajar dari mama bahwa untuk membuat rendang diperlukan proses sabar yang tiada bandingnya. Menjadikan santan berminyak, mengaduk dan terus mengaduk hingga matang, fokus dan tidak membuat santan pecah-pecah.

Sabar adalah syarat utama dalam memasak. Catat.

Ternyata benar, segalanya harus dimulai dengan rasa Cinta

Mengabaikan gengsi dalam mulai berguru, mencoba cara-cara tradisional yang terkesan ‘ribet’, melakukan segala proses memasak dengan penuh kesabaran itu TIDAK MUDAH.

Tapi semuanya terbayar lunas saat kita menatap suami dan anak yang begitu lahapnya makan. Memuji disetiap kata “tambah” dan mengulangnya lagi dan lagi pada makanan berikutnya. Ibu mana yang tidak bahagia saat moment itu?

Hanya Ibu yang merasakan Cinta itu yang mengerti Apa Maksud dari Memasak Penuh Cinta sesungguhnya.. 😊

Nah, terima kasih sudah membaca petualanganku dalam belajar memasak. Maaf, aku memang begini setiap menulis blog. Tidak bisa fokus pada satu titik tema tanpa petualangan yang panjang. Haha

Kalian penasaran dengan resep rendang? Resep ini aku dapat setelah belajar dari mertua, mama, dan dipadukan dengan resep dari salah satu foodstagram favoritku Mbak Ricke. Yuk, simak bahan dan cara membuatnya dibawah ini:

Resep Rendang Padang

Bahan:
1 kg daging sapi
1 liter santan amat kental
10 butir telur itik aluh-aluh
Irisan gula merah secukupnya
Air jeruk nipis
Garam dan penyedap secukupnya.

Bumbu halus:
125 gr lombok keriting (aku pakai 150 gr lombok besar merah)
20 bawang merah
10 bawang putih
3,5 ruas jari lengkuas muda
2 ruas jari jahe
1 batanh serai (putihnya saja)

Bumbu rempah:
2 batang serai (memarkan)
5 butir cengkeh
1 buah kembang lawang
1 lembar daun kunyit (iris)
4 lembar daun salam segar
8 lembar daun jeruk segar
5 cm kayu manis
1 sdt merica
1 sdt jintan bubuk
1 sdt pala bubuk

Cara membuat:
1. Bersihkan potongan daging kemudian lumuri dengan air jeruk nipis, sedikit garam, dan irisan gula merah.
2. Haluskan bumbu halus, masak bersama 1 liter santan. Masukkan bumbu rempah kecuali irisan daun kunyit. Masak sambil diaduk hingga santan mengeluarkan sedikit minyak.

3. Masukkan irisan daging masak hingga setengah matang. Kemudian masukkan rebusan telur itik aluh-aluh.
4. Proses memasak memakan waktu yang sangat lama, kurang lebih 4 jam. Bisa saja sih, waktu disingkat dengan menggunakan panci presto. Tapi sepengalamanku, hasilnya mengecewakan. Ingat tips diatas ya.. Hehe
5. Nah, setelah 4 jam rendang akan mengeluarkan bau yang luar biasa menggoda. Dengan bumbu yang meresap sempurna serta mengeluarkan minyak kelapa alami.

Selamat mencoba..
Memasaklah dengan penuh cinta.. 💖

Hans Christian Andersen-Pendongeng Inspiratif untuk Anak Penuh Imajinasi

Hans Christian Andersen-Pendongeng Inspiratif untuk Anak Penuh Imajinasi

“Sebenarnya, Apa cita-citamu sejak kecil?”

“Aku ingin seperti Hans Christian Andersen..” jawabku tertawa konyol kala itu.

Para teman-temanku mengernyitkan dahinya seraya berpikir lalu bertanya, “Siapa gerangan Hans Christian Andersen?”

Dan aku kala itu hanya menjawab, “Biar aku saja yang tau..”

***

Ya, Tidak banyak yang tau tentang Hans Christian Andersen. Kebanyakan remaja kutu buku kekinian saat itu hanya mengetahui penulis-penulis beken. Sebut saja JK.Rowling, dan siapa lah itu.. Aku sendiri sebenarnya tidak pernah benar-benar tau tentang Hans Christian Andersen. Aku hanya membaca kilasan ceritanya pada cerpen di buku majalah bobo sewaktu aku SD dulu. Dan aku mengingatnya hingga SMA saat itu, walau buku majalah bobo yang memuat dongeng tentangnya sebenarnya sudah lama hilang. Hei, jangan tanya aku itu edisi kapan? Sudah jelas aku tidak tau.

Sewaktu zaman aku SMA dulu, tidak banyak yang mengenal Google. Pun warnet-warnet yang bertebaran saat itu hanya digunakan untuk bermain game online dan chatting. Sementara aku sendiri saat itu hanyalah memiliki HP jadul dengan jarak rumah yang jauh dari warnet. Yes, aku tak pernah sekalipun browsing ilmu sewaktu SMA karena aku gaptek dan ‘wong deso’. Tidak pernah terpikir bahwa sekarang aku memiliki suami programmer dan menjadi blogger. Mungkin, cerita tentang Hans begitu menginspirasiku sehingga aku selalu punya cita-cita kecil ingin menjadi penulis dan pendongeng imajinasi sepertinya.

Siapa Itu Hans Christian Andersen?

source: wikipedia

Hans adalah seorang penulis asal Denmark. Ia terkenal sebagai penulis dongeng anak-anak. Selain menulis dongeng, Hans juga terkenal sebagai penulis drama, novel dan puisi yang produktif. Ada 3381 karya dongeng Andersen telah diterjemahkan dalam 125 bahasa. Namun, dongeng-dongeng yang paling dikenal dunia adalah Anak Itik yang Jelek, Putri Salju, Thumbelina, Putri Duyung.

Salah satu alasan kenapa aku menyukai Hans adalah karena karya-karyanya membuatku mencintai buku. Ya, aku jujur saja sejak kecil aku tidak terlalu suka membaca. Aku hanya menyukai menggambar dan mencoret-coret dinding. Setiap gambar yang aku buat melukiskan cerita dari imajinasiku. Aku tidak tau tepatnya apa cerita imajinasiku dahulu, yang jelas itu menyenangkan. Aku menggambar dinding kamar mandi dengan sabun batang, mencoret dinding kamar dan menghubungkan kerutan cat yang tidak rata sambil mengkhayal sebelum tidur. Saat itu, sebagai anak kecil aku tak pernah mengenal dongeng. Mama hanya bercerita kehidupan teladan sehari-hari yang bagiku saat itu membosankan, selebihnya mama sibuk membuat kue.

Dan Buku-buku Hans saat itu telah membuatku mencintai Buku.

Castil Buku Dongeng, Castil Imajinasi Pertamaku

Aku masih ingat kapan tepatnya pertama kali aku jatuh cinta dengan buku. Tepatnya saat aku berusia 8 tahun dan masih duduk di kelas 2 SD. Pada hari ulang tahunku yang ke-8, Ayahku memberikanku hadiah yang sangat istimewa. Aku masih mengingat sensasi rasa senang itu dan bagiku hadiah itu adalah hadiah paling mewah yang pernah kumiliki.

Ayahku memberikan Castil Buku. Sebuah Istana Mungil yang terbuat dari kertas yang berisi 12 Dongeng anak-anak mungil dengan sampul hardcover. Untuk anak ‘Wong Deso’ sepertiku saat itu mendapatkan hadiah itu bagaikan mendapatkan harta karun. Castil itu tidak hanya berisi buku namun juga boneka kertas dengan bentuk karakter tokoh-tokoh istana dongeng seperti Putri, Pangeran, Raja, Ratu, Pelayan Istana, Pemburu dan banyak lainnya. Saat itu juga, segala imajinasiku langsung meledak. Butuh waktu bertahun-tahun untuk membuatku bosan bermain dengan imajinasi boneka kertas dan inspirasi dari buku-buku dongeng. Ya, jujur saja hingga SMP kelas 3 pun aku masih senang menggambar, menggunting dan bermain boneka kertas. Entah betapa konyolnya jika cerita imajinasiku benar-benar tertuang dibuku saat itu. Saat itu, aku akui kemampuan menulisku tidak terasah karena aku pernah merasa terlalu malu saat buku karanganku dibaca oleh kakakku dan ia tertawakan.

Siapa gerangan yang menciptakan dongeng-dongeng indah ini? Kataku. Dan saat kelas 3 SD aku mendapatkan jawabannya. Namanya Hans Christian Andersen. Ia adalah orang pertama yang membuatku mencintai buku.

Kini Aku Bukan Anak Kecil Lagi, Aku adalah Seorang Ibu yang memiliki Anak Penuh Imajinasi

Ya, itu adalah ceritaku saat kecil. Aku yang dahulu hanya suka menggambar dan mewarna kini menjadi pecinta buku. Padahal jujur saja dulu aku termasuk anak yang lambat diajari membaca dibanding dengan kakakku. Dan jika kalian sering membaca blog ini tentu kalian tau bahwa Aku memiliki anak yang bakatnya mirip denganku, Ya.. Namanya Farisha.

Farisha tidak suka diajari membaca dan menulis. Namun dia sangat tertarik jika belajar menggambar dan mewarna. Ia suka mewarnai gambar-gambar yang aku gambar kemudian mengguntingnya dan menempel-nempelnya di dinding kamar. Persis seperti aku dahulu. Aku pernah membujuknya untuk belajar membaca. Sudah banyak kiranya aku bercerita bahwa Buku adalah Jendela Dunia dan bla bla bla. Dan kalian tau apa jawabannya?

Oke, kalian bisa tau jawabannya jika membaca detail cerita pada tulisan sebelumnya ini: “Ketika Topik Perkembangan Anak dijadikan Persaingan Sosial oleh Kedua Orangtuanya”

Dalam ending tulisan itu tertera bahwa tentu aku tidak akan membiarkannya membenci dunia membaca dan menulis. Dan lanjutan dari cerita itu ada disini.. Ya, Aku mengajaknya mengenal lebih jauh tentang tokoh yang sama seperti Farisha bernama Hans Christian Andersen.

Mengajak Anak Mencintai Buku Melalui Dongeng dan Imajinasi

Beruntunglah aku mendapatkan banyak buku cerita tentang Dongeng-dongeng klasik, Cerita Nabi dan Tokoh Dunia ini di bazaar buku yang ada di Banjarmasin. Jujur saja, aku termasuk tipe pelit dalam membelikan buku untuk Farisha. Yah, menurutku ini masih dalam kadar wajar karena toh kondisi ekonomi masing-masing keluarga berbeda. Untuk keluarga kami yang masih merintis ekonomi dari 0 tentu saja membeli buku dengan harga mahal tidak sanggup kami lakukan. Jadi, kami hanya berburu buku jika kebetulan ada diskon besar-besaran, cuci gudang, maupun bazaar buku murah. Selebihnya, aku lebih memilih meminjam buku di perpustakaan daerah di kota kami.

Untuk anak sekecil Farisha, bagiku tidak terlalu penting membelikan buku dengan harga fantastis. Toh, anak berumur 5 tahun ini kadang suka mencoret bukunya bahkan sesekali mengguntingnya. Jadi, cukup membelikan buku dengan harga 10.000-20.000 saja asal buku tersebut memiliki ilustrasi gambar yang menarik kenapa tidak? Seperti buku-buku dibawah ini yang hanya aku beli dengan harga murah meriah.

Sesekali jika waktu senggang dan jadwal memasak untuk makan siang ditiadakan maka aku mengajak Farisha berkunjung ke perpustakaan daerah di Banjarmasin. Perpustakaan ini terletak di Siring Tandean tepatnya berseberangan dengan Menara Pandang.

Menurutku, koleksi buku di perpustakaan daerah ini sudah sangat ‘lumayan’ apalagi untuk bagian buku anak-anak. Sepertinya sudah puluhan kali aku dan Farisha kesini dan meminjam buku tapi koleki buku anak-anaknya masih belum habis terbaca.

Tempat area bacaan buku anak-anakpun terbilang sangat nyaman. Yah, selain disediakan tempat untuk ‘rebahan dan leyeh-leyeh’ hal yang membuatku suka sekaligus sedih adalah kami berdua biasanya hanya berduaan saja disini, yang artinya Kami bebas ‘we time’ tapi juga berpikir keras.. Kenapa kami selalu berdua saja ya? Apa minat baca anak-anak di kota ini sangat sedikit? Atau kami selalu datang ketika jam sibuk?

Hmm.. Entahlah. Yang jelas petugas disini sudah familiar sekali dengan wajah Farisha. Dulu, saat pertama kali datang Farisha dipuji oleh sang penjaga, “Hebat, sudah bisa membaca ya… Rajin kesini..”

Aku hanya tersenyum cengengesan sementara Farisha tersenyum girang sambil terus memperhatikan gambar dibukunya. Hahaha..

Yah, inilah caraku mengajari Farisha mencintai Buku. Aku mengajaknya bermain dengan imajinasi melalui dongeng-dongeng klasik dan cerita nyata dari Nabi-nabi dan tokoh dunia. Buku-buku sederhana berharga murah ini selalu aku bacakan setiap sebelum tidur. Ia memang masih belum bisa membaca, ia hanya tertarik pada gambar. Namun, aku yakin suatu hari nanti ia akan mencintai dunia literasi. Karena gambar-gambar menarik dalam buku-buku cerita ini telah menumbuhkan banyak akar-akar imajinasi di pikirannya. Sst.. Farisha mengetahui teknik gradasi dalam mewarna pun saat ia melihat gambar-gambar di buku ceritanya.

Pertanyaan Sang Penjaga Perpustakaan pun pernah terulang di bibir Farisha padaku, “Ma, apa semua anak harus bisa membaca untuk dapat mencintai buku?”

Aku menjawab, “Seorang anak memang harus bisa membaca, tapi hal yang lebih penting dari belajar membaca adalah belajar mengembangkan Imajinasi. Karena sesungguhnya, Imajinasi dan sistem berpikir lah yang merangkai huruf-huruf ini menjadi sebuah cerita yang bermakna.”

“Seperti Hans Christian Andersen?”

“Ya, seperti Hans Christian Andersen..”

Disclaimer: Tulisan ini adalah tulisan #FBB kolaborasi di bulan September dengan Tema Hari Aksara Internasional yang diperingati pada tanggal 8 September 2018.

Ketika Topik Perkembangan Anak dijadikan Persaingan Sosial oleh Orang Tuanya

Ketika Topik Perkembangan Anak dijadikan Persaingan Sosial oleh Orang Tuanya

source image: bebesymas.com

“Anak aku udah bisa membaca, kemarin sejak umurnya 3 tahun dia udah bisa loh merangkai-rangkai huruf. Jadi pas TK ya bisa aja.. Alhamdulillah.. Emaknya gak pusing.. Hahaha.”

“Enak ya mak, dulu anak pertamaku juga gitu. Tapi yang adek ini beda banget sama kakaknya. Kakaknya dulu umur 4 tahun udah hafal surah macam-macam. Ngajinya juga lancar. Ini udah ngafal Al-Quran juz 30. Adeknya ini, ya Allah.. Iqro 1 aja ngulang-ngulang mulu. Gak bisa bedain mana huruf ‘M’ mana ‘3’ mana huruf 4 arab. Belum lagi ‘b, d, p, sama q’ ngulang-ngulang mulu. Sampai emosi aku tuh. Trus ini bentar lagi mau SD, gimana mau SD kalau huruf aja kebalik mulu.”

“Anakku yang pertama dulu juga gitu mak.. Terus aku ikutkan les di ‘bla bla’. Terus pas udah SD dia juara kelas terus. Iya, tempat lesnya emang bagus sih. Pas udah sampai rumah dia belajar lagi. Jadi di tempat les sama sekolahnya ngasih PR. Tapi Alhamdulillah ya, dia juara terus sejak itu. Padahal ya ampun.. Dulu itu otaknya juga ‘bebal’. Kerjaannya gunting-gunting kertas aja, udah gak terhitung tuh barang yang dia rusak. Kalau diikutkan les kan rumah jadi tenang. Rapii.. Pinter lagi..”

“Wah gitu ya mak, bener juga sih. Hebat ya sekarang juara terus anaknya. Dengar-dengar ada program beasiswa dari pemerintah ya buat anak-anak juara. Kereen. Mau dong ikut les juga..”

“Iya, emang.. Jadi nanti anakku kalau udah SMP mau ikutan program ‘bla bla’. Jadi sampai kuliah nanti kalau dia lulus dia bakal sekolah gratis terus langsung kerja deh. Zaman now ya mak, nyari kerja kan susah. Apalagi kalau anak cowok ya.. Harus lah ya punya penghasilan tetap.. ”

“Ah, anak cewek juga harus kerja kok mak.. Jangan sampai dia gak mandiri pas udah berumah tangga nanti..”

“Iya, bener.. Anakku nanti juga mau begitu ah..”

***

Mama: “Kamu kok susah banget diajarin gak kayak si Anu”

Pernah gak sih kalimat di atas terucap oleh kita?

Pernah gak sih percakapan diatas tak sengaja terdengar oleh kita?

Pernah gak sih merasa kalau sebagian orang-orang (terutama mak emak) suka sekali membandingkan perkembangan anaknya dan anak kita?

Dan ujung-ujungnya kita jadi bete sendiri?

Kemudian merasa tersaingi dan ‘ketinggalan’ dengan bakat anak yang lain. Lalu kemudian bertanya-tanya, “Anak aku kok beda ya sama si anu dan si anu..”

Si anu udah bisa baca.. Anak aku hoby kelayapan main sepeda diluar..

Si anu menang lomba mewarna terus.. Anak aku malah hoby berantakin dan gunting-gunting segala aksesoris di rumah.

Si anu udah hafal surah-surah pendek sampai segini, anak aku diajari Al-Kafirun aja terbolak balik mulu.

Kenapa sih kayaknya kok gak ada yang bisa dibanggakan ya perkembangan anak aku dibanding emak ini, itu dan mak ono..

Benar juga sih, pendidikan zaman sekarang banyak tuntutan. Anak SD sudah diwajibkan bisa membaca. Aduh, apa kabar anak aku yang moody banget kalau disuruh ini itu.

Apa memang harus les?

Pertanyaan ini sungguh sering sekali timbul dipikiran emak muda sepertiku. Realitas sosial, ilmu parenting, bakat anak.. semuanya saling bertabrakan tidak ada titik temu yang benar-benar bisa memecahkan sebuah permasalahan. Dan setelah aku benar-benar merenungi apa sebenarnya permasalahnya.. Aku akhirnya sadar bahwa permasalahan hanya pada satu titik.

***

Masalah jika anak kita berbeda? Sulit diajari membaca? Padahal kita tak putus-putusnya setiap malam membacakan buku cerita padanya?

Tidak. Itu bukan masalah. Setiap anak punya keahlian yang spesial. Pada anak kecil seumur anakku, Farisha.. Perkembangan otak kanannya lebih pesat dibanding otak kirinya. Dia lebih suka dengan aktivitas mewarna, menciptakan kreativitas dan bercerita. Baginya belajar membaca membosankan, menghafal itu membosankan. Aku pernah berkata padanya bahwa membaca dan menulis adalah awal dari munculnya sebuah cerita dan jejak sejarah. Jika tidak bisa membaca maka kita tidak tau apa isi buku cerita itu? Dan kalian tau apa jawabnnya?

Dia berkata padaku, “Tapi, Farisha bisa bercerita walau hanya melihat gambarnya saja.. Dan Farisha bisa bercerita dengan membuat gambar..”

Aku tertawa sekaligus merasa ganjil sesaat. Tapi, setelah aku merenungkan betul-betul kata-katanya akhirnya aku mengerti. Hei, bukankah setiap kode tingkat tinggi tidak melulu dituliskan dengan tulisan? Kebanyakan adalah gambar dan anakku selalu bisa membaca ekspresi dari gambar yang ia lihat. Tidak banyak anak yang mengerti tentang hal ini dan tidak banyak pula orang dewasa yang mengerti dengan standar kepintaran setiap anak.

Couse Everychild is Special.

Permasalahan sesungguhnya adalah “Ketika Topik Perkembangan Anak dijadikan Persaingan Sosial oleh Orang Tuanya..”

Permasalahan utamanya sebenarnya adalah kesalahan kita dalam membuat standar penilaian. Kita selalu mengutamakan ‘standar kebanyakan’ untuk menilai anak kita. Sehingga kebanyakan dari kita membuat anak mengubah jalur kesenangannya untuk menjadi ‘anak-anak pada umumnya’. Padahal, apa asiknya menjadi anak-anak pada umumnya? Apa asiknya selalu juara kelas kalau anak kita sebenarnya tidak mengerti dengan arti persaingan itu?

Aku pernah melakukan kesalahan ini. Jujur saja. Ini terjadi saat di sekolah Farisha akan mengadakan lomba menyusun huruf. Hari sebelumnya aku mengajak Farisha belajar keras agar dapat juara. Aku berkata padanya,”Farisha kalau gak bisa nyusun huruf nanti mama malu. Kan Farisha sudah nol besar..”

Dengan wajah jengkel ia menuruti kata-kataku. Semalaman belajar menyusun huruf. Aku menyemangatinya sambil menghitung waktunya sambil berkata, “Aduh, Farisha lambat sekali..”

Dan ia berkata, “Tapi Farisha udah bisa..”

“Tapi kalau lambat Farisha gak bisa menang!”

“Tapi Farisha Gak sedih kalau gak menang. Farisha cuma sedih kalau kalah dalam lomba mewarna..”

Seketika aku langsung terdiam. Ah, benar juga. Farisha begini anaknya. Seberapapun keras aku mencoba melatih dengan hal yang tidak disukainya.. Ia tetaplah tidak suka.

Aku telah membuat kesalahan besar. Mencoba mengikuti ‘standar kebanyakan’ dalam menilai anak. Aku telah terpancing dalam jebakan persaingan sosial orang tua zaman now. Yaitu, menganggap bahwa Standar Kognitif adalah segalanya.

Ketika Segala Hal Dinilai Serba Kognitif

source: aterceiraidade.com

Kurasa, aku benar-benar membuat kesalahan dalam memutuskan Farisha sekolah. Bukan, bukan karena aku memasukkannya sekolah pada usia belum genap 5 tahun. Tapi aku benar-benar salah memilihkan sekolah untuknya.

Seperti kita ketahui, standar penilaian untuk anak PAUD berbeda dengan anak SD, SMP maupun SMA. Penilaian tidak hanya didasarkan pada Kognitif saja namun juga pada Nilai Agama dan Moral, Motorik, Sosial emosi, Bahasa, dan Kreativitas. Dan setahuku, tidak diperbolehkan diadakan juara sekolah. Apalagi dengan standar kognitif saja atau pencapaian pertumbuhan perkembangan baik yang diukur dengan standar BM (Belum Berkembang), MM (Mulai Muncul), BSH (Berkembang Sesuai Harapan) dan BSB (Berkembang Sangat Baik). Karena Guru di sekolah tidak benar-benar tau tentang anak tersebut. Apalagi model belajar anakku disekolah bukan dengan model sentra.

Aku tentu saja terkejut saat acara perpisahan dan kenaikan kelas ternyata diadakan pemilihan juara kelas. Aku langsung berpikir, “Hei, dengan standar apa?”

Dan anak-anak yang maju kedepan kelas menerima hadiah adalah anak-anak yang cepat menulis di kelas. Bahkan, salah satunya adalah anak yang suka membully anakku. Wow, ‘Emejing’ bukan?

Dan saat melihat para juara di Nol Besar para Ibu-ibu langsung berkomentar, “Iya, si Anu tentu aja juara.. Membacanya sudah lancar…”

Well, How can this happen? Anak PAUD sekecil ini ditentukan standar juara kenaikan dan kelulusan kelasnya berdasarkan Kognitif saja???

Aku menggelengkan kepala. Pantas saja orang tua begitu berlomba-lomba dalam persaingan sosial perkembangan kognitif anak ini. Bahkan, SD zaman now di daerah kami melakukan tes untuk murid-murid TK yang ingin masuk SD. Siapa yang bisa membaca dan menulis maka ia lulus dan boleh memasuki SD Negeri.

Well, mungkin ini terlihat sepele. Tapi, Pernahkah kita menyadari Apa efek dari segala hal yang serba dinilai dari standar kognitif ini?

Mungkin hal ini tidak terlalu berpengaruh pada anak yang memiliki kecerdasan dominan otak kiri sejak kecil. Sebaliknya dia akan senang jika lingkungannya mendukung bakatnya. Tapi, pernahkah kita memposisikan diri sebagai anak kecil? Anak berusia lima tahun yang dunianya dipenuhi dengan segudang kreativitas dan imajinasi? Ia sedang mengembangkan hal yang lebih luar biasa dibandingkan sisi kognitif saja tapi kita memaksanya untuk memenuhi standar bahkan melebihi standar kognitif demi persaingan sosial.

Lantas? Apa Anak Harus dibiarkan semau dia saja? Dibiarkan ketika sisi Kognitifnya ‘lemah’

Tentu saja tidak. Sebagai orang tua aku juga mengerti bahwa tentu membaca, menulis dan berhitung adalah hal yang penting. Tapi, aku meyakini satu hal bahwa kita harus mengikuti caranya berkembang dan berpikir. Dengan kata lain, tiap anak punya metode berbeda untuk belajar sesuatu. Tidak bisa kita menghakimi bahwa anak kita ‘lambat’ hanya karena ia tidak mengerti dengan metode yang dijelaskan oleh gurunya.

Anakku adalah type anak visual yang penuh dengan imajinasi. Gambar dan pewarna adalah hidupnya. Aku sangat ingat ketika mengajarkannya huruf pertama kali aku harus menggambar huruf dengan bentuk-bentuk binatang dan ia yang mewarnainya. Dia mudah mengingatnya ketika imajinasinya bermain. Dan itu menjadi masalah ketika guru menanyainya tanpa gambar maupun visualiasasi melainkan hanya dengan suara. Problem utamanya adalah ketika aku melihat cara belajar di TK anakku yang tidak terlalu banyak menggunakan alat permainan. Ya, hanya papan tulis biasa dan buku tulis. Come on, its boooring!

Bisa ditebak bahwa anak yang pertama kali bisa mengerti adalah anak dengan kecerdasan otak kiri yang dominan dan anak auditori. Apa aku harus mempercayakan anakku belajar lebih lama di TK dan mengikuti les yang membosankan di siang hari? Sepertinya tidak. Aku tidak akan membiarkan imajinasinya hancur.

Ya, hari ini aku berkata pada diriku sendiri.

Anakku Spesial.

Katakan ia masih belum bisa membaca sekarang.

Katakan ia ketinggalan.

Tapi aku tidak akan ikut dengan persaingan sosial dunia perkembangan anak dengan standar kebanyakan. Anak harus bisa begini begitu di usia sekian.

Aku punya standarku sendiri, dan bagiku anakku tetaplah yang terbaik.

Kalian tau? Anak kecil itu kuat. Ia hanya butuh Ibu yang mendukungnya. Hanya itu sumber kekuatannya 100%.

Ia diremehkan lingkungan. Ia di-bully. Ia kalah berkompetisi. Sungguh itu hanya membuatnya menangis sementara saja.

Tapi saat Ibunya mulai tidak mendukung bakatnya, mulai membelokkan bakatnya, menjadikannya tidak spesial lagi.. Maka sungguh, ia akan menangis dan terus menangis lagi..

Sampai kita memeluknya.

Benar-benar memeluknya.

Review Cheek & Liptint Wardah No. 01: Red, Set Glow

Review Cheek & Liptint Wardah No. 01: Red, Set Glow

Halo, mungkin semua sudah pada tau ya kalau wardah sudah mengeluarkan varian liptint. Iya, setelah kemarin ikut demam lipcream dari wardah.. sebagai pecinta produk lokal tentunya emak juga harus ikutan tau dan ikut mencoba donk liptint wardah ini.

Meski tergolong ‘masih langka’ dipasaran namun sekitar hampir 1 bulan yang lalu emak udah dapet aja berburu liptint ini. Sebenarnya, bukan berburu lebih tepatnya. Tapi ‘nebeng’ minta ikut belikan sama teman. Hahahaha.

Terus, kenapa baru di-review?

Karena emak sibuk, lelah fisik dan lelah hayati. 😂

Dan alasan terakhir adalah emak masuk golongan makhluk termoody didunia yang mana blognya gak bisa cuma bahas satu tema doang. Apalagi cuma bahas produk kecantikan doang ya. Tapi kalau lipstik sih emak hayuk aja. *lumayan bisa naikin traffic (eeeh).

Jadi, Liptint itu apa? Ada apa dengan demam liptint?

Liptint itu adalah tinta lipstik, jadi kita bisa nulis dibibir gitu.. eh iya? Salah deng.. 😂

Jadi, Liptint itu adalah salah satu produk pewarna bibir yang punya hasil warna tidak terlalu menor jika diaplikasikan pada bibir. Berbeda dengan lipcream, liptint ini cenderung sangat melembabkan.

Liptint ini sedikit berbeda dari lipstik, Liptint hanya akan memberikan sedikit warna pada bibir dan kesan pemakaiannya lebih ringan dibanding lipstik yang lebih berat. So, penggunaan Liptint tentunya akan membuat tampilan bibir lebih natural dibanding lipstik.

Lebih natural? Seperti korea begitu?

Iya.. Seperti artis-artis korea yang kita tonton dramanya itu. Pada heran kan kenapa bibir mereka pada natural look banget keliatannya. Berbeda dengan make up pengantin ala kita yang bibirnya bold gitu. Kalau bibirnya ‘horang koreyah’ kayak baby gitu ya..

Nah, sejak di korea mulai ngetrend banget penggunaan liptint ini maka produk-produk liptint dari korea pun turut menjadi demam booming di indonesia. Sayangnya, harganya tidak terjangkau ya di dompet emak-emak sepertiku. Iya, jujur aja aku itu orangnya.. 😂

Tapi biar begini aku pernah mencoba kok liptint dari korea. Iya, iseng-iseng aja nyoba ‘nyolet’ liptint punya teman aku. Hasilnya emang bagus sih. Berasa cantik natural begitu. Konon merk yang aku coba itu masih medium. Masih banyak merk yang lebih wow hasilnya dan tentunya jauh lebih mahal.

So, wardah ngeluarin liptint juga? Ini kabar bahagia banget lah buat emak ngirit sepertiku. Karena so far.. Produk-produk wardah itu selalu terjangkau didompetku. Dan nilai plusnya lagi, produknya selalu gak mengecewakan.

Apakah Liptint lokal sebagus merk luar?

Berapa brand lokal sih yang sudah mengeluarkan varian liptint?

Yang aku tau sih emina, la tulip, dan wardah.. Kasih tau ya kalau ada yang lain. Hihi

Aku sudah pernah nyoba ‘nyolet’ emina liptint punya teman aku. Sayangnya aku enggak suka warnanya. Iya, sepertinya baik jenis lipstik, lipcream maupun liptint kalau punya hint warna pink pasti enggak cocok di kulit aku. Saat aku coba si emina sih memang bagus, hasilnya natural cumaaa.. Aku gak suka varian warnanya sepertinya gak ada yang pas buat aku.

Nah, lucky me.. Ternyata varian warna liptint dari wardah salah satunya sepertinya cocok buat aku. Iya, aku optimis banget. Soalnya dia warnanya merah. Yes, pilihanku jatuh pada nomor 01 RED SET, GLOW!

Aku yakin ya, walau hanya dengan harga 45000 saja produk lokal dari wardah ini termasuk bagus. Jujur, aku enggak mengharapkan hasilnya seperti liptint korea banget. Aku mengharapkan masih ada khas tersendiri dari brand lokal.

So.. Bagaimana performa liptint wardah? Yay, or nay?

Perlu ga sih aku bahas packaging dan perintilan lainnya? Sepertinya perlu ya bagi kalian. Baiklah, karena aku ’emak muda yang baik hati, tidak sombong dan rajin menabung’ maka aku akan berbaik hati menulis hal-hal ini. Tolong disimak ya! Jangan langsung scrool up kebawah gak sabar liat hasilnya. 😂

1. Packaging

Kalau pada lipstik dan lipcream wardah memiliki khas dengan warna packaging abu-abu, maka pada liptint kali ini khas abu-abunya udah ilang. Yup, bagian kotaknya terlihat ‘girly banget’ dengan warna-warna cerah. Aku sih suka ya dengan packaging begini. Jadi berasa punya benda spesial di perintilan make up aku yang terbilang sederhana. Hihi.

Aplikatornya gimana?

Btw, gimana cara liat aplikator yang bagus atau enggak ya. Hahaha.

Iya, aku itu selalu bingung liat tulisan para beauty blogger soal aplikator lipcream atau liptint. Kok bagi mereka ngaruh banget ya. Bagi aku biasa aja asal bisa dipake. Jadi aku mesti ngomong apa.. 😂 *tukang review macam apa ini.

Beda halnya sama kuas aplikator buat eyeliner liquid, bagi aku sih itu penting banget dibahas panjang lebar sampai satu halaman poliopun aku doyan. *edisi semangat belajar pakai eyeliner..(halah malah ngalor ngidul)

2. Komposisi

Sebenarnya sih, aku gak terlalu tau ya tentang perkomposisian kosmetik begini. Mana bahan yang nay dan mana yang yay. So, kalau mau tau komposisinya aku tulisin aja ya (lebih tepatnya nyalin dikemasan dengan susah payah). Hargain lah ya.. Haha

Ingredients: Aqua, Octydodecanol, Glycerin, Phytossteryl/Isostrearyl/Cetyl/Stearyl/Behenyl Dimer Dilinoleate, Ethylcellulose, Hydroxyeghyl Acrylate/Sodium Acryloyldimethyl Taurate Copolymer, Behenyl Alcohol, Stearyl Alcogol, Polysorbate 60, Tocopheryl Axwtate, PDG-20 Phytosterol, Phenoxyethanol, Fragrance, Cetyl Alcohol, Phytosterolz, Chlorphenesin, Squalane, Caprylis/Capric Triglyceride, Glyceryl Stearate, Hydrogenated Lecitib, Oenothea Biennis Oil, Olive (Olea Europea) Oil, Prunus Amygdalus Dulcis, Shea Butter (Butyrospermum Parkii), Simmondsia Chinensis (Jojoba) Seed Oil, Allantoin, Ethylhexylglycerin, Sorbitan Isostrearate, Stevioside.

3. Klaim

A healthy blushing cheek and lip without camera filter? Yes, please!

Yah, gitu katanya. Jadi Liptint wardah ini bukan hanya buat bibir ya, tapi juga bisa buat blush on. Multifungsi bukan?

Liptint ini mengklaim bahwa ia bisa:

-Moisturising + Nourishing

-Pigmented and Natural Finish

-Yummy Fruity Aroma

Nah, selama hampir satu bulan memakainya. Begini kesanku..

Pertama, produk ini memang moist buat bibir aku. Dan yes, buat liptint pertamaku produk ini enak dipakai dan jelas enggak bikin bibir kering dan home friendly buat goda-godain suami di rumah. *halah apaan seh

Berikut adalah tampilan aku before dan after pakai produk ini ya..

Atas: before (bare lips), tengah: dot dot, bawah: finishing

Pigmented gak?

Yah, bisa dilihat sendiri ya pinggiran item bibir aku masih kelihatan. But, problem banget gak sih? Menurutku enggak ya kalau kalian mau tampilan yang benar-benar look natural. Sampai nih aku rasa ini dipakai anak SMA masih aman kok.

Kembali kemasalah pigmented? Nay sih menurut aku. Tapi untuk standar pigmented ala remaja Yay banget.

Nah, buat kalian yang bermasalah dengan produk yang kurang pigmented dan tidak bisa menutup pinggiran bibir yang hitam. Ada baiknya jika basic warna bibirnya dikasih lipstik atau lipcream warna pucet. Baru deh ditimpa ombre lips dengan produk ini. Hasilnya? Keceh!

Di foto atas itu aku memakai lipcream wardah No. 03 untuk basic, kemudian di ombre dengan liptint RED ini. Kalian bisa mencobanya kemudian tap tap dengan tangan. Tapii, coba lihat tangan aku? Berbekas merah banget. Yes, buat ditangan aku akui liptint ini lumayan pigmented. Hihi

Satu hal lagi yang aku suka dari liptint ini adalah wanginya buahnya yang segar dan enak. Sensasi memakai liptintnya pun jadi berasa segar loh seperti baru saja memakan buah cherry.

Bagaimana dengan pemakaian liptint di pipi sebagai blush on?

Btw, ada yang masih bingung bagaimana mengaplikasikan blush on cair?

Mamakai blush on cair dalam bentuk liptint maupun lipcream tentu berbeda dengan memakai blush on dalam bentuk tabur. Hasilnya pun juga berbeda. Blush on cair biasanya memiliki tampilan yang lebih terlihat natural dibanding blush on powder.

Untuk yang baru pertama kali mencoba menggunakan liptint atau lipcream sebagai blush on tentu akan merasa canggung dan kikuk (seperti emak dulu..hihi). Tapi jangan khawatir, kalau udah bisa malah kecanduan loh.

Pertama, pakai foundation pada wajah. Aku sendiri sangat jarang menggunakan foundation ya. Karena mahal. Hihi. Aku lebih suka menggunakan DD Cream dari Wardah. Menurutku, ini sudah bagus sekali sebagai pengganti foundation.

Baca juga: Review DD Cream Wardah shade Natural

Setelah selesai menggunakan foundation, buat titik-titik kecil sekitar daerah yang ingin kita buat ‘blush’. Kalau aku, lebih suka dengan posisi blush on dibawah mata dibanding di sekitar pipi. Kemudian, ratakan dengan jari tangan dengan posisi memutar keatas.

Dan berikut adalah tampilannya yaa..

Ops, tidak seimbang ya blush on kiri dan kanan? Gakpapa mak, sengaja. Sekalian mau tanya, kalian tim kiri atau tim kanan? 😂

Gambar diatas adalah foto hanya dengan DD cream dan Liptint wardah. Menurutku, ini sudah natural look banget. Kalau menggunakan bedak tabur setelahnya akan lebih bagus lagi. Bisa dilihat before dan after penggunaan liptint untuk blush on ini ya..

Kiri: Hanya Memakai DD Cream
Kanan: Memakai DD Cream, Blush on liptint wardah dan Bedak Tabur.

Bagaimana? Kece juga kan liptint wardah dijadikan blush on? 😍

Kesimpulannya

Menurutku kelebihan dari liptint wardah adalah:

-Moist banget di bibir dan gak bikin kering

-Kemasan sangat travel friendly

-Pigmented oke untuk harian di rumah (ala emak-emak dan remaja sekolahan)

-Wangi enak dan berasa segar saat memakai.

-Harga ramah di kantong, cuma 45000.

Namun, menurutku liptint ini juga punya kekurangan yaitu:

-Kurang Pigmented untuk dipakai diluaran

-Daya tahan tidak begitu lama

So, Repurchase?

Aku sih yes.. Selama tidak ada produk lokal yang menyaingi dengan varian warna lebih keceh. Hehe.

Tertarik pengen beli produk ini juga? Saranku, untuk kulit nanggung putihnya ada baiknya memakai No. 01 ini. Ini warna aman dan hasilnya tcakep!

IBX598B146B8E64A