Ketika Topik Perkembangan Anak dijadikan Persaingan Sosial oleh Orang Tuanya

Ketika Topik Perkembangan Anak dijadikan Persaingan Sosial oleh Orang Tuanya

source image: bebesymas.com

“Anak aku udah bisa membaca, kemarin sejak umurnya 3 tahun dia udah bisa loh merangkai-rangkai huruf. Jadi pas TK ya bisa aja.. Alhamdulillah.. Emaknya gak pusing.. Hahaha.”

“Enak ya mak, dulu anak pertamaku juga gitu. Tapi yang adek ini beda banget sama kakaknya. Kakaknya dulu umur 4 tahun udah hafal surah macam-macam. Ngajinya juga lancar. Ini udah ngafal Al-Quran juz 30. Adeknya ini, ya Allah.. Iqro 1 aja ngulang-ngulang mulu. Gak bisa bedain mana huruf ‘M’ mana ‘3’ mana huruf 4 arab. Belum lagi ‘b, d, p, sama q’ ngulang-ngulang mulu. Sampai emosi aku tuh. Trus ini bentar lagi mau SD, gimana mau SD kalau huruf aja kebalik mulu.”

“Anakku yang pertama dulu juga gitu mak.. Terus aku ikutkan les di ‘bla bla’. Terus pas udah SD dia juara kelas terus. Iya, tempat lesnya emang bagus sih. Pas udah sampai rumah dia belajar lagi. Jadi di tempat les sama sekolahnya ngasih PR. Tapi Alhamdulillah ya, dia juara terus sejak itu. Padahal ya ampun.. Dulu itu otaknya juga ‘bebal’. Kerjaannya gunting-gunting kertas aja, udah gak terhitung tuh barang yang dia rusak. Kalau diikutkan les kan rumah jadi tenang. Rapii.. Pinter lagi..”

“Wah gitu ya mak, bener juga sih. Hebat ya sekarang juara terus anaknya. Dengar-dengar ada program beasiswa dari pemerintah ya buat anak-anak juara. Kereen. Mau dong ikut les juga..”

“Iya, emang.. Jadi nanti anakku kalau udah SMP mau ikutan program ‘bla bla’. Jadi sampai kuliah nanti kalau dia lulus dia bakal sekolah gratis terus langsung kerja deh. Zaman now ya mak, nyari kerja kan susah. Apalagi kalau anak cowok ya.. Harus lah ya punya penghasilan tetap.. ”

“Ah, anak cewek juga harus kerja kok mak.. Jangan sampai dia gak mandiri pas udah berumah tangga nanti..”

“Iya, bener.. Anakku nanti juga mau begitu ah..”

***

Mama: “Kamu kok susah banget diajarin gak kayak si Anu”

Pernah gak sih kalimat di atas terucap oleh kita?

Pernah gak sih percakapan diatas tak sengaja terdengar oleh kita?

Pernah gak sih merasa kalau sebagian orang-orang (terutama mak emak) suka sekali membandingkan perkembangan anaknya dan anak kita?

Dan ujung-ujungnya kita jadi bete sendiri?

Kemudian merasa tersaingi dan ‘ketinggalan’ dengan bakat anak yang lain. Lalu kemudian bertanya-tanya, “Anak aku kok beda ya sama si anu dan si anu..”

Si anu udah bisa baca.. Anak aku hoby kelayapan main sepeda diluar..

Si anu menang lomba mewarna terus.. Anak aku malah hoby berantakin dan gunting-gunting segala aksesoris di rumah.

Si anu udah hafal surah-surah pendek sampai segini, anak aku diajari Al-Kafirun aja terbolak balik mulu.

Kenapa sih kayaknya kok gak ada yang bisa dibanggakan ya perkembangan anak aku dibanding emak ini, itu dan mak ono..

Benar juga sih, pendidikan zaman sekarang banyak tuntutan. Anak SD sudah diwajibkan bisa membaca. Aduh, apa kabar anak aku yang moody banget kalau disuruh ini itu.

Apa memang harus les?

Pertanyaan ini sungguh sering sekali timbul dipikiran emak muda sepertiku. Realitas sosial, ilmu parenting, bakat anak.. semuanya saling bertabrakan tidak ada titik temu yang benar-benar bisa memecahkan sebuah permasalahan. Dan setelah aku benar-benar merenungi apa sebenarnya permasalahnya.. Aku akhirnya sadar bahwa permasalahan hanya pada satu titik.

***

Masalah jika anak kita berbeda? Sulit diajari membaca? Padahal kita tak putus-putusnya setiap malam membacakan buku cerita padanya?

Tidak. Itu bukan masalah. Setiap anak punya keahlian yang spesial. Pada anak kecil seumur anakku, Farisha.. Perkembangan otak kanannya lebih pesat dibanding otak kirinya. Dia lebih suka dengan aktivitas mewarna, menciptakan kreativitas dan bercerita. Baginya belajar membaca membosankan, menghafal itu membosankan. Aku pernah berkata padanya bahwa membaca dan menulis adalah awal dari munculnya sebuah cerita dan jejak sejarah. Jika tidak bisa membaca maka kita tidak tau apa isi buku cerita itu? Dan kalian tau apa jawabnnya?

Dia berkata padaku, “Tapi, Farisha bisa bercerita walau hanya melihat gambarnya saja.. Dan Farisha bisa bercerita dengan membuat gambar..”

Aku tertawa sekaligus merasa ganjil sesaat. Tapi, setelah aku merenungkan betul-betul kata-katanya akhirnya aku mengerti. Hei, bukankah setiap kode tingkat tinggi tidak melulu dituliskan dengan tulisan? Kebanyakan adalah gambar dan anakku selalu bisa membaca ekspresi dari gambar yang ia lihat. Tidak banyak anak yang mengerti tentang hal ini dan tidak banyak pula orang dewasa yang mengerti dengan standar kepintaran setiap anak.

Couse Everychild is Special.

Permasalahan sesungguhnya adalah “Ketika Topik Perkembangan Anak dijadikan Persaingan Sosial oleh Orang Tuanya..”

Permasalahan utamanya sebenarnya adalah kesalahan kita dalam membuat standar penilaian. Kita selalu mengutamakan ‘standar kebanyakan’ untuk menilai anak kita. Sehingga kebanyakan dari kita membuat anak mengubah jalur kesenangannya untuk menjadi ‘anak-anak pada umumnya’. Padahal, apa asiknya menjadi anak-anak pada umumnya? Apa asiknya selalu juara kelas kalau anak kita sebenarnya tidak mengerti dengan arti persaingan itu?

Aku pernah melakukan kesalahan ini. Jujur saja. Ini terjadi saat di sekolah Farisha akan mengadakan lomba menyusun huruf. Hari sebelumnya aku mengajak Farisha belajar keras agar dapat juara. Aku berkata padanya,”Farisha kalau gak bisa nyusun huruf nanti mama malu. Kan Farisha sudah nol besar..”

Dengan wajah jengkel ia menuruti kata-kataku. Semalaman belajar menyusun huruf. Aku menyemangatinya sambil menghitung waktunya sambil berkata, “Aduh, Farisha lambat sekali..”

Dan ia berkata, “Tapi Farisha udah bisa..”

“Tapi kalau lambat Farisha gak bisa menang!”

“Tapi Farisha Gak sedih kalau gak menang. Farisha cuma sedih kalau kalah dalam lomba mewarna..”

Seketika aku langsung terdiam. Ah, benar juga. Farisha begini anaknya. Seberapapun keras aku mencoba melatih dengan hal yang tidak disukainya.. Ia tetaplah tidak suka.

Aku telah membuat kesalahan besar. Mencoba mengikuti ‘standar kebanyakan’ dalam menilai anak. Aku telah terpancing dalam jebakan persaingan sosial orang tua zaman now. Yaitu, menganggap bahwa Standar Kognitif adalah segalanya.

Ketika Segala Hal Dinilai Serba Kognitif

source: aterceiraidade.com

Kurasa, aku benar-benar membuat kesalahan dalam memutuskan Farisha sekolah. Bukan, bukan karena aku memasukkannya sekolah pada usia belum genap 5 tahun. Tapi aku benar-benar salah memilihkan sekolah untuknya.

Seperti kita ketahui, standar penilaian untuk anak PAUD berbeda dengan anak SD, SMP maupun SMA. Penilaian tidak hanya didasarkan pada Kognitif saja namun juga pada Nilai Agama dan Moral, Motorik, Sosial emosi, Bahasa, dan Kreativitas. Dan setahuku, tidak diperbolehkan diadakan juara sekolah. Apalagi dengan standar kognitif saja atau pencapaian pertumbuhan perkembangan baik yang diukur dengan standar BM (Belum Berkembang), MM (Mulai Muncul), BSH (Berkembang Sesuai Harapan) dan BSB (Berkembang Sangat Baik). Karena Guru di sekolah tidak benar-benar tau tentang anak tersebut. Apalagi model belajar anakku disekolah bukan dengan model sentra.

Aku tentu saja terkejut saat acara perpisahan dan kenaikan kelas ternyata diadakan pemilihan juara kelas. Aku langsung berpikir, “Hei, dengan standar apa?”

Dan anak-anak yang maju kedepan kelas menerima hadiah adalah anak-anak yang cepat menulis di kelas. Bahkan, salah satunya adalah anak yang suka membully anakku. Wow, ‘Emejing’ bukan?

Dan saat melihat para juara di Nol Besar para Ibu-ibu langsung berkomentar, “Iya, si Anu tentu aja juara.. Membacanya sudah lancar…”

Well, How can this happen? Anak PAUD sekecil ini ditentukan standar juara kenaikan dan kelulusan kelasnya berdasarkan Kognitif saja???

Aku menggelengkan kepala. Pantas saja orang tua begitu berlomba-lomba dalam persaingan sosial perkembangan kognitif anak ini. Bahkan, SD zaman now di daerah kami melakukan tes untuk murid-murid TK yang ingin masuk SD. Siapa yang bisa membaca dan menulis maka ia lulus dan boleh memasuki SD Negeri.

Well, mungkin ini terlihat sepele. Tapi, Pernahkah kita menyadari Apa efek dari segala hal yang serba dinilai dari standar kognitif ini?

Mungkin hal ini tidak terlalu berpengaruh pada anak yang memiliki kecerdasan dominan otak kiri sejak kecil. Sebaliknya dia akan senang jika lingkungannya mendukung bakatnya. Tapi, pernahkah kita memposisikan diri sebagai anak kecil? Anak berusia lima tahun yang dunianya dipenuhi dengan segudang kreativitas dan imajinasi? Ia sedang mengembangkan hal yang lebih luar biasa dibandingkan sisi kognitif saja tapi kita memaksanya untuk memenuhi standar bahkan melebihi standar kognitif demi persaingan sosial.

Lantas? Apa Anak Harus dibiarkan semau dia saja? Dibiarkan ketika sisi Kognitifnya ‘lemah’

Tentu saja tidak. Sebagai orang tua aku juga mengerti bahwa tentu membaca, menulis dan berhitung adalah hal yang penting. Tapi, aku meyakini satu hal bahwa kita harus mengikuti caranya berkembang dan berpikir. Dengan kata lain, tiap anak punya metode berbeda untuk belajar sesuatu. Tidak bisa kita menghakimi bahwa anak kita ‘lambat’ hanya karena ia tidak mengerti dengan metode yang dijelaskan oleh gurunya.

Anakku adalah type anak visual yang penuh dengan imajinasi. Gambar dan pewarna adalah hidupnya. Aku sangat ingat ketika mengajarkannya huruf pertama kali aku harus menggambar huruf dengan bentuk-bentuk binatang dan ia yang mewarnainya. Dia mudah mengingatnya ketika imajinasinya bermain. Dan itu menjadi masalah ketika guru menanyainya tanpa gambar maupun visualiasasi melainkan hanya dengan suara. Problem utamanya adalah ketika aku melihat cara belajar di TK anakku yang tidak terlalu banyak menggunakan alat permainan. Ya, hanya papan tulis biasa dan buku tulis. Come on, its boooring!

Bisa ditebak bahwa anak yang pertama kali bisa mengerti adalah anak dengan kecerdasan otak kiri yang dominan dan anak auditori. Apa aku harus mempercayakan anakku belajar lebih lama di TK dan mengikuti les yang membosankan di siang hari? Sepertinya tidak. Aku tidak akan membiarkan imajinasinya hancur.

Ya, hari ini aku berkata pada diriku sendiri.

Anakku Spesial.

Katakan ia masih belum bisa membaca sekarang.

Katakan ia ketinggalan.

Tapi aku tidak akan ikut dengan persaingan sosial dunia perkembangan anak dengan standar kebanyakan. Anak harus bisa begini begitu di usia sekian.

Aku punya standarku sendiri, dan bagiku anakku tetaplah yang terbaik.

Kalian tau? Anak kecil itu kuat. Ia hanya butuh Ibu yang mendukungnya. Hanya itu sumber kekuatannya 100%.

Ia diremehkan lingkungan. Ia di-bully. Ia kalah berkompetisi. Sungguh itu hanya membuatnya menangis sementara saja.

Tapi saat Ibunya mulai tidak mendukung bakatnya, mulai membelokkan bakatnya, menjadikannya tidak spesial lagi.. Maka sungguh, ia akan menangis dan terus menangis lagi..

Sampai kita memeluknya.

Benar-benar memeluknya.

Komentar disini yuk
2 Shares

Komentari dong sista

Your email address will not be published.

IBX598B146B8E64A