Saat Marah Kepada Suami
“Kalau lagi marah dengan suami it, bicara aja langsung di hadapannya.. Jangan malah kesana kemari..” Someone
Terdengar familiar banget ya, atau apakah kita termasuk dari salah seorang yang pernah mengucapkannya?
Jika pernah mendengar maupun mengucapkannya kepada sesama wanita. Ada baiknya, kalian membaca tulisanku ini.. Karena mengontrol kemarahan merupakan bagian dari mengontrol emosi. Emosi yang terkontrol akan membuat kesehatan jiwa seorang istri sekaligus ibu menjadi lebih baik dalam mengasuh keluarga.
Well, semoga kedepannya aku bisa menulis lebih lanjut tentang cara mengontrol emosi saat menikah, baik itu mengontrol perasaan sedih, takut, kecewa, dan over bahagia. Tapi tulisanku kali ini khusus membahas tentang bagaimana mengontrol kemarahan kepada pasangan. 🙂
Marah versi Lajang dan versi Menikah
Tergelitik menuliskan hal ini karena sangat merasa tersentil dengan konten instagram @risalahamar
Sungguh itu amat sangat benar sekali. Marah di masa lajang dan menikah. Tak bisa disamakan. Marah saat dengan teman misalnya. Saat remaja mungkin kita akan dengan berani melawan atau bahkan membully balik saat merasa memiliki kekuatan. Adapun saat tidak memiliki kekuatan kita akan diam dan pasrah. Keadaan demikian akan berpengaruh ke masa pernikahan kita. Bisa jadi, kita langsung blak blakan marah dengan suami. Tapi bisa jadi lagi, kita malah memendam dan menumpuk semua masalah itu. Karena takut dengan apa yang akan terjadi saat kita ‘melawan’
Bisa jadi kan suami langsung berkata kasar. Bisa jadi pula kita akan dibentak disalahkan. Atau bahkan, ada yang emosinya sangat mengerikan sekali. Langsung tak segan berkata ‘talak’. Padahal mungkin permasalahannya sepele.
Kemarahan yang tidak dikontrol dengan baik akan berakibat fatal dikemudian hari. Baik itu bagi suami maupun istri.
Maka, benar adanya bawa cara marah semasa lajang sangat berbeda dengan semasa menikah. Ada sesuatu yang harus kita kontrol disitu. Menyadari emosi, membuat kontrol kemarahan mereda dan penonjolan empati lebih dominan. Berhenti saling menyalahkan. Tapi fokus pada, “Bagaimana sebaiknya solusinya? Bagaimana agar ini tidak terjadi lagi?”
Menyadari bahwasanya pada suatu permasalahan. Tidak ada yang mutlak bahwa, “Kamulah yang salah.”
Akan tetapi.. “Kita berdua sama-sama salah. Yuk kita perbaiki bersama-sama”
Jadi, aku tak bisa membenarkan pernyataan dari salah seorang temanku. Bahwa kalau marah langsung kemukakan. Ah, tak bisa begitu. Mungkin bisa bagi wanita yang memiliki suami ‘super sabar’ tapi bagaimana jika suami kita bahkan tidak sesabar itu? Menganggap kita sensitif saat curhat, tak bisa memvalidasi perasaan kita, alih alih saling koreksi diri. Kita malah harus selalu mengobati hati kita sendiri tanpa pernah ‘tercurahkan’ bagaimana perasaan yang sebenarnya ada.
Tentang Bagaimana Islam Mengatur Batasan Saat Marah
Hati yang sakit lalu kemudian merasa marah kadang akan melontarkan pernyataan yang menyakitkan pula. Pertanyaan selanjutnya adalah..
Dari mana kata-kata yang muncul itu? Apakah dari hati kita? Atau dari setan yang memanfaatkan emosi kita?
Berbicara dengan suami, dengan niataan curhat atau sekedar ingin didengarkan tidak akan sukses ketika suami kita sendiri sedang dalam keadaan ‘tidak menerima’. Alih-alih didengarkan dan dipeluk, kita malah akan kembali disalahkan lagi dan lagi. Perdebatan demikianlah yang akan berujung debat kemarahan. Berlanjut saling membuka kelemahan masing-masing hingga masalah yang telah lalu kembali dijadikan ‘bahan bakar’ dan disirami bensin, diledakkan dengan gas, memicu bom waktu masing-masing yang sudah diset sedemikian rupa agar ‘nanti-nanti saja ya meledaknya’
Rasullullah sendiri bahkan mencontohkan agar dalam marah kita tak terlalu banyak bicara. Karena saat marah, bicara menjadi menyakitkan. Biasakan untuk mengambil jeda dalam kemarahan. Berwudhu. Atau sudahi dengan bilang, “Aku sedang marah, nanti saja kita bicara ketika suasana lebih baik”
Alih-alih mempertahankan pendapat masing-masing yang justru akan meracuni pikiran.
Curhat Pada Pasangan Itu Boleh, Meminta Pada Pasangan Itu Boleh Karena Kalau Tidak dengan Pasangan ya dengan Siapa lagi?
Tahapan mengambil jeda saat marah seringkali menjadi jalan bagi setan untuk masuk.
Saat marah, wajarnya kita menyudahi dan takes time untuk sendirian lantas mengatur strategi untuk bisa berbicara pada pasangan agar masalah kita ‘tersampaikan dengan baik’. Tapi ada kalanya, rasa sakit itu dimanfaatkan oleh setan.
Bagaimana? Mungkin setan berbicara demikian, “Tuh kan, kamu tadi ngomong baik-baik. Dia malah menyalahkan. Malah bilang kamu selama ini cuma begini begitu.”
Lantas rasa demikian akan divalidasi ketika penumpukan-penumpukan emosi kita memuncak.. Seperti..
“Oh iya ya.. Si anu kemarin juga bilang bahwa aku gak bisa menghasilkan apa-apa..”
“Oh iya ya.. Aku gak layak meminta. Karena harusnya aku yang bisa mencari duit sendiri..”
“Kenapa tenagaku tidak dihargai padahal aku sudah berusaha keras dan jarang sekali meminta?”
Kalau direnungkan kembali.. Sebenarnya kenapa pikiran demikian bisa terlintas?
Karena kita memendam perasaan kecewa tanpa pernah tersalur dengan baik. Lantas setan dengan mudah mengolah perasaan kecewa itu menjadi api yang berkobar. Efeknya, jeda pada kemarahan yang harusnya diisi dengan mindfullness. Malah diisi dengan curhat pada orang lain demi meredakan emosi. Curhat pada teman, ipar untuk bisa menengahi, bahkan pada orang tua. Hingga terakhir jika tak juga mendapat solusi curhat pada sosial media. Karena pasangan kita tak mengerti dengan emosi yang kita rasakan. Tak mengerti kenapa air mata kita keluar dan wajah kita sedih dalam waktu yang lama
Padahal, sejatinya emosi dan curhat kita sebagai seorang istri adalah hal yang seharusnya diolah dengan baik oleh pasangan kita. Didiskusikan. Dia lah yang menjadi teman curhat kita, teman kita meminta jika kekurangan, teman kita meminta dukungan. Tapi bagaimana jika ‘teman seumur hidup’ kita justru menghakimi dan tak bisa memahami perasaan kita?
Menjadi Pasangan yang Dicintai: Pasangan yang Bisa Berempati dan Mengontrol Emosi
Tahukah? Hati perempuan itu luass sekali. Di dalamnya ia menyimpan cinta untuk anaknya, untuk suaminya, untuk ibunya, mertuanya, iparnya, saudaranya. Tuntutan pada diri seorang perempuan itu banyak sekali. Disadari atau tidak, lingkungan kadang memaksanya untuk demikian. Ia dituntut terlalu banyak mencintai dan melayani tapi untuknya sendiri tak pernah ada satupun yang bertanya apakah cinta untuk dirinya sendiri sudah cukup? Bahkan sekedar mengemis cinta agar dirinya merasa ‘terisi kembali’ pun sulit dilakukan pasangannya. Yang demikian bukan terjadi pada kehidupanku, tapi banyak terjadi pada perempuan lainnya diluar sana.
Misalnya, Aku memiliki teman curhat yang bahkan ketika ia meminta uang untuk spp anak tak bisa, jikapun tak ada uangnya tentu istri bisa memahami. Keadaan yang terjadi adalah: Uangnya ada, banyak dan itu tak bisa. Sementara kita dituntut harus jadi Ibu yang baik. Bagaimana bisa menjadi Ibu yang baik dalam keadaan suami yang bahkan tak paham dengan kebutuhan rumah tangganya? Misalnya lagi, Aku memiliki teman curhat yang bahkan ia tak tau harus curhat kemana tentang dirinya yang sedang ‘tidak baik-baik saja psikisnya’ tapi bahkan suaminya mengklaim bahwa ia kurang iman. Ia yang bahkan selalu mengerjakan kewajiban dan sunnah, tak pernah membeli hal yang tak berguna, tak pernah makan diluar bahkan tak pernah menjenguk orang tuanya yang jauh. Bagaimana bisa dikatakan kurang iman dan kurang bersyukur? Padahal, andai ditolong ‘sedikit saja’ mungkin akan berbeda ceritanya.
Hati perempuan tercipta bagai kaca untuk bisa mencintai. Mungkin, sudah demikianlah hatinya diciptakan oleh Allah agar bisa memahami refleksi hati yang lain dan berkasih sayang. Tak dijaga, dia akan keras, kuat dan mandiri serta tentunya.. Ia jadi merasa tak butuh seorang laki-laki lagi dalam hidupnya. Disadari atau tidak, itulah yang terjadi pada ‘kebanyakan perempuan zaman sekarang’.
Maka, untukmu yang ingin memiliki seorang istri dengan hati yang lembut solusinya hanya satu jadilah pasangan yang dicintainya, yang bisa berempati pada perasaannya, kebutuhan anak-anaknya. Bukan ia yang menjadikanmu sosok pemimpin semata. Karena apa gunanya punya seseorang yang selalu patuh padamu tanpa mencintaimu? Apa gunanya punya seseorang yang serba bisa serba sempurna tapi tak punya perasaan. Perasaannya mati karena lelah ingin selalu sempurna. Apa boleh buat, seorang istri memiliki emosi. Bukan robot AI yang tak pernah berbicara dengan perasaan.
Aswinda Utari
Kasus seperti apa yang dialami teman curhatku adalah sekian dari banyak kasus yang bisa menyebabkan ‘gelas kaca yang pecah’. Perempuan, bisa saja menata gelasnya yang pecah sendiri. Mengambil lem dan menempel satu demi satu kepingan itu. Menjadikannya utuh kembali. Tapi, itu tak akan pernah sama lagi. Maka, jika ia mengeluh.. “Tolong jagalah gelasku yang pecah..” jangan disakiti kembali dengan mengatakan hal yang menyakitkan. Karena itu akan membuat pecahan itu kembali terurai berantakan. Tahukah? Sulit sekali menempel kembali kepingan kaca yang warnanya sama. Bahkan tangan sendiri akan terluka dalam prosesnya.
Semakin lembut perasaan perempuan, semakin besar kasih sayangnya maka ia semakin sempurna bagi keluarganya. Dan tentunya, semakin mudah pecah. Kalau menginginkan perempuan yang tangguh dan ‘anti pecah’ maka mungkin perempuan plastik akan menjadi jawabannya. Mandiri, tak perlu dijaga, tak punya kasih sayang. Tapi bukan itu yang laki-laki inginkan bukan?
Mencegah Fenomena Over Sharing Istri dengan Gelas yang Pecah
Aku pernah mengikuti kelas me time bersama para ibu-ibu di banjarmasin. Kelas yang diharapkan menjadi wadah bagi ibu-ibu untuk ‘sharing’ itu telah membuatku belajar satu hal. Bahwa, eh.. Ternyata.. Semua perempuan itu kalau sedang curhat yang dibicarakan ya ‘tentang rumah tangganya’. Kenapa? Karena ia butuh perasaan validasi dari yang lain. Dan tentunya, butuh solusi nyata dari ahlinya. Kebetulan, dalam kelas saat itu memang diisi oleh psikolog.
Satu per satu curhat aku dengarkan. Ada yang curhat verbal panjang sekali. Ada pula yang sampai ingin menangis. Siapa yang dibicarakan? Suaminya. Komunikasinya yang selalu tidak sinkron. Kebingungannya dalam jalan yang buntu.
Pertanyaan selanjutnya, bisakah hal demikian dianggap sebagai membuka aib suami? 🙂
Dalam persepsiku sendiri, berbicara dan curhat tentang rumah tangga itu sebenarnya dibolehkan. Asalkan dalam lingkup yang privasi. Curhat dengan teman dekat yang sudah lama tau dengan kita, membuat status yang hanya bisa dilihat 1-3 orang teman dekat saja. Sebenarnya itu boleh. Asalkan, orang yang kita percayai bisa menjaga privasi kita. Dan itu tentunya dilindungi oleh kebijakan kita sendiri dalam melakukan sharing.
Lantas bagaimana jika tulisan curhat sudah menyimpang? Again, ending konten @risalahamar ini benar-benar menyentuh hatiku.
Berteriak, histeris, meracau, mengungkit kesalahan lama. Yang demikian, dilakukan secara verbal maupun tertulis ‘sama buruknya’. Dilakukan secara verbal berarti kita telah menyakiti orang yang mendengarnya. Dilakukan secara tertulis kita telah menyakiti hati kita sendiri dan membuat berbagai persepsi dari hati orang yang membacanya.
Aku tipikal yang pernah melakukan yang kedua. Mengutuki secara tertulis. Karena aku berpikir, “kalau aku keluarkan secara verbal kok sakit banget ya rasanya mungkin bagi dia”. Aku tak mau orang yang aku kutuk merasakan rasa sakit itu, maka aku menyalurkannya dengan cara yang lain. Berharap aku bisa meredakannya dan kembali bisa berkomunikasi verbal dengan merendahkan suara plus mengatur kata-kata. Nyatanya, tulisan itu menjadi bumerang efek pada diriku sendiri. 🙂
Bijaknya, kemarahan pada pasangan adalah tanggung jawab kita dengan pasangan kita sendiri. Itu rahasia. Itu aib. Kurasa semua orang setuju dan paham akan hal itu. Tapi, kembali lagi.. Bacalah tulisan ini perlahan kembali. Berkacalah.. Bertanyalah pada diri sendiri…
“Sudahkah kita berempati pada kemarahan pasangan kita?”
“Sudahkah kita berempati pada kesedihan pasangan kita?”
“Sudahkah kita sadar bahwa.. Ini bukan mutlak kesalahan pasangan kita.. Tapi kita berdua sama-sama perlu mengoreksi diri sendiri.”
Jadilah perisai untuk kemarahan pasangan. Seorang istri mungkin bisa membuka aib mendadak saat marah. Tapi seorang Suami pun juga punya tanggung jawab untuk bisa mencegah hal itu.
Seorang suami mungkin bisa mencaci dengan kata menyakitkan saat marah. Tapi seorang istri, masih punya pilihan diam dan sabar. Ingat, kemarahan yang dipublikasi secara luas mungkin akan menjatuhkan harga diri suami.
Semoga kita dan pasangan kita, selalu diberikan kesabaran dalam proses kehidupan ini.
Mengontrol Marah Bukan Menyumbat Kesehatan Jiwa tapi Latihan Tak Berujung untuk Dapat Maksimal Mengasuh Keluarga
Sabar? Ha? Sabar? Tiap baca tulisan tentang konflik suami istri ujung-ujungnya pasti disuruh SABAR!! BASI!!
“Kenapa ya kalau baca tulisan tentang mengontrol emosi itu, seakan-akan kita disuruh diem aja dan ujung-ujungnya jengkel sendiri. Ah itu menyumbat kesehatan jiwa gak sih? Padahal perlu banget loh release semuanya agar bisa plong.”
Ada gak yang berpikir demikian? Tentu, itu adalah diriku yang dulu. Hihi.
Jujur, rasanya mengontrol kemarahan itu sulit sekali dilakukan. Apalagi aku lahir di lingkup dimana orang tua aku selalu blak blakan kalau marah. Tak peduli ini itu. Tak peduli anak mendengar. Efek positifnya aku jadi tau segala masalah keluarga. Dari masalah ekonomi, hubungan sosial dll. Makanya, lingkungan demikian telah membentuk diriku yang super irit hemat, plus sangat hati-hati dalam bergaul di lingkungan sosial secara nyata. Tapi efek negatifnya adalah, aku kadang menjadi anak peniru ulung kelakukan orang tuaku.
See? Terlihat receh sebenarnya. Tapi aku yang tak bisa mengontrol kemarahan. Akan berakibat hal yang sama pada pertumbuhan anak-anakku. Seperti mama yang setiap pagi sering kali memarahiku, padahal mama sedang melampiaskan kemarahan pada Abah. Refleks, aku sering melakukan hal yang sama. Padahal, itu bisa dikontrol. Diam dulu, berhenti bicara, atur ulang strategi, curhat pada teman dekat, curhat pada Allah, ulangi lagi berkomunikasi pada suami. Mungkin, karakter suami keras dan kuat. Tapi, bahkan batupun bisa retak jika secara konsisten terpedaya perubahan iklim dari sekitarnya. Kita mungkin tak bisa merubah perilaku orang lain. Tapi, kita bisa mengontrol diri sendiri. Selebihnya, biarkanlah Allah menjawab doa yang selalu kita panjatkan
Jadilah orang baik, dimulai dari mengontrol kemarahan… ya.. Diri sendiri…
Tulisan ini adalah tulisan self reminder untuk selalu bisa kubaca kembali jika mengalami kemarahan. Sangat berterima kasih untuk Risalah Amar yang telah sharing tulisan yang begitu menyentuh tentang rumah tangga.
11 thoughts on “Saat Marah Kepada Suami”
Maasyaa Allah reminder buat aku yang kalau marah kadang lepas ngomong
Untungnya suami bukan tipe yang meledak juga kalau marah
Cepat meleleh meski aku tahu dia pasti ingat cuma selalu hati hati ngomongnya sama aku haha
MAsyaAllah detail banget dan menikmati banget bacanya sambil belajar.
Aku kadang kalau sudah saking jengkelnya meledak, soalnya gimana ya tinggal bareng ama mertua tu jadi bikin banyak kepala kan keputusannya. Bikin emosi muncak terus kalo nggak selaras
kalau suamiku itu tipe yang kalau marah diam sementara aku kalau marah bisa meledak-ledak haha. tapi sekarang lagi berusaha untuk bisa menahan diri sih untuk tidak marah-marah terutama sama anak-anak soalnya efeknya kan bisa buruk juga ke mereka
Kak…terimakasih sekali sama tulisannya.
Aku sampai nangis bacanya, karena sedang ada di posisi yang ingin marah. Tapi aku beneran gak bisa marah setelah nikah. Bisaaa, tapi gak mau meledak-ledak. Ada anak-anak, ada aku yang tampak buruk kalau nyerocos gak berenti, ada apa semua yang harus dijaga.
Bahkan untuk mengadu pun aku gak sanggup.
Takut bukannya dibela, malah dipojokkan.
Jadi beneran setelah menikah itu adalah tanggunjawab kita sendiri untuk kontrol emosi.
Perbanyak dzikir bukan sok alim, tapi lebih banyak mengalihkan masalah dengan mengingat Allah.
Suka banget, kak sama tulisannya…terutama di bagian “Marah itu dampaknya mendidik”.
MashaAllah~
Kayaknya beda orang akan beda karakter dan beda tipe marahnya. Sejujurnya, kalau suami aku bukan tipe yang bisa diajak ngomong langsung kalau dalam keadaan emosi. Kalau emosi trus aku merepet tuh malah di dia kayak masuk kuping kiri keluar kuping kanan. Jadi biasanya aku calm down dlu atau menepi menyendiri, baru nanti pas udah tenang, anak tidur, atau saat kita mau tidur diobrolin deh tuh. Jadi nggak pakai urat leher keluar karena ngomel tapi malah mental semua apa yang kita omongin.
Kalau kata ibuku dulu ribut sama orang tua masih enak makan tapi kalau ribut sama suami nggak akan enak makannya jadi emang harus diselesaikan dulu masalahnya
Berumah tangga itu beneran belajar seumur hidup. Dengan orang yang bertahun-tahun kita hidup bersama pun, selalu harus belajar mengelola perasaan, pikiran, ucapan, dan tindakan ya, seperti ketika marah. Diam terus pun tidak baik karena akan saling melukai.
Dulu sy gitu mba kalau lgi marah sama ngomong di depannya eh jadinya malah ribut lebih gede, jadi sekarang kalau marah sm suami , nenangin diri dulu, pikir masak masak, baru ngomong pas udah cooling down
aku dan suami tipe yang menganut prinsip jika masalah tidak bisa diselesaikan dengan duduk bersama, cobalah dengan tidur bersama.. ups.. hehe.. but so far its work, pillow talk ( walau kadang berujung dengan salah satu mendengkur duluan haha..) minimal sudah berhasil mengeluarkan uneg-uneg yang belum tersampaikan..
tapi memang tergantung masalahnya sih nggak semua masalah semudah itu selesai dengan pillow talk.
Lewat tulisan ini aku baru tahu, kalau menurut Rasullah SAW, perempuan ibarat gelas-gelas kaca, mudah pecah.
Auto nyanyi ne, “… gelas-gelas kaca, tunjukkan padaku, siapa diriku ini…”
Di usia pernikahanku menuju 30 tahun, jujurly aku masih terus banyak belajar bagaimana agar hubungan dengan pasangan bisa tetap harmonis dan romantis!
PR, banget!
Alhamdullillah dikelilingi sahabat-sahabat termasuk komunitas blogger, aku banyak mendapat literasi bagaimana sih menjadi perempuan seutuhnya.
… bisa stand up memperjuangkan haknya!
… bisa berkomunikasi dengan baik agar tiada yang mengganjal.
… but still, work in progress lah. It won’t stop.. Believe me!
Aku termasuk tipe yang tak sudi diperlakukan semena-mena, jika aku yakin aku benar dan tidak menerima perlakuan yang tidak seharusnya, maka aku akan bicara, minta waktu, tolong didengarkan, ” … can we discuss?”
Aku percaya aku layak mendapatkan kasih sayang dan perlakuan sepatutnya!
… dan yang pasti cintaku, bukan cinta biasa!
He have to fight for my love, for sure!
… because I know, aku layak diperjuangkan.
Hehehe.
Because, I know, hanya aku yang bisa mencintainya, with this love!
Begitu juga sebaliknya,
Jika aku yang melakukan kesalahan, tanpa diminta aku akan minta maaf, for sure!
Juga tentang sikap sebaiknya saat marah yang dicontohkan Rasullah SWT, terbukti memang, works for us.
Meski kadang tidak selalu bisa kami lakoni.
Terkadang setan yang pegang kendali!
So again, still fight for this marriage, still counting….
Hahaha.
Ini sudah kayak satu postingan yaa…
dalam Islam sudah mengatur bagaimana mengelola emosi negatif seperti marah, yah. Jika berdiri maka duduklah, jika duduk maka berbaring, jika masih marah maka ambillah wudhu. Bisa dibilang kita disuruh kalem dulu saat marah supaya marahnya bukan reaktif.
nah apalagi marah ke pasangan yang bakal kita temui setiap hari. Sebaiknya memang dibicarakan dengan suami karena suami ga bisa membaca suara hati atau pikiran.
kalau menulis di medsos sebaiknya tidak. Jika tidak bisa ditangani sendiri lebih baik langsung konsultasi ke ahlinya seperti psikolog.