Browsed by
Category: Renungan Hidup

Tulisan-tulisan yang berisi pengingat tentang kebaikan terinspirasi dari berbagai hal

Surat Untuk Mama, “Maafkan Anakmu hanya bisa Menjadi Ibu Rumah Tangga” 

Surat Untuk Mama, “Maafkan Anakmu hanya bisa Menjadi Ibu Rumah Tangga” 

Sudah lima tahun lebih ya Ma sejak aku lulus kuliah di umur 21 tahun..Kini umurku sudah hampir 27 tahun. Cucumu sekarang sudah cukup besar, umurnya sudah 4 tahun. Sebentar lagi dia akan sekolah di Taman kanak-kanak. Lihatlah, sejarah akan berulang kembali, sama seperti ketika kau menyekolahkanku waktu kecil. Kini keluarga kita sudah memiliki generasi baru. 

Kau tau, dari seluruh artis, guru, hingga semua orang yang kugemari, kau tetap nomor satu bagiku. Kau adalah Rule Mode pertamaku. Aku adalah seorang peniru yang meniru semua perilakumu. Bahkan, sedari dulu aku terobsesi untuk bisa sepertimu. Menjadi wanita yang mandiri sepenuhnya. Aku tak mau kalah darimu. 

Aku masih ingat kau selalu menyuruhku bercita-cita untuk memiliki karir diatas mu. 

“Winda mau jadi apa kalau sudah besar?”

“Jadi Guru TK kayak mama” ucapku Polos

“Kalau bisa cita-cita itu harus diatas mama, mama jadi Guru TK paling tidak anaknya jadi Guru SD, Guru SMP, Guru SMA, jadi Dosen”

Aku membenarkan kata-katamu. Aku harus bisa menjadi lebih darimu agar aku dapat membanggakanmu. Asik sekali kan jika nanti kau berkumpul diantara komunitasmu dan membanggakanku sudah bisa ini, itu. Sudah bisa berstatus sosial diatasmu, sudah bisa memperoleh uang yang lebih banyak darimu. 

Seiring berjalan waktu cita-citaku berubah-ubah. Kau bukan lagi Rule Mode bagiku. Aku terlalu capek melihatmu sibuk. Sibuk membuat Kue untuk dijual selain itu Mama juga Ibu pekerja. Terkadang Mama marah padaku tanpa sebab yang jelas. Ketika sudah ‘sedikit’ besar aku mengerti bahwa sumber kemarahanmu hanya satu. Uang. 

Kau membuat pengertian baru dalam otakku. 

“Lihat, Gajih Guru itu ya segini-segini aja.. Ga cukup untuk (bla bla) makanya mama sambil usaha jualan kue..”

Aku mulai menggaris bawahi Tujuan Hidupku. Jangan pernah menjadi Guru, nanti kau harus punya pekerjaan tambahan untuk terus menyambung hidup. Nanti hidupmu terlalu capek. Dan satu lagi, jangan pernah menikah dengan Guru pula. Nanti hidupmu bokek selamanya. 

Kau tau ma, ketika sekolah SD didekat rumah kita yang tergolong kampung aku selalu dikenal sebagai Anak Orang Kaya. 

“Lihat, Mama dan Ayahnya PNS keduanya.. Anak orang kaya dia tuh”

Nyatanya aku sama sekali tak pernah merasa jadi orang kaya. Kau bilang juga kita ini tidak kaya. Aku hidup dengan dipenuhi rasa empati padamu. Bahkan untuk membeli sesuatu yang aku benar-benar inginkan saja aku jarang meminta. Sejak SD aku rajin menabung. Untuk membenarkan pendapat teman-temanku bahwa aku orang kaya. Aku masih ingat betapa senangnya saat kau membelikan jam tangan untukku dengan menambahkan uang pada tabunganku. 

“Hidup itu harus rajin menabung, anak-anak desa itu mana tau arti sekolah hingga kuliah. Mereka cuma mau tamat SD saja. Makanya uang mama mereka cuma habis untuk jajan mereka, mereka ga punya tujuan hidup seperti mama yang ingin semua anaknya sukses”

Aku harus sukses. 

Rasa empati pada mama membuatku tumbuh menjadi pribadi lain. Impianku adalah memiliki banyak uang. Bagaimana? Belajar. Belajar untuk selalu menjadi yang terbaik dikelas. Aku memiliki Rule Mode kecil yang selalu membayang-bayangi kehidupanku. Dia adalah Kakakku. Si Pintar yang selalu Juara. 

Kau tau Ma, sejak kecil aku sudah merasa berbeda dengan kakakku. Kakak itu pintar, mama sendiri yang bercerita bahwa sejak umur 3 tahun dia sudah bisa membaca. Dia belajar otodidak dengan bertanya padamu. Aku? Sejak kecil aku tak punya ketertarikan dengan Rangkaian Huruf dan Angka. Aku lambat dalam belajar. Aku lebih suka mengkhayal sambil menggambar. Tapi apakah Gambar akan menjadi uang ketika aku sudah besar? 

Ketika aku bisa menulis untuk pertama kalinya kau tau apa yang aku lakukan? Ya, Aku menulis, menulis segala yang kubisa. Tulisan pertama ku adalah prasasti yang kutulis ditembok rumah kita. Aku masih ingat kata-katanya. 

Winda anak Mama

Wanda anak Abah

Seiring berjalan waktu aku mulai suka menulis curhat di buku tulis. Terkadang tulisanku dibaca oleh kakak dan diperlihatkan kepada Mama. Saat aku dimarahi mama, saat aku bertengkar dengan kakakku aku menuliskannya. Itu sudah menjadi semacam terapi untukku. 

Seiring berjalan waktu aku tetap hoby menulis. Aku punya buku tulis khusus untuk menuangkan imajinasi konyolku. Dibawah tulisan aku memuat gambar ilustrasi. Aku senang dengan buku cerita yang mama belikan. Aku pikir aku perlu membuat satu dengan namaku dibawahnya.

Apa Mama tau hoby konyolku itu? Kupikir Aku baru kali ini berusaha mengungkapkannya. Sejak SMP anakmu punya koleksi surat cinta gombal palsu hasil dari perwujudan agar mendapat penerimaan dari teman dan lingkungannya. Kemudian hoby menulis konyolku menghilang begitu saja seiring berjalannya aku pada dunia ekstrovert dengan teman-temanku. 

Aku selalu melirik bayangan hidup yang menghantui persainganku didalam keluarga. Kakakku. Untuk mengabadikan gengsiku padanya aku bahkan malas bertanya dengannya jika menemui kesulitan. Aku memutuskan untuk menempuh jalanku sendiri untuk memperoleh kebanggaan darimu. Jika kakakku lulus di Universitas jurusan Kedokteran, maka Aku akan menghasilkan lebih banyak uang dengan menempuh jalan pada Ilmu Akuntansi. 

Ilmu akuntansi sebenarnya adalah ilmu pelarian. Aku menyukai angka yang memiliki 0 banyak itu hanya karena aku ingin memilikinya, menjadikannya bagian hidupku untuk menyenangkanmu. Pada kenyataannya setiap malam aku hanya menulis cerita konyol hidupku lagi kemudian menulis cerita pendek konyol dan hobi sekali dengan dunia online. 

Mungkin karena nafsu ‘materialistis’ ku Tuhan tak meluluskanku pada tes STAN dan UMPTN, bahkan untuk jalur undanganpun aku tidak lulus. Aneh mengingat saat SMA aku lumayan sering juara di kelas 2 dan 3 SMA. Aku kemudian terdampar di Politeknik Negeri Banjarmasin, mendaftar di Program Studi D4 Akuntansi Lembaga Keuangan Syariah. Syariah? Lihatlah ma, Tepukan Tuhan yang pertama untuk nafsu Materialistisku. 

Sejak kuliah aku banyak berubah. Aku mulai mantap untuk memakai kerudung. Bahkan sejak awal masuk aku tak pernah ketinggalan memakai rok, diluar dunia kampuspun begitu. Dunia terdamparku di jurusan islami ini sudah menghapus sedikit demi sedikit materialistisku. Meskipun aku masih berharap sedikit penerimaan diluar lingkunganku dengan terkadang memakai jeans diluar. 

Dunia terdampar ini juga mempertemukanku dengan jodohku. Dia adalah asisten dosen dijurusanku. Seiring berjalan waktu aku pun menikah. Aku masih ingat sebelum itu kau begitu bersemangat melihat ada lelaki yang mendekatiku dengan sopan. Kau menyukainya, kau langsung menyuruhku menikah dengannya begitu tau dia ingin meneruskan S2-nya. 

Aku berpikir begitu lama untuk langkah hidup yang begitu mengejutkan ini. Aku bahkan belum lulus waktu itu, masih menyusun Tugas Akhir untuk syarat kelulusanku. Dengan berbekal sholat Istiharah aku mendapat sebuah petunjuk dan aku menurutinya. Jalan-Nya dan saranmu adalah yang terbaik bagiku. Dan akupun menikah. 

Aku masih ingat betapa bahagianya wajahmu saat itu.. Mama. Entahlah apa yang kau pikirkan. Bagiku, saat itu saat yang membingungkan. Ketika Ijab Kabul itu diucapkan pikiranku langsung berputar gelisah. Kemana aku mulai saat ini? Apa Mama akan aku tinggalkan mulai saat ini? Dimana aku nanti? Apa rumah mertua akan menjadi surga baru untukku? Dan.. Kemana pula cita-cita membahagiakan Mama dengan Uang itu? Hilang begitu saja? Ya, ampun aku bahkan belum lulus..

Ah, ada KB. Tentu saja, KB akan menyelamatkan hidupku dari ancaman belenggu Rumah Tangga yang tak aku inginkan. Siapa yang mau jadi Ibu dengan umur masih muda dan belum bekerja? Masih banyak jalan yang ingin Aku tempuh untuk membahagiakan mama. Aku mau melanjutkan kuliahku. Aku tak mau menjadi Banker, Akuntan atau pekerjaan berdasi lainnya. Aku sudah membuang jauh-jauh sisi materialistisku. Aku ingin menjadi Dosen, dia Rule Mode terakhirku. Suamiku. 

Saat lulus Kuliah aku mendengar ada penerimaan Beasiswa S2 di Politeknik Negeri Pelaihari, 2 seniorku lulus disana. Semangatku berapi-api, Aku langsung menceritakannya padamu Ma, Kau begitu senang mendengarnya. Aku tau apa yang ada dalam pikiranmu “Anakku takkan berpisah jauh dariku karena bekerja disini”. Aku pun sungguh bahagia dan berpikir “Aku takkan jauh dari Mama, Aku akan bekerja disini, memperluas dan menyalurkan ilmuku disini” 

Aku dengan semangat berapi-api menulis lamaran dan CV di kampus kampungku itu. Suamiku memberi semangat. Iseng, aku bertanya padanya. 

“Terus, Kaka nanti gimana? Pindah kerja ya? ”

“Bisa juga sih, tapi lulusin S2 dulu” Katanya (dia saat itu masih dalam tahap tes masuk) 

Aku memasukkan arsip lamaranku dilemariku. Masih ada beberapa berkas yang belum lengkap. Tak lama kabar bahagia darinya datang “Aku lulus penerimaan S2 di UGM” katanya. Aku bersorak senang “Aku juga akan kuliah lagi” kataku. 

Dua bulan lebih berlalu dari tanggal pernikahan kami. Aku belum juga dapat Tamu bulanan. Dia cemas. Jangan jangan..

Ya, Aku hamil. Testpack itu membuat kami berdua shock. Terus terang menunda kehamilan adalah prioritas utama pernikahan kami. Kami masih punya banyak cita-cita bukan? Kami? Maksudku, aku. 

Belum lagi shock itu pudar. Aku masih terbayang-bayang bisa diterima dikampus Pelaihari untuk program beasiswa, kemudian aku mendengar mertuaku menangis tersedu berbicara dengan suamiku disebelah kamarku. Sudah jelas, Mertuaku tak mau Suamiku mengikutiku bekerja di pelaihari. Dia ingin anaknya ada untuknya. 

Untuk pertama kali dalam lembaran hidupku aku begitu membenci Mertuaku. Kebencianku begitu dalam ketika aku hamil. Tapi aku menahannya. Aku cemburu padanya. Aku tak ingin dekat-dekat dengannya_orang yang merampas cita-citaku. Pikirku. 

Demi menuruti hadist sahih tersebut Aku dengan rela mengalah. Tapi sekaligus merasa terkekang. Seumur hidup diriku bebas bereksplorasi. Setelah menikah keinginan terbesarku dikendalikan oleh Suami_yang tadinya setuju dengan usulku lalu dikendalikan oleh Mertua. Lalu dimana hak mama untuk turut menikmati kesuksesan anaknya? Tak adil hidup ini. Pikirku. 

Suamiku akhirnya berangkat untuk kuliahnya. Aku memutuskan tinggal untuk ‘menghemat uang’. Malu rasanya sudah menikah masih saja minta uang padamu Ma. Bahkan tinggal dirumahmu saja malu, tidak bekerja pula. Aku waktu itu adalah Wanita Hamil yang uring-uringan memikirkan masa depannya dan anaknya. Dan saat itu kau sibuk untuk persiapan resepsi kami. Ya ampun merepotkan sekali ya anakmu ini. 

Jujur saja Ma, Seandainya boleh memilih aku lebih memilih tidak usah resepsi saja. Kalaupun resepsi cukup sederhana dirumah saja. Aku tidak berharap menjadi Putri Raja dalam sehari dengan menghabiskan begitu banyak biaya. Tapi demi melihatmu berdiri bersalaman dengan para tamu sambil membanggakan anaknya. Aku rela jadi ondel-ondel sehari. Tukang rias itu bahkan bersikeras untuk memangkas habis alisku yang katanya seperti hutan ini. Aku rela Ma menangis sembilan bulan meratapi alisku yang gundul. 

Betapa sering aku merengek padamu. Mau bekerja kataku. Lihatlah anakmu yang uring-uringan pada kehamilannya ini. Tapi kau bersikeras mencegahku. Tunggu tes PNS saja, katamu. Teman-temanku mulai mendapat pekerjaan di swasta dan bank. Demi tak tahan dengan rasa iri aku memutuskan untuk berhenti bersosial media. Cukup puas dengan membuka forum Ibu Hamil dan mendapatkan banyak informasi untuk menjaga kehamilanku. 

Andai aku bisa meminta. Ingin rasanya aku menyusul suamiku keyogya. Tapi aku terlalu berempati padamu. Malu meminta uang padamu_untuk membeli tiket. Malu, sudah menikah masih menumpang makan dirumahmu, tidak memberimu apa-apa. Tapi terkadang aku merasa kesal didalam hati kenapa Mama selalu mengungkit-ungkit biaya resepsi yang 100% uang mama. Bukankah mama tau suamiku bukan orang kaya. Dia punya 4 adik yang masih sekolah dan mertuaku janda. Bukannya Mama yang terlalu mendorongku untuk menikah? Apa salahku jika kehidupan ekonomiku bergantung pada Mama? Aku tau, uang 300ribu sebulan yang diberi suamiku tak ada apa-apanya dimata Mama. Taukah Mama bahwa demi tak meminta uang padamu aku sering merelakan dunia sosialku hilang_tak ada kuota. Aku berharap kau sedikit simpati padaku saat itu, betapa banyak pasangan muda yang masih ‘diberi’ oleh orang tuanya ditahun pertama pernikahan. Aku saat itu hanya menuntut rasa bangga darimu_dari tekanan hilangnya duniaku dulu. Akhirnya akupun bertengkar dengan Mama. 

Sungguh, sebagai Anak aku menyesal terlalu sering membuatmu menangis, Ma.. Aku bahkan membuatmu menangis saat aku sendiri tak pernah bisa membanggakanmu. Aku bingung, bagaimana meminta maaf denganmu. Akhirnya pada suatu malam tangisanmu pecah kembali. Tangisan yang berisi pengakuan. Cerita kehilangan. 

“Aku merasa kau telah diambil sepenuhnya”

Kata-kata itulah yang kudengar. Ya, dengan egoisku aku membuat ceramah panjang untuk mama hingga mama menangis tanpa pernah memikirkan perasaannya. Bagaimana rasanya memiliki anak yang kau besarkan sejak kecil, menyekolahkannya hingga pintar kemudian pergi meninggalkannya begitu saja_dibawa oleh orang asing yang hanya bermodalkan cinta dan tanggung jawab semata. Aku hanya ingin bersama dekat dengan anakku dan memeluk cucu pertamaku setiap hari. 

Aku akhirnya sadar. Mama kini tak berharap uang dariku. Dia hanya ingin dekat denganku dan Mertuaku ingin anaknya/suamiku dekat dengannya. Aku dihadapkan pada pilihan sulit. Suami? Atau Mama? 

Beberapa bulan sebelum hari kelahiran anakku, Mama membawaku berjalan-jalan ketoko perlengkapan bayi. Kau membelikanku semuanya. Ya, memakai semua uangmu. Rupanya untuk itulah alasan kau terlihat cuek dengan krisis keuanganku. 

Pilihanku semakin sulit ketika Hari Melahirkan tiba. Suamiku tak bisa datang. Hanya Mama dan Ayah yang membantuku. Mama_yang paling utama dalam membantuku. Karena suatu masalah Aku terpaksa melahirkan cesar. Sungguh, malu sekali rasanya pernah membuat Mama menangis sementara Aku dibantu pi*is dan p*p oleh Mama. Mama adalah pilihan yang sulit untuk ditinggalkan. 

Memiliki anak tanpa dampingan suami membuatku terkena babyblues. Walau mama sangat membantuku namun kebahagiaan psikologis ku terganggu. Disamping itu selama 1 minggu ASI-ku tak keluar. Stress mulai menggerogotiku. Andai suamiku datang aku tak mau pulang kerumah mertua pikirku. Aku ingin dengan Mama dan suamiku saja. 

Tapi aku salah. Suamiku pulang saat anakku berusia 3 bulan dan aku tinggal di Rumah Mertua. Babyblues mulai menghantuiku. Mertuaku jauh berbeda dengan Mama. Aturan zaman bahari itu membuatku semakin stress. Ditambah dengan kolotnya pemikiran tentang peran suami dalam membantu membuatku ingin pulang.  Pulang adalah tempat dimana orang yang mengerti dan memperdulikanmu ada. Dan tempatku pulang adalah rumah mama. 

Tapi inilah kenyataan Ma. Kita memang harus berpisah_jarak. Aku sudah terikat janji sebagai seorang istri. Aku sudah meninggalkannya selama kuliah S2_aku memilih bersamamu saat hamil hingga cucumu berumur 3 bulan. Inilah saat aku harus mendampinginya. Menjadi Istri dan Ibu yang harus belajar. Aku memilih mendampinginya dan berada dirumah ini. Rumah Mertua. 

Saat Tes PNS tiba kau begitu bersemangat ma. Saat itu usia Bayiku masih 6 bulan. Aku mendaftar tes administrasi dan ternyata tidak lulus. Status D4 tak sama dengan S1. Aku tau, kau pasti sangat kecewa. Seolah-olah semua perjuanganmu untuk suksesku sia-sia. Akupun merasakan hal yang sama. 

Saat anakku berusia 1 tahun kami memberanikan diri membeli rumah_berhutang denganmu, Ma. Lihatlah betapa merepotkannya Anakmu ini. Aku tau kau ikhlas membantu. Aku butuh rumah sendiri Ma, untuk menyehatkan kondisi psikologisku_meskipun aku lebih suka jika serumah denganmu. 

Alhamdulillah, karir suamiku didunia IT terbilang sukses. Lewat berbagai pekerjaannya di web, kami akhirnya bisa merenovasi rumah kami hingga begitu besar. Lihatlah Ma. Ini pencapaian Suamiku_orang yang kujaga semangatnya dan berusaha aku sukseskan lewat pengabdianku sebagi istri. Dia tiba-tiba saja punya uang banyak untuj merenovasi rumah Ma.. Padahal tadinya dia hanya Asisten Dosen PNS saja. Kini dia sudah S2, konsultan IT pula. 

Tapi Aku masih belum bisa memberi apa-apa padamu. Uang suami memang uang istri tapi masih tak layak diberikan padamu karena untuk sehari-hari uang ini terbilang pas-pasan untuk hidup kami. Aku bahkan tak bisa menghiburmu setiap hari dengan senyuman dan ocehan cucumu. Aku sangat tertinggal_jika dibandingkan kakakku yang berprofesi sebagai Dokter dan setiap bulan memberimu uang. 

Tawaran pekerjaan beberapa kali kau tawarkan akhir-akhir ini. Iya Ma, Aku tau Anakku sudah cukup besar untuk Aku tinggalkan bekerja. Tak ada lagi alasan untukku untuk pemalas dan tak bekerja. 

Tapi aku sudah terlanjur Cinta dengan Rumah ini.. Ma.. 

Aku terlanjur menyukai kegiatan dapur yang dulu selalu aku keluhkan, aku tak bisa melepaskannya. Aku tak bisa membiarkan Suamiku tak merasakan cintaku dari makanannya. 

Aku terlanjur menyukai Kedekatanku dengan Anakku. Ada Bonding aneh yang tak bisa Aku lepaskan hingga sekarang. Saat dia memelukku dan dengan lancar dan bilang “sayaaang mama”, menciumku dan bertanya konyol padaku. Aku pikir hanya aku yang bisa menjawab segala pertanyaan konyolnya yang tanpa henti. 

Aku tertular denganmu Ma. Kau yang selalu Memasak untukku, membersihkan rumah dan merapikannya dengan sempurna, menjadi Guru TK saat aku Sekolah, selalu nampak paling cantik diantara komunitasmu, namun satu kekuranganmu Ma. Kau terlalu Capek karena mengemban semuanya seolah-olah sendirian saja. Berjuang terlalu keras untuk ekonomi keluarga. Kau terlalu super woman untuk aku tiru. 

Jika Mama merasa Ayah yang hanyalah guru tak cukup untuk memenuhi ekonomi keluarga maka Aku sebagai anak yang belajar dari kehidupanmu merasa bahwa Suamiku memiliki Passion yang lebih dibanding seorang Guru saja. Aku memutuskan untuk mendukung segala hoby suamiku dari belakang layar. Ikhlas dengan Nafkah yang terbagi bukan hanya untukku namun juga untuk Ibunya. 

Mengertilah Ma, Aku tak bisa menjadi sepertimu. Membagi diri terlalu banyak untuk menjadi tulang punggung. Aku sudah cukup mendapat pelajaran dari kehidupanku. Bahwa rezeki keluarga diperoleh dari kerja sama yang pas. Ayah mungkin adalah suami yang ideal untukmu yang merupakan wonderwoman. Tapi suamiku tak seperti Ayah_sang penolong dalam kegiatan Rumah Tangga. 

Aku tau kau takut menerima kenyataan aku tak mandiri secara finansial. Nyatanya Aku mulai berusaha Ma. Walau tak terlihat namun Aku percaya, segala yang aku lakukan sekarang adalah Investasi. Aku punya catatan Akuntansiku sendiri untuk rezeki ku. Ingat Ma, Aku ini Sarjana Sains Terapan Akuntansi Syariah. 

Percaya padaku Ma.. Cukup percaya dengan langkahku dengan tak mengatakan bahwa ini adalah langkah kepasrahan. Banggalah dengan status Ibu Rumah Tangga padaku. 

Aku memang hanya Mengurus Suamiku. Meninggalkan cita-citaku dahulu. Tapi suamiku meneruskan cita-citaku. Mengurus suamiku berarti memperjuangkan cita-citaku. 

Ditulis dengan air mata kerinduan. 

Seorang Ibu yang menemukan Rumah Baru dan menghapus kekecewaan dari orang yang selama ini menyayanginya. 



JUST DONT JUDGE OUR PASSION 

JUST DONT JUDGE OUR PASSION 

Halo Ibu-Ibu, ketemu lagi dengan curcolan saya tentang dunia sosial. Kali ini mau cerita tentang pertanyaan-pertanyaan dan sindirian mengganggu dalam kehidupan kita para wanita. Pertanyaan ini saya yakin sekali deh, pasti banyak yang sangat familiar. Bertanya dengan muka lugu sih boleh saja ya dengan catatan mukanya selugu anak saya. Haha. Ga, saya ga akan ambil hati pasti kalo begitu ceritanya. Tapi kalo yang nanya udah sekelas teman sosialita hingga keluarga sendiri itu pasti mak-jleb dah, apalagi jika musim PMS melanda. Wah, harus bawa boneka besar ya bun kayak Mama Nene di Sinchan itu. Ada yang tau? Baiklah saya laporkan aja gambarnya. 😂

Apa sih pertanyaan yang bikin kita segalau mama nene itu? Banyak ya.. Mungkin sih no problem bagi ibu-ibu yang dari sononya udah punya hati yang teguh dan kuat. Tapi gimana kalo Ibu-ibu yang dikit-dikit bawaannya baper. Yang paling parah itu jika pertanyaan itu sudah menjurus ke penyindiran passion sang Ibu. Wah, ini harus diluruskan. Memang semua Ibu punya sifat kayak dia apa ya? Punya Passion kayak dia? Nah, ini nih beberapa contoh pertanyaan dan sindiran yang paling Familiar didalam dunia sosialita Emak-emak


“Beli makanan terus, masak sendiri kan lebih murah. Akuu nih sebulan cuma habis segini.. (bla bla) “

Padahal kita tidak tau, Ibu tersebut memang tidak hoby memasak dan tidak punya waktu untuk memasak. Memasak menghabiskan banyak waktu. Kita tidak tau suaminya pun no problem dengan Passion sang Istri yang kebanyakan dihabiskan untuk membangun pendidikan. Kita tidak tau.

“Masak mulu, ga pernah aku liat dia keluar rumah. Dirumah mulu, apa ga stress ya? Lebih baik jualan kan dari pada kerjaan dirumah ga jelas gitu.. Kalo aku sih (bla bla)”

Padahal kita tidak tau. Passion sang Ibu memang memasak dan menyenangkan keluarga. Ibu Introvert tak butuh ruang sosial terlalu lama diluar. Cukup memasak, menulis, memoto makanan dengan hasil memuaskan, mendapatkan banyak like dimedia sosial sebagai bentuk penerimaan sudah merupakan kebanggaan tersendiri. Kita tidak tau.

“Moto Makanan Mulu, ssst.. Biasanya orang suka foto-foto itu tanda ia pengen dibilang ‘orang berada’. Lagian harusnya kalo moto itu paling tidak kan dia berbagi sama kita, bukan pamer ga jelas (bla bla)”

Padahal kita tidak tau kondisi keuangannya. Sanggupkah dia berbagi? Berbagi resep saja rasanya sudah senang baginya. Kita tidak tau.

“Lihat, buat anggaran make up sama perawatan aja dia habis segini. Kalo aku sih cuma segini sebulan..  (bla bla) “

Padahal kita tidak tau kondisi wajahnya yang diciptakan lebih dilematis dibanding dengan kita. Bisa jadi, ia mempercantik diri untuk bisa menyenangkan suaminya dengan maksimal. Bisa jadi, semua hal yang ia lakukan jauh bermanfaat dibanding kita karena ia berbagi pengalaman wajah dilematisnya kepada yang senasib dengannya. Kita tidak tau.

“Lihat, IRT aja padahal kerjaannya. Tapi punya pembantu. Kalo aku sih mending uangnya buat (bla bla) “

Padahal kita tidak tau kondisi keluarganya jauh lebih terkontrol dengan adanya Pembantu. Passion sang Ibu dan Ayah akan lebih tersalur kepada ‘hal yang seharusnya dikerjakan’ dibanding melakukan pekerjaan rumah. Kondisi keuangan pun jauh lebih stabil dengan adanya pembantu. Ya, kita tidak tau. Tapi suka sekali sok tau.

“Anaknya keduanya diminumin sufor loh, udah gitu operasi pula keduanya.. Kesibukan kerja sih ya..anak ga keurus. Masih mending aku yang (bla bla)”

Padahal kita tidak tau toh anaknya baik-baik saja. Memang ada beberapa kasus Ibu yang minim ASI. Kelancaran ASI bukan hanya didorong oleh faktor biologis namun juga psikologis. Ibu yang tidak bahagia dan mendapat tekanan stress bisa saja ASInya mandeg. Aku pernah mengalaminya. Beruntung lingkungan mendukungku. Tapi apa semua Ibu seberuntung aku? Kurasa tidak. Ketika Sufor adalah pilihan terdesak maka kita sebagai orang terdekat seharusnya tak menyalahkan langkahnya. Namun membimbing dengan bijak. Itulah fungsi dari Forum ASI sebenarnya.

Pertanyaan-pertanyaan diatas ini sifat dan tujuannya cuma dua. Pertama, ingin membanggakan diri sendiri. Kedua, ingin menyindir. Tanpa sadar sebenarnya pertanyaan itu tidak hanya berbahaya untuk passion sang Ibu namun juga Ibu yang mengalami Baby Blues dan Post Partum Depression. Kamu bisa melihat tulisanku tentang baby blues disini

Kondisi setiap orang itu sungguh unik. Ibarat angka 9 dan 6. Ibarat huruf b, d, p dan q yang kecil. Kau tau? Setiap sudut pandang berbeda akan menghasilkan pengertian yang berbeda pula. Kita tidak bisa memaksakan orang tersebut berada diposisi kita untuk mengerti huruf b, d, p dan q yang sama dengan kita. Kecuali kita menyeretnya dengan paksa.

Mari kita lihat bagaimana sebenarnya tangan Tuhan bekerja.

Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial. Ia membutuhkan interaksi sedari kecil. Sejak kecil, anak berteman baik dengan Ibunya. Menjadikan Ibunya sebagai Rule Mode. Seiring berjalan waktu Rule Mode akan terpengaruh oleh lingkungan. Sebuah penerimaan dilingkungan akan mempengaruhi terbentuknya karakter anak.

Hal yang dibutuhkan seseorang untuk dapat diterima dilingkungan pertama kali adalah Bergabung pada Populasi. Populasi yang sama dengannya. Populasi didapat dari kumpulan orang yang mempunyai hoby, sifat, hingga pekerjaan yang sama. Apakah populasi cukup untuk memenuhi kepuasan ruang sosial manusia? Tidak. Itu tidak cukup.

Kita manusia. Kita berbeda. Akan beda ceritanya jika kita ini Sapi, Angsa, Ayam, dan lain-lain. Cukup dengan memakan rumput, beras dan bama yang sama hingga menikah dengan orang yang sama kita sudah merasa bahagia. Itulah jika kita sudah merasa puas dengan Populasi. Nyatanya? Batin kita selalu meminta lebih dari itu.

Namun anehnya terkadang sebagian manusia tidak dapat berhubungan dengan hal yang lebih jauh dibanding populasi. Terbiasa berkumpul dengan orang yang senasib membuat pikiran manusia terkadang terlalu dangkal. Mengira semua orang sama seperti kita. Mulai mengeluarkan nyinyiran yang saling menyinggung satu sama lain. Manusia tipe seperti ini lebih baik belajar dulu sebelum bergabung dengan komunitas ekosistem.

Atau lebih baik diam sebelum berbicara.

Dan Aku adalah salah satu orang yang lebih seharusnya diam.

Aku adalah salah satu Ibu yang bersifat melankolis. Mengejar kesempurnaan adalah kekuranganku, lebih tepatnya kekurangan terbesarku. Bisa dibayangkan jika Aku berada dilingkungan orang yang suka nyinyir? Aku akan berusaha menjadi seperti yang orang mau. Bahkan untuk benda seperti Buku-pun akan aku turuti kemauannya. Salahkah sifat sepertiku? Salah besar.

Bahkan karena mengejar kesempurnaan aku terkadang tanpa sengaja juga membanggakan diriku. Tanpa sadar mungkin saja orang lain tersindir oleh kalimat sempurnaku. Tulisan ini adalah sebagai pengingat untuk diriku sendiri. Bahwa ketika kita nyinyir dengan orang lain, tanpa sadar kita telah menjelek-jelekkan passion orang tersebut. Yang mana Passion tersebut adalah jalan hidupnya.

Tidak semua orang_tidak semua Ibu memiliki sifat Divergent sepertiku. Suka bereksplorasi sendiri, asik sendiri, ingin bisa semuanya dengan belajar sendiri, ingin bisa semua passion dan memilih mengorbankan hidup untuk mengembangkan passion suami di masyarakat. Cukup bersyukur mengabadikan semua passionku dengan menulis. Tapi tidak semua sepertiku. Beberapa memilih untuk mengembangkan satu Passion dalam dirinya agar dapat berinteraksi dengan komunitas yang lebih luas dan agar dapat mandiri dengan caranya sendiri.

Jika semua makhluk hidup diciptakan dengan passion serupa dengan kita maka Tuhan dengan senang hati hanya menurunkan keturunan dari rahim kita saja. Tapi tidak, Tuhan tidak sekejam itu. Ia tau bahwa semua makhluk yang ia ciptakan akan bekerja sama ketika sudah besar. Ia menitipkan anak pada jenis Ibu yang berbeda. Berbeda lingkungan, berbeda sifat hingga berbeda passion. Outputnya? Akan menghasilkan anak dengan sifat unik yang tidak jauh dari sifat kedua orang tuanya.

Maka jangan hambat passionnya dengan membandingkan kondisimu dan kondisinya. Manusia sudah diciptakan dalam kondisi berbeda_dengan orang tua yang berbeda. Itu adalah cara Tuhan mengatur keseimbangan hidup sosial manusia.

Kita tidak hidup dalam jenis makhluk yang sama. Kita manusia. Kita makhluk sosial. Maka jagalah mulutmu agar hidup ini menemukan keseimbangan sejati.

Tulisan ini aku dedikasikan untuk diriku sendiri dan setiap kamu yang merasa suka mengomentari hidup orang. Ini bukan hanya tentang sesuatu yang sudah terucap saja tapi sindiran dalam hatipun harus segera diobati. Sifat nyinyir itu luas cakupannya. Bukan tentang mulut namun juga hati. Bahkan merasa diri paling baik pun termasuk didalamnya.

Kaca tak dapat menggambarkan keseluruhan diri kita..

Sebagian besar Bakteri hanya dapat dilihat dengan Mikroskop.. 

Cahaya bukanlah petunjuk kebenaran.. 

Sebagian yang benar ditemukan setelah kegelapan.. 

Kita boleh saja berdoa untuk ditemukan pada jalan yang lurus.. 

Namun jika jalan lurus tak mengubah kita, Tuhan dengan senang hati akan membuat kita berbelok, berputar hingga terperosok kedalam sebuah lubang. 

Boleh jadi, Lubang itu gelap. 

Boleh jadi, Lubang itu pengap dan bau. 

Namun dari Sakitnya Kita akan Belajar. Merenungi diri kita. 

Kesendirian adalah perantara terbaik untuk berhubungan dengan Tuhan. 

Hubungan terbaik dengan Tuhan memberikan Hubungan terbaik dengan sesama manusia. 

Ditulis Oleh seorang Ibu yang tak sempurna dan hanya ingin belajar dari Kehidupannya.

Pembelajaran dalam Film Revolutionary Road

Pembelajaran dalam Film Revolutionary Road

Ada yang pernah nonton film ini? Film ini sudah lama, tahun 2008 dan diangkat dari sebuah novel karya dari Richard Yates (1961). Aku tidak terlalu tau apakah cerita ini terinspirasi dari kisah nyata atau murni imajinasi sang penulis. Yang jelas, cerita dari film ini sangat familiar disekitar kita. 

Kebetulan saya adalah salah satu penggemar film Leonardo DiCaprio. Bukan karena wajahnya yang tergolong tampan tapi film-film Leo benar-benar menginspirasi. Aku tau kalian yang cewek pasti langsung nyantolin pikiranku ke film Titanic juga Romeo n Juliet. Percayalah, itu dulu.. Ketika darah muda saya menggebu-gebu. Sekarang? Tidak lagi yay.. Hihi.. 

Jika kamu adalah orang yang mengenal Leo dari Film Titanic dan romance lainnya kusarankan kau mencoba menonton filmnya yang lain. Seperti Cacth Me If U Can, Inception serta Shutter Island. Film-film itu benar-benar keren. 

Dan Revolutionary Road? Mungkin, film ini bukan jenis yang menginspirasi. Namun, dari menonton film ini pasti kamu mendapat sebuah pelajaran berharga. Seperti pikiran saya sekarang yang mencoba menuliskannya dalam sebuah blog untuk dijadikan sebuah pembelajaran. 

Film ini bercerita tentang sepasang pengantin muda yaitu Leonardo diCaprio (As Frank) dan Kate Winslet (As April). 

Sejak mereka berkenalan, April mengungkapkan kepada Frank bahwa ia ingin menjadi Artis. Dan Frank? Hanyalah seseorang yang saat itu jatuh cinta dengan April. Singkat cerita mereka pun menikah dan langsung dikaruniai anak. Akhirnya, April fokus untuk menjadi Ibu Rumah Tangga dan Frank fokus bekerja sebagai marketing diperusahaan untuk mencari uang agar dapat mencukupi ekonomi keluarganya. 

Waktu berjalan hingga kemudian mereka memiliki dua anak yang sudah cukup besar. April memutuskan untuk merajut kembali cita-citanya yang dulu. Ya, ia ingin menjadi Artis. Namun, pekerjaan rumah tangganya telah menghapus semua impiannya. Ia tak lagi berbakat, disamping itu usianya tak lagi semuda dulu. 

April kemudian mencari pekerjaan lain. Ia ingin menjadi sekretaris dan ia ingin memulai hidup baru di Paris. Selama ini ia merasa bahwa Frank ‘terpaksa’ bekerja untuk menghidupinya dan anak-anaknya. Ia merasa Frank tak menikmati pekerjaannya. Keinginannya adalah merubah situasi dalam keluarganya agar Frank merasa hidup kembali dengan hobynya membaca dan menulis sementara April ingin keluar dari penjara kegiatan Rumah Tangga yang selama ini tak dinikmatinya. Ia ingin mewujudkan fantasinya kembali. 

Aku tak menikmati pekerjaanku, begitupula dia. Lantas bagaimana kami hidup jika terus seperti ini? 

April kemudian mengemukakan keinginannya ketika Frank ulang tahun. Ya, ia sudah merancang sedemikian rupa ‘surprise’ untuk suaminya agar kemudian Frank setuju dengan usulnya. Dan betapa senangnya ia saat usul itu disetujui. 

Hari-hari dilewati April dengan harapan dan harapan. Ia sudah tak sabar ingin ke Paris dan membuat tujuan hidup yang baru dengan suami dan anaknya. Kehidupannya pun menjadi semakin romantis dengan Frank. 

Kemudian semuanya berubah ketika Frank mendapatkan promosi di perusahaannya dengan tawaran gajih yang lebih besar. Frank yang tadinya sangat mantap ingin ke Paris lantas hanya menjadikannya sebuah pilihan. Yah, Frank sungguh bingung memilih apakah ia harus bertahan dengan pekerjaannya disini dan memperoleh kenaikan gajih atau menuruti keinginan April untuk ke Paris dan memulai hidup baru dari nol. 

Ditengah kebingungan Frank, April kemudian mengungkapkan bahwa ia hamil (lagi). April sungguh kecewa dengan kehamilan ketiganya, ia ingin sekali ke Paris untuk mengejar impiannya. Frank ingin mempertahankan kehamilan April sementara April secara positif ingin menggugurkan bayinya. 

Frank semakin marah ketika ia mendapati alat penggugur bayi di lemarinya. Pertengkaran demi pertengkatan mulai terjadi hingga akhirnya ia mengungkapkan akan tetap tinggal disini dan bekerja dengan gajih yang lebih besar. April sangat shock mengetahuinya, semua impian yang dirancangnya kini hilang. 

Aku hanya tidak ingin disini lagi. Mengerjakan hal yang sama setiap hari (lagi) dan melihatmu tak menikmati hari-harimu(juga). 

Well, kusarankan kau menonton untuk tau lanjutannya. Yang jelas I feel u April. 

Andai April adalah tetanggaku mungkin yang kulakukan adalah menjadikannya temanku. Aku ingin membuatnya bahagia dengan versiku. Karena aku pernah merasakan hal sepertinya. Mungkin bukan cuma aku, semua full time mother merasakannya. Betul? 

Tapi, bagaimana juga membuatnya bahagia jika berada dalam zamannya? Tak ada sosial media, tak ada blog untuk mencurahkan segalanya. Tak ada pelarian. Disamping itu, April sepertinya bukan seseorang yang agamis. Inilah yang paling fatal. 

Problematika dalam hidup April adalah ia tak bisa menerima dan menikmati hidupnya. 

Bukan cuma April, Frank juga adalah penyebabnya. Keduanya sama-sama tak menikmati hidup. Problematika seperti keluarga April dan Frank adalah problematika yang umum terjadi. Namun, hanya beberapa orang yang bisa menerima dan bertahan. Beberapa pembelajaran yang bisa dipetik menurutku dari film ini adalah:

1. Rumah tangga di awali dengan kesiapan Psikologis yang matang. 

Faktor kedewasaan dan kesiapan psikologis adalah salah satu faktor penentu kebahagiaan pasangan. Hal ini berkaitan dengan masa pra nikah dan belajar. 

Aku adalah salah satu tipe perempuan yang tak suka dengan persepsi yang terlalu simple dan kolot dalam menikah. Seperti, berkenalan seminggu kemudian menikah atau ketika dilamar (langsung) iya dan menikah. Aku adalah tipe penyelidik, penelusur, dan pencuriga. Karena itulah aku menyetujui pacaran yang tentunya memiliki batasan dalam versiku. 

Dalam islam, mungkin kau mengenal istilah Ta’aruf. Begitulah, sesuatu itu tak bisa langsung cap cus. Apalagi urusan menikah yang notabene nya adalah kunci kebahagiaan seumur hidup. 

Kedewasaan seseorang pun juga tak bergantung pada umur semata. Namun, bergantung dari pencapaian kepuasan hidup dan kematangan sikap. Ada yang masih berumur 19-21 tahun namun sudah sangat matang dan dewasa. Ada pula yang berumur 22-30 tahun baru merasa siap menikah karena baru saja merasa siap secara psikologis.

Yang gak lucu itu adalah seseorang yang menjadikan menikah seolah-olah seperti musim saja. Melihat semua menikah, jadi kepengen juga kemudian lantas memilih calon dengan prinsip ‘siapa aja asal ada’. Ini benar-benar langkah yang harus diwaspadai karena bisa saja tujuan berumah tangganya hanyalah ‘asal ada’. 

2. Rumah Tangga itu fleksibel, tak usah dianggap terlalu serius dengan menciptakan tangga demi tangga yang tiada habisnya

Ada beberapa orang tak beruntung yang mengawali kehidupan rumah tangganya dengan kondisi psikologis yang belum matang. Terkantung-kantung dalam kegalauan setiap harinya. Selalu bersedih setiap mengetahui hidupnya begitu begitu saja. Kemudian berusaha merajut tujuan baru untuk menambal lubang didalam hati. 

Entah itu menambalnya dengan berdagang, bersosialita, menyanyi, menulis dan menggambar. Semua dilakukan agar hati yang kosong memiliki makna hidup yang baru. 

Kisah April adalah salah satu dari seni menutup lubang dengan membuat tangga. Ya, tangga yang diharapkannya mampu membawanya kedunia yang baru nyatanya malah membuatnya terperosok kedalam lubang yang tak pernah ditutupinya dengan baik. 

Salah satu Guruku pernah memberi sebuah pelajaran padaku tentang sebuah penerimaan sejati dalam kehidupan, yaitu belajar dari Air. Air tak pernah protes ketika turun dari tempat tinggi ketempat rendah, bersatu dengan zat cair lain yang merubah dirinya, tergenang di sebuah lubang, berubah bau dan warnanya. Ia terus mempercayakan takdirnya dan fokus pada satu hal yaitu percaya bahwa ia berguna. Nyatanya benar, air adalah sumber kehidupan bagaimanapun kau menganggap remeh dirinya. 

April tak bisa menerima dirinya yang baru. Ia haus. Haus akan segala hal yang membuatnya merasa berbentuk dimasyarakat. Padahal, dia lebih berharga seandainya dia bisa berprinsip seperti air. 

Menjadi air bukan berarti sebuah kepasrahan. Namun, berkorban. Menjadi Ibu berarti kau siap berkorban. Jika tak bisa maka carilah passion yang mengisi hatimu,  jika tak puas? Panggillah Tuhan. 

3. Rumah Tangga harus memiliki tujuan lebih luhur dibanding pencapaian Duniawi. 

Apa tujuanmu menikah? Punya anak? Apa tujuan punya anak? Memperbanyak keturunan? Mewariskan kekayaan? Investasi masa depan? 

Pertama kali, tujuanku menikah adalah ingin berubah. Yah, simple. Kurasa hidupku terlalu begitu-begitu saja dengan sendiri karena itu aku ingin memiliki pasangan yang bisa mengubahku. Butuh waktu lama untukku menyadari bahwa tujuan ini terlalu selfish

Karena itu Tuhan menegurku dengan langsung memberiku tanggung jawab, yaitu dikaruniai anak. Apa tujuanku saat pertama kali menyandang status Ibu? Aku ingin anakku menjadi yang terbaik. 

Berumah tangga, memiliki anak, memiliki rumah, memiliki pekerjaan tetap, memiliki bisnis, memiliki investasi dimana-mana, menjadi pemimpin dimasyarakat, bla bla bla.. Tujuan hidup tak pernah ada batasnya dan tak pernah ada puasnya jika hanya sebatas tujuan Duniawi semata. 

Karena itu kita memiliki Tuhan dan Agama agar menjadi penerang jalan kita. Untuk  menyadari bahwa hidup kita hanyalah dari-Nya dan akhirnya kembali kepada-Nya.  

Ketika Tuhan mengaruniakan anak kepada kita berarti Tuhan percaya kepada kita bahwa kita akan mewariskan kebaikan kepadanya. Bukan sekedar membuatnya menjadi pintar, kaya dan populer. 

Kasus April dalam film Revolutionary Road adalah dampak dari tidak memiliki pegangan agama. April tak pernah menyirami kehausan hatinya akan tujuan yang lebih luhur dibanding kepuasan duniawi. Ia mengejar segalanya agar dirinya bisa lebih baik. Ia menggenggam dunia dihatinya bukan ditangannya. 

Anyway.. Siapa pun yang sudah menonton film ini dan merasa bahwa hidupnya mirip dengan April kusarankan jangan baper. Ambil film ini sebagai sebuah pembelajaran bahwa Rumah Tangga tidak akan menjadi sama dengan film ini andai kita menikmatinya. 

April tak pernah merasa dirinya sungguh bahagia. Maka jika kau merasa hal yang sama tutuplah matamu dan menangislah. Menangis adalah hal yang akan membuatmu sadar bahwa hidupmu hanya memiliki satu tujuan hei perempuan. Yaitu menularkan kebaikan. 

*Ditulis oleh seorang Ibu yang mengambil bagian dunia dihatinya kemudian menaruhnya ditangannya. Sebagian masih dibiarkannya menginap dihatinya. Agar sebagian itu bisa melihatnya menjadi baik dan tertular oleh kebaikannya. 

IBX598B146B8E64A