Yang Berperang Kala PMS: Hati atau Pikiran?
Hari ini, jujur aku hanya ingin mengisi blog ini dengan curahan semata. Bukan curhat. Tapi lebih dalam mempertanyakan kepada diri sendiri, kenapa sering sekali kejadian menyedihkan mengulang memorinya dikala PMS melanda? *PMS (Premenstrual Syndrome) mood swing parah kala 3 hari sebelum menstruasi.
Contohnya hari ini. Jauh sebelum subuh hari aku sudah bangun dan meminta agar hatiku dijaga oleh Allah. Tapi kemudian, antara keheningan pagi itu. Kembali lagi dan lagi kepalaku dihantui oleh rasa keinginan sempurna. Alih-alih merenung lebih dalam dan memperbanyak curhat pada Allah. Aku lebih memilih menghabiskan waktuku untuk membersihkan rumah. Selama membersihkan rumah, banyak kenangan buruk yang singgah di kepala dan membuatku meneteskan air mata sambil bekerja. Sedih sekali rasanya pagi itu. Sedih dan tak bisa diungkapkan dengan kata, tak ada kejadian buruk dalam durasi pendek. Aku hanya mengingat kenangan lama yang tak kunjung membaik. Hanya air mata tak berhenti mengalir. Dan bingung pula bagaimana cara mengungkapkannya pada pasangan. Takut hal yang keluar tak benar. Takut ini dan itu.
Hati dan Pikiran
Seminggu yang lalu aku menonton channel Ade Rai tentang meditasi. Pada channel itu, Ade menjelaskan lebih dalam tentang apa itu meditasi dan tingkatannya. Aku jadi merasa related sekali tentang kenapa meditasi itu luar biasa susah dilakukan. Susah sekali. Jika dibandingkan workout, meditasi yang benar-benar sampai pada fase hening dan mindfullness itu sulit.
Itulah kenapa, aku memutuskan hanya bermeditasi dikala hati sedang tenang. Justru makin sulit dilakukan kala hati sedang resah karena gangguannya banyak sekali. Saat hati resah, mengaji dengan nyaring adalah obat. Sebenarnya ada yang lain.. sih.. Curhat misalnya, tapi aku SANGAT JERA melakukannya. Meditasi tidak bisa menyembuhkan, karena dikala diam dan merenung lantas berusaha menerima ada hal lain yang mengganggu. Entah itu pikiran logika. Entah itu hati. Keduanya merasa ingin dimenangkan. Huft.
Meditasi just like charging our chakra. Workout just like charging our energy. – Quote yang aku ciptakan terinspirasi dari Naruto dan mengenal meditasi.
Itulah kenapa Ninjutsu lebih sulit diterapkan dibanding Taijutsu. Karena sebelum ‘charging our chakra’.. Kita harus mengenali hati dan pikiran kita. Apa sebenarnya yang ingin kita kendalikan? Apa identity kita? Apa elemen dominan dalam diri kita?
Kalau kata Mas Ade Rai, kita itu bukan pikiran kita. Kita juga bukan hati. Kita itu lebih dari itu.
So What? Mungkin itulah inti dalam dalam ‘manusia sebenarnya’. Kita adalah Sang Pengendali. Pengendali unik dari hati dan pikiran unik yang Allah ciptakan secara spesial pada diri kita.
Masalahnya, untuk sampai pada level Sang Pengendali, kita justru harus memeluk hati dan pikiran kita sendiri. Tau gak? Bagi aku itu level tersulit. Pikiranku berontak ingin menjelaskan kebenaran versiku yang tak pernah kunjung bisa keluar dengan benar. Hatiku? Merasakan dampak buruk dari pikiranku yang terpendam. Menangis tak jelas, marah tak jelas, satu saja pencetusnya… Pikiran akan mengeluarkan hal-hal terpendam yang selama ini ia sembunyikan. Parahnya, pikiran saat PMS hanya mengeluarkan hal buruk terlebih dahulu. Sementara hati tak bisa mengontrolnya karena emosi didalamnya pun didominasi oleh Sadness and Angry.
Antara Logika dan Emosi
Sampai sekarang, aku termasuk salah satu manusia yang sering bingung kenapa Laki-laki dan Perempuan itu diciptakan untuk hidup berdampingan. Please, dont get me wrong. Maksudku adalah dari sekian banyak hal indah. Ada satu hal yang membuat laki-laki dan perempuan itu rentan sekali berkonflik. Satu hal itu adalah perbedaan pola pikir. Laki-laki dominan pada logika-otak kiri. Sementara perempuan dominan pada emosi-otak kanan.
Jangan tanya sudah berapa konflik yang tercipta karena perbedaan ini. Banyak. Banyak sekali.
Bukankah banyak pasutri yang berkonflik diluar sana dimulai dari perbedaan ini.
Tau gak? Keduanya… saat ditemui dan berkonsultasi pada psikolog. Selalu merasa dipihak yang ‘benar’. Suami contohnya, merasa tindakannya tak pernah salah ketika tidak paham dengan kesibukan istri di rumah. Alasannya begini, “Kenapa tidak minta tolong langsung?”
Contohnya lagi, laki-laki kerap marah ketika istri mengeluarkan emosi dominan, menangis tak jelas dll. Inginnya adalah perempuan harus bisa berkomunikasi dengan baik menggunakan pikirannya tanpa perlu menangis bombay. “Kenapa drama sekali?” -Perkataan yang kerap ditanyakan laki-laki ketika berkonflik
Sebaliknya istri.. Juga selalu merasa pada pihak yang benar. Merasa tindakannya tak pernah salah ketika tidak ngomong ‘minta tolong’ di rumah. Alasannya begini, “Pernah dimintai tolong tapi responnya tak baik. Dan akhirnya jera”
Alasan lainnya, “Harusnya paham-paham sendiri lah. Bla bla”
Contohnya lagi, perempuan kerap marah ketika suami mengeluarkan pikiran dominan tanpa disertai dengan emosi dan reframing dalam berkomunikasi. Inginnya lelaki.. semua langkah hanya berdasarkan logika dan tak mempedulikan perasaan. “Kenapa tak bisa mengerti aku?” – Perkataan yang kerap ditanyakan perempuan ketika berkonflik.
Perbedaan demikian kerap terjadi tak hanya dalam berkonflik.Tapi juga dalam kehidupan receh sehari-hari. Saat nonton film bersama misalnya. Laki-laki cenderung akan mempercepat ketika adegan menangis atau konflik bicara yang mengemukakan emosi. Thats why, laki-laki benci dengan drama korea yang biasanya bagus sekali dalam menggambarkan emosi. Sebaliknya, perempuan justru tidak suka dengan adegan action yang begitu lama dan berputar-putar. Drama sekali pikirnya. Kenapa tidak dipercepat saja. To the point saja. Siapa yang menang dan siapa yang kalah?
Pertanyaannya. Siapa yang benar? Antara laki-laki dan perempuan? Laki-laki dengan otak dominan logika atau perempuan yang dominan dengan emosi? Sang Otak kiri atau Kanan?
Tak ada yang benar. Keduanya salah karena tak bisa memahami yang lain.
Beberapa orang berkata bahwa laki-laki lebih nyaman dalam bermeditasi. Aku tak bisa sepenuhnya ‘membenarkan’ hal itu. Bisa saja saat bermeditasi yang keluar dalam otak laki-laki hanya logika saja. Ia ahli dalam hal ini: mengebelakangkan emosi. Laki-laki ahli dalam hal itu karena begitulah ia tercipta.
Karena itu, konten dalam Ade Rai tsb dijelaskan bahwa level 1 dalam meditasi sebenarnya terletak pada Etika Sosial. Etika Sosial dalam hal ini bukan logika atau pikiran realistis. Tapi tentang ‘memahami yang lain’.
Sudahkah kita memahami satu sama lain?
Memahami Mood Swing pada Diri Sendiri
Beberapa hari yang lalu, aku mengambil kelas pengasuhan remaja yang dikelola oleh Rangkul Banjarmasin. Pada kelas itu, aku memahami bahwa mood swingku pertama kali muncul saat remaja. Kala itu, umurku 13 tahun. Aku tak paham kenapa setelah selesai berbicara dengan mama aku menangis tak jelas. Rasanya sakit sekali saat itu. Aku sering mengunci diri di kamar. Kadang merenung. Kadang menangis sendiri. Semua itu sering aku alami saat PMS. Tapi dulu, aku tidak tau kalau periode itu namanya adalah PMS. Aku hanya tau kalau perempuan itu lebih sensitif pada kata-kata yang kasar. Dan biasanya, beberapa hari setelah gangguan sensitif akan tiba saatnya menstruasi.
Belakangan, aku sering refleksi pada diri sendiri. Tentang hal apa yang paling sensitif bagi diriku. Aku sadar setiap kali PMS melanda, kenangan yang berputar dipikiran tanpa di ‘play’ itu adalah kenangan tentang perasaan disalahkan, perasaan tidak dianggap becus dll. Sejak remaja pun kenangan demikian sering berputar sendiri tanpa di ‘play’. Perasaan dibedakan. Perasaan dianggap sebelah mata.
Karena itu aku mencoba menyembuhkan rasa-rasa demikian dengan membersihkan rumah. Kadang, saat melihat rumah yang kotor dan kemudian bersih.. Aku merasa seakan sedang menyikat hati kotorku sendiri. Itulah kenapa saat kenangan itu datang, aku tak bisa berlama-lama curhat pada Allah. Alih-alih berkomunikasi dengan hati, aku lebih plong saat melakukan yang terbaik yang bisa aku lakukan di pagi hari. Aku tau itu salah. Tapi itu yang paling membantu saat PMS melanda. Sama halnya dengan melakukan pilihan antara meditasi atau workout… Aku merasa lebih nyaman melakukan workout. Karena prosesnya terlihat nyata. Bukan tak terlihat.
Kurasa peerku masih jauh sekali. Aku masih sering berfokus pada hasil nyata untuk membuatku bahagia. Aku masih sering terbayang kata-kata buruk dari orang lain. Aku masih menjadikan kata-kata itu sebagai bahan bakar untuk memotivasi diriku sendiri.
Antara Hati dan Pikiran. Antara Logika dan Emosi.
Aku masih tak bisa untuk menjadi pengendali yang benar. Terlebih saat PMS. Karena kenangan itu berputar tanpa di play. Tak ada yang memintanya untuk Play sendiri. Tak ada yang meminta air mata untuk menangis sendiri. Tak ada yang meminta kemarahan untuk keluar di ending tangisan. Tapi itu nyata sering terjadi saat PMS melanda. Itu adalah siklus yang mungkin harus aku terima keberadaannya. Siklus menyebalkan sebagai seorang perempuan.
Menyebalkan tapi itulah yang harus diterima. Diterima bahkan oleh diriku sendiri.
Yang aku yakini lagi, mungkin ada alasan besar kenapa Allah menciptakan perempuan sedemikian. Lengkap dengan periode PMSnya. Secara biologis, mungkin fase PMS adalah bahan bakar agar proses menstruasi berjalan dengan baik. Secara psikologis, mungkin fase PMS adalah bahan bakar untuk refleksi diri. Refleksi pada kenangan menyakitkan. Refleksi untuk mencari jalan tengah pada sekian konflik yang mungkin tertunda ending baiknya.