Membedakan Kritik Positif dan Mom Shaming
“Wah, sudah dicoba untuk disusui terus Bu? Karena kalau terus-terusan dikasih sufor takutnya ASI gak bisa keluar lagi..”
“Anaknya umur berapa Bu? Kok masih gak mau manggil Mama.. Kalau sudah 2 tahun begini perlu dikonsultasikan loh Bu..”
“Anak jangan digendong memakai gendongan begitu Bu, melihatnya gak nyaman. Coba saya coba gendong sebentar memakai kain ini..”
Dst dst
Apakah Itu Mom Shaming?
Apa yang terlintas dipikiran Anda saat membaca kata-kata diatas?
Apakah langsung merasa baper? Lalu menjauh dan lantas marah karena tersinggung..
Atau senang karena merasa dipedulikan?
Jujur, aku tipe yang agak ‘labil’ kalau disuruh menjawab soal ini. Karena aku sih tak memungkirinya, bahwa aku pernah marah dan tersinggung dengan salah satu kata-kata diatas. Tapi, aku juga pernah merasa senang karena merasa dipedulikan.
Ya.. Kadang juga berpikir sih, kok wanita se-complicated itu? Kadang baper, kadang marah tersinggung tidak jelas. Hah!
Belakangan sering berpikir dan melamun dengan orang-orang yang sudah tidak bertegur sapa lagi denganku karena kemarahanku itu. Semakin berpikir dan berpikir.. Lalu semakin reframing lagi dan lagi.. Kok ya aku jadi sadar bahwa aku ini kadang tidak bisa membedakan antara sebuah kritik yang membangun dan mom shaming.
Mom shaming adalah perilaku di mana terjadi pemberian kritik atau komentar kepada seorang ibu, yang justru membuatnya tertekan karena diucapkan dengan nada negatif. Bentuk nada negatif itu biasanya disertai dengan perilaku mempermalukan ibu lainnya, seakan dirinya sendiri lebih baik.
Contohnya adalah..
“Wah, kok anaknya minum sufor. Jadi kayak anak sapi dong. Kita kan manusia ya masa minum susu sapi. Aku nih kemarin ASI nya juga gak bisa keluar. Tapi aku terus berusaha nih gak menyerah. Kalau langsung menyerah kayak kamu bla bla.. “
“Duh, anaknya kok digendong gitu sih. Gendong tuh yang support M-Shape. Masa gendongan gini dipake. Kasian anaknya. Ngilu deh liatnya. Coba nih pake kayak punyaku. Belajar dulu bla bla.. “
Dua kalimat diatas bernada negatif juga sedikit membanggakan diri sendiri. Kalimat diatas bisa dikategorikan sebagai bentuk mom shaming. Walaupun maksudnya baik, namun cara penyampaiannya menyinggung hati. Sehingga maksud positif dari sebuah pesan menjadi tertutupi.
Nah, kalau kalimat-kalimat seperti..
“Wah, sudah dicoba untuk disusui terus Bu? Karena kalau terus-terusan dikasih sufor takutnya ASI gak bisa keluar lagi..”
Bukanlah jenis kalimat yang bernada negatif. Karena didalamnya tidak ada kata ‘merendahkan, menekan hingga mempermalukan’. Tidak ada pula kata-kata yang memperbandingkan diri sendiri dengan orang yang dikritik. Maka, sebenarnya ini bukan termasuk jenis mom shaming. Tapi sebuah kritik positif.
Pentingnya Kritik Positif untuk Perkembangan Hidup
“Sejak menjadi Ibu, perasaanku sensitif. Sedikit-sedikit tersinggung.. Aku jadi tidak bisa membedakan antara kritik dan nyinyir.. “
Perasaan itu pernah aku lewati setidaknya selama 3 fase kehidupanku. Yang pertama, ketika aku terkena baby blues. Kedua ketika aku tinggal di rumah mertua dan terkena PPD. Dan ketiga, ketika keuangan rumah tanggaku dalam kondisi down sekali.
Banyak kritik positif yang singgah seakan mencoba menerangi pikiran gelapku. Namun, sebagian besar kritik positif itu tidak aku hiraukan. Aku malah ingin berbalik mencaci maki orang-orang yang mengkritikku itu. Rasanya ingin sekali aku berkata pada mereka, “Coba kamu jadi aku!”
Seiring berjalan waktu, beberapa kritik positif yang pernah singgah itu mulai aku renungi. Lalu perlahan aku aplikasikan dalam kehidupanku.
Ternyata, kritik positif tersebut benar-benar membantu. Meski awalnya menyakitkan menghadapinya, tetapi sebuah kebenaran memang harus diaplikasikan. Kalau tidak, ya kita tidak bisa move on dalam hidup. Itulah kenapa kita kadang perlu menghadapi kepahitan untuk sebuah rasa manis.
“Sejatinya, kritik positif bagaikan clue dalam permainan hidup. Mau naik level atau tidak? Itu adalah pilihanmu sendiri.. “
Mom shaming pun tidak selalu salah
Dulu, aku pernah menulis di blog ini bahwa sesungguhnya orang yang melakukan mom shaming adalah korban dari lingkungan yang salah. Circle hitam yang terus menerus ada sehingga tanpa sengaja bisa melukai orang lain.
Baca juga: Tentang Memaafkan Mom Shaming
Satu hal yang aku garis bawahi adalah..
Orang yang melakukan mom shaming bukan berarti jahat. Ia hanya terperangkap dalam circle yang salah dan tidak bisa berkomunikasi.
Yup, coba deh lihat. Kadang orang yang melakukan mom shaming itu bukanlah orang jahat kok. Tapi memang ‘gaya komunikasi’ yang ia miliki semacam itu. Baginya sih biasa saja, tapi bagi kita.. Emmmm…
Jujur, aku hidup dikelilingi oleh lingkungan yang sopan santun sekali sejak kecil. Kalau ada kritik maupun saran pasti disampaikan dengan komunikasi yang nyaman. Kalau ada sedikit saja konflik saat komunikasi, pasti ada yang mengoreksi lebih awal.
Saat menikah, lingkunganku jauh berubah. Aku tidak terbiasa dengan gaya bahasa yang sedikit kasar. Aku juga tidak terbiasa dengan kritik yang blak-blakan. Langsung hamil dan memiliki anak diusia tergolong muda membuatku sedikit kaget dengan suasana baru. Akhirnya, aku memutuskan menutup diriku sendiri dari komunikasi luar.
Seiring berjalan waktu, aku sadar bahwa mom shaming yang sering singgah dikehidupanku merupakan sebuah kritik positif yang berbeda gaya bahasanya.
Mungkin benar adanya sebuah nasehat lama itu..
“Jika orang tua berbicara, IYA kan saja. Sesalah apapun itu.. Suatu saat kamu akan mengerti arti kebenarannya.”
Teknik komunikasi: Dahulukan mengenal dan membaca situasi sebelum mengkritik
Dari belajar tentang menoleransi mom shaming hingga memahami dan mengaplikasikan kritik positif aku menjadi paham bahwa ada satu garis merah yang harus ditarik untuk menjadikannya pembelajaran yang berarti.
Bahwa sebelum mengkritik seseorang, dahulukanlah mengenalnya..
Setelah sudah mengenalnya, bacalah situasi hatinya..
Pahami dan peluk hatinya..
Jika diminta bantuan, barulah beri pendapat dan kritik.
Yup, begitulah kiranya. Setidaknya, menurutku inilah teknik komunikasi terbaik yang dapat aku simpulkan setelah sekian tahun belajar. Karena sebagus apapun kritik positif.. Kalau dilakukan tanpa membaca perasaan dan situasi maka kritik tersebut akan berakhir pada sebuah trigger permusuhan.
Pernah mendengar istilah ‘Toxic Positivity’?
Istilah toxic positivity sendiri pernah ngetrend belakangan ini. Yaitu kondisi dimana seseorang secara terus menerus mendorong orang yang sedang tertimpa kemalangan untuk melihat sisi baik dari kehidupan, tanpa pertimbangan akan pengalaman yang dirasakan kenalannya itu atau tanpa memberi kesempatan kenalannya untuk meluapkan perasaannya.
Mungkin jenis toxic seperti inilah yang menjadikanku dulu sangat pemarah dan menutup diri. Ketika fase awal menjadi ibu baru, aku hanya ingin dimengerti oleh lingkunganku. Bahwa aku juga ingin merasa dihargai, diberikan ruang untuk berkeluh kesah dsb. Bahwa sesungguhnya, yang aku butuhkan hanya telinga. Bukan mulut untuk dikritik.
Itulah kenapa akhir-akhir ini jika aku bertemu dengan keluhan new mom di sosial media, aku sangat amat jarang ikut berkomentar disana. Aku bahkan sangat jarang memberikan like dsb. Kecuali, dia adalah teman dekatku. Sesekali aku memberikan feel care di status tersebut. Atau malah mengomentari dengan tidak nyambung demi membuatnya tersenyum. Karena aku pernah berada di posisi tersebut. Aku tidak butuh kritik, aku hanya butuh teman pendengar.
Tentang timing memberikan pendapat positif dan cara menyalurkan ekspresi
Berikanlah kritik positif ketika diminta. Itulah cara aman menghindari label mom shaming.
Nah, jikapun mungkin kita sangat ingin memberikan edukasi positif terkait tentang ASI, cara menggendong, perkembangan anak, motivasi diri dsb maka akan lebih baik jika itu disharing melalui status sendiri saja dengan aturan yang bisa dibaca publik. Ets, tunggu sharing hal positif bukannya rentan jadi toxic positivity?
Manusia normal adalah manusia yang bisa berekspresi dengan bebas. Sedih punya ruang, senang punya ruang, norak punya ruang.
Namun saranku, biasakanlah hidup memiliki privasi. Itulah inti dari sebuah ekspresi. Sejak menjadi ibu, aku akhirnya paham bahwa tidak semua orang bisa paham tentang rasa sedih, norak, positif dsb.
Karena itu, aku mengatur privasi segala media sosialku.
Blog adalah tempatku bercerita ketika segala pengalaman pahit dan manis telah menemukan hikmahnya.
Facebook adalah tempatku bisa melihat perasaan teman-temanku. Tempatku mencari inspirasi. Tempatku bisa melihat video bermanfaat dari nas dkk. Ah, sereceh itu.
Instagram adalah tempat dimana aku menebar hal positif saja. Sebuah citra singkat yang mungkin akan membuat orang berpikir kalau hidupku bahagia sekali.
Dan WA story adalah satu-satunya tempat dimana aku bisa sedih, norak, bingung, labil, alay, nyinyir dsb. Hanya kurang dari 10 orang yang bisa melihatnya.
Wah, sepertinya tulisannya sudah sedemikian melenceng dari topik awal?
Ah tidak juga. Karena sebenarnya ini berkaitan. Dan percayalah, segalanya akan teratur dengan baik jika kita bisa mengatur privasi. Karena awal mula dari mom shaming adalah ketika kita tidak bisa menempatkan ekspresi pada tempatnya. 🙂
So.. kalian sendiri bagaimana moms? Lebih sering bertemu kritik positif atau mom shaming?
11 thoughts on “Membedakan Kritik Positif dan Mom Shaming”
Bisa jadi mereka nggak bermaksud mam shaming . Tapi bahasanya aja yg kurang tepat jadi kesannya seperti mam shaming ya mbak.
Pernah juga mom shamming.
Dulu pas ngalamin, gak bisa cuek…jadi sering sedih tak berujung.
“Aku salah atau enggak niih?”
Sekarang, yang negatif dan gak banget buat aku, go go away!
mom shaming, actually i am afraid if i make this mistake for my friend suddenly. Because i want not my friend face it
Wah iya, tipis ya beda kritik dan mom shaming ini. Aku dulu seringnya dapet mom shaming. Huhu… suka sedih deh. Udahnya pasti nangis dan curhat ke suami. Tapi sejak anak ketiga, cuek aja. Udah tahan banting kayaknya. 😀
Kalau saya kadang kebaperan dipengaruhi ormg yg bicara klo temen deket temen curhat ga baper kalau ga terlalu kenal suka baper heheh
memang agak sulit membedaka mana yang mom shaming mana yang menasehati murni apalagi perempuan penuh dengan kebaperan, haha. Tapi ada juga yang terang2an bully sih. Kudu kuat hati
Tapi sampai sekarang pun masih banyak mom shaming sih ya mbak, soalnya aku pun masih menemukan yang modelan gitu. Kadang orang itu pandai mengkritik tanpa memperdulikan perasaan orang lain ya, kesel sih emang jadinya.
Penyampaian seseorang pada orang lain kalau berupa tulisan bukan tatap wajah itu suka ada peebedaan persepsi ya. Kadang maksudnya biasa aja tp di sana jadi baper dan sebaliknya. Kadang bingung juga sih ini kritik membangun atau mengata2i ??
Kalau komunikasinya benar, Insya Allah kita jadi gak asal ngomong..yang diajak ngomong pun gak jadi asal menilai apa yang dibicarakan. Jadinya bisa sama-sama menghargai dan menerima apa yang dibicarakan.
Intinya adalah perbaiki cara berkomunikasi.
Memang mungkin maksudnya bukan Mom Shaming, tapi karena gak bisa berkomunikasi dengan baik, jadi yang dengar akan salah tangkap.
Kritik positif nggak masalah, tapi kalo ngritiknya dengan bahasa yang bikin orang lain sakit hati. Ini sih udah keterlaluan menurutku, apalagi kalo ngomongnya pas banyak orang..
Semoga kita dijauhkan dari hal hal yang negatif