Sebuah Pembelajaran dari Ramainya Isu Childfree

Sebuah Pembelajaran dari Ramainya Isu Childfree

Pagi itu, aku membuka instagramku. Sekedar kepo ada kabar baru apa yang mungkin terjadi. Dan aku memutuskan untuk membuka DM yang masuk. 

Betapa terkejutnya aku. Aku mendapat sebuah kritik tentang konten yang aku publish di instagram. 

“Jangan ikut-ikutan mendukung childfree dong mba. Mba winda tuh brandingnya Ibu dengan 2 anak.”

Aku termangu sebentar. Kubuka ulang cuitan twitter yang aku publish di instagram tersebut. Kemudian, aku bertanya-tanya pada diri sendiri. 

https://www.instagram.com/p/CS0h51RprRk/?utm_source=ig_web_copy_link

“Memangnya, di cuitan aku ini terasa seperti mendukung childfree?”

Lalu, aku bertanya lagi di dalam hati..

“Adakah batasan nyata antara rasa toleransi, menghargai hingga mendukung?”

Kenapa kita tidak boleh terkesan menghargai? Kenapa menghargai kental dengan rasa mendukung? Bukankah keduanya hal yang berbeda? 

Padahal, di cuitan tersebut jelas-jelas aku mengarahkan ending soal pilihan dan takdir. 

Ah netizen, ada aja kelakuannya.. 😅

Childfree memang sebuah pilihan tapi tetap memiliki batasan

Ramai isue childfree karena statement Gitasav akhir-akhir ini. Jujur, aku bukanlah follower gitasav. Bisa dibilang tidak tau apa-apa tentang hidupnya. Aku hanya mengenalnya baru-baru saja dalam kontennya di youtube. So far, aku berkesimpulan bahwa Gitasav adalah sosok perempuan yang open minded, pintar dan berbeda dengan kebanyakan. Apalagi jika dibandingkan denganku saat seumur dengannya. Ah, benar-benar tidak ada apa-apanya. 

Oke itu tentang Gitasav dimataku. 

Sekarang, kenapa aku ikut-ikutan terbawa dengan keramaian opini tentang childfree? 

FYI, aku bukan jenis makhluk yang suka berkicau dengan hal yang sedang trending. Hanya saja, hatiku tergerak untuk ikut ‘join curcol’ ketika sosmedku mulai dipenuhi dengan ‘war’. Ada yang pro childfree, ada yang kontra. Lalu saling sindir. Hatiku seperti mengganjal. Kok orang sebegininya? 

Iya, kok sebegitunya. Dan aku menonton ulang statement Gitasav. Entah kenapa, di mataku.. Dia biasa aja tuh. Gak ada mengajak begini begitu. Gak juga menjelek-jelekkan yang lain. Kenapa di sosmed begitu ramai berkelahi? 

Aku jadi merasa ‘gimana’. Karena aku pun pernah share di sosmed aku konten dear aline yang berjudul ‘I don’t want kids’. Aku share konten tersebut hanya sebagai pengingatku bahwa setiap wanita punya pilihan. Dan video Aline tersebut bagus menurutku. Bukan tentang childfree yang digemborkan. Takut juga sih gegara share video begitu dikira penganut childfree. Atau yang buruk lagi, dikira termasuk kaum yang menyesal karena punya anak. 😅

Lalu, aku membaca tulisan AFI. Tau kan ya? Gak perlu aku share sepertinya. 

Wah, semakin ramailah sosmed penuh dengan kemarahan demi kemarahan. Padahal, menurutku sendiri pernyataan Afi ada sisi benarnya. Walau iya, memang ada sisi nganu. Tapi ya.. Aduh, dia kan umurnya masih segitu. Wajar sangat lah menurutku dia mengemukakan pendapat dengan bahasa sedemikian. 

Kenapa sih, pernyataan Afi perlu dibela? 

Gak, aku gak ngebela. Cuma aku bilang sedikit banyak memang benar. 

Kenapa? 

Kalian pernah nonton film Mind Hunter? Film yang diangkat dari kisah ini punya banyak pembelajaran loh. Bahwa para psikopat-psikopat yang lahir di dunia ini.. Muncul dari keluarga yang tidak beres. Dari seorang Ibu yang depresi, Ayah yang punya kelainan. Lingkungan yang toxic dll dsb. Film berbau hal yang sama pun banyak yang terinspirasi dari kisah nyata demikian. Sebutlah mungkin Joker, walau fiksi.

Dunia itu, gak sebulat yang kalian kira. Gak selurus dan senyaman yang dipahami. Dunia itu, ruwet. Kayak benang kusut. 

Sepemahamanku, sebagian dunia ini dihuni oleh orang-orang yang mentalnya bermasalah. Dari masalah kecil, hingga besar atau besar banget. 

Orang-orang yang sadar akan ‘ketidakberesan’ ini. Memutuskan untuk memutus rantai masalah dari hal yang menurut mereka basic. Yaitu childfree. Nah, dalam perkembangannya childfree ini sendiri menjadi sebuah lifestyle. Gak hanya orang-orang yang memiliki masalah mental yang menganutnya. Banyak yang ikut-ikutan childfree karena merasa tak mapan secara ekonomi. Banyak pula yang menjadikannya sebagai upaya untuk mengenal diri sendiri hingga mewujudkan kebahagiaan pasangan yang ideal. 

Bagiku, memilih childfree itu boleh. Tapi, tetap HARUS memiliki batasan. 

Karena childfree itu pilihan manusia. Bukanlah takdir mutlak. 

Aku dulu adalah orang yang sepemahaman dengan Gitasav. Bahwa, memiliki anak harus didahului oleh kesiapan mental dan fisik. Anak bukan investasi. Anak adalah buah cinta. Tempat kita mewariskan hal-hal baik. Bukan tong sampah emosi. Bukan pula aksesoris hidup. Memiliki anak harus didahului oleh hati yang bahagia, didahului oleh ekonomi yang menunjang. Anak.. Bukanlah barang undian yang bisa membawa rejeki ketika kita dalam kesusahan. 

Aku menikah. Bertemu dengan cinta hidupku. Sekaligus menemui titik balik hidupku. Tinggal di tempat mertua, sumber ekonomi terbatas. Mental sedang diuji. Lantas langsung hamil. 

Shock. 

Akupun berpikir. Jika aku bersikeras dengan pilihan childfree, maka sungguh berdosalah aku. 

Oke, katakanlah aku anak liberal karena memang memiliki pemikiran menunda anak adalah yang terbaik. Memahami penganut childfree dll. Tapi, aku tetaplah orang yang memiliki setitik Iman di hati. 

Jika Allah berkata ‘Jadilah’.. Maka Jadilah.. 

Itulah yang kami pahami sebagai pasangan muda yang tak siap dengan status Ibu atau Ayah. Kami boleh jadi berencana untuk menunda anak hingga tak punya anak. Tapi, Allah berkata hal yang berbeda. 

9 bulan kemudian anak itu lahir.

Seperti para penganut childfree yakini, bahwa ibu yang belum selesai dengan dirinya sendiri akan mengidap depresi saat memiliki anak. Ya, aku mengalaminya. Aku terkena babyblues. Lantas tak ditanggulangi dengan baik. Lalu berlanjut hingga PPD. 

Tapi mau bagaimana? Allah berkata itulah misi hidup yang harus dijalani pertama kali. Bukan mimpiku, bukan pula membangun citraku. 

Setahun dilalui dengan susah payah. Tumbuh bersama anak dalam mental yang tidak baik. Tapi anak itu sungguh ajaib. Ia benar-benar membuka pintu rejeki. Ia juga menyembuhkanku. Membersamai proses hidupku untuk bertumbuh. 

Aku tak mau menganggapnya tong sampah emosi, ataupun undian hidup pembawa rejeki. Tapi ia menyembuhkanku dan membawa rejeki. Mungkin, karena kami memutuskan hal yang benar. Percaya pada takdir. 

Tanpa Anak, mungkin aku tak bisa menjadi Winda yang sekarang. 

Ya, childfree itu pilihan yang harus dihargai. Karena hidup kita tak sama. Tapi, manusia hanya bisa memilih. Takdirlah yang membawa hidupnya. Pemahamanku tentang pandangan ‘kebolehan’ childfree hanya sampai disitu. Berbatas pada takdir dan menjauhi hal-hal yang tidak diperbolehkan oleh agama. 

Antara Feminisme dan Kodrat Perempuan

Isu childfree berbuntut panjang. Dari women war lantas berujung pada kentalnya bau paham feminis. Lalu, apakah childfree telah melakukan penolakan terhadap kodrat perempuan? 

Ya, menurutku sendiri.. jika sudah mencapai ranah ideologi hingga kodrat. Sungguh pembahasannya mulai berat dan sensitif. 

Aku sendiri, mengaku bukanlah wanita yang menjunjung paham feminisme. Hanya saja, aku memiliki batasan antara hal yang bisa diterima dan hal yang ditolak. Jika, pada headline awal aku bercerita bahwa wanita memiliki pilihan tapi tak bisa denial dengan takdir. Maka, mungkin kali ini aku akan bercerita tentang pandanganku tentang feminisme. 

Jadi, apa itu feminisme

Feminisme adalah serangkaian gerakan sosial, gerakan politik, dan ideologi yang memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk mendefinisikan, membangun, dan mencapai kesetaraan gender di lingkup politik, ekonomi, pribadi, dan sosial. Feminisme menggabungkan posisi bahwa masyarakat memprioritaskan sudut pandang laki-laki, dan bahwa perempuan diperlakukan secara tidak adil di dalam masyarakat tersebut. Upaya untuk mengubahnya termasuk dalam memerangi stereotip gender serta berusaha membangun peluang pendidikan dan profesional yang setara dengan laki-laki.

-Wikipedia

Well, secara sadar aku membenarkan bahwa derajat laki-laki memang lebih tinggi dibanding wanita. Aku lahir pada lingkungan yang ‘menghormati’ laki-laki. Sadar bahwa dalam keluarga, sosial hingga organisasi.. Laki-laki selalu memimpin. Dan aku menghormati hal demikian. Karena memang secara genetik hingga psikis, laki-laki lebih pantas untuk itu. 

Kebetulan, lingkunganku dipenuhi oleh laki-laki yang berkomitmen dan memiliki tanggung jawab. Sehingga, secara sadar aku membenarkan paham patriarki menjalar dalam pola pikirku. Dan aku tidak apa-apa oleh hal itu. Karena aku dikelilingi oleh laki-laki yang hebat. Laki-laki yang bisa memberikan kasih sayang hingga apresiasi pada wanita yang melayaninya. Demikianlah. 

Time flies.. Aku mulai berkenalan dengan berbagai sudut pandang kehidupan yang berbeda. Aku berteman dengan berbagai perempuan dengan latar belakang berbeda. 

Perempuan yang keluarganya broken home. Perempuan yang tak bisa melanjutkan cita-citanya. Hingga perempuan-perempuan yang depresi karena kehidupannya yang carut marut. 

Perempuan-perempuan diatas. Tak bisa berkembang dengan baik. Ada yang stuck di tempat. Ada pula yang berkembang namun memiliki ego yang tinggi dan labil. Dan ada pula yang bolak balik ke psikolog karena masalah dengan masa lalunya. Juga ada pula yang dijajah ekonominya, dituntut serba bisa. Tak pernah menjadi perempuan utuh. Yang bisa berjalan dengan bahagia. Bahagia dengan pilihan yang ia pilih sendiri. 

Banyaknya problematika demikian. Menyebabkan gerakan feminisme bangkit. Perempuan harus berdaya. Begitulah semboyan mereka. Cobalah pikirkan, kenapa perempuan-perempuan begini bisa muncul ‘taring’nya? 

Ya, karena dalam circle hidupnya.. Mereka dikelilingi oleh orang-orang toxic. Tidak dilengkapi dengan restocknya tangki cinta. Karena laki-laki dalam hidupnya sama-sama toxic. 

Sesungguhnya, aku sangat yakin bahwa perempuan ‘mungkin’ kebanyakan terlahir dengan hati yang lembut dan penurut. Ia memang makhluk yang diciptakan untuk mendampingi laki-laki. Tapi, jika laki-lakinya tidak baik. Maka, perempuan akan mulai kehilangan daya yang benar. Aku sangat yakin, awal gerakan feminis dipicu oleh hal demikian. 

So, kembali ke persoalan mengenai childfree.. 

Bisakah kita ‘menyalahkan’ perempuan yang memilih tidak punya anak. Ketika mentalnya tidak baik-baik saja. Ketika laki-laki dalam hidupnya tak bisa diandalkan untuk support. Hingga adanya trauma masa lalu yang merupakan buah dari nenek moyangnya. Trauma ketika anak dijadikan beban untuk masa tua. Sumpah serapah anak durhaka yang tak pada tempatnya. 

Child free adalah buah pemikiran solusi instan atas kesalahan yang telah dilakukan oleh generasi sebelumnya. 

Pemikiran instan seperti, “Aku gak mau hal demikian terulang. Stop di aku. Cukup!”

Awalnya, mungkin itulah akar dari childfree. Lantas kemudian dijadikan gaya hidup oleh beberapa negara. Dibenarkan opininya oleh beberapa orang. Dan diadopsi pemikirannya. Menjadi hal wajar dan biasa saja. 

Hal wajar yang biasa saja. 

Ketika hal sedemikian dijadikan wajar dan biasa saja maka kemungkinan bisa saja hal buruk terjadi di masa depan. 

Pembenaran tindakan aborsi, hingga peningkatan gaya feminis yang mulai melenceng. 

Hari ini kita memandang aneh penganut childfree. Dan besok besok, bisa saja.. Kita punya anak satu saja. Repot satu kampung membully. Dunia mungkin bisa saja seterbalik itu. 

Bukan tidak mungkin kan hal itu bisa terjadi? Apalagi ketika kita tak punya batasan dalam mengadopsi suatu pemahaman. 

So, menghargai childfree boleh. Tapi, turut mendukung hingga mengkampanyekan. Itu Nay dilakukan… menurutku. 

Dibanding ramai saling judge, yuk.. Ambil pembelajarannya saja

Well, pembahasannya jadi sedemikian panjang ya. 

Semoga sudah mengerti dengan inti cerita yang ingin aku sampaikan. 

Bahwa mungkin beberapa penganut childfree punya alasan yang bisa diterima. Maka, kenapa sih kita sebagai emak-emak yang sudah beranak tak melihat sisi positifnya saja? Alih-alih sibuk war di sosmed? 

Apa sisi positif yang bisa kita pelajari? 

Kalau kita tak ingin paham childfree ini meluas dan menyebabkan depolulasi hingga terputusnya generasi baik maka.. 

Buatlah kenangan baik antara orang tua dan anak

Dan jika anak sudah ‘terlanjur’ terpapar dengan rasa depresi dari ibu.. Maka perbaiki hubungan kita.

Jangan sampai dalam kehidupan anak merasa masa lalunya suram. Lalu merasa bahwa dirinya hanyalah alat investasi yang dimanfaatkan di masa depan. Hal demikian, bukan tidak mungkin menyebabkan anak kita takut memiliki anak di masa depan. 

Yuk, jadikan anak-anak kita #anakbaik mulai sekarang. Ciptakan kenangan indah yang membuatnya selalu terkenang. Membuatnya semangat dalam menjalani hari-harinya. Penuhi cinta di hatinya. 

Agar suatu hari ia bisa bertemu pasangan yang baik tanpa terburu-buru karena kekurangan rasa cinta. 

Agar suatu hari ia bisa menyayangi anaknya. Memberikan nilai-nilai kehidupan yang baik dalam merawat dan membesarkannya. 

Ya, hidup bahagia itu.. Tangki cintanya harus selalu ada. Maka, jika dalam hidup selalu memendam benci karena beda opini.. Alangkah meruginya bukan? 

Komentar disini yuk
0 Shares

4 thoughts on “Sebuah Pembelajaran dari Ramainya Isu Childfree

  1. Adem banget bacanya mbak?
    Salah satu yang saya sesali juga dengan ramainya berita ini, orang2 yg menentang sibuk berkomentar nggak baik terhadap penganut childfree. Padahal kalau memang nggak setuju dengan prinsipnya ya sudah, jangan malah diup terus. Apalagi mendo’akan yang enggak2 seolah-olah kesannya jadi dosa besar ketika melihat ada orang lain yg konsepnya bertentangan dengan mereka. Sampe-sampe seperti yg mbak alami tadi, menghargai dibilangny mendukung dan ikut-ikutan? Saya rasa nggak ada salahnya juga padahal kalau kita berada di tengah-tengah. Toh manusia itu masing2 kompleks dan punya proses berpikir dan pengkhayatan yang berbeda tentang hidup.

    By the way, salam kenal ya mbak. Semoga sehat selalu?

  2. Saya ibu 2 anak dan mendukung siapapun yg mau “childfree”, hidup mereka sendiri yg atur kenapa kita yg marah? haha ..lebih baik tidak punya anak, apalagi jika kita tahu dri kita sendiri misal “emosi an, cepat marah” lah bgm klo liat tingah anak kecil tiap hari, bisa emosi jiwa loh!, lalu kebutuhan hidup tambah mahal, apa bisa kita sekolahkan anak sampai unov, ya klo di negara tempatku sini sih sekolah sampai univ. gratis lah klo di Indonesia pendidikan butuh dana tidak sedikit.

  3. Saya mulai mengerti, mengapa issue childfree ini banyak yang nentang.

    Sebenarnya bukan semata takut manusia di dunia ini habis, kalau pada childfree, kalau saya pribadi, sakit pala rasanya memahami semuanya wakakakak.

    Saya bukan hanya toleransi sih, malah mendukung.
    Yang mau childfree Monggo.
    Yang menolak juga Monggo

    Saya?

    Mau tetap belajar jadi ibu yang sabar, dan menginfluence anak-anak saya, untuk jadi calon ayah terbaik nantinya.

    Lah, trus ga dukung childfree dong?
    Sangat mendukung, banget.

    Cuman kan anak itu bukan boneka.
    Mau Gita Savitri atau siapapun di dunia ini angkat rahim sekalipun, kalau Allah takdirkan dia punya anak.

    Mau apa, coba??

    That’s why, saya tetap mengajarkan anak-anak saya menjadi ayah yang baik, perkara besok-besok mereka menganut childfree, itu pilihan hidupnya, yang pasti saya sebagai ibu udah kasih modalnya.

    Eh ini jadi ga nyambung ya?
    Cuman menyikapi orang yang rempong menolak dan mempertahankan child free itu wajib atau haram sih.

    Rada nganu rasanya kan ye.
    Hak prerogatif Allah kok diperdebatkan.
    Apalagi sampai maksa orang ikut pendapat kita kayak yang DM itu?

    Semangat buat kita, mamak-mamak di zaman semua hal diatur orang ?

  4. Ya menurutku itu mirip kayak menikah. Dalam Islam, menikah itu hukumnya bisa berbeda untuk orang yang berbeda. Ada yang hukumnya wajib, sunnah, mubah, bahkan bisa jadi haram.

    Yang pasti kalau semua manusia menganut childfree, maka itu sama saja memunahkan manusia dari muka bumi di generasi mendatang. Makanya harus seimbang. Penganut punya anak (baik satu, dua, atau lebih) juga harus dilestarikan. 😀

Komentari dong sista

Your email address will not be published. Required fields are marked *

IBX598B146B8E64A