Ngajarin Anak Serunya Memasak Lewat Game? Kenapa Enggak?

Ngajarin Anak Serunya Memasak Lewat Game? Kenapa Enggak?

Hari ini aku memutuskan untuk menulis keseruanku bersama dua buah hatiku di blog ini. Well, Aku tau sudah sekian lama membuat blog ini berdebu. Dan mungkin beberapa yang tak tau denganku menganggap aku sudah off ngeblog. Realitanya, aku masih suka menulis di media berbeda (colek beberapa teman dekatku di instagram dan whats app.. haha). Aku juga memiliki beberapa kesibukan di dunia nyata yang lumayan menyita waktu.

Sudah hampir setahun aku menjalani bisnis pada penyewaan properti. Aku juga membantu suamiku dalam bisnis IT nya. Dan yup.. Dari sekian banyak pekerjaan itu, ada satu pekerjaan rumah yang tak pernah aku skip.

Memasak.

Mungkin beberapa menganggapnya ribet. Beberapa memilihnya untuk membeli di luar saja. Percayalah, aku sudah berusaha keras untuk itu. Mengorder beberapa makanan, atau bahkan membuat standar masakanku menjadi lebih praktis dll. Pada akhirnya, sesibuk apapun aku, aku tetap memasak di rumah. Setidaknya minimal sekali dalam sehari.

Hal yang membuatku sedikit kesal adalah mendapati fakta bahwa sebenarnya aku juga memiliki anak perempuan yang cukup besar. Farisha kini sudah berumur 11 tahun. Dan tingginya sudah hampir sama denganku. Aku sedikit kesal karena ketika aku asik memasak, seringnya dia memilih untuk di kamar saja. Tanpa membantuku. Kecuali kalau disuruh. Ah, aku tak suka kalau inisiatif untuk membantu itu tak tumbuh.

Tips Membuat Anak Gen Alpha Menyenangi Aktivitas Memasak

Kurasa, Farisha bukannya tak suka memasak. Tapi dia butuh semangat dan pacuan kecil agar insting ingin memasaknya mulai tumbuh. Seperti hari itu, dia tiba-tiba ke dapur dan bertanya:

“Ma, tepung tapioka dimana ya?”

“Di lemari. Mau buat apa?” Tanyaku. Pasti untuk lem prakaryanya pikirku.

“Mau bikin cemilan ma, mochi-mochian..”

“Mochi kan pake tepung ketan, bukan tepung tapioka”

“Farisha bukan mau bikin mochi yang itu. Tapi mochi2an.. Farisha liat di konten ini”

Dan akupun memperhatikan video berdurasi satu menit itu. Cemilan praktis dan enak buat kamu yang kelaparan katanya. Haha. Konten Kreator memasak ini memang begitu pandai. Hanya bermodalkan tapioka, bubuk susu coklat dan goriorio.. Anak seperti Farisha sukses termotivasi ingin mencoba.

Aku menyadari bahwa yah.. Begitulah Gen Alpha. Ia termotivasi ketika melihat sebuah aktivitas itu terasa menarik. Ia tak suka saat mendengar seruan Mamanya untuk mengupas bawang atau mungkin memotong sayur. Pertama, dia merasa tak suka bawang. Untuk apa dimasak kalau aku tak suka? Begitulah mungkin pikirannya. Kedua, kan ada buah.. Kenapa musti memasak sayur?

Belakangan, ketika aku pertontonkan pada konten-konten memasak yang estetik dan mengandung bawang maka Farisha baru sadar bahwa bawang adalah kategori bumbu yang memperkaya rasa pada makanan. Saat aku pertontonkan pada video edukatif tentang pentingnya sayur akhirnya ia paham bahwa sayur merupakan makanan yang lebih prioritas dibanding buah kesukaannya. 

Gen Alpha akan merasa termotivasi ketika ia merasa tertarik. Dan membuatnya tertarik harus sesuai dengan zamannya.

Dan, apakah itu sudah cukup?

No. Its not enough.

Setelah asik mencoba 2-3 buah resep di konten. Farisha mulai off memasak. Ketika ditanya apa alasannya, ia menjawab, “Ternyata masak itu kadang enak, kadang juga enggak”

“Ckck.. Itulah kenapa masakan mama juga kadang enak, kadang enggak” Kataku sambil tertawa

“Nah itulah ma, makanya sekarang malas, udahlah lama bikinnya, bisa gak enak pula”

“Jadi mending mama aja yang masak, gitu ya?”

“Hehe”

No.. Jangan bilang Gen Alpha itu ‘cepat menyerah’. Secara wajar, saat aku seumur Farisha aku juga sering merasakan hal demikian. Lantas apa yang membuatku bersemangat lagi?

Semangat, Pujian dari orang terdekat

Ini mungkin terdengar receh, tapi demikianlah polanya. 

Aku sadar apa yang membuat Farisha malas memasak lagi adalah masakan terakhirnya berakhir menjadi ‘fosil’ di kulkas. Tak ada yang menghabiskan. Saat aku melihat ‘fosil’ itu aku bertanya pada Farisha.. “Kenapa gak dihabiskan?”

“Farisha udah makan kok sampai 4 biji. Tapi masih nyisa. Mama sih juga makannya dikit aja”

Aku menjawab, “Makanya kalau bikin sesuatu yang baru, mulailah dengan porsi yang sedikit. Karena gak semua orang suka itu”

Sejak itu, Farisha tak pernah memasak lagi. Karena merasa masakannya ‘tak diminati’. Well, akulah yang salah karena tak memujinya. Anak selalu butuh pujian dan semangat. Ingatlah itu.

Membuat Anak Menyenangi Aktivitas Memasak Lagi

Jadwal bekerjaku adalah hari senin sampai jum’at. Aku selalu terganggu saat Farisha maupun Humaira membantuku memasak di hari bekerja. Karena pekerjaanku menjadi bertambah lama. Yup, dapur jadi 2x lipat lebih berantakan saat banyak tangan yang membantu. Aku tak suka itu. 

Dan di hari sabtu, Humaira anak keduaku pun libur sekolah. Aku mengambil inisiatif untuk mencari-cari tentang game memasak di google. Aku ingin Humaira menyukai aktivitas ini. Memasak, basic life skill yang sebenarnya sangat menyenangkan.

Rabu lalu, ia terlihat senang sekali mengikuti kegiatan outbond memasak dan menyusun burger. Aku ingin melihat senyuman dan keriangan itu kembali. Tapi tidak di dapurku. Well, dapurku sudah cukup bersih dan rapi setelah aku cukup repot memasak pagi tadi.

Aku mendudukkan Humaira di kursi kerjaku dan membuka situs culinaryschools. Banyak teman blogger yang merekomendasikan situs ini padaku. Mereka bilang padaku, anaknya senang dengan game ini. 

Benar saja, Aku iseng membuka game tentang bento box, Humaira asik sekali mencobanya. Ia memang lagi senang-senangnya dengan makanan seperti bento, membuat burger, membuat jasuke. Siapa sangka aktivitas kesukaannya ada pada game juga?

Kakaknya Farisha pun datang sekolah hari sabtu itu, ia langsung ikut mencoba permainannya bersama adiknya. Well, saat begini aku tinggalkan mereka berdua ke dapurku sendiri dan asik memasak makan siang untuk mereka. Mereka asik belajar memasak, dan aku tak perlu repot diganggu lagi. Hehe

Sekitar 20 menit setelah meninggalkan mereka berdua, kulihat mereka mencoba permainan baru kembali. Ternyata ada begitu banyak game memasak yang bisa dicoba disini. Kulihat wajah Farisha mulai kesal karena bergantian bermain dengan Humaira.

“Main apa sih kok asik banget” Kataku

“Main Pizza Ria Ma, Humaira mengganggu banget..” Kata Farisha

“Kakak Pica yang gak mau minjamin Humai ma..” Kata Humaira

Dan kalau sudah begini, itu artinya satu anak harus kuhandle ke dapur. Aku menjemput Humaira dan membiarkan Farisha asik bermain. Kebetulan saat itu masakanku sudah selesai dan tinggal beberes sampah di dapur.

Humaira tertegun melihat sampah sampah organik yang aku kumpulkan. Kulit telur, remahan potongan sayur hingga kulit-kulit buah. Aku mengajaknya ke samping halaman rumah kami dan aku mulai berbicara pentingnya mengelola sampah makanan. Karena sampah organik dan anorganik yang dicampur akan menimbulkan akibat yang tidak baik ke depannya. Menurutku, anak seumur Humaira harus mulai belajar hal demikian. Mulai dari menghabiskan makanannya sendiri hingga membuang sampah pada tempatnya.

“Taruh aja dilubang galian yang mama bikin dekat tanaman ya.. Nanti sampahnya akan jadi pupuk dan menjadi makanan tanaman”

“Tanaman bisa makan ya ma?”

“Diam-diam akarnya tanaman bisa makan. Humaira aja gak melihat..”

Setelah selesai membereskan sampah organik kami. Aku dan Humaira kembali menengok Farisha yang masih asik bermain. Sibuk sekali ia hari ini mencoba berbagai game dari Culinary School. Aku lalu masuk ke kamar. Tak lama Humaira mengadu padaku.

“Ma, Farisha main game buang-buang telur ayam. Padahal kulitnya bisa buat makanan tanaman.” Kata Humaira

Iseng, kutengok apa yang dilakukan Farisha

Nama games nya adalah Egg Drop Dash. Game tentang pengambilan telur yang hampir jatuh oleh peternak. Rupanya, Farisha masih kurang terampil memainkannya sehingga Humaira panik berkata demikian padaku. Ckck.

Aku pun iseng langsung mengalihkan game yang dimainkan Farisha. Mencoba game yang mungkin lebih menarik untuk dimainkan. Voila, ternyata di Games Culinary Scholl juga ada memuat topik Recycling. Salah satu yang disukai anak-anakku adalah Tom and Jerry Show River Recycle.

Pada game ini anak diajarkan untuk mengambil sampah-sampah yang ada di sungai. Agar sungai tidak kotor. Ish, seperti sungai area kami berdomisili. Kotor sekali. Humaira bahkan sering bertanya kenapa air sungai disini berwarna coklat dan kotor sekali? Bagaimana tidak, penduduk-penduduk yang tinggal di atas sungai suka sekali membuang sampah sembarangan. Tak hanya sampah organik yang dibuang kesungai. Tumpukan sampah anorganik pun juga begitu banyak menumpuk di sungai.

Dari sekian banyak game yang mereka mainkan keduanya memiliki versi favoritnya masing-masing. Hal yang aku senangi dari memainkan game di Culinary School adalah anak tak hanya terpaku untuk menyenangi serunya game berjalan saja. Ia dapat banyak pembelajaran. Dari menumbuhkan semangat mereka kembali soal memasak, mendapat inspirasi baru tentang bento dan pizza, belajar dari kegagalan demi kegagalan memasak, hingga belajar tentang recycle.

Terkadang, sebagai orang tua gen Alpha kita begitu banyak disuguhkan berbagai teori parenting diluar sana untuk bisa membersamai anak kita dengan sempurna. Padahal mungkin, hal yang mereka butuhkan untuk terus bertumbuh itu dimulai dari hal sederhana.

Bagiku sendiri, bukanlah hal yang salah untuk membiarkan anak bermain game sejenak. Yang salah adalah jika sebagian waktu mereka habis untuk hal itu-itu saja. Bagaimana pun juga manusia membutuhkan aktivitas yang seimbang dalam hidupnya. Tak hanya anak kecil yang demikian, bahkan kita orang dewasa pun juga demikian bukan?

Kalau kalian bagaimana? Sudah nyoba bermain game di website Culinary School juga belum?

Komentar disini yuk
0 Shares

Komentari dong sista

Your email address will not be published. Required fields are marked *

IBX598B146B8E64A