Browsed by
Tag: Tentang SD Negeri

Ternyata, Sekolah Negeri Itu Gak Seram Kok!

Ternyata, Sekolah Negeri Itu Gak Seram Kok!

“Gimana sekolah negeri disana win, ceritain dong!”

Itulah perkataan temanku beberapa hari yang lalu. Ia bertanya kepadaku karena sepertinya ia sendiri sedang ‘galau’ ingin menyekolahkan anaknya dimana. Pilihannya ada 3 yaitu SD Islam, SD alam, dan SD negeri. Ia yang terkenal berkarakter perfeksionis itu mulai survei beberapa SD disini dan tak kunjung menemukan titik yang benar.

Sebenarnya, akupun juga gak mau langsung menyarankannya untuk sekolah di SD yang sama dengan Pica. Trauma pernah tidak sengaja menjadi pelaku mom shaming membuatku takut sekali berkata-kata atau bahkan ingin menyarankan sesuatu. Takutnya, itu menjadi jenis toxic positively. Jadi yaa.. Aku jelaskan dengan deskripsi seadanya saja saat dia bertanya.

Namun, bukan aku namanya kalau tidak tergelitik menulis di blog ketika banyak pertanyaan yang menyudutkan. Di dunia nyata aku hanya bisa ber hehe hehe binggung dan awkward menjelaskan. Tapi jariku sebenarnya gatal ingin menjelaskan panjang lebar mengenai pengalaman Farisha bersekolah disini.

Dan yaaa… Mari tulis tentang sekolah anak hari ini..

Kenapa Pilih Sekolah Negeri?

Banyak yang bertanya padaku, “Kenapa tidak masukkan Pica ke SDIT yang dekat dengan komplek rumahmu saja?”

Well, banyak alasan kenapa tiba-tiba aku hanya mendaftarkan anakku di SD Negeri saja. Salah satunya karena aku sudah terlalu banyak survei dan sedikit pusing. Haha..

Serius. Farisha sudah berkeliling ikut lomba mewarnai yang diadakan beberapa SDIT di daerah kami untuk promosi. Dari situ, aku sudah sedikit survei dengan kondisi sekolah serta karakter guru-guru dari sekilas pandang. Aku juga sedikit survei dengan melihat perilaku para siswa yang bersekolah disana.

Entah kenapa, dari 5 SDIT.. Hanya satu SDIT yang menarik perhatianku. Dan sayang sekali lokasinya sangat jauh dari rumah. Sangat tidak memungkinkan dengan kondisiku yang memiliki bayi untuk mengantar jemput.

Apa? Lulusan SDIT berpikiran sempit  kurang rasa toleransi?

Oh lupakan. Aku termasuk yang tidak percaya hal itu.

Memang, ada beberapa SDIT yang sedikit kurasa nyaman bahasanya. Tapi, prinsipku dalam menilai promosi sekolah itu simple.. Kalau dalam bahasanya ada yang menjatuhkan SD lain maka aku akan mencoret SD tersebut. Entah kenapa, feelingku merasa kurang nyaman untuk menyekolahkan anak disana.

Jadi, hal-hal positif yang membuatku hanya menyekolahkan anak di SD Negeri saja diantaranya adalah:

1. Pertimbangan Ekonomi

Suamiku Dosen PNS, dan belum memperoleh sertifikasi. Berapa gajihnya? 3,8 juta.

Hitung dan hitung. Diriku tidak bekerja, sementara Mama suami adalah seorang janda dan masih memiliki beberapa anak yang masih butuh biaya. Gajih suami harus dibagi dua. Sementara? Cicilan rumah kami juga ada. Dan jangan lupa anak sulungku si Pica yang ingin masuk SD kemarin memiliki seorang adik bayi.

Silahkan dihitung berapa sisa jatahku dalam satu bulan. Hihihi..

Jelas, kami tidak memiliki budget berlebih untuk menyekolahkan anak di SDIT yang biayanya hampir sama dengan jatah makan keluarga dalam setengah bulan. Memang, suamiku adalah programmer dan memiliki usaha sampingan. Tapi, keuntungan dari usaha itu sudah memiliki pos-pos pengeluaran yang lain.

Yah, jika kalian pernah membaca tulisanku tentang mengatur keuangan ala shezahome, maka tentu kalian mengerti bahwa keluarga kami tergolong sangat irit dan hati-hati dalam belanja.

Kami bahkan membagi fase ekonomi keluarga dalam 3 fase. Pertama, fase ekonomi pembangunan. Kedua, fase ekonomi investasi. Dan ketiga, fase ekonomi berdaya.

Kami memiliki banyak impian. Dan menyekolahkan anak di SD Negeri saja bukan berarti kami tidak peduli dengan investasi pendidikan. Melainkan kami berpikir realistis. Bahwa dalam fase ekonomi pembangunan dimana cicilan rumah saja belum lunas.. Akan terasa lebih waras dan sejahtera jika biaya sekolah anak tidak terlalu membebani.

2. Pertimbangan Lingkungan

Ketika kita menyekolahkan anak di SD, bukan hanya sistemnya yang kita pedulikan, tapi juga lingkungannya.

Bagaimana Gurunya? Bagaimana perkembangan perilaku dan sosial rata-rata murid disana? Lingkungan mana saja yang menyekolahkan anak disana? Termasuk kategori apa lingkungannya tersebut?

Jika kita memutuskan menyekolahkan anak di lingkungan yang isinya banyak anak-anak orang kaya, maka kita harus bersiap-siap akan kemungkinan biaya ekstra.

Biaya itu adalah biaya penerimaan sosial. Sudah memperhitungkan biaya ini? Percayalah biaya ini nyata adanya. Hahaha.

Sekolah Farisha aku pilih berdasarkan rekomendasi teman-teman yang aku percayai. Dimana aku sudah survei lingkungan disana.

FYI, Beberapa SD Negeri disini tidak semuanya bagus tentu. Ada SD Negeri yang tumbuh di lingkungan yang ‘hmm.. Begitu deh.. ‘. Sehingga sangat mengkhawatirkan jika aku menyekolahkan anak disana mungkin ia juga akan terpengaruh lingkungan. Aku pernah survei ke suatu SD dimana para muridnya berkata-kata kasar dan tidak senonoh.

Jadi, baik itu SD Negeri.. SD  Islam.. SD Alam.. Sangat penting untuk memperhatikan faktor lingkungan ini ya. Karena jika sistemnya bagus, gurunya bagus tapi lingkungannya tidak bagus maka anak akan sangat mungkin masuk ke pergaulan yang tidak bagus. Atau, anak yang terkumpul dalam lingkungan anak-anak orang kaya juga harus sangat dipikirkan. Tidak mau kan anak berakhir minder dan tidak percaya diri hanya karena ia tidak memiliki ‘sesuatu’ yang rata-rata dimiliki anak lainnya?

3. Pertimbangan Kemampuan Anak

Di tempatku, untuk masuk ke SD Negeri itu pakai tes. Dan dibeberapa SD tes masuknya tidak dalam standar dinas pendidikan.

Iya, katanya SD dilarang melakukan tes membaca untuk syarat masuk. Nyatanya, memang itu dilakukan kok. Terlebih jika SD tersebut adalah SD Negeri favorit yang jumlah pendaftarnya ‘bejibun’. Untuk menyeleksi pendaftarnya.. Terpaksa dilakukan tes membaca dan menulis juga.

Akhirnya yang masuk ke SD tersebut memang rata-rata adalah anak pintar yang sudah bisa membaca dan menulis juga menjawab pertanyaan dengan baik dan lancar. Apakah anak siap dengan persaingan tersebut? Itu yang harus jadi pertimbangan terakhir. Karena mengingat pelajaran SD level sekarang memang sangat dibutuhkan kemampuan bisa membaca dari kelas 1.

4. Pertimbangan Waktu Pulang

Penting gak sih? Bagiku ini penting sih.. Haha..

SD Negeri itu pulangnya cepat. Jam 11 sudah pulang. Hanya hari-hari tertentu saja yang pulang jam 12. Dan itu karena ada pelajaran tambahan atau les. Setiap hari sabtu bahkan anak-anak pulang jam 10.40 WITA.

Menurutku, ini penting banget karena Farisha anaknya agak pembosan. Jadi mungkin kalau terlalu lama sekolah wajahnya akan berubah menjadi begini . Disamping itu, Farisha sudah biasa makan siang hangat di rumah. Jadi kalau sangu bekal makan siang, selain aku yang repot.. Dia sebenarnya kurang suka. Haha.

Farisha juga biasa tidur siang setiap hari. Menurutku ini penting sih. Anak harus istirahat siang. Jadi kalau sore hari dia bisa semangat mengaji atau bermain.

5. Pertimbangan Lokasi

Ini nih.. Super penting.

Sebenarnya, ada SD Islam yang sangat cocok di hati. Bahkan saat pertama kali menjejak di tanahnya saja aku sudah jatuh cinta. Apalagi, mendengar tata bicara ustadzahnya yang menyejukkan hati. Ah, ini SD impian. Walau budgetnya tinggi pun ingin rasanya mengusahakan anak masuk disana.

Tapiiii… SD nya jauh sekaliii dari rumah. Yah, masa aku harus bawa kendaraan bolak balik setiap hari untuk mengantar Farisha? Ingat loh, aku punya bayi. Aku bahkan setiap hari antar jemput Farisha memakai gendongan dan berkendara sendirian. Kalau dengan jarak super jauh begitu, bisa-bisa bayiku masuk angin dibuatnya.

Sekolah Negeri di sini Enggak Seram Kok

Sudah satu semester Pica sekolah di SD ‘bla bla’. Aku yang awalnya khawatir dan agak ‘gimana’, perlahan-lahan mulai menjalaninya dengan enjoy saja. Apalagi kalau setiap hari mendengar Farisha bercerita semangat tentang sekolahnya. Aku jadi semakin santai dan selalu berkata Alhamdulillah.

Mitos-mitos tentang seramnya SD Negeri itu perlahan terbantahkan. Nyatanya, Farisha enjoy menjalaninya.

Iya, jadi dulu aku juga termasuk yang termakan mitos-mitos seram tentang anak zaman now yang masuk SD Negeri jadi begini.. begitu.. Sampai nangis-nangis bombay meronta-ronta sama suami buat menyekolahkan anak di SDIT saja. Nyatanya, hampir semua mitos jelek tentang SD Negeri terbantahkan.

Mitos apa saja? Kek begini nih

1. Katanya, Pelajaran SD Negeri itu Seram

Seram katanya. Konon pelajarannya bisa ‘menggigit otak’. Wkwk.. Sampai akunya parno sendiri.

Nyatanya? Biasa aja sih. Bahkan sebenarnya aku suka dengan sistem tematik begini. Anak jadi enggak tau betapa menyebalkannya mata pelajaran matematika. Karena gak ada namanya buku matematika. Haha. Pokoknya, kalau Pica ada kesulitan dengan pelajarannya dia cuma bilang begini.. “Susah ma, Pica gak ngerti sama tema anu halaman anu.. “

See? Gak ada label cerita ‘benci sama pelajaran matematika’. Menurut aku ini efeknya positif sih. Sejauh ini, Farisha tidak pernah merasa seram dengan pelajaran di SD. Malah dia sangat senang dibandingkan TK dulu. Yaah.. Dulu aku salah masukin sekolah TK genks, jadi ya gitu deh.

Satu hal sih yang benar. Paling enggak anak harus bisa membaca saat masuk SD Negeri. Karena sudah standarnya begitu. Kalau belum bisa membaca, maka anak akan sangat kesulitan. Dan ia akan sangat ketinggalan dibanding teman-teman lainnya.

Baca juga: Suka Duka Mengajari Anak Membaca

Pica pernah bercerita padaku tentang temannya yang belum bisa membaca. Ia sepertinya dimasukkan ‘lewat belakang’. Kasihan sekali. Apalagi ketika ulangan harian tiba. Temannya kelabakan dan bisa menangis. Seramnya disini sih. Memang harus diakui bahwa pelajaran kelas 1 SD zaman sekarang, sudah hampir sama dengan level kelas 3 SD zaman dulu. Jadi, dilihat juga kemampuan anaknya.. Apakah ia mampu?

2. Katanya, SD Negeri Mengebelakangkan Pelajaran Agama

Ini yang kemarin bikin aku sedikit was was. Bener gak sih begitu? Atau cuma hoax?

Rasanya kok enggak mungkin ya, semua guru yang berjilbab itu mengebelakangkan nilai agama dalam keseharian anak-anak?

Ternyata salah besar. SD Negeri tempat Pica belajar sangat peduli dengan nilai Agama. Dalam seminggu, ada 2 kali pelajaran Agama dan Al Qur’an. Yah, memang tidak ada target hapalan layaknya SD Islam sih. Tapi sesungguhnya disitulah nilai plusnya. Kenapa? Hmm.. Kuakui ya.. Pica itu kemampuan auditorinya sedikit rendah. Dia sangat sulit menghapal. Aku tidak bisa membayangkan jika setiap minggu ada target hapalan. Bisa-bisa akulah yang bertanduk.. Hihi..

Setiap jum’at ada jadwal khusus bahkan. Dan seragamnya menyesuaikan. Ada jum’at senam, jum’at taqwa dan jum’at asmaul husna. Anak-anak disuruh berseragam putih-putih jika jadwal jum’at taqwa. Setiap sebelum dan sesudah belajar, anak-anak selalu disuruh berdoa. Menurutku, itu sudah sangat cukup untuk pembelajaran agama setiap harinya. Disamping itu, setiap sore Farisha selalu aku antar mengaji.

Agama tetap menjadi pelajaran nomor satu bagi kami, walau anak hanya sekolah di SD Negeri biasa.

3. Katanya, Kognitif anak menjadi standar penilaian utama dalam rangking

Benarkah? Nyatanya, setelah melewati satu semester ternyata aku speechless.

No rangking!

Ya.. Gak ada sistem rangking disini. Dan itu buat aku sangat lega. FYI, Pica waktu TK aja pakai rangking loh. Bayangkan berapa senangnya aku saat mengetahui gak ada sistem rangking disini.

Artinya, kemampuan kognitif bukan hal utama dalam memandang kecerdasan anak. Bahkan, guru Farisha itu baik sekali. Beliau berkata untuk jangan pernah membandingkan nilai raport anak dengan anak lainnya. Semua anak baik. Semua anak spesial. Beruntung sekali aku bertemu dengan guru tipe seperti itu untuk Farisha.

Bukan Berarti SD Negeri adalah Pilihan yang Terbaik Loh!

Aku menulis tentang SD Negeri bla bla bla.. Bukan berarti aku mengklaim bahwa SD Negeri adalah yang terbaik. Bukan.. Bukan begitu.. Jadi please.. Tidak ada mom war soal sekolah begini ya.. Hihi.. Peace!

SD Negeri hanya pilihan terbaik untuk anak kami. Dalam kondisi seperti kami. Yang tentunya sudah detail dituliskan alasannya diatas. Pilihan kalian? Belum tentu SD Negeri yang paling baik. Apalagi lingkungan kita tidak sama. Jadi, jangan disamakan.

Kalaupun secara kondisi lebih memungkinkan untuk menyekolahkan anak di SD Islam, ya tidak apa-apa. Siapa bilang SD Islam tidak baik? Baik semua kok. Asaaaal jangan lupa untuk survei dan menyesuaikan dengan kondisi kita sendiri. Oke?

Karena pendidikan anak itu investasi. Efeknya jangka panjang. Apalagi untuk sekolah SD yang lamanya 6 tahun. Selain mementingkan satu faktor, kita juga harus jeli dengan faktor lainnya. Dan jangan lupa selalu diskusikan dengan suami soal memilih sekolah anak. Karena tanpa kata ‘sepakat’ apalah artinya idealisme seorang mama.

Yup? Happy Parenting Moms!

IBX598B146B8E64A