5 Privileges Besar Dalam Hidup Aku
Pernah gak kalian merasa iri dengan privilege yang dimiliki oleh orang lain?
Yang mana, hak istimewa tersebut sudah melekat padanya sejak ia dilahirkan.
Tapi kemudian aku sering berpikir bahwa sebenarnya, setiap individu manusia itu lahir ke dunia dengan privilege besarnya masing-masing. Hanya saja, kadang kita tak menyadari hal itu.
Mengawali rasa syukur, ini adalah tulisan pertamaku di bulan ramadhan tahun ini setelah diawali dari perenungan dari malam ke malam
Penciptaan Karakter dan Kelahiran, Awal dari Privilege
Sejak dilahirkan, sebenarnya manusia sudah memiliki privilegenya masing-masing. Hal yang aku yakini bahwa sebelum dilahirkan pun sebenarnya sosok ruh kita masing-masing pun ‘special’. Mereka membawa porsi keberuntungan, rejeki, dan takdir yang special. Tugas kita sebagai manusia adalah mengemban misi dengan privilege yang kita miliki untuk semakin dekat pada-Nya. Pada Allah. Sang pencipta Privilege dasar.
Aku yakin sejak sebelum dilahirkan. Allah sudah memberi privilege rahasianya pada manusia. Selebihnya, ia menyerahkan tugas pengembangan privilege itu pada karakter utama dalam hidup kita diawal kehidupan.
Siapa?
Ibu, orang yang melahirkan kita. Ayah, orang yang mendampingi langkah hidup kita. Orang tua kita adalah karakter utama dalam kehidupan kita.
Kita memang tak bisa memilih akan lahir pada orang tua yang seperti apa. Apakah kita terlahir kaya atau miskin. Apakah orang tua kita sabar atau tidak. Selama sekian tahun kita tinggal dan hidup mengambil value yang ditanamkan oleh orang tua kita. Maka sebenarnya. Tidaklah salah jika ada yang berkata bahwa privilege terbesar itu adalah ketika kita lahir dalam keluarga yang sempurna. Lantas bagaimana jika kita terlahir dari keluarga yang tak sempurna dan biasa saja? Bahkan mungkin terlahir dari circle kemiskinan dan amarah.
Kembali lagi, tentang apa yang aku jabarkan diawal. Mungkin, jika kita tak begitu beruntung dalam memiliki tokoh utama. Maka Allah menolong kita dalam garisan keberuntungan, kesempatan, dan jalur rejeki. Itulah kenapa aku sering sekali melihat..
Ketika orang susah memiliki mindset yang baik dan tekun maka tingkat keberuntungannya lebih tinggi dari orang yang memiliki privilege setingkat denganku.
Bagaimana dengan privilegeku sendiri?
Aku menuliskan 5 privilege besar dalam hidupku. Untuk pengingat diri sendiri bahwa aku begitu beruntung dan begitu bersyukur pada apa yang telah Allah berikan dalam hidupku.
Privilege Pertamaku: Orang Tua yang Bervalue
Aku lahir dari orang tua yang berprofesi sebagai guru. Mamaku adalah seorang guru TK, sementara ayahku adalah seorang guru SMA. Keduanya PNS. Dan Alhamdulillah secara ekonomi aku merasa berkecukupan. Aku hidup bersama 3 saudara laki-lakiku. Aku adalah seorang anak tengah dan anak perempuan satu-satunya. Privilege terbesarku dalam keluarga adalah aku tak merasa memiliki saingan dalam hal kecantikan. Kecuali dengan mama. Hihi
Orang tuaku bukanlah orang tua yang sempurna. Mamaku, mungkin seperti mama-mama anak generasi milenial lainnya. Pemarah dan menganut budaya patriarki yang ‘agak strict’ ketika aku kecil. Tapi jujur, aku tidak begitu merasa terganggu. Zaman itu, semua anak perempuan ya bermindset demikian. Keseragaman membuat kebiasaan patriarki terasa biasa saja.
Abahku, mungkin juga seperti abah generasi sepantaranku. Yang tidak begitu memanjakan seorang ibu dan bermindset kedepan perkara menghemat fiansial. Mama sering mengomel pada abah. Perkara nafkah, perkara pekerjaan rumah. Menjadi semacam kaset rusak yang selalu diputar di kepalaku. Atas hal itu, mama begitu sering menasehatiku untuk bisa mandiri finansial. Berjaga-jaga kalau saja bertemu suami yang tak paham dengan keadaan ekonomi. “Harus mandiri finansial seperti mama, bisa merawat diri seperti mama, bisa sempurna di rumah seperti mama.”
Thats.. My Family. Sering bertengkar namun terasa hangat dan begitu bervalue.
Value positif yang aku ambil dari Mamaku adalah, mama begitu sering mengomel. Sehingga tanpa sadar, mama itu sangat transparan soal rumah tangga pada anak-anaknya. Aku jadi tau harga rata-rata lauk pauk berapa. Jadi tau bahwa mama membeli ini dan itu untuk meningkatkan usaha sampingan keluarga kami. Jadi tau, cara menghemat pengeluaran rumah tangga dan berinvestasi sejak dini. Mamaku mempraktikkan hal yang jauh lebih ekstrem dibanding hanya sekedar frugal living style. Dan gaya hidup demikian, kerja keras demikian menular mindsetnya padaku.
Thats My Biggest Privileges.
Bagaimana dengan Abahku?
Value positif yang aku ambil dari Abahku adalah, kesetaraan.
Dulu, aku akui Abah orang yang sangat strict pada budaya patriarki. Mungkin akan selamanya demikian andai saja Mama tidak bekerja. Karena mama bekerja diluar dan memiliki waktu terbatas dan juga memiliki uang sendiri maka otomatis ‘perasaan itu’ hadir pada diri seorang perempuan. Taukan? Perasaan ingin dibantu. Perasaan bahwa pekerjaan rumah bukanlah pekerjaan perempuan semata. Perasaan bahwa sebagai pasangan harus saling menghargai dan membantu.
Aku merasakan up n down kehidupan rumah tangga dari pertengkaran abah dan mama. Mengamati dan menjadi pendengar yang baik saat keduanya ‘curhat’. Hal yang paling banyak aku pelajari dari Abahku adalah perubahan sifatnya yang membaik saat mama merasa menjadi dominan.
Abah adalah figur pertama yang mengajarkan padaku bahwa memasak di rumah adalah sebuah keharusan. Bukan semata karena hemat. Tapi memasak adalah wujud dari pekerjaan ‘membantu’ yang dilakukan oleh Abah. Abah punya kebiasaan selalu memasak sejak kuliah. Dan kebiasaan ini sempat mandeg saat awal menikah. Karena budaya patriarki, abah sempat menjadi pemimpin yang serba ingin dilayani dan akhirnya membuat sifat mama berubah. Obatnya? Membantu mama di dapur. Hehe. Ini adalah pelajaran penting bagiku dan awal mindsetku terbuka dalam memandang arti kesetaraan gender.
Lahir pada kondisi orang tua demikian adalah keberkahan bagiku. Aku banyak belajar dari Mama dan Abah. Sifatku menurun dari mereka. Bagaimana caraku mengomel. Bagaimana caraku curhat. Hingga bagaimana aku bertahan hidup. Orang tuaku adalah privilege terbesar yang aku miliki. Sampai sudah berumah tangga pun aku merasa peran orang tuaku begitu besar. Mereka bukanlah generasi sandwich, mereka tak pernah sekalipun menyusahkanku yang sudah berumah tangga ini. Bukan semata karena profesi mereka yang PNS. Kalian tau? Kakak dan Kedua adik kembarku kuliah di fakultas kedokteran full biaya orang tua kami. Semua tak akan sukses dibiayai jika saja Mama dan Abah tidak hemat dalam mengelola hidup kami.
Privilege keduaku: Lahir Sebagai Perempuan
Aku adalah anak istimewa dalam keluargaku. Itulah yang aku yakini karena menjadi anak perempuan satu-satunya.
“Paling Cantik.” Kata kedua orang tuaku. Kata-kata yang tidak akan pernah aku lupakan.
Hanya aku di dalam keluarga itu yang pernah merasakan perasaan perempuan pada umumnya seperti baper, merajuk, menangis paling sering, membeli pelembab ponds saat remaja, bingung saat ingin membeli pembalut, mencoba memakai bedak dan lipstik mama, ingin memiliki baju yang sedang trend, menangis semalaman karena kucing meninggal. Ya, hanya aku yang pernah merasakan hal demikian. Bahkan juga hanya aku yang sering bertengkar hebat dengan Mama. Plus juga, hanya aku yang selalu dijadikan tumpahan curhat orang tuaku.
Punya perasaan halus layaknya perempuan itu adalah privilegesku sebagai perempuan. Memang, sesama teman perempuan pun sering berkata bahwa aku terlalu sensitif. Tapi bagiku sendiri, sensitif dan mudah baper adalah privileges.
Aku menyukai perasaanku saat bertumbuh menjadi remaja. Perasaan ingin cantik, ingin dipuja, tersipu malu. Perasaan ingin menjadi perempuan terbaik di kelas. Kalau diingat-ingat perasaan tersebut menyenangkan. Perasaan perempuanku yang labil dan terus bertumbuh adalah sensasi sendiri yang mungkin tak akan pernah dirasakan oleh laki-laki.
Laki-laki tak akan tau seberapa halusnya rasa yang dimiliki perempuan. Bagaimana ia menimbun rasa dengan ekspresi penuh tanya. Bagaimana rasanya meledakkan bom amarah. Memendam cinta demi memenangkan rasa angkuh. Kalau dipikir-pikir, meski segala perilaku itu terlihat ‘tidak dewasa’ tapi.. Begitulah cara perempuan bertumbuh.
Yang paling tak kusangka dan tak kuduga lagi adalah rasa ketika tumbuh menjadi seorang Ibu. Semua rasa bercampur. Antara optimis dan takut. Antara sedih dan bahagia. Antara tenang dan cemas. Pernah gak memiliki perasaan yang berlawanan dan porsinya sama besar? 50 50? Ya, itulah perasaan seorang Ibu yang berproses awalnya.
Lahir menjadi perempuan membuatku banyak mengalami ‘rasa rasa’ yang mungkin tak akan bisa dipahami oleh laki-laki. Dan seninya adalah bagaimana membuat laki-laki juga merasakan ‘rasa-rasa’ demikian. Agar perasaan berlawanan yang porsinya 50 50 itu menjadi dominan keluar dalam akhlak yang baik. Kembali lagi, aku banyak belajar dari Mama.. dari Abah.. tentang ini.
Privilege ketigaku: Kesadaran – Insting Survival
Saat tumbuh remaja aku meyakini bahwa mindsetku sedikit out dibanding teman-teman seumuranku. Saat yang lain tergila-gila pada pacaran, merasakan apa itu cinta dengan melihat wajah laki-laki tampan. Aku lebih memilih ‘berpura-pura’ merasakan hal yang sama. Pribadiku memang terlihat plegmatis diluar, tapi itu hanya aku gunakan sebagai topeng. Saat SMP aku berpacaran hanya untuk status semata. Tak ada kontak semestinya. Hanya teman-temanku yang secara iseng berkirim surat atas namaku.
Saat SMA, aku sedikit merasakan rasa senang saat mengetahui ada cowok tampan yang suka padaku. Namun aku memendam rasa itu sampai tamat SMA. Masa-masa putih abu-abu yang penuh romansa saat seumuranku.. Aku alihkan menjadi masa berteman. Aku memiliki 4 teman baik saat SMA. Dua berpacaran dan satu lagi tidak. Aku fokus menemani yang tidak berpacaran. Kami kesana kemari mencari buku komik terbaru, membicarakan hal receh dan pergi les bersama. Masa putih abu-abuku terbilang sangat biasa.
Sampai ketika aku kuliah dan mengambil jurusan akuntansi syariah. Jurusan yang unik bagi sebagian orang. Namun disanalah aku lulus. Masa ini agak merasakan kelabilan yang terlambat. Dulu, aku tidak merasakan cinta yang benar pada laki-laki. Tak juga merasakan labilnya masa remaja yang ingin mencoba ini dan itu. Aku merasa labil dan histeris ketika kuliah dan berkenalan dengan boyband. Haha. Sungguh aku ingin melupakan hal itu.
Apa maksudnya bercerita ini dengan insting survival win?
Aku merasa bersyukur menjadi perempuan yang tidak pada umumnya. Saat yang lain menyukai laki-laki tampan dan mengejarnya. Aku termasuk dalam orang yang bahkan tertutup dengan rasa. Saat yang lain menyukai laki-laki karena mobil atau motor kerennya. Aku justru senang mengobrol dengan laki-laki yang antusias detail dalam bicara games dan film. Aku justru senang berhubungan komunikasi secara online dan bertarung pada games, begitulah awal mula hubunganku dengan makhluk bernama laki-laki. Bukan karena di dunia nyata aku jelek sekali. Tapi entah kenapa itu lebih menyenangkan. Pada semester 3 saat kuliah, aku baru menyadari bahwa karakter demikian bernama introvert. Ya, aku introvert. Dan menyukai cowok introvert pula..
Aku menyebut menjadi seorang introvert yang realitistis adalah insting survival yang diberikan oleh Allah. Karena insting itu pula, jodohku sekarang adalah orang yang gigih dengan mimpinya. Aku menyukai laki-laki yang punya mimpi out of the box. Bukan semata tentang menjadi dokter, semata menjadi polisi atau ini dan itu. Karena belajar dari hidupku sendiri bahwa hidup dengan keterbatasan dan setumpuk aturan itu membuat mimpi menyempit. Aku ingin membuka mimpi itu. Dan itulah awal dari perjalanan rumah tanggaku yang pasang dan surut bergantian. Hingga kini, aku meyakini bahwa semua ini tak lepas dari privilege ketiga yang diberikan Allah padaku. Terima kasih telah membentuk hidupku ya Allah.. Untuk bisa survive pada segala kondisi dan tetap memiliki mimpi ke depan.
Privilege Keempat: Keluarga Baru
Suami dan kedua anakku yang sudah selama 11 tahun bersamaku adalah keluarga baru bagiku. Semuanya hadir dalam proses yang terbilang cukup cepat bagiku. Tahun 2012 aku menikah dan tahun 2013 aku sudah dikaruniai anak. Sesuatu yang sempat menghambat mimpiku awalnya karena aku terlalu dini menjadi Ibu.. Ternyata adalah peluang rejeki baru yang ditunjukkan oleh Allah.
Pica adalah pembuka peluang bahwa bekerja tak melulu tentang diluar rumah. Bekerja tak melulu tentang uang. Definisi bekerja yang terbaik adalah saat kita menemukan sesuatu yang menyenangkan untuk dikerjakan, dan kita punya target untuk membuat pekerjaan tersebut bervalue. Jujur begitu banyak pekerjaan menyenangkan yang aku lakukan sejak menikah. Dimulai dari eksplore dapur. Mencoba berbagai resep kue dan cemilan. Mencari ciri khasku sendiri dalam eksplore bumbu. Sampai kemudian aku mendapat goals yang aku inginkan. Keluarga senang dengan masakanku. Itu adalah tangga pertama pekerjaan yang membuatku merasa berharga.
Tapi, tak semua hal berharga bisa dijadikan uang. Itu sangat conditional. Memasak bagiku misalnya. Itu bukan tentang uang. Aku pernah memang berjualan kue. Namun, tak bisa grow dalam melakukannya karena kendala over multitasking. Anakku masih kecil. Banyak yang harus disupport dan diprioritaskan. Maka, tangga kedua bagiku bukan berjualan. Namun mencari peluang lain yang menyenangkan dan cocok untukku.
Bisa dibilang blog ini adalah tangga kedua. Dulu, aku sering menulis resep masakan disini. Seiring berjalan waktu, aku sadar ternyata aku lebih suka menulis sesuatu yang berbau improvement dan family life saja. Aku juga sadar bahwa blog bukanlah pekerjaan utama. Blog memang membuat diriku yang dulu berkembang. Namun, tangga ketiga bukan melulu tentang monetisasi blog. Tangga ketiga adalah Grow bersama Pica, Grow bersama suami. Aku dulu suka sekali mendampingi Pica ikut berbagai macam lomba. Itu membuatku bersemangat. Anakku ternyata suka mewarnai dan menggambar. Suamiku suka dunia IT. Dan bagaimana bisa aku fokus pada duniaku sendiri sementara mereka butuh support? Tangga keempat bagiku adalah Start Up kami. Perusahaan IT yang kami bangun hingga sekarang.
Aku akui perusahaan ini mungkin tidak akan berkembang tanpa dukungan keluarga baru. Kelahiran Pica membuat kami memiliki klien di daerah. Kelahiran Humaira membuat kami memiliki klien di luar negeri. Semua berkembang berkat inovasi. Ide yang tumbuh dalam rumah kami. Kusadari, memiliki keluarga kecil ini adalah privileges terbesar.
Privileges Kelima: Keseimbangan
Aku mengaku sangat bersyukur memiliki orang tua yang mendukungku. Tak pernah menyusahkanku bahkan membantuku untuk kembali bernilai saat awal kehidupan pernikahan. Tapi ternyata, Allah tau bahwa hidupku tak akan seimbang dan tak akan seseru ini tanpa adanya keseimbangan. Dilain pihak, suami bukanlah memiliki orang tua sepertiku. Dan saudaranya…banyak. Banyak yang perlu dibantu.
Tapi Allah kadang mengatur rejeki dengan seimbang. Ada saja keajaiban yang tak disangka-sangka. Mungkin benar bahwa rejeki sudah memiliki jalannya masing-masing. Dan dalam kandungan rejeki itu bisa jadi terkumpul karena adanya rasa ikhlas dalam hati kita.
Tak melulu dalam hidupku semuanya terisi oleh hal menyenangkan. Terutama ketika berkeluarga. Banyak peristiwa menyedihkan yang juga terpaksa dialami. Tak melulu dalam hidupku semuanya terisi oleh orang baik. Orang baik kadang berubah. Orang jahat kadang muncul memberikan luka dan pelajaran. Thats.. Keseimbangan. Itu adalah privileges. Yang membuat roda hidupku tak berhenti. Selalu ada ujian baru untuk hati, cinta, dan finansial. Dan orang mungkin tak tau aku hidup dalam proses sedemikian.
Baca juga: Berdamai dengan bekas luka
Itulah 5 privileges besar dalam hidupku. Sebagian dari kita mungkin sering merasa bahwa privileges adalah melulu tentang uang, status sosial, relasi, jabatan. Tapi sebenarnya, kembali ke headline pertama. Bahwa Allah sudah mengatur privileges kita sendiri sejak lahir. Karakter unik, orang tua, rasa-rasa yang pernah hadir, bahkan sebenarnya orang baik dan tidak baik yang hadir itu adalah privileges. Well, mungkin ada yang protes bahwa, “Win, bukan itu loh definisi privileges”
Iya, memang bukan. Tapi cobalah membuang definisi saklek itu sebentar. Pejamkan mata dan rasakan apa-apa saja sebenarnya hal yang kita dapatkan dalam hidup dan membuat kita sampai ditahap sekarang. Semuanya adalah takdir unik yang tercipta dari kombinasi pengalaman hidup, doa, pembentukan karakter, dan insting survival kita masing-masing.
Semua kita, sebenarnya memiliki privileges unik.