The Glory Versi Ibu-Ibu
Ada luka yang membekas, tak bisa sembuh namun merencanakan kesembuhannya.
Ada sakit yang menghantui malam demi malam, tak kunjung bisa terhindar. Namun tak sadar aku kutuki rasa sakit itu perlahan.
Disisi lain drama Korea the Glory.. Ada ibu yang berjuang untuk kemenangan. Dari hal-hal yang pernah menyakitinya.
Mulut-mulut nyinyir itu.
Wajah-wajah meremehkan.
Tawa lepas mentertawakan.
Ini bukanlah kisah tentang pembalasan rasa sakit. Ini adalah kisah bagaimana hati seorang ibu bisa meraih kemenangan.
Untukmu Yang Mendengar Mulut-Mulut Tajam
Sebenarnya, aku sudah lama ingin menulis tentang ini. Tulisan yang kubuat untuk mendamaikan hatiku pada mulut-mulut yang tajam. Mulut yang selama ini mengganggu aktivitasku sebagai seorang ibu. Sebagai seorang istri. Dan terakhir, sebagai diriku sendiri. Jika monster itu keluar dan kambuh. Mungkin aku bisa saja membiarkan blogpost menyeramkan itu tetap ada. Tapi, atas nama menjaga dan menjaga aku memilih menghapusnya. Aku memilih kalah. Dan memang sebagai orang bawah. Aku harus kalah bukan?
Demikian egoku berkata dengan mengalah sok elegan. Hatiku sakit dan tak nyaman. Tak nyaman hingga suatu hari aku menemukan konten sejuk dari risalah amar.
Dari cerita ini aku menyadari bahwa sindir menyindir dan menjelek-jelekkan orang bahkan bisa dilakukan oleh istri Rasulullah. Yang sebenarnya.. sungguh mereka pun adalah orang baik. Hanya saja, kebencian.. iri, dengki.. sering melintas pada hati manusia pada situasi dan kondisi yang berbeda.
Maka, kenapa aku tak mencoba seperti Shafiyyah?
Kenapa aku malah berusaha menjelaskan dan marah pada satu orang, berharap orang tersebut memahamiku dan bisa menjadi penengah konflikku?
Sungguh, andai bisa mengulang waktu. Aku akan mengurung rasa-rasa marah itu dan membuangnya jauh. Tapi apa daya. Ternyata aku manusia biasa yang belum cukup bisa untuk mindfullness.
The Glory Versi Aku
Konten dari Risalah Amar tersebut sebenarnya sudah lama. Aku hanya menekan love dan menyimpannya untuk kubaca kala hatiku sedang sedih lagi. Perlahan, sejak bulan puasa kemarin aku mulai mengurangi keaktifan di sosial media. Lari pada hal lain.
Belajar menang tanpa perlu curhat. Belajar waras tanpa perlu curhat. Itulah misi hidupku sejak ramadhan kemarin. Dan ini juga sudah aku jadikan microblog beberapa hari yang lalu.
Untuk belajar seperti Shafiyyah, yang perlu aku perbaiki adalah hatiku sendiri. Hatiku yang selalu sedih mengingat perkataan yang tak enak. Hatiku yang saat marah bisa tak terkontrol. Hatiku yang rasanya ingin bicara mencari pendukung tapi tak tau harus mengeluarkannya kemana.
Entah kenapa, sejak menonton berbagai drama Korea sedikit demi sedikit.. aku ingin sekali mengambil pembelajaran dari itu. Menulisnya tanpa perlu membeberkan kisah hidupku. Melakukan hal itu, membuatku bisa curhat dalam media berbeda.
Sejak itu pula aku nyaman melakukan workout, perlahan saat malam datang dan anak sedang tidur aku mulai belajar meditasi. Streching tubuhku sebelum tidur dengan yoga. Itu membuatku nyaman dan tidur lebih nyenyak. Perlahan kata-kata tak mengenakkan itu pun teralihkan.
Menjadi Shafiyyah mungkin terasa mustahil. Tapi nyatanya, saat bertekad melakukan hal baik secara konsisten.. Kemenangan itu datang.
Bukan menang seperti Drakor the Glory. Tapi aku menang dalam hal menenangkan diri sendiri. Bagiku sebagai ibu, itu adalah sebuah kemajuan yang besar
Output dari Kemenangan
Sejauh ini, aku belum merasa bahwa sakit hati memerlukan balasan.
Aku merasa bahwa hati yang sakit perlu diobati. Itu saja. Dan urusan hati adalah urusanku dengan diri sendiri. Memaafkan adalah tentang kebaikan diri sendiri. Kurasa itu benar adanya.
Aku tak tau apakah ini memaafkan atau tidak. Tapi aku sudah tak merasa bersalah lagi kala setiap hari aku bolos tak menyiapkan cemilan kantor. Aku tak merasa bersalah kala hanya memasak sesuka hatiku saja. Tak merasa perlu pengakuan versi mereka. Aku merasa nyaman menjadi Ibu versi diriku sendiri.
Anakku berkata masakanku enak. Suamiku pun demikian. Untuk apa aku perlu pengakuan dari yang lain lagi?
Badanku nyaman dengan workout. Skinny fat ku berkurang. Untuk apa aku tampil sempurna lagi. Aku tak perlu pengakuan dari luar. Membeli alat olah raga dan lingerie cantik sudah cukup membuatku berharga.
Anakku butuh ibu bahagia. Yang bisa mencintai mereka dan mengajarkan mereka tentang kehidupan. Bukan ibu sempurna yang sebentar-sebentar menangis minta pengakuan.
Maka ketika aku bisa bahagia dengan caraku tanpa memikirkan harus bisa seperti standar mereka.. bukankah aku sudah menang?
Menang melawan diriku yang lain. Alhamdulillah. Ternyata benar, bahwa musuh terberat itu adalah diriku sendiri. Diriku yang berusaha menjadi orang lain. Diriku yang selalu memikirkan ucapan orang lain.
Hai diriku. Bertumbuh dan berharga lah dari sekarang.