Parenting Dimata Chat GPT

Parenting Dimata Chat GPT

Chat GPT, hal yang sudah jauh hari ramai diperbincangkan oleh teman-temanku. Kalangan blogger serta teman-teman yang bekerja di dunia digital mulai ramai membuat status di sosial media berceloteh tentang AI yang serba bisa ini. Beberapa diantara mereka berkata bahwa ini sedikit ‘waw’ dan sebagian yang lain berkata bahwa ini akan menggeser profesi blogger. Namun, tak banyak pula yang melihat bahwa chat GPT hanya sekedar alat untuk mempermudah. 

Aku sendiri sudah sekitar 3 bulan yang lalu mulai aktif menggunakan Chat GPT. Jujur, aku sama sekali tidak berminat menggunakan chat GPT untuk tulisan blog shezahome.com. Blog ini pure ditulis dengan ‘emosi’ dan sedikit pencerahan pada endingnya. Sifatnya adalah media healing dan pengingat diri. Aku menggunakan Chat GPT hanya untuk keperluan konten branding perusahaan. Aku juga menggunakan Chat GPT untuk bertanya hal-hal yang tidak aku tau.

Dan jujur, jawabannya lebih to the point dan rinci dibandingkan mencari artikel yang related di google. Untuk keperluan materi, Chat GPT sangat membantu. Tapi, bagaimana untuk urusan parenting?

Iseng, aku bertanya berbagai hal yang berbau parenting pada Chat GPT. Dan kalian tau bagaimana responku?

Tentang Menjadi Ibu yang Baik ala Chat GPT

Iseng, aku bertanya hal demikian pada Chat GPT.

Jawaban yang cukup panjang dan sungguh menurutku cukup lengkap. Tapi, cobalah baca berulang kali. Sound so familiar sih kata-katanya menurutku sendiri. Seperti baru saja menyimak seorang psikolog parenting yang membeberkan webinar tanpa pengalaman di dalamnya. Seperti menyimak tulisan blogger yang cuma membeberkan teori parenting di artikelnya. Seperti blog-blog parenting tanpa branding personal. Ibu beranak 2 sepertiku kadang hanya bisa melihat sambil sesekali menguap membaca hal demikian. Jujur, menyimak materi tanpa emosi di dalamnya maka materi tersebut seakan ‘tak related’

Beda halnya ketika aku membaca sebuah status tentang pengalaman seorang ibu, jatuh bangunnya untuk mewaraskan diri sendiri, hingga mungkin memiliki anak-anak yang juga menguji emosinya. Keluhan di awal namun mencoba stabil di tengah cerita. Lantas meski tau tak mudah, mencoba menulis solusi dan penenangan diri di akhir cerita. Rasanya beda. Seakan aku baru saja menemukan teman yang sama sepertiku. 

Itulah yang tak dimiliki Chat GPT. Emosi. Pengalaman. Chat GPT mungkin bisa mengemukakan cara menjadi ibu yang baik. Tapi ia tak punya pengalaman berkaitan tentang itu. Ia tak punya emosi yang membuat pembaca merasakan hal yang sama.

Chat GPT Bisa Menjadi Acuan dalam Masalah yang Solutif

Sebagai blogger, jujur aku sempat sekali menulis pengalaman-pengalaman baper di blog. Tapi seiring berjalan waktu, aku memutuskan menjadikan separuh diriku layaknya Chat GPT. Itulah kenapa Blog yang dulunya hanya ladang curhat, aku ganti Taglinenya dengan ‘Sok Bijak’. 

Namun demikian, Chat GPT menurutku cukup menarik. Ia mulai bisa membuat solusi pada emosi. Dari yang awalnya hanya teori, berkembang menjadi teori-solutif. Ini seakan membuatku sadar bahwa andai kita memiliki masalah mungkin Chat GPT bisa memberikan kerangka solusinya. Misalnya saja seperti pertanyaanku dibawah ini, “Bagaimana cara Ibu memberdayakan diri?”

Meski terkesan teoritis, namun kata-kata yang dituliskan oleh Chat GPT adalah to the point ke solusi. Dan jujur solusinya itu benar semua. Berbeda denganku dulu yang perlu berjuang untuk paham arti berdaya. Dari mulai mengutamakan me time, belajar, mencari komunitas sosial, curhat, akan tetapi semua jadi gamang dan tanpa tujuan saat aku tidak mendelegasikan tujuan dan rencana. Semua jadi tetap saja terasa stressnya karena aku tidak menjaga kesehatan fisik dan emosional lewat workout dan meditasi. Chat GPT menjawab masalah dengan solusi rinci meski tanpa emosi. Dan jawabannya mirip… dengan jawaban laki-laki.. Hahaha.

Dan aku sungguh merasa tersentuh sih soal jawaban Chat GPT pada point 7. Meski mungkin itu adalah teori yang ada pada database AI.. Namun, itu mengandung emosi. Jangan lupakan diri Anda sendiri, kata-kata itu bahkan perlu aku dapatkan setelah 7 tahun menjadi Ibu. Tapi lewat bertanya pada Chat GPT? Aku mendapatkan jawaban itu secara instan. Sungguh Instan.

Sisi Mengerikan Chat GPT: Dia Bahkan Bisa Bercerita

Seakan menggigit lidah, aku kembali menarik perkataanku bahwa Chat GPT tidak memiliki pengalaman. Iseng, aku bertanya, “Ceritakan pengalaman tentang proses menjadi ibu”

Dan jawabannya seakan menjadi ‘teman’ dan mencoba untuk ‘related’ dengan kita.

Meski ya memang sih.. Ceritanya seakan sok bijak banget. Tapi, kurasa bukan tak mungkin Chat GPT lebih berkembang lagi. Seperti mencoba menjawab pertanyaan dengan versi empati lebih tinggi atau bahkan membuat kita seorang Ibu merasakan keterikatan. Bukan tak mungkin seiring berjalan waktu AI menjadi partner baik dalam pengasuhan. Menjadi teman curhat dan pendengar yang baik. Bukankah itu yang sebagian manusia lain inginkan? Ketika seorang Ibu sedang sedih dan baper.. Jangan curhat, jangan ngeluh, jangan nulis kesana kemari. Curhatlah hanya pada Allah. Duh, sebuah kata-kata diatas level bijak sekali. Bahkan Allah saja menjadikan manusia sebagai makhluk sosial untuk bisa terkoneksi.

Coba renungkan sekali lagi, andai saja seorang Ibu yang terkena Mom Shaming justru curhat pada Chat GPT. Dan lagi-lagi.. Jawabannya pun solutif.

Saat membaca solusi dari Chat GPT aku bahkan mendapatkan kesimpulan bahwa AI saja menyuruh seorang ibu untuk memiliki teman bicara. Teman yang bisa dipercayai, keluarga yang baik yang bisa mendukung. Seorang AI saja tidak memberikan solusi seperti, “Jangan ini itu, curhat pada Allah saja”

Lantas kenapa kita sebagai manusia level bijaknya seakan sudah diatas sekali? Ada khayalan mengerikan yang terlintas begitu saja saat aku iseng memberikan beberapa pertanyaan demikian pada Chat GPT…

Bagaimana jika kelak, AI hadir bukan hanya tentang memberikan solusi.. Tapi menjadi teman. Masihkah manusia membutuhkan manusia yang lain?

Bagaimana jika kelak, manusia mulai lelah berhubungan dengan sesamanya dan mulai serba menggunakan AI dalam hidupnya. Masihkah layak disebut manusia?

Jujur, aku pribadi saja sudah ‘sedikit’ mengalaminya. Dulu, aku sering dibully tentang pekerjaan rumah yang tak becus. Rumah yang tak rapi, masakan yang tidak perfect, atau anak yang tidak dididik seperti pola mereka. Orang-orang demikian, membuatku trauma berhubungan dengan manusia terutama ibu-ibu yang berbeda generasi denganku. Seiring dengan meningkatnya ekonomi hidupku, aku lebih memilih membeli teknologi untuk mempermudah hidupku dibanding memiliki ART. Teknologi bisa membuat hidupku lebih baik. Mesin cuci, robot vacuum, setrika uap.. Jauh lebih membuatku waras dibanding memilih memiliki ART yang mana mungkin saja merupakan generasi diatasku. Alih-alih membantu orang dalam bekerja, aku lebih memilih memiliki teknologi. Bagaimana jika kelak, untuk teman curhat pun aku lebih memilih AI? Haha.

Meski terkesan ‘gimana’. Percayalah.. Inti dari tulisanku adalah.. Yuk, jadilah manusia yang bisa memanusiakan manusia lainnya. Jangan sampai teknologi AI malah memiliki empati yang lebih baik dibanding manusia. Aku tau, AI sebenarnya tak punya ‘rasa’. Aku tau, manusia tempatnya khilaf dan sering berbuat salah maupun melanturkan kata-kata menyakitkan. Namun, di era serba digital ini.. Jangan sampai dunia nyata dan relasi nyata pun tergantikan. 

Bagiku, yang namanya ilmu parenting tetaplah tentang petualangan menjadi orang tua yang baik. Tentang bagaimana menemukan teman untuk berbagi, dan menemukan diriku sendiri. Bagaimanapun juga, AI tak bisa mengambil alih cinta dari keluarga. AI tak bisa memahami karakter manusia disekitar kita. Empati itu ada pada diri manusia. AI hanya memanipulasinya dalam bentuk kata.

Komentar disini yuk
0 Shares

22 thoughts on “Parenting Dimata Chat GPT

  1. Aku termasuk yang belum pernah pakai fitur AI ini. Karena, sering masih terasa belum membumi bahasanya. Dan setuju tidak ada emosi yang merupakan perbedaan antara manusia dengan teknologi ya

  2. Sering dengar soal cjat GFT baru tahu detailnya setelah baca inj. Jangan sampai nih jadi teman curhat anak yg lagi galau. Walaupun solutif tetap hubungan dengan sesama manusia penting untuk kehidupan sosial. Tuntutan jadi ortu makin menantang ya

  3. Mak, makjleb banget deh sama ini “Bukan tak mungkin seiring berjalan waktu AI menjadi partner baik dalam pengasuhan. Menjadi teman curhat dan pendengar yang baik. Bukankah itu yang sebagian manusia lain inginkan?” Jujur, meski dilanda kekhawatiran soal kehadiran ChatGPT ini, tapi pemikiran soal partner cerita ada benarnya juga, huhu. Apalagi semakin bertambahnya usia, teman-teman makin berkurang dengan sendirinya ~

  4. Penasaran juga ya, saat menjawab proses menjadi ibu itu, si Chat GPT ngambil sumber dari mana yaaa… bisa semenyentuh itu. Klo aku kok malah ngeri ya membaca jawaban2 si AI ini, kayak tau semuanya heheheee… Tapi klo sedang butuh wacana untuk nulis sesuatu, bagus juga sih untuk referensi.

  5. Aku malah belum coba kak chat GPT ini…tapi bener ya tulisannya juga kaku gk story telling … Jadi mending nulis sendiri aja atau ya buat referensi diolah lagi kata2nya

  6. Sampai saat ini saya belum pernah coba chat GPT buat nulis
    Kadang penasaran juga sih
    Ntar deh saya coba

  7. Ini jawaban-jawabannya bijak bener ya, tapi ku yakin di saat ada yang butuh ‘teman’ Chat GPT bisa gantikan…Maka reminder buat kita semua agar menjadi manusia yang bisa memanusiakan manusia lainnya. Masa rela sih teknologi AI memiliki empati yang lebih tinggi dibanding kita. huaa

  8. Kemarin Temanku ada yang rekomendasiin Chat GPT buat ngumpulin data ini itu. Belum coba, mungkin nanti. Yang jelas, mesin sama manusia itu beda ya. Meski oke, tapi rasa emosi gak ada

  9. Mbak, terima kasih tulisannya. Entah mengapa ini insightful banget buatku. Khususnya bagian ini “Namun, di era serba digital ini.. Jangan sampai dunia nyata dan relasi nyata pun tergantikan.”. Jadi merasa tertohok. Selama ini kadang merasa cukup berinteraksi seadanya lewat maya, ternyata pertemuan dan relasi di dunia nyata penting adanya.

    Dan tepat sekali, berbeda dengan contoh-contoh tulisan yang dibuat AI, tulisan blog ini terasa sentuhan emosinya 🙂

  10. Aku dari ada si chat gpt ini belum pernah pakai sama sekali tapi suka lihat beberapa teman share hasil chat gptnya. Jadi memang si chat gpt ini dipakai hanya untuk seperlunya sih ya, ngeri juga kalau keterusan

  11. Menurutku Chat GPT itu hanya alat. Sebagai alat, terserah kita mau menggunakannya sampai di mana. Nah kalau untuk mencari informasi Chat GPT jauh lebih cepat dan spesifik jawabannya. Kadang ngawur, tapi lebih banyak benarnya. Sebagai blogger, kita terbantu banget dengan chat gpt, tapi sentuhan manusianya perlu ditambahkan juga. Tulisannya perlu diedit, minimal 70 persen. Kalau enggak ya kayak baca tulisan di koran, gak ada emosinya, garing aja gitu hehehe..

  12. Aku belum pernah pakae teknologi ini sebab, untuk urusan anak tiga dengan ilmu yang sama tanpa dibedakan eh feedback dari tiga anak bea2, jadi yah tetap aja beda orang beda treat dan juga beda hasilnya. tapi kalo gabut bolehlah kali pake ini yah

  13. aku lagi main-main sama ChatGPT nih, buat cari ide konten. Enggak copas karena memang garing, tidak ada emosi di dalamnya. Hanya seperti teori. Ya namanya juga AI.

    kalau curhat dengan AI atau robot boleh aja sih tapi tetap ingat batasan, keamanan, dan sebaik-baik tempat meminta tolong hanya ke Allah.

  14. Aku belum pernah pakai AI untuk kebutuhan menulis atau apa pun terkait materi konten mbak. Kalaupun nanti mau coba, ya mungkin sebatas untuk cari tahu sesuatu saja.

    Baca pengalaman personal yang ditulis oleh seseorang lebih dapet “feel” nya.

  15. Untuk yang membutuhkan informasi to the point, chat GPT memang bermanfaat. Tapi, saya termasuk yang menyukai tulisan personal. Apalagi kalau tentang parenting, food, dan travel. Rasanya lebih seneng aja kalau baca pengalaman orang. Seperti mendengar seseorang sedang bercerita.

  16. Aku malah belum pernah pakai chat GPT mbak. Penasaran juga sih sebenarnya. Teknologi AI ini kok keren banget ya. DIa tahu jawabannya dan bisa bijak gitu hahaha. Berasa dia berpengalaman padahal dia bukan seseorang yang riil, melainkan robot. Wowww deh LD

  17. Aku juga sudah menggunakan AI untuk nge-blog. Jadi aku gak perlu bolak balik cari dari beberapa website, tapi langsung di satu situs saja. Tentunya, pas posting ke blog, menggunakan gaya bahasa sendiri.
    IMHO, memang kita suka cenderung julid sih. Tapi sebenarnya bisa dikontrol, KALAU MAU. Masalahnya, orang lebih tidak ada kontrol mulutnya, gak mau tau orang lain tersinggung atau malah jd stress. AI mungkin bisa membantu kita sortir tipe2 orang seperti ini? Hehehe… Jd bisa tetap bersosialisasi tanpa harus merasa terintimidasi

Komentari dong sista

Your email address will not be published.

IBX598B146B8E64A