Fenomena Miring di dunia, Dimulai dari Apa dan Bagaimana Mengakhirinya?
Well, judul tulisan yang cukup absurd aku tulis malam ini.
Berawal dari celotehan demi celotehan di sosial media yang berkaitan tentang pro dan kontra soal childfree. Hingga aku akhirnya mulai ‘kepo’ tentang apa sih “komentar” mengganggu yang ditulis oleh ‘Si Mbak’. Akupun mulai membatin dan berkata “Ohhh…” di dalam hati. Tanpa sadar hatiku diikuti rasa amarah hari itu. Aku sempat membuat sekian bar igs demi menenangkan diri. Mengingat kembali ‘luka lama’ saat aku melahirkan anak pertamaku di dunia.
Seorang Ibu muda yang ‘memang sih’ mendadak tua karena anaknya telah menguras fisiknya. Tak terbayang jika saat itu aku sudah mengenal sosial media. Mungkin saja, jari-jari kejamku dengan lantangnya mengetikkan kata-kata yang sedikit baper dan mungkin juga tak pantas.
Tapi, hari ini aku menghela nafas lebih baik setelah sekian lama workout. Memperhatikan kembali duniaku hari ini yang begitu berbeda dengan dunia 10 tahun yang lalu. Berbeda pula dengan dunia 20 tahun yang lalu. Kusadari.. Bumi, manusia dan pikiran orang-orang sudah mulai berubah tajam.
Apakah teman-teman berpikiran serupa?
Tentang Telur vs Ayam
Pilihan tentang Childfree menjadi sebuah pro dan kontra. Begitupun celotehan ‘Mbaknya’ pada kolom komentar. Ada yang berempati padanya, ada pula yang memakinya. Yang berempati padanya berkata bahwa pilihan childfree bukanlah hal yang salah karena trauma masa kecil ‘si Mbak’ begitu mengerikan sehingga memicu depresi dan pembelaan diri berlebihan. Sementara yang memaki beralasan bahwa hal sedemikian tak pantas diungkapkan di publik, apalagi jika sudah dalam fase menjelek-jelekan kubu tertentu.
Pertanyaanku selanjutnya, siapa sebenarnya yang ‘terlebih dahulu’ bersalah?
Apakah itu orang tua ‘si Mbak’ karena menorehkan trauma pada anaknya?
Ataukah ‘Si Mbak’ karena dengan nyamannya berkomentar tanpa peduli hati yang mungkin tersakiti?
Atau orang tua dari orang tuanya ‘Si Mbak’ karena juga telah menorehkan luka yang kemudian menurun? Atau orang tua yang lain yang turut menghakimi dan menyakiti pada kehidupan orang tua ‘Si Mbak’ di masa lalu?
Atau emak-emak yang kontra dengan childfree dan membully berlebihan setelah tau pilihan ‘Si Mbak’ ?
Menjawab pertanyaan demikian sama rumitnya dengan pertanyaan, “Mana yang lebih dulu? Telur atau Ayam?”
Semua punya asumsi sendiri, punya alasannya masing-masing. Tak ada yang mutlak salah dan mutlak benar. Yang perlu dipahami lebih lagi sebenarnya adalah.. Apakah rasa memaafkan itu ada? Apakah empati terhadap perasaan satu sama lain itu ada?
Karena jika itu tak ada. Tak berkesudahan. Maka, fenomena ini mungkin akan terus berlanjut. Disadari atau tidak sebenarnya ini adalah awal dari fenomena miring lainnya.
Saat manusia kehilangan empati pada sekelompok golongan yang seharusnya lebih baik. Lantas kemudian memutuskan tak lagi ingin menambah keturunan, ditambah penolakan dari sekitarnya. Hal ini membuat tameng transparan antara circle sosial satu dengan lainnya. Manusia menjadi terkelompok pada sekian golongan. Tak merasakan empati pada golongan yang ia benci. Dan tentunya ditandai oleh hilangnya rasa empati pada satu golongan.
Aku.. setelah begitu panjang ingin mengomel pada ‘Si Mbak’ akhirnya sadar jika aku tak berempati pada keadaaannya bagaimana bisa ‘Si Mbak’ juga berempati pada sosok Ibu. Bagaimana bisa ‘Si Mbak’ memaafkan trauma masa lalunya jika pasukan emak-emak menyerbu perspektifnya tanpa berkesudahan. Akhirnya pada suatu waktu ledakan penolakan itu bersatu dengan gelombang narsistik dan terpublishlah komentar tidak mengenakkan itu.
Pertanyaan selanjutnya, Apakah yakin kita sebagai emak-emak tak pernah merasakan hal demikian? Merasa jumawa karena bisa ‘begitu sempurna’ dengan pilihan kita lantas merendahkan yang lain. Merasa bangga dan bertahan dari rasa sakit dengan membela kelebihan diri sendiri dan merendahkan orang lain terutama segelintir golongan yang secara masif ‘nyinyir’?
Ah entahlah. Fenomena Ayam vs Telur. Duluan yang mana? Kurasa kita harus menyadari hukum sebab akibat terlebih dahulu untuk menjawabnya.
Fenomena Pengurangan Jumlah Manusia, Apakah ini Pertanda Baik bagi Bumi?
Sebelum ramai karena kasus komentar. ‘Si Mbak’ juga pernah terkenal karena komentarnya tentang stunting. Setelah itu ramai teman-temanku juga membuat postingan yang menyebut bahwa ‘Si Mbak’ juga mendukung ‘lagibete’. Entahlah, aku kurang tau tentang 2 hal ini karena saat itu memang ada sedikit pekerjaan kantor yang sedang aku kerjakan. So itu berlalu begitu saja. Aku tak mencari tau lebih jauh.
Tapi, seandainya benar bahwa si mbak pro ataupun toleran dengan ‘lagibete’ aku lagi-lagi mencoba berempati pada mindsetnya yang konon openminded tersebut. Bisa jadi ia mirip dengan Dear Alyne yang memilih child free karena merasa populasi manusia di bumi begitu banyak dan mulai berdampak negatif.
Disisi lain tak berkejauhan dari fenomena childfree. Kita dapat melihat secara nyata bahwa hubungan sesama jenis mulai dinormalisasi. Tak cukup sampai situ, hubungan demikian begitu digemborkan, dikampanyekan bahkan menjadi solusi untuk pengurangan jumlah penduduk. Jangan tanya tentang seks bebas, asalkan ‘tidak hamil’ maka itu tidak masalah.
“Mempertajam kualitas dibanding kuantitas. Demikianlah manusia zaman sekarang. Namun, apakah benar kualitasnya menjadi jauh lebih baik setelah mengurangi kuantitas kelahiran manusia?”
Anak dilambangkan sebagai pembawa beban bagi orang-orang yang ingin bahagia dan produktif. Apalagi bagi orang yang memiliki trauma, pilihan childfree terkesan jauh lebih bijak. Tentu, aku tak menyalahkan mereka yang berpikir demikian. Well, justru aku mendukung wanita untuk memilih pilihan berdasarkan hatinya. Tapi, kembali lagi manusia hanya bisa berencana. Selebihnya Allah tau yang terbaik. Itulah prinsip hidupku.
Aku percaya bahwa dibalik sekian fenomena yang ada pasti ada rahasia Allah dibalik itu. Termasuk kelahiran Pica yang tidak aku rencanakan. Namun, fenomena pengurangan jumlah manusia? Apakah ini pertanda baik bagi Bumi?
Secara teori mungkin iya. Bumi membaik dengan berkurangnya populasi manusia. Terutama mungkin sampah akan berkurang. Akan tetapi, sadarkah kita bahwa seiring berkembangnya fenomena pengurangan jumlah manusia sekarang maka fenomena sosial dan penyakit jiwa pun ‘entah kenapa’ semakin meningkat?
Mungkinkah ini dimulai dari Kebebasan tanpa Kritik?
“Terserah aku dong mau memilih apa. Itu urusanku kenapa kalian yang repot?”
Kata-kata demikian mungkin sudah lazim didengar. Manusia mulai tak menyukai urusan pribadinya dicampuri. Aku bisa memaklumi jika itu hanya perkara tentang ‘masak atau tidak’, ‘sekolah negeri vs swasta’, ‘ibu bekerja atau di rumah saja’, ‘memiliki art atau tidak’ hingga hal seperti ‘beranak vs child free’. Sungguh, aku tak ingin mencampuri hal-hal sedemikian. Itu hak masing-masing individu maupun pasangan.
Tapi belakangan, aku mulai berpikir bagaimana kalau sebenarnya hal-hal demikian terjadi dimulai dari kebebasan tanpa kritik? Bagaimana jika semuanya dimulai dari hilangnya perasaan menghormati kita pada orang yang lebih tua? Bagaimana jika sebenarnya, karena keegoisan kita sendiri dalam memantapkan pilihan maka kita menjadi cenderung closed minded terhadap saran dari orang lain? Aku bertanya-tanya sambil berkaca pada kehidupanku sendiri.
Jujur, pernah sekali pada fase demikian. Aku merasa ‘muak’ dengan orang yang suka mencampuri aturan dan prioritas hidupku. Tentang memasak repot atau tim memasak praktis, tentang pilihan ‘mengeluarkan duit berapa’ sampai pilihan yang sebenarnya adalah keputusan hidupku sendiri. Berusaha meluangkan waktu untuk berdaya setelah jungkir balik hidup ditekan secara finansial maupun waktu. Sungguh, jika ingin jujur aku ingin berteriak bahwa ‘orang-orang rese dan kepo terhadap hidup orang lain’ adalah penyebab utamanya.
FYI, karena pernah mengalami hal demikian aku sempat terkena Sosial Anxiety. Aku jadi malas berinteraksi dengan orang lain. Rasanya melihat orang berkumpul sekitar rumahku pun membuat aku kembali mengurungkan diri untuk keluar rumah. Pikiranku dipenuhi prasangka negatif seperti, “Bagaimana kalau mereka bertanya ‘begini’?” Apa aku harus jumawa dan tegas atau aku pergi begitu saja?”
Dulu, aku bukanlah orang yang terlahir tanpa kritik demikian. Sungguh banyak kritik yang mampir dalam hidupku. Tapi toh aku baik-baik saja. Kurasa ‘closed minded’ pada pikiranku hadir sejak cercaan pada pilihan hidupku diremehkan. Aku jadi sempat merasakan ingin bebas sebebas-bebasnya oleh pilihan hidupku sendiri. Pada ‘dark mind’ yang terdalam sempat berpikiran sangat amat ingin melakukan hal tak biasa. Namun, kembali lagi saat melihat bagaimana aku lelah berproses untuk dekat pada-Nya. Hal itu aku urungkan. Jika hanya untuk mengikis iman dan ketaatan yang ada. Aku memilih kembali dan merenung.
Belajar Untuk Terkoneksi, Berempati, dan Memaafkan
Jujur tulisan ini tidak akan menemukan ‘ujungnya’ dan mungkin hanya akan mengendap menjadi draft tidak karuan jika malam itu aku tidak membuka facebook. Entah kenapa postingan ini lewat begitu saja lewat akun Baper.id. Lama aku menatap gambar ini merenung dan.. Ealah.. Baper beneran sampai meneteskan air mata. Wkwk..
Aku sering sekali merepost sebuah kalimat yang kurang lebih bunyinya begini, “Kamu lihat kan paku yang telah menancap pada kayu ini? Kemudian pakunya dilepas. Apakah kamu melihat bahwa bekasnya masih ada dan tak pernah bisa hilang? Begitupun halnya dengan luka. Bekasnya akan selalu tetap ada”
Aku selalu membenarkan kata-kata demikian. Benar halnya bahwa namanya bekas luka tak akan pernah hilang. Maka jangan pernah melukai hati orang sembarangan.
Tapi bagaimana kalau sebenarnya aku salah memahami konsep kayu dan paku tersebut? Bagaimana kalau sebenarnya kisah paku dan kayu memang ditakdirkan untuk terkoneksi dan bersatu demi sebuah bangunan yang indah? Jika paku terus dilepas, justru efeknya tak akan pernah ‘sembuh’ karena kayu menjadi sendirian, tak berguna, dengan sekian banyak bekas luka.
Susah payah kayu ‘menyembuhkan luka’ tak akan pernah benar-benar sembuh karena teman hidup yang terkoneksi dan bisa menyembuhkan lukanya sebenarnya adalah paku. Paku dan pukulan oleh palu.
Sama halnya dengan konsep orang tua yang mungkin menyakiti hidup kita, mungkin mereka bagaikan paku.. Menciptakan trauma pada diri kita. Namun sejatinya, paku tersebut membuat kita menjadi bangunan yang indah. Palu yang memukul paku sejatinya adalah kekuatan untuk kita bangkit. Mereka bukan untuk kita salahkan. Namun.. Kita peluk dan rasakan.
Karena itu dalam hidup selalu berterima kasihlah pada setiap emosi yang datang. Entah itu bahagia, sedih, marah, kecewa, takut.. Karena emosi membuatmu bertumbuh. Itulah kenapa setiap orang yang dekat dengan kita selalu menciptakan emosi dengan ‘versi komplit’ bukan untuk membuat kita menjauh tapi untuk semakin merasakan dan membuat sinergi yang lebih baik. Karena itulah sejak kecil kita diajarkan 3 kata ajaib.. Tolong, Terima kasih, dan Maaf. Kata-kata demikian bukan hanya sekedar terucap tapi dirasakan dengan menghubungkan emosi-emosi agar berakhir lebih baik.
Pada akhirnya, untukku, untukmu, untuk ‘Mbaknya’ atau siapapun itu.. Mungkin sebenarnya hidup ini bukan sekedar hanya membangun kualitas dan melupakan kuantitas. Mungkin hidup ini bukan hanya tentang menerima siapa-siapa yang cocok dengan kita dan membully yang tak cocok dengan kita. Percayalah, kita itu sebenarnya ‘saling membutuhkan’. Ada rahasia dan takdir unik yang menyebabkan orang-orang terdekat dengan kita memunculkan luka dan trauma.
Mungkin itu karena Allah mengajarkan ilmu Memaafkan melalui rasa sakit.
“Pada Akhirnya, Dalam Hidup ini Belajarlah Untuk Terkoneksi, Berempati, dan Memaafkan. Itu Tidak Membuatmu Bebas Mungkin. Tapi Mungkin, Itu Justru Membuatmu Indah dan Kuat”
Aswinda Utari
Well, aku membaca ulang tulisan yang cukup aneh ini, namun pede sekali mempublishnya. Biarlah untuk dijadikan pengingat diri sendiri.