Tentang Hubungan Mana yang Perlu diperbaiki

Tentang Hubungan Mana yang Perlu diperbaiki

Ada konten yang selalu terngiang-ngiang dipikiranku sejak bulan ramadhan kemarin. Kalian tau konten tentang apa?

FYI, Aku suka sekali memfollow akun instagram dari para psikolog. Sejauh ini, ada 3 psilokog dan psikiater yang senang aku ikuti. Antara lain adalah wantja, jiemi adrian dan verauli. Ketiganya punya value unik masing-masing. Wantja menjelaskan struktur fenomena psikologis dengan ilustrasi uniknya, Jiemi yang  lebih realistis dan bagus dalam berkomunikasi. Serta Verauli yang lebih membahas tentang cara membina hubungan yang baik antar keluarga. 

Adalah konten dari Dr Jiemi Adrian yang banyak sekali aku renungkan 2 minggu bekalangan ini. Sudahkah kalian menonton reels dari beliau?

Hablum-Minannas

Jika kalian sudah menonton reels dari Jiemi Adrian yang aku selipkan di postingan ini, kalian pasti ‘manggut-manggut’ dan mungkin kalian sependapat dengan reels tersebut. Tentang sumber kebahagiaan yang berasal dari ‘hubungan yang baik’. Hubungan yang baik antar manusia.

Sebagai orang islam, kita mengenal hal ini dengan istilah Hablum-Minannas. 

Manusia tercipta sebagai makhluk sosial yang membutuhkan orang lain untuk bertahan hidup. Bukan cuma tentang perkara kebutuhan biologis. Namun juga perkara kebutuhan psikologis. Penelitian yang memakan waktu berpuluh tahun pun menunjukkan bahwa sumber kebahagiaan manusia ternyata ada pada ‘hubungan yang baik’. Hubungan yang baik antar sesama.

Aku sering bertanya-tanya. Tentang ‘hubungan yang baik’. Seberapa efektif hal itu? I mean, Apakah semakin banyak kita memiliki hubungan baik dengan manusia..maka semakin banyak pula kita memiliki kebahagiaan?

Apakah jika kita memiliki hubungan yang baik dalam jumlah sedikit.. Maka kebahagiaan kita tak sebanyak dari mereka yang memiliki banyak hubungan baik?

Atau dalam era sosial media sekarang.. Apakah mereka yang memiliki banyak followers dan persentasi engangement yang tinggi akan memiliki kebahagiaan lebih tinggi dibanding mereka yang memiliki puluhan follower saja? Yang bahkan malu-malu berinteraksi didalamnya.

Jika kebahagiaan adalah tentang kuantitas jumlah hubungan baik dengan manusia, apakah itu bisa melawan kualitas hubungan baik dengan manusia?

Pertanyaan yang berulang aku tanyakan. Dan sebenarnya konteks yang aku pikirkan bertolak belakang dengan nasehat salah seorang guru di daerahku..

“Jika melakukan kebaikan, jangan berharap balasan dari manusia. Kalau berharap pada manusia, hatimu akan sakit. Berharaplah hanya pada Allah. Dia yang paling memahami rasa dan niat dari dirimu..”

Ya, jangan berharap pada manusia. Sering kali aku paham dengan nasehat ini, namun seringkali aku juga lengah dengan insting sosialku. Saat melakukan kebaikan, kadang aku ingin dianggap ‘baik’ oleh orang lain. Aku ingin sekali ditatap dengan tatapan berharga. Tatapan kasih. Ucapan kebaikan yang tulus. Pujian. Ingin sekali. Saat mendapatkan hal itu aku merasakan keterikatan dengan manusia. Merasakan hidup yang berarti. Ada energi positif yang masuk dalam diriku. Sesaat, Aku meyakini bahwa itulah yang dimaksud dengan ‘hubungan yang baik’ oleh Dr Jiemi. 

Namun, saat aku tak mendapatkan itu semua. Rasanya ikatan itu longgar. Enggan rasanya mendekat dengan lebih jauh. Saat mendapat sindiran atau celaan. Aku lebih memilih melindungi harga diriku. Menyindir dan mencela balik dengan cara implisit. Demi melindungi ego yang masih ada. Agar masih bisa teguh berdiri. Aku mengumpulkan orang yang mendukungku dan senasib denganku agar bisa terus membelaku. Sekilas, aku bertanya-tanya.. Orang-orang yang mendukung egoku ini dan terus disampingku.. Lantas, Apakah mereka yang mendukungku juga dinamakan ‘hubungan yang baik’?

Lantas timbul pikiran mengerikan. Siapakah yang mungkin akan datang dan menangis saat aku sudah meninggal nanti? Siapakah yang merasakan kehilangan teramat dalam? Apakah mereka itu yang masuk dalam ‘hubungan yang baik’ dan membuat aku bahagia bahkan ketika sudah meninggal?

Saat menulis hal ini pikiranku membayangkan dan mataku menjadi panas. Aku sering bertanya-tanya.. Apakah ada yang merasa nyaman saat aku sudah tidak ada? Berapa banyak perbandingan jumlahnya dengan mereka yang menangis? Apakah itu sumber timbangan kebahagiaanku di alam akhir nanti?

Lantas aku diam lebih jauh. Lebih memikirkan kata-kata guru dan ceramah yang pernah aku dengarkan. “Jangan berharap pada manusia atau hatimu akan sakit”

Benar rasanya. Jika mengkhayal dan mengharapkan sifat baik dari manusia.. Hatiku malah merasakan rasa tak nyaman. Dalam beberapa periode hidupku, aku sulit sekali berkhusnuzhon pada sesama manusia. Ada trauma kecil yang pernah aku alami saat kecil dulu. Dan rasa itu sering membengkak jika sudah menemui triggernya. Aku menyadari bahwa setiap rasa dengki dari orang lain yang terus berhembus kearahku tanpa tau kebenarannya akhirnya menjadi penyakit bagi hatiku sendiri saat mengetahuinya.

Karena itulah mungkin orang-orang terdekatku selalu berkata untuk membaca surah Al-Falaq setiap kali muncul prasangka buruk. Allah Bersama kita, dalam setiap hubungan dalam sesama manusia. Aku baru-baru saja mengerti lebih dalam kenapa surah ini menjadi salah satu surah yang sakti. Karena dalam surah ini, kita menjaga hati tak baik dari orang lain. Kita juga menjaga hati sendiri. Dalam dunia luas ini, selalu ada sisi hitam dibalik itu. Maka sebenarnya hubungan antar manusia adalah tentang menjaga hati dan usaha tanpa batas untuk bisa ikhlas. Bukan tentang kuantitas hubungan, bukan pula tentang kualitas hubungan. 

Hablum-Minallah

Pertanyaan yang sering aku pertanyakan setelah menonton reels itu kembali adalah Bagaimana jika ternyata dalam hidup salah seorang manusia ia dikelilingi oleh orang yang ‘hitam’. Orang yang tidak baik. Yang kemudian manusia tersebut tetap berusaha menjadi terbaik diantara yang tak baik. Maka atas kehendak itu pula ia melukai hubungan yang baik. Untuk bisa menjadi baik. *berputar sekali bahasaku..

Keadaan demikian mungkin banyak terjadi di sekililing kita. Ingin keluar dari circle KDRT misalnya, maka seseorang harus berani melawan. Melaporkan orang yang dulu ia sayangi dan ia yakini harus bisa menjaga hubungan yang baik. Ingin keluar dari circle patriarki untuk bisa berdaya misalnya. Maka mau tak mau harus ada yang ‘merasa tersakiti’ demi keberdayaan diri. Ada saatnya komunikasi baik tak efektif. Ada saatnya kita sebagai manusia memutuskan untuk keluar dari hubungan yang baik. Demi diri sendiri, demi orang yang kita sayangi. Maka kepada siapa kita bersandar untuk terus bisa yakin? untuk diberikan ‘jalan yang lurus’?

“Jika ingin hubungan antar manusia membaik, maka perbaiki dulu hubunganmu dengan Allah” Nasehat lama dari seorang Guru yang sudah lama aku lupakan.

Yang kadang manusia sepertiku lupakan adalah terlalu fokus untuk menjadi makhluk sosial yang baik, makhluk sosial yang bisa diterima, diakui manusia yang lain.. sampai lupa bahwa sebenarnya hubunganku dengan penciptaku sendiri mulai tak kunjung diperbaiki.

Lupa untuk sholat malam dan mengadu tentang hati. Tapi masih bisa menulis panjang lebar sekian jam untuk curhat. Lupa untuk khusyuk dalam sholat. Malah memikirkan pekerjaan domestik untuk serba sempurna. Lupa bahwa setiap doa tak hanya sekedar dari lisan namun juga dari hati yang sungguh-sungguh. 

Manusia sepertiku kadang begitu egois. Ingin hubungan dengan manusia membaik. Tapi lupa bahwa setiap hati pada manusia bisa lunak dalam kehendak-Nya. Dan sebanyak apapun aku mengadu pada manusia. Tak ada yang benar-benar memahami diriku sendiri kecuali Allah. 

Tak ada yang benar-benar tau masa laluku, hatiku, apa yang sedang aku usahakan. Sebanyak apapun aku ‘mengadu’ dan mencari dukungan dari sesama manusia rasanya dahaga itu tak kunjung terpuaskan. Ramadhan kemarin, aku off sosial media dan blog. Rasanya hatiku lebih nyaman saat tak memikirkan apa penilaian manusia kepadaku. 

Karena yang tau betul tentangku hanya Allah.

Maka, mungkin menjawab judul artikel ini.. Tentang hubungan mana yang terlebih dahulu diperbaiki? Hablum-minannas atau Hablum-minallah..?

Mungkin Hablum-minallah jawabannya. Dan jika dipertanyakan kembali.. Apakah itu akan membuat manusia merasa bahagia? 

Mungkin kita perlu merenungi kembali tentang apa itu definisi bahagia. Aku pun masih sering merenung tentang variabel bahagia hingga sekarang. 🙂

Komentar disini yuk
0 Shares

3 thoughts on “Tentang Hubungan Mana yang Perlu diperbaiki

  1. Setuju, menurut saya hablum-minallah juga yang perlu diperbaiki lebih dulu. Semoga Tuhan mengabulkan harapan agar kita selalu dikelilingi oleh manusia-manusia baik yang bisa bikin bahagia ^^

  2. Iya sih, kadang kita sedikit abai sama hubungan kita sama Tuhan, seakan itu jadi rutinitas harian aja yang tidak kita tingkatkan kualitasnya, sementara yg di luar sana tterus kita introspeksi. Terimakasih sudah menjadi reminder

  3. Iya ya, bahagia itu definisinya akan berbeda-beda sesuai dengan pandangan setiap orang. Tapi kalau menurut pemahamanku, benar sih bahwa memang habbluminallah dulu lalu seimbangkan dengan habbluminannas. Semoga bahagia itu selalu hadir dalam jiwa. Aamiin.

Komentari dong sista

Your email address will not be published.

IBX598B146B8E64A