Browsed by
Category: Parenting

Tips Membuat Anak Merasa Senang di Sekolah 

Tips Membuat Anak Merasa Senang di Sekolah 

Ada beberapa Ibu yang mengalami problematika dan beberapa drama dalam menyekolahkan anaknya? 

Aku yakin pasti ada ya.. Apalagi kalau hari pertama sekolah..

Kenapa? Karena bagi anak kecil Sekolah adalah lingkungan baru. Dia belum terbiasa untuk merasa ‘nyaman’ dengan lingkungan barunya. Yang dulunya hanya mengenal Mama, Ayah, keluarga hingga tetangga dan tinggal dirumah saja. Kini ia harus berkenalan dengan dunia yang baru dan tinggal disana selama beberapa jam. 

Bagaimana sih cara menumbuhkan minat anak agar dia senang bersekolah? Agar dia mengerti bahwa si emak ga perlu masuk kelas untuk terus memperhatikannya. Bagaimana cara dia untuk bisa beradaptasi di lingkungan baru dengan teman dan guru?

Oke, terlebih dulu saya mau bercerita tentang hari pertama Farisha di sekolah. Kuharap kalian menyimaknya dan tidak bosan.. Hihi.. 

Tepat tanggal 17 Juli 2017 anakku memulai rutinitas pagi yang tidak seperti biasanya. Hari apakah itu? Ya, hari pertama sekolahnya. 

Jam 6 pagi aku sudah semangat untuk membangunkannya agar mandi. Kemudian berbaju rapi hingga sarapan. Biasanya? Tidur? Sesekali sih.. Hehe.. Tapi beberapa bulan ini dia jam segitu masih main-main diluar rumah sambil nyiram tanaman atau_lari diam-diam ketempat tetangga untuk bermain dengan temannya. 

Tentu saja dia semangat sekali di hari pertama sekolahnya. Terlebih ketika hari itu dia punya alasan tepat untuk memakai seragam, tas dan sepatu barunya. Sepertinya kecenderungan anak seumur Farisha adalah hobi show. Aku tak masalah, selama hal itu dapat meningkatkan kepercayaan dirinya. Masih terlalu dini bagiku untuk mengajarinya tentang konsep sederhana. 

Aku kemudian bertanya padanya, “Farisha pakai Jilbab?” 

Dia menjawab, “Mmm.. Diikat aja deh rambutnya.. Jadi cantik” 

Aku membujuknya sedikit agar kepercayaan dirinya berubah, “Pakai Jilbab cantik juga loh, Farisha kan biasanya pakai jilbab?” 

Dia terdiam. Memang beberapa hari ini dia agak malas untuk memakai jilbab. Sejak berteman dengan tetangga dan suka bermain ‘Putri Dongeng’ dia lebih suka menguncir rambutnya. Bahkan beberapa hari ini dia meminta kepadaku untuk dibelikan mahkota. 😅

Aku tak protes. Memang begitulah dunia anak kecil. Bagiku pemakaian jilbab toh ada prosesnya. Dia butuh alasan kuat dibalik itu. Bahkan ketika aku membujuknya tadi dia dengan mantap berkata ingin rambutnya dikuncir saja. 

Kamipun berangkat. Hari pertama hingga entahlah.. Aku kok rasanya ingin melihat tumbuh kembangnya terus? Tak ingin melepasnya disekolah begitu saja. 

Aku sengaja berangkat agak pagi. Kupikir sebelum semuanya lengkap datang lebih baik Farisha mencari teman dulu supaya tidak canggung. 

Benar saja, saat Farisha datang kesekolah sudah ada beberapa murid disana. Aku memutuskan untuk membujuknya berkenalan dengan 2 teman yang mirip dengannya. Mereka kakak-adik, satu di Nol Besar dan satunya di Nol Kecil. Mereka mirip sekali. Seperti kembar, kata Farisha. 

Hanya selang beberapa saat Farisha langsung akrab. Mungkin dia merasa percaya diri dengan kunciran dan jenis rambut yang sama. Kemudian upacara perkenalan pun dimulai dengan sangat lama. 

Aku sempat melihat rona wajah suntuk dan bosan Farisha saat disuruh berdiri dan memperhatikan saja ketika perkenalan guru-guru dan upacara bendera. Aku sendiri bahkan sempat mendengus kesal dalam hati, “Ibu Gurunya kok nyuruh anak baru berdiri segini lama? Pasti capek lah mereka.. Harusnya kaaan..” 

Yah begitulah.. Sampai-sampai para murid baru mulai menangis. Ada pula yang merengek tak mau jauh dari Orang tuanya. Dan Farisha? Sukses berwajah merah tanda ‘mau menangis’,  kenapa? karena bosan. 

Aku sudah sering meninggalkan Farisha agar tak melulu didekatku saja. Kadang jam 8-10 pagi aku membiarkannya bermain dengan tetangga. Malam sebelum sekolah aku bercerita kepada Farisha tentang betapa menyenangkannya sekolah. Dan dari rona wajah Farisha yang terlihat sekarang..aku tau, dia lebih suka aktivitasnya dirumah. 

Untunglah sebelum tangisannya ‘meledak’ karena dia pikir punya cukup banyak alasan untuk menangis (melihat teman sekitarnya mulai menangis)_Ibu Guru mulai mencairkan suasana dengan membagikan susu kotak. 

Wajahnya sontak berubah menjadi bahagia kembali.. Hahaha.. 😂

Kemudian saat waktu istirahat tiba, dia pun kembali berteman dengan dua teman barunya. Senang sekali. Loncat kesana kemari, main kejar-kejarkan. Sampai kemudian dia mulai gelisah menggaruk-garuk kepalanya. 

“Ma.. Kepala Farisha gatal.. ”

“Kenapa gatal?” 

“Ga tau nah gatal!! ”

“Kan Farisha sendiri yang mau rambutnya dikepang dua?” 

“Ga enak ma.. Makai kerudung aja dah besok”

Aku cekikikan, sambil bergumam “Apa ga kebalik yak?” hihihi.. 

Malamnya aku bertanya pada Farisha, “Rame ga sekolah tuh?” 

Farisha bermanggut-manggut biasa saja. Lalu kemudian bertanya, “Ma.. Kenapa Ibu Guru itu ga cerita-cerita kayak mama?” 

“Kan baru hari pertama sayang.. Farisha baru perkenalan sama teman yang baru dan kenalan sama ibu gurunya.. ”

“Tapi Farisha maunya Cerita aja.. Mainan aja..kenapa Ibu Gurunya ga nanyain Farisha?” 

“Ibu Gurunya belum kenal Farisha, makanya kalo disuruh Ibu Guru Farisha harus angkat tangan supaya Ibu Gurunya kenal”

“Tapi Ibu Gurunya nyanyi lagu Syahadat beda sama mama.. Farisha bingung.. ”

“Farisha jadi diri sendiri aja.. Ibu Guru senang loh dengar lagu syahadat versi Farisha..”

Farisha terdiam. 

“Farisha senang ga sekolah?” 

Farisha menjawab, “Farisha senang dapat teman baru..banyaak temannya” 

Aku tersenyum. Sementara ini dua teman berambut ikal yang baru ia temui telah membuatnya semangat untuk sekolah. 

Oke, aku kebanyakan opening. Langsung aja yah aku curcol tips membuat anak senang disekolah yang aku dapatkan dari pengalaman hari kedua disekolah Farisha yanh terbilang sukses besar membuatnya bersemangat. 

1. Biarkan anak menjadi dirinya sendiri

Diawal artikel aku sudah bercerita bahwa Farisha awalnya merasa percaya diri dengan menguncir rambutnya. Aku membiarkannya selama ia merasa itu adalah style-nya dan membuatnya merasa nyaman. Tapi ia akhirnya sadar sendiri bahwa ia tidak cocok seperti itu. Dia punya style sendiri yang membuatnya merasa nyaman dihari keduanya bersekolah. 

Ia memakai kerudung, dan yang penting dia senang memakainya. Merasa bahwa itu membuatnya menjadi dirinya sendiri. Karena Adaptasi bukan membuat diri menjadi bunglon dengan menyesuaikan diri dengan lingkungan. Tapi dengan konsisten terhadap style diri sendiri. 

2. Tanamkan pemikiran bahwa Sekolah adalah tempat bermain

Aku hanya bisa tersenyum setiap kali mendengar para emak membujuk anak-anaknya untuk sekolah, “Ayo Sekolah sayang masa mau dirumah aja. Sekolah itu biar belajar. Jadi bisa nulis, bisa baca, bisa bla bla bla…” 

Kesannya sekolah TK saja seperti UAN. Hihi.. Bikin si anak panas dingin dengan huruf dan angka. 

Padahal? Padahal siapa bilang TK buat belajar baca dan nulis? 

Sekolah TK sejatinya adalah tempat bermain. Bukan tempat belajar ‘kaku’ dengan media pensil, penghapus dan buku. Namanya juga Taman Kanak-kanak. Iya ga? 

Ketika membujuk anak untuk sekolah jangan katakan bahwa disana adalah tempat untuk belajar. Katakan bahwa disana adalah tempat bermain. 

“Di Sekolah Farisha nanti banyaaaak punya teman, nanti Ibu Gurunya ngajarin Farisha main sambil gambar-gambar. Farisha liat kan diluar banyak mainan? Ada Ayunan, Perosotan, Panjatan. Itu buat mainan semuaa”

Begitulah kiranya caraku membujuknya untuk menyenangi sekolah barunya. 😊

3. Bujuk anak masuk kelas dengan menanamkan pemikiran bahwa Kelas adalah tempat “Anak Ibu Guru Tampil”

 

“Terus kenapa Farisha disuruh masuk kelas? Ga mainan aja?” tanya Farisha kemudian. 

Aku menjawab, “Karena kelas itu sama kayak ‘kamar’ dirumah sayang.. Coba kalau dirumah? masa Farisha kerjaannya main diluar terus? coba.. Farisha ngapain tadi dikelas?” 

“Nyanyi.. Baca doa.. Baca Syahadat.. Nyanyi lagi.. ”

“Ia.. Sama kayak Farisha dikamar sama mama kan? Nyanyi.. Bercerita..” 

“Tapi.. Ibu Gurunya ga kayak mama”

“Sayang.. Kalau dirumah Farisha jadi anak mama.. disekolah, Farisha jadi anak Ibu Guru. Karena Farisha sudah besar dan akan teruss besar. Karena itu, Farisha harus punya Guru yang lain dan punya banyak teman supaya jadi anak berguna bagi orang banyak nanti.. Jadi, anggap aja Ibu Guru itu sama dengan Mama dirumah. Dihormati dan dituruti terus kalau bisa Farisha jadi anak kebanggaan Ibu Guru juga”

“Gimana cara jadi anak pintar kebanggaan Ibu Guru? ”

“Kalau Ibu Gurunya bertanya Farisha angkat tangaan. Kalau Farisha ga ngerti Farisha angkat tangan. Kalau nyanyi Farisha paling nyaring. Kalau berbaris Farisha paling rapi.. Ibu Guru suka dengan anak yang suka bertanya dan menjawab pertanyaan. Seperti Farisha bertanya sama Mama”

Kebanyakan anak baru sulit sekali untuk masuk kelas. Anak baru lebih suka bermain diluar dengan Mamanya. Percakapan diatas bisa dijadikan solusi. Jangan pernah menyebut kelas sebagai ‘ruang belajar’. Ingat bunda anak itu ga suka dengan kata ‘belajar’. Dia lebih senang dengan kata ‘bermain’. Bercakaplah dengan anak yang intinya mengajarkan bahwa ‘Dikelas anak menjadi anak Ibu Guru’ jelaskan padanya bahwa seiring bertambah umur anak_kewajiban sang mama kini beberapa jam dihandle oleh Ibu Guru disekolah.

Jadi, “Sudah siap jadi Anak Ibu Guru dikelas? Yuk, buktikan bahwa Anak Mama bisa membanggakan Ibu Guru dengan tampil dikelas” 

4. Cari teman karib untuk dapat bermain bersamanya

Hari pertama Farisha masuk sekolah aku sengaja berangkat agak pagi karena ingin mencarikannya teman karib. Agar saat disekolah dia tidak kesepian bermain sendiri. 

Alhamdulillah, dari menit pertama menginjak sekolah dia sudah dapat akrab dengan teman barunya. Bagi anak seumur Farisha keberadaan teman adalah salah satu aspek terpenting untuk membuatnya betah berada disekolah. Kenapa? 

Agat dia merasa tidak sendirian.. 

Semangat kebersamaan akan membuat kobaran api tersendiri pada anak untuk bersekolah. Bagaimanapun juga manusia sudah dianugerahi insting sosial bukan? 

Jangan cemas jika dengan memiliki banyak teman maka anak tidak akan memperhatikan Ibu Guru saat dikelas Bunda. 

“Asik main aja sih. Ga perhatiin Ibu Guru!”

Beri pengertian padanya bahwa saat dikelas, dia adalah anak Ibu Guru. Jika point ketiga tadi berhasil maka anak akan memahami bahwa berteman berlebihan dikelas tidak akan membuat dirinya bersinar saat tidak memperhatikan Ibu Guru. 

Well, itulah 4 tips sederhana agar anak dapat senang berada dilingkungan sekolah. Semoga dapat membantu.. 😊

Ketika Anakku bertanya “Kenapa Nabi Muhammad tidak Boleh Digambar?” 

Ketika Anakku bertanya “Kenapa Nabi Muhammad tidak Boleh Digambar?” 

“Ma, kenapa Nabi Muhammad ga ada gambarnya?” 

Glek. Tiba-tiba otakku langsung berputar menyiapkan jawaban. 

Tapi belum lagi benar susunan jawaban itu pertanyaan lainnya muncul lagi. 

“Kenapa ma, hanya Huruf aja? Kayak Allah. Memangnya Nabi Muhammad seperti apa? Seperti Allah?”

Duar. Otak saya mulai meledak. Ya ampun, mau mendongeng Nabi Muhammad untuk membuat Rule Mode diotak Anak malah si emak yang kurang pengetahuan. Jadi seperti apa Nabi Muhammad? Rupanya? Matanya? Hidungnya? Badannya dijelaskan? Aish.. Aish.. Kenapa jadi membayangkan Pangeran Arab? Tak boleh.. Tak boleh.. 

Akhirnya pertanyaan saya jawab dengan sekenanya. Sebenarnya jawabannya jauh lebih pendek dibanding ketika dia mempertanyakan tentang Allah. Dan Alhamdulillah dia tak lagi mempertanyakan detail. Sampai suatu ketika saya mendongeng Nabi Musa. 

“Jadi, kenapa Nabi Musa boleh digambar kemudian Nabi Muhammad tidak boleh. Kenapa Nabi Musa punya Mukjizat banyak dan Nabi Muhammad tidak seperti itu?”

😅

Ya, pertanyaan liar? Lebih tepatnya rasa ingin tahunya tinggi. Mungkin, ada beberapa emak-emak yang anaknya begitu manggut-manggut saja mendengar cerita Nabi sejak bayi hingga besar. Entah kenapa untuk jenis emak amatiran seperti saya tidak tertarik untuk membacakan cerita Nabi sejak Farisha bayi. 

Kenapa? Karena dia tidak mengerti. Begitu simplenya bagi saya. 

Dunia Bayi Farisha lebih sering kuisi dengan nyanyian dan cerita tentang binatang. Entah kenapa dimata anak-anak dunia binatang sungguh mengasyikkan. Farisha sangat bersemangat jika diceritakan tentang binatang. Apalagi jika buku ceritanya bergambar lucu. Baginya sangat menyenangkan jika binatang benar-benar bisa berbicara seperti itu. Tanpa sadar aku membiarkan imajinasi Farisha terlalu liar untuk berkembang. 

Aku rasa aku bukan tipikal emak-emak yang agamis. Sangat minder jika membandingkan diri dengan para emak-emak hafiz Al-Qur’an. Aku termasuk jarang mengajak Farisha untuk menghafal Surah. Belakangan aku sering mendengar kritik bahwa tak seharusnya aku mengajarkan nyanyian dan dunia binatang terlebih dahulu pada Farisha. 

Kritik itu semakin mengena dalam ketika bertemu dengan anak seumur Farisha yang sudah bisa menghafal berbagai surah dengan fasih. Sementara Farisha? Aku baru sukses mengajarkan syahadat dan Al-Fatihah. Terkadang pikiranku agak nakal dan mencela “Hafal sih, tapi apa ngerti”. Astagfirullah… 😅

Iya, tiap Ibu memang punya caranya sendiri untuk membuat anaknya belajar. Berhubung aku bukanlah seorang hafizah dan hanyalah seorang Ibu yang masih dalam pencarian yang betul dalam mencari ‘Jalan Kebenaran’ dan jelas tidak alim-alim amat. Maka mengajarkan Syahadat aja sudah sulit.. 😂

“Siapa Tuhan Farisha?”

“Allah..”

“Siapa Nabi Farisha?”

“Nabi Muhammad”

Nah kadang saya suka nanya lagi nih kalo dia jawab ga seru gitu. “Jadi kenapa mesti disembah Allahnya?” 😂

Mau tau cerita lanjutannya? Ahh panjang..entar jadi OOT artikelnya. 

Jadi, bagi saya mengajari dua syahadat itu untuk anak saya udah luar biasa susahnya. Iya, dia harus kenal sama Allah. Bagaimana sifat dan nama Allah (bukaan.. Dia ga hapal sama sifat n nama Allah.. Ga hapaaal) 😅 

Bagi emak amatiran seperti saya menumbuhkan rasa Iman adalah hal utama dalam konsep pendidikan agama si kecil. Kenapa? Ya karena bagi saya percuma juga si anak diajak hapal surah sampe se Al-Qur’an usia 5 tahun tapi Imannya masih ngambang. Percumaaa.. Eh tapi ini konsep saya loh. Ga perlu diambil hati. 

Bagaimana menumbuhkan Iman? Dari Cinta. 

Anak harus punya alasan kenapa dia harus menyembah Allah. Tunjukkan padanya bahwa Allah mencintainya dan cara berterima kasih pada-Nya melalui sholat. Ini susah. Susah sekali. 

Anak harus punya alasan kenapa dia harus mencintai Nabi Muhammad. Kenapa Nabi Muhammad menjadi Nabi terakhir. Kenapa Nabi Muhammad menjadi Nabinya walau Mukjizatnya bukanlah membelah lautan. 

Sementara otaknya yang sudah terbiasa dengan berkembang melalui imajinasi gambar harus dihadapkan pada kenyataan bahwa Nabi Muhammad hanyalah Huruf Hijayah pada buku cerita. Dan inilah Nabiku. Pikirnya. 

Aku tidak tau apa yang ada dalam pikirannya. Wujud menyenangkan apa sebenarnya yang dia harapkan dari Nabinya. Aku berkata bahwa wujud Nabi Muhammad bisa dilihat di surga nanti. 

Dari beberapa referensi yang kubaca dan jelas aku lupa persisnya darimana Nabi Muhammad tak boleh digambar karena berbagai alasan. 

Aku menjelaskan sebagai alasan pertama kepada Farisha bahwa konon zaman dulu ada Nabi sebelum Muhammad yaitu Ibrahim dan Ismail. Nabi Ibrahim dan Ismail pernah dijadikan patung oleh masyarakat jahiliyah kemudian disembah oleh para penyembah berhala. 

Nabi Muhammad tidak mau itu terjadi. Karena itu ia melarang keras jika ada yang melukisnya ataupun membuat patung yang menyerupainya. 

Untunglah Farisha tidak bertanya lebih lanjut seperti “Terus kenapa ada foto ulama didinding rumah kita?” 

Karena jawabannya lebih panjang dan hanya bisa dicerna oleh yang mempunyai level ilmu tertentu. 😅

Penjelasan selanjutnya yang kemudian membuat Farisha manggut-manggut sambil diam dan sukses tak bertanya lagi hingga sekarang adalah jawaban yang aku karang sendiri. Ini adalah alasan kedua yang menyelesaikan masalah. 

“Farisha tau Nabi Muhammad diciptakan Allah lebih mulia? Dia sudah ditakdirkan menjadi Nabi terakhir. Nabinya orang islam seperti Farisha. Farisha tau bagaimana jadinya kita sekarang tanpa Nabi Muhammad? ”

” Jadi apa?” ucap Farisha polos. 

“Entahlah, mungkin saja jadi masyarakat jahiliyah seperti pada zaman sebelum ada nabi..”

“Jadi nabi kesinilah buat ngajarin mama?”

(Ya ampun..kamu kira emak sama nabi Muhammad seumuran) 😅

“Bukan, Mama ini diajarin mamanya mama ato neneknya Farisha terus diajarin abahnya mama terus diajarin guru-guru agama mama waktu sekolah, guru-gurunya mama belajar dengan guru-guru yang lebih tua. Karena Farisha tinggal diindonesia yang membawa islam kesini namanya Wali Songo. Nah, Farisha tinggal di Banjarmasin juga ada ulama disini yang ngajarin agama seperti Wali Songo. Itu, yang sering kita datangin dimesjid yang ada air mancurnya”

Farisha ber “Ooo” (kupikir ceritaku terlalu panjang.. Haha) 

Kemudian aku bilang “Coba kalau dulu Ga ada Nabi Muhammad gimana?” 

Farisha bilang “kan ada Nabi Musa…” 

😅

“Nabi Musa itu membimbing kaum Bani Israel supaya menyembah Allah. Tapi Bani Israel itu gak bener-bener patuh. Akhirnya cucu-cucunya tetap menyembah berhala. Karena itu, sebagai penyempurnanya Nabi Muhammad diturunkan dengan wahyu berupa Al-Qur’an”

“Terus kenapa Nabi Muhammad ga boleh digambar?”

Aku jawab “Karena Nabi Muhammad terlalu mulia untuk diduakan wujudnya sayang. Nabi Muhammad itu manusia paling sempurna yang diciptakan Allah. Zaman ketika nabi Muhammad lahir ga ada yang namanya Kamera. Yang ada hanya pelukis. Coba kalo Mama gambar muka Farisha mirip ga sama Farisha aslinya? ”

Farisha,”Mirip ma” 

(loh.. loh…) 😅

Aku: “Enggak.. Enggak mirip sayang! Karena imajinasi dan kemampuan menggambar mama terbatas diciptakan Allah.. Sangat tidak pantas jika ada orang yang mencoba melukis Nabi Muhammad karena daya imajinasi dan kemampuannya melukis pasti ga akan sama dengan Nabi Muhammad yang asli. Lagi pula seperti mama bilang tadi. Nabi Muhammad sejak dulu mengharamkan ada yang menggambar dirinya karena tak mau lukisannya dijadikan berhala. Jadi, tidak ada sama sekali lukisan Nabi Muhammad. Yang ada hanya hadist tentang fisiknya yang beredar dari para pencatat hadist ”

Farisha: “Tapi kenapa Nabi yang lain boleh digambar dibuku cerita?” 

Mama: “Sebenarnya semua nabi tidak boleh digambar Farisha. Namun, seiring berjalan waktu orang-orang yang seperti Farisha ini semakin banyak. Suka bercerita dengan media gambar. Makanya mereka bikin buku cerita bergambar. Niatnya baik, supaya anak-anak seperti Farisha menjadi senang membaca cerita Nabi. Tapi, Beberapa aliran agama lain memang bersikeras tidak mau menggambar wujud Semua Nabi, mereka cukup bercerita nabi tanpa gambar. Mama tau Farisha pasti tidak senang membaca buku biasa seperti Mama. Iya kan? Karena itu buku cerita Nabi sekarang bergambar, kecuali Nabi Muhammad”

Farisha: “Jadi Nabi Muhammad aja yang ga boleh ya Ma?” 

Mama: “Iya, karena Nabi Muhammad itu spesial, dia Nabi terakhir. Semua orang alim sepakat bahwa haram (tidak boleh) menggambar Nabi Muhammad. Mama yakin Farisha tidak butuh gambar nyata untuk membayangkan Nabi Muhammad. Cukup wujud Nabi Muhammad hanya ada pada imajinasi Farisha dan pada hati Farisha”

Farisha kemudian ber “Ooo” ringan. Berpikir sejenak kemudian memutuskan untuk diam. 

Aku menghela nafas lega. Memang pertanyaan ini sangat kontroversi sekali. Kemudian hatiku tergelitik untuk membatin lagi. 

Tapi bagaimana dia bisa benar-benar meneladani nabinya tanpa membayangkan seperti apa sebenarnya wujudnya? 

Lalu aku tersenyum seraya menatap buku Nabi Muhammad. Ya, Dengan Bercerita. 

Aku kemudian melayang pada beberapa buku kenangan yang pernah kubaca dulu. Buku tanpa gambar. Aku kemudian melayang pada masa kecilku. Teman imajinasi. 

Sungguh berimajinasi dan membayangkan cerita dipikiran kita itu lebih menyenangkan dibanding menonton film dan menyaksikan gambar mentah sekalipun. 

Karena itu aku yakin. Tulisan indah berhuruf Hijaiyah bertuliskan Muhammad sudah sangat mewakili untuk awal pelajaran Imajinasi Farisha. 

Mama hanya dapat berdoa semoga dengan bercerita Farisha dapat meneladani sifat Nabi Muhammad walau tidak ada wujud gambar seperti pada buku cerita yang biasa dia baca. 

Disclaimer: Tulisan ini ditulis oleh seorang Ibu yang berlatar belakang pendidikan agama yang terbatas. Segala jawaban atas pertanyaan anak diatas hanyalah sekedar pengetahuan umum dari Ibu yang ditulis hanya agar dapat dipahami oleh ‘anak kecil’. Diharap tulisan ini tidak menimbulkan salah paham dalam perbedaan mahzab. 

Siapa Bilang Media Eksplorasi Permainan Anak Harus Mahal? 

Siapa Bilang Media Eksplorasi Permainan Anak Harus Mahal? 

Aku salah satu ibu yang sering ditanya, “Bun.. Anaknya dikasih apa supaya anteng dirumah? Ko masih bisa masak, jualan dan nulis?”

Mendengar itu aku kadang hanya tersenyum tipis sambil nyengir. Ya, aku tau, mereka pasti mengira anakku diberi fasilitas mahal dan gadget untuk membuatnya diam. Padahal, bagiku sendiri diamnya anak itu berarti tidak beres. Rumah rapi dalam jangka waktu lama itu mustahil. Rumah berantakan itu adalah normal sekali bagiku. Mereka kan cuma tidak tau saja_Apa sebenarnya yang terjadi dirumah ini.

Ya, Aku adalah seorang Ibu Rumah Tangga biasa dengan segudang aktifitas. Segala pekerjaan rumah hingga mengurus anak dan suami adalah pekerjaanku sehari-hari. Aku mengerjakan semuanya sendirian_setidaknya sampai sore hari hingga suamiku datang. Kondisi ekonomi keluarga kami masih tidak memungkinkan untuk memiliki Asisten Rumah Tangga untuk membantuku bereksplorasi dengan passion khusus apalagi untuk menyediakan fasilitas penunjang khusus untuk eksplorasi anakku, Farisha.

Tapi aku tak mau menyerah. Bagiku mendidik anak dengan mewariskannya segala kebaikan adalah salah satu misi utama. Aku tidak mau hanya karena sibuk dengan pekerjaan rumah maka aku harus mengorbankan anakku dan menyerahkan pengasuhannya hanya kepada TV dan gadget agar dia ‘diam’. Aku tak mau menyerah walau aku tidak punya Asisten Rumah Tangga apalagi Baby Sister.

Aku tau, aku bukan wonderwoman. Aku takkan bisa membagi diriku menjadi beberapa bagian untuk mengerjakan berbagai pekerjaan rumah sekaligus bermain dengan anak. Aku bukan pula ahli hipnotis yang bisa menyuruh anakku untuk diam dan membereskan semua mainannya. Aku hanyalah ibu biasa yang hobi bereksplorasi dirumah.

Hanya satu yang aku yakini dalam usia anakku yang dini. Anakku butuh sosok yang bisa ditiru olehnya. Karena itu, aku membawanya kemana saja saat aku beraktivitas. Permainannya sehari-hari adalah bagian kecil dari aktivitasku. Jadi, bila kamu bertanya apa media penunjang untuk mendidik anakku? Jawabannya hanya Aku dan aktivitasku. 

Lalu, sering juga pertanyaan ini muncul, “Bun, kenapa sih ko ga dimasukin PAUD aja anaknya? Kan kasian dirumah terus. Biar dia cepet pinter dan bisa berteman”

Hmm, mungkin ada beberapa Ibu yang menyekolahkan anaknya di PAUD pada usia dimulai dari 2 tahun dengan berbagai hal yang mendasarinya. Tapi untukku, belajar dirumah dulu adalah hal bijak untuk membentuk ikatan antara kami. Aku tentu punya misi untuk tetap meningkatkan kemampuan  sensori-motorik, komunikatif, sosial emosi, kemandirian, kognitif, serta kreatifitas anakku walau faktanya aku hanya berada dirumah dan hanya sesekali bergaul dilingkungan sekitar rumahku.

Sejatinya anak-anak suka bermain, maka untuk mengembangkan kemampuan sensori-motorik, komunikatif, sosial emosi, kemandirian, kognitif, serta kreatifitas hanya bisa dilakukan dengan bermain. Bermain dengan anak tentu tak bisa aku lakukan dengan sekedar duduk manis sembari bermain bersamanya. Tidak bisa! Karena aku juga punya banyak kegiatan dirumah yang harus aku selesaikan. Lantas, Bagaimana?

Saat aku sedang mencuci baju aku membawanya bersamaku. Dia aku masukkan kedalam baskom bersama dengan ikan-ikan mainan. Saat aku sedang membersihkan lantai dia aku biarkan bermain diatas ranjang_hingga ketika sudah agak besar dia mengerti untuk ikut membantuku membersihkan tempat tidurnya. Bagiku, asalkan aktivitas anakku aman dan nyaman maka tak ada masalah.

Tapi yang paling spesial dari semua aktivitasku dan anakku adalah saat aku sedang membuat kue. Dia begitu senang melihatku dan membantuku membuat kue. Dia selalu protes setiap kali dirinya tak ikut dibawa dalam kegiatan baking yang kulakukan. Dia bilang, “Farisha sukaa membentuk kue sama Mama”

Ya, moment membuat kue adalah cerita cintaku dengan Farisha. Kami tak perlu waktu senggang khusus untuk membeli mainan apalagi mainan berkelas dengan harga yang mahal. Kami tak perlu pergi kerestoran atau toko kue untuk membahagiakan hati kami. Kami hanya perlu tepung, telur, mentega, susu, gula dan air. Itu sudah sangat melengkapi kebahagiaan kami.

Banyak pelajaran tercipta dari membuat kue. Membuat kue ibarat pepatah “sekali mendayung, dua, tiga pulau terlampaui”. Mencampur setiap bahan adonan, mengulen adonan roti hingga membentuk roti adalah bagian yang paling Farisha sukai. Membuat kue telah mengasah kemampuan sensori-motorik, imajinasi dan kreativitas anakku.

Sebagai Ibu, tugasku adalah membiarkan anak berkarya dengan kehendaknya sendiri. Anak berumur 4 tahun seperti Farisha mulai memiliki segudang imajinasi. Maka, bagiku tak penting bentuk Roti dan Kue harus sesuai dengan keinginanku nan elegan dan indah. Terkadang aku membiarkannya membentuk sebagian dari adonan roti dan kue keringku.

Dari kue pula Farisha sudah mengenal berbagai warna. Tak cukup hanya dengan 12 warna standar dia mulai menanyakan apa beda ungu kegelapan dan agak muda serta muda sekali. Awalnya aku bilang bahwa ungu itu satu, maksudku untuk mempersimple pemikirannya. Ternyata anakku lebih suka mengorganisir warna menurut keinginannya sendiri.

“Ini Merah, Merah Muda, Merah pink, Nah, ini Ungu, Ungu muda, terus.. Jingga sama Orange apa bedanya ma? ”

“Farisha bilangnya Jingga aja ya, jangan Orange.. Orange itu bahasa inggris bukan bahasa indonesia..”

Namun, sampai sekarang dia lebih suka menyebut orange, bukan jingga.

Proses selanjutnya dari mengenal warna adalah dia mulai suka menggambar. Menggambar dan mewarnai adalah hobi barunya. Terkadang aku dibuatnya pusing dengan permintaannya untuk mengeluarkan cat air. Dia tidak pernah puas dengan hanya bermodalkan pencil warna, crayon dan spidol. Terkadang dia bisa saja mengambil pewarna kueku dikulkas dan menuangnya kebuku gambarnya. Wajahnya puas akan hasilnya. Tinggallah aku yang panik dengan segala warna warni yang diciptakannya disekitar rumah.

Farisha anakku tak cukup puas dengan aktivitas mewarnai. Setiap siang dan malam dia mulai suka dibacakan buku cerita. Segala buku mulai menjadi bahan Eksplorasinya. Awalnya dia senang membaca semua buku bergambarnya. Lama-kelamaan dia mulai menjelajah buku Ayahnya dan bukuku. Setiap gambar sampul yang dilihatnya menarik akan langsung dilahap olehnya. Tinggallah Aku yang kewalahan menjawab semua pertanyaannya.

Dan untuk buku sendiri? Aku hanya membeli sebagian besar buku Farisha di cuci gudang. Di cuci gudang masih banyak buku bagus yang masih lengkap dengan plastiknya. Aku yakin, untuk anak-anak seperti Farisha tidak butuh buku mahal yang bermerk khusus. Dia hanya butuh pendongeng yang bisa berimajinasi.

Belakangan ini aku bahkan mulai rutin meminjam buku keperpustakaan daerah di Banjarmasin. Farisha sangat senang melihat buku baru dikamarnya. Namun bingung ketika minggu berikutnya buku itu sudah tidak ada. Aku bilang bukunya terbang ketempat anak yang lain.

Tentu tidak semua media permainan Farisha bersifat homemade. Terkadang ketika sesekali kami jalan-jalan, Farisha menarik tanganku dan menunjuk beberapa mainan ditoko mainan. Aku sebagai Ibu hanya bisa membujuknya agar tidak membelinya. Aku punya cara bijak sendiri untuk membeli mainan dengan penjual yang tepat.

Yaitu membeli dari pedagang mainan kaki lima didekat SD tempat tinggal mertuaku. Aku menanamkan empati kepada diri Farisha bahwa membeli mainan tentu boleh, tetapi bukan di mall atau toko mainan bergengsi lainnya. Cukup membelinya dari Penjual yang terlihat kasihan seperti pedagang kaki lima.

Beli mainan itu sama paman yang terlihat kasihan aja, dia punya anak dan Istri yang perlu makan. Maka, belilah mainan yang dijualnya”

Pilihan media mainan untuk Farisha biasanya jatuh pada jenis Lilin dan Clay. Aku memperbolehkannya menonton berbagai tutorial membentuk lilin dan clay di Youtube sesekali. Menurutku Youtube tak selalu berakibat negatif jika disalurkan kepada hal yang benar. Aku punya aturan sendiri agar anakku merasa aman dan nyaman dalam aktivitasnya. Yang tak kalah penting bagiku, anakku tumbuh menjadi anak yang kreatif. Lihatlah baju barbie ini, ia berhasil membuatnya sendiri.

Tak cukup hanya berimajinasi dan beraktivitas bersamaku, kini Farisha mulai mencoba mengeksplorasi lingkungannya. Mencoba mencari teman. Ini adalah fase tersulit untukku. Aku terbiasa membuatnya nyaman berada dirumah dengan segala aktivitasku. Kini aku harus menemaninya diluar rumah dan meninggalkan eksplorasiku dirumah.

Ternyata hal itu tak berlangsung lama. Anakku cenderung komunikatif dan temannya senang bergaul dengannya. Dia mulai mengajak temannya bermain dirumah kami. Akupun bersemangat membuatkan temannya berbagai cemilan untuk dimakan. Setiap hari temannya datang kerumah untuk bermain dengan anakku. Memang sesekali mereka berkelahi, tapi tak pernah lama. Beberapa jam kemudian mereka lupa dan bermain lagi. Aku sangat senang karena dengan mengenal teman, kemampuan sosial-emosinya mulai terbentuk. Kini dia tak belajar bersamaku saja. Dia mulai mengenal unsur kebersamaan hingga kompetisi.

Dan, permainan dibawah ini juga adalah salah satu permainan yang berkesan diantara Farisha dan temannya. Mereka mendirikan sandal bersama kemudian melemparnya dengan sendal lain. Siapa yang berhasil merobohkan bangunan sendal ini, dialah yang menang. Permainan yang murah meriah dan berkompetisi bukan?

Dari mengenal kompetisi, anakku tumbuh menjadi semakin mandiri. Dia tak mau kalah dengan temannya. Ketika pertama kali dia melihat temannya bisa bersepeda, dia semangat untuk bisa. Sepeda adalah benda mahal pertama yang dia dapatkan dari hadiah ulang tahunnya yang ke-3. Tentunya sepeda juga adalah hasil dari tabungan kami selama ini. Penghematan untuk anak boleh, tapi itu demi menunjang eksplorasinya lebih jauh, yaitu dengan membeli yang seharusnya.

Sepeda telah membawanya jauh bereksplorasi dengan kedua temannya. Berapa kali jatuh? Jangan ditanya. Kehujanan? Kepanasan? Sering sekali. Pernah sakit? Tentu. Sakit adalah reaksi wajar saat anak kelelahan, tertular penyakit temannya dan terkena anomali cuaca. Apalagi untuk anakku yang dulunya hanya dirumah saja kemudian tiba-tiba senang berteman dan bersepeda berkeliling komplek. Tapi aku tidak khawatir, cukup menyediakan Tempra Syrup dirumah ketika anakku mulai menunjukkan gejala demam. Kemudian esok harinya kondisinya pasti mulai membaik.

Sejak Farisha menyukai aktivitas diluar rumah dia tergila-gila mengajak Aku dan Ayahnya keluar rumah jika Ayahnya Libur. Kami pun sepakat untuk berekreasi kecil setiap seminggu sekali. Entah itu berjalan-jalan di Siring_tepi Sungai Banjarmasin, ke Kebun Binatang, hingga Outbond. Farisha senang dan menikmatinya. Yah, Bagiku asal dia merasa nyaman, maka aku hanya perlu terus menjaganya agar selalu aman.

Sejauh ini aku yakin bahwa berkata positif dengan penuh dukungan kepada setiap eksplorasi si kecil akan membawa dampak positif terhadap tumbuh kembangnya. Sejauh eksplorasi si kecil aman dan nyaman maka aku tak sungkan untuk selalu menjadi “Yes Mom”. Ya, tak perlu khawatir bilang “No” jika bersedia Tempra Syrup dirumah.

Jadi, sudah siapkah Bunda Bereksplorasi? Masih mikir Eksplorasi anak harus mahal? Loh, yang penting aman dan nyaman nomor satu Bunda. Selalu ingat sedia Tempra dirumah.. 🙂

Artikel ini diikutsertakan dalam lomba blog Tempra yang diselenggarakan oleh Blogger Perempuan Network dan Taisho. Artikel ditulis berdasarkan pengalaman dan opini pribadi. Artikel ini tidak dapat menggantikan hasil konsultasi dengan tenaga kesehatan profesional.

sumber gambar


Satu Solusi Jitu untuk MENGAKHIRI masa Tantrum Anakku

Satu Solusi Jitu untuk MENGAKHIRI masa Tantrum Anakku

Halooow? Hari gini siapa Ibu-ibu yang stress luar biasa punya anak tantrum angkat tangan🙋

Eh, itu sih derita kaliaaan.. Aku udah lewaaaat.. Hahaha.. *peace.. Becanda😂

Iya, sekarang Farisha udah umur 4 tahun dan sudah ga tantrum lagi. Usia tantrum Farisha sekitar menjelang 2 tahun hingga 6 bulan terakhir. Aku punya cerita yang cukup panjang tentang masa tantrum anakku sehingga akhirnya aku menemukan satu solusi jitu. Tapi terlebih dulu, kuharap kalian tidak bosan membaca cerita sebelum ditemukannya solusi jitu itu. *catatan ini cukup panjang

Sebenarnya apa sih tantrum itu? Wajar ga sih? dan kenapa sih anak bisa tantrum? Terakhir yang paling penting, Gimana sih mengatasi Tantrum yang bijak dan benar?

Pernah punya anak ngambek, suka nangis berlebihan kalau apa yang dia inginkan tak tercapai, suka menghentak-hentakkan kakinya tanda tak setuju? Nah inilah disebut dengan temper tantrum. Tantrum adalah Letupan Emosi yang tidak terkendali. *sejenis siklus PMS mungkin bagi anak kali ya.. Haha😂

Umumnya Tantrum terjadi pada anak anak usia 15 bulan hingga 4 tahun. Tantrum adalah Sikap yang ditunjukan berupa perasaan tidak senang pada sesuatu atau lingkungannya. Ketika umur dibawah 3 tahun tantrum diekspresikan dengan menangis, memukul, menjerit, menendang hingga membentur bentur kepalanya ke tembok(ini parah banget ya). Pada usia tiga sampai empat tahun biasanya dengan ekspresi kemarahan yang diungkapkan dengan membanting, merengek, mengkritik bahkan sampai menghentak-hentakan kaki. Pada usia 5 tahun ke atas dengan mengkritik diri sendiri, memukul bahkan yang lebih parah merusak benda benda yang ada disekitarnya.

Beruntunglah Aku, Tantrum pada anakku diatasi sedini mungkin sehingga tidak mencapai level kronis seperti pada kalimat terakhir. 

Masa tantrum merupakan masa yang wajar dimana anak mulai menginginkan perhatian dari orang tuanya. Aku percaya Tantrum adalah ekspresi anak untuk sekedar membuat kita perduli padanya. Namun, dia yang masih kecil tentu tidak tau persis bagaimana cara membuat kita peduli, karena itu ia memulai dengan tangisan, jeritan, hentakan kaki dan rengekan hingga pukulan. 

Sejak kecil, Aku, Kakak dan Adik kembarku tak pernah mengalami tantrum yang serius. Hal ini berkaitan dengan faktor genetik hingga faktor lingkungan juga tentunya. Mama pernah berkata padaku bahwa diantara keempat anaknya akulah yang paling sering ‘merajuk’ dan menangis jika keinginanku tak tercapai. Aku tak ambil pusing tentang alasannya. Sudah jelas kan, Akulah yang paling melankolis diantara saudaraku terlebih lagi Aku ini Perempuan, satu-satunya. 

Kakakku, Sejak kecil sudah mengekspresikan tantrum dengan cara yang cukup cerdas. Mama bahkan sudah puluhan atau hampir seratus kali menceritakannya hingga aku hapal. Kakakku tak pernah menangis kencang, menjerit, apalagi sampai memukul-mukulkan kepalanya. Mama berkata, “Wanda dulu pernah diajak kesupermarket, kami lewat di tumpukan coklat. Wanda cuma diam melihatnya. Ketika sudah satu putaran dia bilang, ‘Ma, Coklat itu enak ya (wanda diam sebentar, merasa tak ditanggapi dia berkata lagi) ulun suka makan coklat tuh, coklat itu enak, lezat’, Mama tentu saja kasihan melihat caranya meminta dan langsung membelikannya”

Hal ini tentu berbeda jauh denganku, sebagai anak perempuan ‘kecil’ ditengah-tengah kakak yang selalu mengalah dan Ibu serta Ayah yang tentu saja kupikir lebih menyayangiku, Aku lebih senang mengekspresikan keinginanku dengan blak-blakan, dibumbui dengan rasa iri dan tangisan. Saat itu yang ada dipikiranku adalah ‘harus aku yang diutamakan’. Aku spesial kan, aku anak terkecil dan perempuan yang lemah. 

Tentu saja, Mama tidak mengabulkan begitu saja keinginanku walau aku adalah anak perempuan kecil yang lucu. Mamaku adalah pendidik yang luar biasa. Mama tak pernah menerapkan Pola Asuh Permisif kepada semua anaknya. Mama adalah Pendidik yang Demokratis. 

Satu-satunya solusi kecil untuk tantrumku adalah Mengenal Simpati. Sejak kecil, aku sudah sering mendengar cerita mama tentang masa lalu mama. Aku tak tau persis apa maksudnya. Yang jelas cerita itu membuatku kasihan dengan mamaku. Kasihan yang berkelanjutan. 

Mama adalah anak korban broken home. Sejak kecil sudah tak dipelihara oleh orang tua kandung. Hidup mama sejak kecil tak pernah tersentuh langsung oleh kebahagiaan memiliki Ayah dan Ibu yang mengabulkan semua permintaan. Sebaliknya, Mama harus bertahan dengan sakitnya hidup dengan keluarga lain. Bertahan agar tetap diterima dengan membantu mengerjakan semua pekerjaan rumah mereka. 

“Mama boleh sekolah, asalkan sudah menyapu dan mengepel seluruh rumah. Boleh sekolah, asalkan mau sambil berjualan. Boleh sekolah, asalkan tak meminta uang jajan”

Kisah-kisah hidup mama secara tidak langsung telah membuatku merasa bersyukur. Aku memang tak terlalu memahami kisahnya ketika umurku hampir 2 tahun hingga 4 tahun. Mama menceritakan itu semua kepada kakakku yang berumur diatasku. Aku hanya termangu-mangu tak mengerti ceritanya. 

Kesuksesan mendidik Kakakku dalam tantrum membuat kakakku juga sukses membimbingku untuk mengatasi tantrumku. Anak kedua adalah peniru dari anak pertama. Jika anak pertama sukses, anak kedua akan menirunya, tak mau kalah dengan kakaknya. Hukum itulah yang kupegang teguh, hingga sekarang. Aku harus berhasil dengan anak pertamaku. 

Ketika Farisha tantrum untuk pertama kalinya aku tentu saja merasa serba salah. Disatu sisi, dia adalah anakku satu-satunya dengan wajah yang teramat lucu. Aku ingin sekali wajah lucu itu selalu terlihat menyenangkan, menghiburku dengan berbagai kelucuannya. Mengabulkan segala keinginan tantrumnya adalah godaan besar bagi seorang Ibu muda sepertiku. 

Awalnya, ketika aku mulai mengabulkannya segalanya terasa menyenangkan. Melihatnya tertawa dan riang kembali. Lama kelamaan Farisha mulai merengek lagi, meminta lagi dan lagi lagi lagi. Aku mulai merasa ada yang salah dengan semua ini. Waktuku habis karenanya. Hanya untuknya. Ini salah. 

Aku mencoba sedikit kemarahan padanya. Tantrum Farisha yang sangat membuatku kesal (hingga sekarang) adalah Picky Eater yang disertai dengan tangisan. Aku pernah menaruhnya diluar rumah ketika tak mau makan sementara air susuku sudah mulai menyusut. Aku bilang dengan kasar kepadanya “Sudah, ga usah makan aja.. Biarin Kurus, Cacingan!” 

Kau tau apa yang terjadi dimalam harinya? Dia langsung gagap. Anakku termasuk lancar dalam berbicara. Malam itu, dia tak bisa berbicara lancar seperti biasa. Sampai berapa lama? 3 bulan. Aku benar-benar jera membentaknya. 

Farisha diam dan mengurangi tantrumnya sejak itu. Dia jera. Aku sering memeluknya untuk meekspresikan permintaan maafku. Aku mulai mengerti bahwa lidah Farisha berbeda denganku dan keluargaku dulu. Dia lebih mirip dengan Ayahnya. Dia pemilih dan penuh cita rasa. Aku memakluminya, Aku rasa ‘cita rasa’ adalah bakatnya sejak kecil. 

Fase selanjutnya, dia mulai meniru ‘kemarahanku’. Dia sering menghentak-hentakan kakinya dan merajuk dalam bermain dengan temannya. Ingin segalanya hanya tentang dia, milik dia dan untuk dia. 

Awalnya aku hanya mendiamkannya menunjukkan kepadanya bahwa caranya meminta salah. Jika tak berhasil, sesekali aku mengalihkan perhatiannya. Hasilnya tentu berhasil. Namun, ini tak bertahan lama. Masih saja ada yang kurang. 

Tantrum itu seperti alergi yang muncul jika ada pemicunya. Apa yang harus aku lakukan untuk mempengaruhi otak kecilnya ini? Agar dia mau mengerti tanpa harus mengalihkan perhatiannya, sok merajuk padanya, menunjukkan sang emak adalah pemimpin dirumah hingga Jurus terakhirku membandingkannya dengan anak yang berperilaku lebih pintar. Semua solusi itu tak pernah bertahan lama. Tidak pernah. Hanya sekedar obat sementara yang hilang lalu kambuh lagi ketika pemicu alergi menyerang. Aku perlu benar-benar mengakhirinya. 

Aku belum pernah membaca Teori Parenting tentang tantrum? Percayalah aku sudah membacanya. Cara mengatasinya dengan berbagai bentuknya. Pada akhirnya teori hanyalah sekedar teori yang kemudian pengalamanlah yang mengajarkan kita segalanya. Hanya kita yang tau persis tentang anak kita. Penanganan terakhir pada sesi tantrum adalah tentang cara kita belajar dari pengalaman. (Sementara cara lainnya sebelum penangananku ini bisa anda cari sendiri di google😅) 

Kemudian aku teringat tentang cerita-cerita sedih Ibuku. Aku sadar ada satu hal yang belum aku coba. Aku belum mengajarinya tentang rasa kasihan. Ya, kasihan yang membuahkan rasa Simpati dan Empati. 

Pertama kali aku mengajarkan rasa kasihan tentu saja dengan menceritakan tentang penderitaan orang lain. Karena jelas masa kecilku sungguh bahagia, tak seperti mamaku. Serial TV disore hari (entahlah aku lupa nama programnya) adalah yang menyentuh ingatanku untuk mengajarkan kasihan padanya. 

“Lihat, anak itu harus mengais-ngais sampah, mencari barang bekas, sisa makanan untuk dimakan” Kataku. 

“Mamanya dimana? Mamanya tidak memasak? ”

“Mamanya Sakit, Ayahnya meninggal. Tidak ada yang nyari duit. Anak-anaknya akhirnya yang mencari duit, kasiankan?” 

(Farisha terdiam, mencari pembelaan) 

“Nininya gimana?”

“Nininya meninggal juga sudah, Dia tidak punya apa-apa, Ayah tidak ada, uang tidak ada, makanan tidak ada.. Makan nasi saja sudah membuatnya senang, apalagi mainan, mana punya..  ”

“Farisha aja punya Mama, Abah, Mainan Farisha Banyak nah, Allah sayang kan lawan Farisha” 

“Berarti Farisha disuruh Allah supaya mau berbagi dengan Anak-anak yang tidak punya uang,  karena Farisha punya semuanya”

“Nanti kalo Farisha mau berbagi dia mau lah bekawan sama Farisha?”

“Mau dong sayang.. ”

Itulah awal Aku mengenalkannya pada rasa simpati. Aku akhirnya menyadari bahwa jurus ini adalah yang terampuh untuk meracuni otaknya dengan kebaikan. 
Moment kedua aku mengajarinya simpati adalah ketika kami berjalan-jalan di mall. Dia merajuk minta belikan barbie. Dia protes, sudah lama dia tak beli mainan. Aku mengajaknya menjauh. Berbisik padanya. 

“Farisha tau, mall ini punya siapa? ”

“Ga tau” 

“Farisha tau, mall ini punya orang kaya, orang yang sudah punya semuanya, punya mobil, rumah besar, mainan banyak, Farisha mau uang Farisha buat memberi orang yang sudah kaya?”

“Jadi, duit Farisha buat orang yang ga punya duit aja ya?” Farisha bertanya bingung

“Anak-anak semalam di TV kasian kan? Dia ga punya Ayah, mamanya sakit..ga punya rumah”

“Kasian sih.. Tapi Farisha mau mainan”

“Berarti Farisha beli mainan sama orang-orang yang ga kaya aja, jangan di mall, ini punya orang kaya yang beli juga orang-orang kaya, Farisha ini orang kaya bukan? 

“Kaya sih, tapi sedikit ajaa”

Aku tersenyum melihatnya, dia mau kubujuk untuk beralih dari Barbie itu. Untung saja pertanyaannya tak memanjang seperti “terus, kenapa mama jalan-jalan di mall buat belanja?” jawabannya tentu saja ’emakmu cuci mata bulanan sayang, alasan nyari diskon padahal bosan dirumah’ wkwkwkwk

Aku Berbisik Pada Farisha “Nanti besok mama ajak ke penjual mainan yang ga punya duit dan sangat butuh duit”  

Besoknya aku mengajak Farisha ke SD yang kebetulan dekat dengan rumah neneknya dibanjarmasin. Disana ada penjual mainan yang berpenampilan rusuh. Dan, skenario sedih itu aku mulai. 

“Farisha liat lah Paman yang itu, liat, Bajunya jelek, kulitnya hitam badannya kurus. Coba tebak, dia punya duit ga?”

“Sepertinya ga punya ma, dia orang miskin kah? ”

“Orang miskin sayang, duitnya sedikit, yang membeli sedikit, jualannya murah, padahal rumahnya jelek, anaknya makan ga pake lauk, istrinya ga kerja, kasian ga?” 

(Farisha terdiam) “Kasian ma, kena beli mainan disini aja lah?” 

“Iya, disini aja.. Jangan di mall, di mall itu yang jualan sudah kaya, mainannya mahal, kalau mainannya mahal duit siapa yang cepat habis? ”

“Duit mama”

“Kasian ga mama? Kasian ga abah yang nyarikan duit? 

“Kasian.. Ma.. ” 

Baiklah.. Pelajaran Simpati sudah menular ke rasa empatinya. Emejing sejauh ini. 😊

Pelajaran simpati dan empati akhirnya membuat Farisha mengerti tentang sifat terpuji lainnya, yaitu berbagi. Suatu malam dia pernah bertanya padaku. 

” Ma, kalo Farisha sudah punya duit banyak berarti duitnya buat siapa? ”

” Buat siapa? Farisha tebak sendiri pang”

“Buat anak-anak yang ga punya Ayah, Paman jualan mainan yang miskin, itu aja kah? ”

“Anak yang ga punya Ayah tu namanya Anak Yatim Sayang, Orang-orang miskin itu banyak, bukan cuma paman bejual mainan aja” 

“Siapa lagi?”

“Anak Yatim, Ibu yang ditinggal suaminya, Anak Miskin, Paman miskin yang bejualan, Orang-orang yang cacat ga bisa kerja, banyak lagi”

“Ooo.. Gitu, Nanti farisha kasih supaya senang”

Setidaknya pelajaran empati berlangsung baik untuk orang-orang yang perlu dikasihani walau itu belum termasuk ‘teman sepermainan’ 😅

Hasil dari pelajaran empati sungguh menakjubkan. Ketika suatu hari aku berkunjung ke rumah Mamaku Farisha termangu melihat rumah seberang Mama yang terlihat jelek dan bertanya 

“Nene, orang diseberang rumah nene itu orang miskin kah? Kenapa rumahnya jelek? ”

Aku cekikikan mendengarnya. 

Cerita lain adalah ketika Aku dan Farisha menghadiri majelis di Mesjid Raya Sabilal Muhtadin. Ditengah Ceramah ada beberapa Ibu lewat didepan kami sambil membawa kotak sumbangan. Awalnya Farisha bingung dan bertanya

“Ibunya tu ga punya duit ya ma? Kasiannya”

(aku sempat malu-malu melirik kearah ibu tersebut karena Farisha bertanya dengan Suara yang cukup nyaring) 

“Farisha, mesjid ini bagus kah ga? Bagus kan? Farisha tiap minggu kesini, yang membersihkan mesjid siapa? yang bikin air mancur dimuka siapa? Farisha beri uang sedikit untuk membantu supaya mesjidnya bagus”

Farisha ber ‘Oooo’ dan menatap Ibu-ibu itu hingga hilang dari pandangan. 

Cerita lain ketika kami pulang dari memarkir kendaraan. Dia bertanya lagi ketika aku memberi uang kepada petugas parkir. 

“Ma, orang itu ga punya duit juga ya? ”

” Itu paman parkir namanya sayang, dia menjaga kendaraan mama disini supaya ga hilang, jadi diberii duit”

Otak Farisha sampai sekarang masih mengidentifikasi tentang orang-orang yang pantas diberi. Dari melihat kesusahan orang disekelilingnya secara otomatis dia sudah mengerti tentang rasa syukur yang harus dirasakannya setiap hari dengan berterima kasih. Berterima kasih lah yang membuatnya mengerti tentang arti dari sholat yang sudah rutin dilakukannya walau hanya setiap maghrib. 

Pelajaran menanamkan Rasa Simpati dan Empati telah menghapus total tantrumnya dirumah. Memang butuh proses dan waktu yang cukup lama untuk menanamkannya. Percayalah, Letupan-letupan emosi itu hilang seketika ketika dia mengenal rasa kasihan. Dari simpati, dia sudah mulai suka membantuku, membereskan mainan sendiri hingga merapikan tempat tidurnya. Ya, Aku mengajarinya untuk Kasihan padaku. Itu yang utama. 

*Ditulis oleh Ibu yang tak sempurna dan belajar dari kehidupan sebelumnya serta sangat mencintai keluarganya.. 

IBX598B146B8E64A