Browsed by
Category: Ikatan

Fenomena Miring di dunia, Dimulai dari Apa dan Bagaimana Mengakhirinya?

Fenomena Miring di dunia, Dimulai dari Apa dan Bagaimana Mengakhirinya?

Well, judul tulisan yang cukup absurd aku tulis malam ini.

Berawal dari celotehan demi celotehan di sosial media yang berkaitan tentang pro dan kontra soal childfree. Hingga aku akhirnya mulai ‘kepo’ tentang apa sih “komentar” mengganggu yang ditulis oleh ‘Si Mbak’. Akupun mulai membatin dan berkata “Ohhh…” di dalam hati. Tanpa sadar hatiku diikuti rasa amarah hari itu. Aku sempat membuat sekian bar igs demi menenangkan diri. Mengingat kembali ‘luka lama’ saat aku melahirkan anak pertamaku di dunia.

Seorang Ibu muda yang ‘memang sih’ mendadak tua karena anaknya telah menguras fisiknya. Tak terbayang jika saat itu aku sudah mengenal sosial media. Mungkin saja, jari-jari kejamku dengan lantangnya mengetikkan kata-kata yang sedikit baper dan mungkin juga tak pantas.

Tapi, hari ini aku menghela nafas lebih baik setelah sekian lama workout. Memperhatikan kembali duniaku hari ini yang begitu berbeda dengan dunia 10 tahun yang lalu. Berbeda pula dengan dunia 20 tahun yang lalu. Kusadari.. Bumi, manusia dan pikiran orang-orang sudah mulai berubah tajam.

Apakah teman-teman berpikiran serupa?

Tentang Telur vs Ayam

Pilihan tentang Childfree menjadi sebuah pro dan kontra. Begitupun celotehan ‘Mbaknya’ pada kolom komentar. Ada yang berempati padanya, ada pula yang memakinya. Yang berempati padanya berkata bahwa pilihan childfree bukanlah hal yang salah karena trauma masa kecil ‘si Mbak’ begitu mengerikan sehingga memicu depresi dan pembelaan diri berlebihan. Sementara yang memaki beralasan bahwa hal sedemikian tak pantas diungkapkan di publik, apalagi jika sudah dalam fase menjelek-jelekan kubu tertentu. 

Pertanyaanku selanjutnya, siapa sebenarnya yang ‘terlebih dahulu’ bersalah?

Apakah itu orang tua ‘si Mbak’ karena menorehkan trauma pada anaknya?

Ataukah ‘Si Mbak’ karena dengan nyamannya berkomentar tanpa peduli hati yang mungkin tersakiti?

Atau orang tua dari orang tuanya ‘Si Mbak’ karena juga telah menorehkan luka yang kemudian menurun? Atau orang tua yang lain yang turut menghakimi dan menyakiti pada kehidupan orang tua ‘Si Mbak’ di masa lalu?

Atau emak-emak yang kontra dengan childfree dan membully berlebihan setelah tau pilihan ‘Si Mbak’ ?

Menjawab pertanyaan demikian sama rumitnya dengan pertanyaan, “Mana yang lebih dulu? Telur atau Ayam?”

Semua punya asumsi sendiri, punya alasannya masing-masing. Tak ada yang mutlak salah dan mutlak benar. Yang perlu dipahami lebih lagi sebenarnya adalah.. Apakah rasa memaafkan itu ada? Apakah empati terhadap perasaan satu sama lain itu ada?

Karena jika itu tak ada. Tak berkesudahan. Maka, fenomena ini mungkin akan terus berlanjut. Disadari atau tidak sebenarnya ini adalah awal dari fenomena miring lainnya.

Saat manusia kehilangan empati pada sekelompok golongan yang seharusnya lebih baik. Lantas kemudian memutuskan tak lagi ingin menambah keturunan, ditambah penolakan dari sekitarnya. Hal ini membuat tameng transparan antara circle sosial satu dengan lainnya. Manusia menjadi terkelompok pada sekian golongan. Tak merasakan empati pada golongan yang ia benci. Dan tentunya ditandai oleh hilangnya rasa empati pada satu golongan.

Aku.. setelah begitu panjang ingin mengomel pada ‘Si Mbak’ akhirnya sadar jika aku tak berempati pada keadaaannya bagaimana bisa ‘Si Mbak’ juga berempati pada sosok Ibu. Bagaimana bisa ‘Si Mbak’ memaafkan trauma masa lalunya jika pasukan emak-emak menyerbu perspektifnya tanpa berkesudahan. Akhirnya pada suatu waktu ledakan penolakan itu bersatu dengan gelombang narsistik dan terpublishlah komentar tidak mengenakkan itu.

Pertanyaan selanjutnya, Apakah yakin kita sebagai emak-emak tak pernah merasakan hal demikian? Merasa jumawa karena bisa ‘begitu sempurna’ dengan pilihan kita lantas merendahkan yang lain. Merasa bangga dan bertahan dari rasa sakit dengan membela kelebihan diri sendiri dan merendahkan orang lain terutama segelintir golongan yang secara masif ‘nyinyir’?

Ah entahlah. Fenomena Ayam vs Telur. Duluan yang mana? Kurasa kita harus menyadari hukum sebab akibat terlebih dahulu untuk menjawabnya. 

Fenomena Pengurangan Jumlah Manusia, Apakah ini Pertanda Baik bagi Bumi?

Sebelum ramai karena kasus komentar. ‘Si Mbak’ juga pernah terkenal karena komentarnya tentang stunting. Setelah itu ramai teman-temanku juga membuat postingan yang menyebut bahwa ‘Si Mbak’ juga mendukung ‘lagibete’. Entahlah, aku kurang tau tentang 2 hal ini karena saat itu memang ada sedikit pekerjaan kantor yang sedang aku kerjakan. So itu berlalu begitu saja. Aku tak mencari tau lebih jauh.

Tapi, seandainya benar bahwa si mbak pro ataupun toleran dengan ‘lagibete’ aku lagi-lagi mencoba berempati pada mindsetnya yang konon openminded tersebut. Bisa jadi ia mirip dengan Dear Alyne yang memilih child free karena merasa populasi manusia di bumi begitu banyak dan mulai berdampak negatif. 

Disisi lain tak berkejauhan dari fenomena childfree. Kita dapat melihat secara nyata bahwa hubungan sesama jenis mulai dinormalisasi. Tak cukup sampai situ, hubungan demikian begitu digemborkan, dikampanyekan bahkan menjadi solusi untuk pengurangan jumlah penduduk. Jangan tanya tentang seks bebas, asalkan ‘tidak hamil’ maka itu tidak masalah. 

“Mempertajam kualitas dibanding kuantitas. Demikianlah manusia zaman sekarang. Namun, apakah benar kualitasnya menjadi jauh lebih baik setelah mengurangi kuantitas kelahiran manusia?”

Anak dilambangkan sebagai pembawa beban bagi orang-orang yang ingin bahagia dan produktif. Apalagi bagi orang yang memiliki trauma, pilihan childfree terkesan jauh lebih bijak. Tentu, aku tak menyalahkan mereka yang berpikir demikian. Well, justru aku mendukung wanita untuk memilih pilihan berdasarkan hatinya. Tapi, kembali lagi manusia hanya bisa berencana. Selebihnya Allah tau yang terbaik. Itulah prinsip hidupku.

Aku percaya bahwa dibalik sekian fenomena yang ada pasti ada rahasia Allah dibalik itu. Termasuk kelahiran Pica yang tidak aku rencanakan. Namun, fenomena pengurangan jumlah manusia? Apakah ini pertanda baik bagi Bumi?

Secara teori mungkin iya. Bumi membaik dengan berkurangnya populasi manusia. Terutama mungkin sampah akan berkurang. Akan tetapi, sadarkah kita bahwa seiring berkembangnya fenomena pengurangan jumlah manusia sekarang maka fenomena sosial dan penyakit jiwa pun ‘entah kenapa’ semakin meningkat?

Mungkinkah ini dimulai dari Kebebasan tanpa Kritik?

“Terserah aku dong mau memilih apa. Itu urusanku kenapa kalian yang repot?”

Kata-kata demikian mungkin sudah lazim didengar. Manusia mulai tak menyukai urusan pribadinya dicampuri. Aku bisa memaklumi jika itu hanya perkara tentang ‘masak atau tidak’, ‘sekolah negeri vs swasta’, ‘ibu bekerja atau di rumah saja’, ‘memiliki art atau tidak’ hingga hal seperti ‘beranak vs child free’. Sungguh, aku tak ingin mencampuri hal-hal sedemikian. Itu hak masing-masing individu maupun pasangan. 

Tapi belakangan, aku mulai berpikir bagaimana kalau sebenarnya hal-hal demikian terjadi dimulai dari kebebasan tanpa kritik? Bagaimana jika semuanya dimulai dari hilangnya perasaan menghormati kita pada orang yang lebih tua? Bagaimana jika sebenarnya, karena keegoisan kita sendiri dalam memantapkan pilihan maka kita menjadi cenderung closed minded terhadap saran dari orang lain? Aku bertanya-tanya sambil berkaca pada kehidupanku sendiri.

Jujur, pernah sekali pada fase demikian. Aku merasa ‘muak’ dengan orang yang suka mencampuri aturan dan prioritas hidupku. Tentang memasak repot atau tim memasak praktis, tentang pilihan ‘mengeluarkan duit berapa’ sampai pilihan yang sebenarnya adalah keputusan hidupku sendiri. Berusaha meluangkan waktu untuk berdaya setelah jungkir balik hidup ditekan secara finansial maupun waktu. Sungguh, jika ingin jujur aku ingin berteriak bahwa ‘orang-orang rese dan kepo terhadap hidup orang lain’ adalah penyebab utamanya. 

FYI, karena pernah mengalami hal demikian aku sempat terkena Sosial Anxiety. Aku jadi malas berinteraksi dengan orang lain. Rasanya melihat orang berkumpul sekitar rumahku pun membuat aku kembali mengurungkan diri untuk keluar rumah. Pikiranku dipenuhi prasangka negatif seperti, “Bagaimana kalau mereka bertanya ‘begini’?” Apa aku harus jumawa dan tegas atau aku pergi begitu saja?”

Dulu, aku bukanlah orang yang terlahir tanpa kritik demikian. Sungguh banyak kritik yang mampir dalam hidupku. Tapi toh aku baik-baik saja. Kurasa ‘closed minded’ pada pikiranku hadir sejak cercaan pada pilihan hidupku diremehkan. Aku jadi sempat merasakan ingin bebas sebebas-bebasnya oleh pilihan hidupku sendiri. Pada ‘dark mind’ yang terdalam sempat berpikiran sangat amat ingin melakukan hal tak biasa. Namun, kembali lagi saat melihat bagaimana aku lelah berproses untuk dekat pada-Nya. Hal itu aku urungkan. Jika hanya untuk mengikis iman dan ketaatan yang ada. Aku memilih kembali dan merenung.

Belajar Untuk Terkoneksi, Berempati, dan Memaafkan

Jujur tulisan ini tidak akan menemukan ‘ujungnya’ dan mungkin hanya akan mengendap menjadi draft tidak karuan jika malam itu aku tidak membuka facebook. Entah kenapa postingan ini lewat begitu saja lewat akun Baper.id. Lama aku menatap gambar ini merenung dan.. Ealah.. Baper beneran sampai meneteskan air mata. Wkwk.. 

Aku sering sekali merepost sebuah kalimat yang kurang lebih bunyinya begini, “Kamu lihat kan paku yang telah menancap pada kayu ini? Kemudian pakunya dilepas. Apakah kamu melihat bahwa bekasnya masih ada dan tak pernah bisa hilang? Begitupun halnya dengan luka. Bekasnya akan selalu tetap ada”

Aku selalu membenarkan kata-kata demikian. Benar halnya bahwa namanya bekas luka tak akan pernah hilang. Maka jangan pernah melukai hati orang sembarangan. 

Tapi bagaimana kalau sebenarnya aku salah memahami konsep kayu dan paku tersebut? Bagaimana kalau sebenarnya kisah paku dan kayu memang ditakdirkan untuk terkoneksi dan bersatu demi sebuah bangunan yang indah? Jika paku terus dilepas, justru efeknya tak akan pernah ‘sembuh’ karena kayu menjadi sendirian, tak berguna, dengan sekian banyak bekas luka.

Susah payah kayu ‘menyembuhkan luka’ tak akan pernah benar-benar sembuh karena teman hidup yang terkoneksi dan bisa menyembuhkan lukanya sebenarnya adalah paku. Paku dan pukulan oleh palu.

Sama halnya dengan konsep orang tua yang mungkin menyakiti hidup kita, mungkin mereka bagaikan paku.. Menciptakan trauma pada diri kita. Namun sejatinya, paku tersebut membuat kita menjadi bangunan yang indah. Palu yang memukul paku sejatinya adalah kekuatan untuk kita bangkit. Mereka bukan untuk kita salahkan. Namun.. Kita peluk dan rasakan.

Karena itu dalam hidup selalu berterima kasihlah pada setiap emosi yang datang. Entah itu bahagia, sedih, marah, kecewa, takut.. Karena emosi membuatmu bertumbuh. Itulah kenapa setiap orang yang dekat dengan kita selalu menciptakan emosi dengan ‘versi komplit’ bukan untuk membuat kita menjauh tapi untuk semakin merasakan dan membuat sinergi yang lebih baik. Karena itulah sejak kecil kita diajarkan 3 kata ajaib.. Tolong, Terima kasih, dan Maaf. Kata-kata demikian bukan hanya sekedar terucap tapi dirasakan dengan menghubungkan emosi-emosi agar berakhir lebih baik.

Pada akhirnya, untukku, untukmu, untuk ‘Mbaknya’ atau siapapun itu.. Mungkin sebenarnya hidup ini bukan sekedar hanya membangun kualitas dan melupakan kuantitas. Mungkin hidup ini bukan hanya tentang menerima siapa-siapa yang cocok dengan kita dan membully yang tak cocok dengan kita. Percayalah, kita itu sebenarnya ‘saling membutuhkan’. Ada rahasia dan takdir unik yang menyebabkan orang-orang terdekat dengan kita memunculkan luka dan trauma.

Mungkin itu karena Allah mengajarkan ilmu Memaafkan melalui rasa sakit. 

“Pada Akhirnya, Dalam Hidup ini Belajarlah Untuk Terkoneksi, Berempati, dan Memaafkan. Itu Tidak Membuatmu Bebas Mungkin. Tapi Mungkin, Itu Justru Membuatmu Indah dan Kuat”

Aswinda Utari

Well, aku membaca ulang tulisan yang cukup aneh ini, namun pede sekali mempublishnya. Biarlah untuk dijadikan pengingat diri sendiri.

#FBB Collaboration: Surat Untuk Mama, Maafkan Aku yang Terlambat Reframing

#FBB Collaboration: Surat Untuk Mama, Maafkan Aku yang Terlambat Reframing

“Nanti kalau kamu sudah jadi Ibu.. Baru tau rasanya.. “

Itulah kalimat yang sering mama ucapkan setiap kali kami bertengkar. Berulang-ulang layaknya kaset rusak. Sudah diputar kebelakang.. Tapi malah masuk lagi di gendang telinga. Sampai-sampai.. Lelah mendengarnya. 

Lalu aku mendengus di dalam hati, “Nanti kalau aku jadi emak-emak.. Aku harus jadi emak yang bijak.. Yang enggak ngomong kalimat itu-itu saja setiap kali marah.. Aku bakal menjadikan anak sebagai teman lalu aku bla bla bla.. “

Begitu kiranya keluhanku di dalam hati. 

Perkenalkan, Aku adalah Anak yang Paling Sering Bertengkar dengan Mama

Aku adalah anak kedua dalam empat bersaudara. Kakakku yang pertama adalah laki-laki, berjarak 3 tahun dariku. Sementara adikku kembar.. Laki-laki juga, berjarak 8 tahun dariku. Yaa.. Aku adalah anak perempuan satu-satunya.. 

Seharusnya.. Akulah yang paling disayangi. Itulah ego yang sering muncul di kepalaku. 

Nyatanya, diantara 4 bersaudara tersebut.. Akulah yang paling sering mencari masalah dengan mama. 

Sewaktu kecil dulu.. Aku sering menangis karena selalu mendapat baju lungsuran dari kakak. Aku iri dengan teman-teman perempuanku. Aku ingin memakai baju cantik seperti mereka. Aku tidak suka terlihat seperti laki-laki. Aku bilang  pada mama, “Ma, Winda mau seperti xxxx juga. Winda mau cantik juga.. “

Aku.. Tidak tau bagaimana perasaan mama saat itu.. 

Kami hanya bertengkar. Dan berakhir saling memeluk di malam hari. 

Aku masih ingat ketika aku beranjak remaja dulu. Aku yang mengamuk saat tidak diperbolehkan ikut berkemah. Aku yang protes dengan lantang saat tidak diperbolehkan ikut acara ‘masak-masak’ di malam hari. Aku yang berdebat karena dibilang boros dan langsung membandingkan uang sakuku dengan temanku. 

Tak terhitung rasanya pembenaran demi pembenaran aku ucapkan dengan lantang dihadapan mama. Aku selalu merasa bahwa akulah yang paling menderita di dalam circle pergaulanku. Dalam circle keluargaku. 

Itu terjadi begitu saja. Perasaan insecure. 

Ketika kakakku lulus kedokteran. Ketika adikku terlihat kepintarannya. Sementara aku si anak tengah? Aku terlihat biasa saja. Tidak memiliki kelebihan. 

Ketika itu.. Setiap kali aku ingin mengembangkan diri dengan caraku.. Mama selalu mengatakan ‘jangan’ dan ‘jangan’ yang lain. Mama seakan menjadi pagar dalam kehidupanku. Membuat duniaku yang seharusnya bulat menjadi kotak. 

Saat itu.. Sungguh.. Aku tidak tahu perasaan mama.. 

Aku hanya berteriak dan membangkang… 

‘Kebebasan!’ teriakku.. 

Antara Mama dan Anak Perempuan

Perasaan paling menyenangkan yang aku rasakan hingga sekarang salah satunya adalah ketika mama bercerita.. Bahwa ia sangat menginginkan anak perempuan. 

Ya, katanya.. Saat ia hamil anak kedua ia menginginkanku. Sang anak perempuan. Bukan hanya itu.. Ayah dan kakakku juga. 

Mereka menantikan kehadiranku! 

Katanya, aku sangat lama keluar. Hampir 11 bulan. Aku yang seharusnya lahir bulan Juli malah lahir di bulan September. Mama mengeluarkanku kedunia ini penuh dengan perjuangan. Mama harus diinduksi. Konon itu rasanya sakittt sekali. Aku? Sampai sekarang aku yakin tak ada rasa sakit yang aku lalui dan bisa menyamai rasa sakit itu. 

Saat itu, kondisi ekonomi keluarga kami sangat pas-pasan. Mama dan Abah berjuang mulai nol. Aku masih ingat ketika kami memiliki rumah yang baru dulu. Kami bahkan tidak punya toilet. Jangan tanyakan bagaimana. Itu hal yang tidak nyaman diceritakan. 

Aku berlarian kesana kemari dengan memakai baju lungsuran kakakku yang laki-laki. Tidak ada perasaan kecewa saat itu. Yang aku rasakan hanya cinta dan penuh Terima kasih. 

Aku masih ingat, baju perempuan pertama yang paling berkesan. Baju Sailor Moon yang mama belikan sebagai oleh-oleh saat pergi penataran dulu. 

Aku masih ingat, boneka susan pertama di desaku dulu. Akulah yang pertama kali memilikinya. Saat itu.. Aku begitu merasa disayangi. 

Entah apa yang membuatku berkata kalimat pembandingan itu. Entah setan apa yang menggodaku untuk merasakan perasaan kurang dan kurang. Hingga aku sakiti perasaan mama… Yang saat itu sedang jatuh bangun menyejahterakan ekonomi keluargaku. 

Aku menyakiti mama sejak sekecil itu. Dengan kalimatku yang polos.. Dengan wajahku yang lugu. 

Tidak cukup sampai disitu, Aku pernah bertengkar paling mengerikan dengan mama saat hamil anak pertama dahulu. Aku yang merasa down saat fase ekonomi sedang tidak stabil. Aku yang berkata pada mama, “Memangnya siapa yang menyuruhku untuk menikah semuda ini? Siapa yang menyuruhku menunda cita-citaku? Kenapa Mama begitu egois. Aku sudah menuruti semua permintaan Mama…”

“Ma.. Aku sudah berusaha menjadi Winda versi terbaik bagi Mama..”

Aku mengeluarkan semua emosiku. Tapi, aku terlambat untuk Reframing. Aku tidak tau.. Bahwa segala keputusan mama memang selalu dilandasi oleh Kasih Sayang. 

Hei, ternyata begini rasanya menjadi Seorang Mama.. Mama dari Anak Perempuan.. 

Kini, aku mengerti segala keputusanmu Ma. Setelah melahirkan Farisha. Membesarkannya dan menyelami segala kelakuannya. Kini aku mengerti bagaimana perasaan seorang Ibu. 

Bahwa seorang Ibu hanya ingin yang terbaik untuk anaknya. 

Untuk segala pikiran kerasmu dalam mendidikku.. 

Untuk semua pagar demi pagar yang engkau berikan.. 

Aku mengerti..

Untukmu yang menghalangi mimpiku dahulu.. 

Aku memaafkanmu atas segala perlindungan kerasmu untukku.. 

Aku kini mengerti, kau lakukan itu semua karena aku adalah si Anak Spesial. Satu-satunya perempuan yang harus dilindungi.

Segala perlakuanmu padaku.. Aku sudah mengerti segala manfaatnya. 

Lihatlah anakmu yang memiliki dua anak perempuan. Masih sekecil ini saja sudah berapa aturan yang aku terapkan untuk melindunginya. Ternyata, memiliki anak perempuan tidak semudah yang dibayangkan. 

Perempuan cenderung berbicara dengan perasaan. Terkadang emosinya turut ikut andil. Jika kita sangat sering bertengkar karena itu.. Maka kini aku mengerti kenapa anakku sering menangis saat aku nasehati. Ya, dia masih kecil saja begini. Bagaimana jika sudah besar nanti? Konflik macam apa yang akan terjadi? Pagar macam apa yang harus aku berikan? Dan bisakah aku sesukses mama dalam mendidiknya nanti? 

Ah, entahlah. 

Mama, kini aku bisa memahamimu. 

Izinkan aku berterima kasih, meminta tolong dan meminta maaf padamu. 

Ya, kau kan yang mengajariku 3 kata ajaib itu? 

Terima kasih Mama

Aku memang hidup dalam lingkungan yang patriarki sekarang. Namun aku bersyukur memiliki seorang mama feminis yang selalu menjunjung tinggi tugas domestik di rumah. Atas segala pembelajaran berharga mu untukku.. Sungguh aku merasakan sekali manfaatnya sekarang. 

Lihatlah, karenamu aku bisa melakukan segalanya di rumah. Aku tidak terkejut dengan tugas domestik di rumah. Aku sudah terbiasa. Karenamu aku bisa memasak, melipat baju dengan rapi dan merawat anak-anakku dengan baik. 

Please.. Mom.. 

Tolong ma.. 

Tolong percayalah sepenuhnya pada langkah hidupku. Hanya doamu yang aku harapkan. Dan aku ingin kau bangga padaku. Walau aku satu-satunya yang bukan seorang dokter dari semua anak-anakmu.

Menjadi Ibu rumah tangga itu tidak berat ma. Lelah hanya begitu-begitu saja. Yang paling membuatku lelah adalah tidak ada apresiasi. Tidak ada kata-kata Terima Kasih atas usaha yang aku berikan di rumah. Tolong berilah aku perasaan bangga itu. Aku sungguh sangat membutuhkannya. 

Tolong lindungi aku dari orang-orang yang memandang rendah diriku. Orang-orang yang berkata bahwa aku tidak bisa apa-apa. Mereka yang sering berkata Susah-susah dikuliahkan tapi malah tidak bekerja, apa yang dikerjakan di rumah? Dan pertanyaan memojokkan lainnya. Aku tau kau sudah menerimaku dan please.. Banggakan aku di mata orang-orang tersebut. 

Maaf Ma..

Maaf karena aku hanya bisa menjadi Ibu Rumah Tangga. Jauh dari cita-cita mandiri secara finansial yang engkau harapkan. 

Maaf karena tidak bisa menemanimu di rumah. Maaf karena aku harus menjauh mengikuti suamiku. 

Terakhir.. Maaf karena aku terlambat reframing perasaanmu. Sungguh, aku menyesali pertengkaran demi pertengkaran dahulu. Andai saja aku bisa berkomunikasi dengan lebih baik dahulu. Mungkin aku bisa membuatmu mengerti tentangku. Andai saja emosiku tidak menggebu-gebu.. Mungkin aku bisa menjadi Winda yang lebih baik. 

Ah, menyesal memang selalu terlambat bukan? Tapi semoga tidak ada kata terlambat untuk menyayangimu lagi.

Dariku, sang anak yang sudah berubah menjadi Ibu. 

NB: Tulisan ini diikutsertakan dalam FBB Collaboration dengan tema Hari Ibu

Move On Ngeblog bersama Komunitas Female Blogger Banjarmasin

Move On Ngeblog bersama Komunitas Female Blogger Banjarmasin

I think I’m just the Only One Who have ‘Strange Hobby’.. 
But now.. I know.. I’m not Alone..

Sejak kecil aku merasa memiliki hoby yang aneh. Saat teman-temanku asik bermain dengan sesama, aku lebih suka diam di kelas sambil menghisap permen lolipopku. Salah satu temanku kemudian bertanya, “Kamu ngapain?” dan aku menjawab, “Sedang mengkhayal”

Aku tidak terlalu suka dengan keramaian. Tapi aku suka berpura-pura ramai dipikiranku sendiri. Jikapun aku butuh teman_aku hanya butuh SATU. Ya, cukup satu saja yang mengerti diriku dan paham denganku maka aku akan menjadikannya SEGALANYA.

Nyatanya, menemukan satu teman yang mengerti dirimu itu sulit. Sejak itu aku berpikir, “Aku kah yang terlalu aneh?”

Ketika Guruku bertanya mengenai Cita-cita, aku hanya bisa menjawab menjadi Guru. Namun ketika ditanya, “Apa Hobymu? ”

Aku menjawab, “Mengkhayal”

Lantas seisi kelas mentertawakanku.

Aku tidak mengerti dimana sisi lucu dari jawabanku. Itu benar, aku hoby melamun. Kadang ketika selesai membaca satu buku_aku bisa tersenyum-senyum sendiri. Kemudian aku berbaring dengan wajah berseri-seri hingga berjam-jam lamanya. Ya, sudah terlalu sering orang tuaku mengira ekspresi itu adalah ‘Jatuh Cinta’. Kenyataannya, tidak. 😂

Aku memiliki hoby aneh sejak kecil. Aku suka berimajinasi. Aku bahkan memiliki ‘sebutan lain’ dalam versiku sendiri untuk setiap teman dikelasku.

Kemudian, suatu hari hoby menulis itu muncul begitu saja ketika Sekolah Dasar. Aku suka ‘menulis’ berbagai fenomena disekitarku. Mulai dari keluhan dengan berbagai omelan mama, bertengkar dengan kakak, rasa iri dengan adik kembarku, rasa senang ketika ayah membela segala egoku hingga bully yang dilakukan teman-temanku.

Tadinya, aku menyebut buku itu sebagai buku harian. Sampai suatu hari buku itu ditemukan oleh kakakku dan dibaca ditengah-tengah anggota keluargaku. Memang, aku berharap suatu hari ada yang membaca buku harianku_tapi tidak dalam moment yang memalukan seperti itu. 😅

Aku sempat jera menulis hingga kemudian Ayahku membelikanku kado ulang tahun berupa ‘istana buku’. Ya, itu adalah kado yang tidak akan pernah aku lupakan seumur hidupku. Kado istana buku merupakan sebuah istana kertas yang didalamnya berisi buku-buku dongeng mungil. Imajinasi liarku menjadi-jadi.

Sejak itu aku punya ide aneh yang terlintas begitu saja didalam otakku. Aku menulis cerita singkat dengan panjang tiga paragraf. Sangat jelek namun aku senang. Paragraf pertama menceritakan karakter antagonis. Paragraf kedua menceritakan kedatangan tokoh protagonis. Dan paragraf tiga aku mematikan salah satunya atau mendamaikannya. Ya, sesimple itu. 😂

Namun salah seorang teman SD ku menyukainya dan kau tau? Itulah saat pertama aku merasa memiliki ‘fans’ dan teman satu passion.. 😄

***

Kekurangan dari kepribadian melankolis-plegmatis sepertiku adalah tidak percaya diri dengan kemampuan sendiri, butuh rule mode dalam kehidupan, serta memiliki perasaan yang halus. Ya, kekurangan itu telah membuatku pensiun dengan kegiatan menulis. Hal ini terjadi begitu saja ketika teman sepassionku hilang, nilai pelajaranku tidak bagus, dan aku dinilai sebagai anak kuper dilingkunganku. Setiap remaja butuh sedikit rasa penerimaan bukan? 

Aku pensiun menulis selama 5 tahun lamanya. Kemudian bersambung menulis novel ketika kelas 3 SMA_yang tidak jelas rimbanya kemana sekarang. Lalu hoby menulisku hilang total ketika kuliah. Sampai kemudian aku bertemu dengan dia yang suka menulis. Dan aku mulai melanjutkan menulis lagi. Walau bukan jenis novel tapi hanyalah catatan renungan-renungan kelabu. 

Sepertinya hoby menulisku tak pernah berkembang ke arah yang positif. Karena itulah aku akhirnya berpikir bahwa menulis tidak akan membawaku kemana-mana. Saat menikah dan memiliki anak, suamiku mendorongku untuk terus menulis. Ia membelikan diary, menyuruhku menulis di kompasiana, menyuruhku rajin membaca tapi aku mengabaikan segala ceramahnya. Aku berpikir, “Siapa yang akan menerimaku dengan tulisan? Bukankah aku lebih baik menghabiskan waktu belajar memasak, membersihkan rumah, dan bermain dengan anak?” 

Saat itu aku masih menjadi Ibu Rumah Tangga yang idealis. Menganggap semua pekerjaan rumah harus perfect dan tidak perlu me time. Kenyataannya aku menjadi ibu mengerikan dibalik gaya perfeksionisku. Aku sering kali marah tidak jelas, menangis tidak jelas dan mulai menyalahkan keluargaku atas segala punyusutan dalam diriku. Itulah saat pertama kali aku sadar telah terkena gejala post partum depression. 

Kemudian, bulan January 2017 aku memutuskan membuat blog di wordpress. Aku pikir blog akan membuat kondisi psikologisku membaik pasca beberapa tahun menjadi stay at home mom. Suamiku mendukung secara positif dan dia menekankan padaku betapa pentingnya ‘konsisten’ dalam menulis. Konsisten berarti harus menulis secara terjadwal dan sering. Minimal 3 hari sekali. 

Aku melakukannya. Menulis berbagai hal yang aku pendam selama ini. Jika kehabisan inspirasi, aku akan menulis resep masakan. Namun bulan maret 2017 aku mulai galau dalam menulis. Karena statistik blogku yang tak kunjung naik, follower yang sedikit, dan tidak ada komunitas. Ngeblog itu hanya self healing. Pikirku. 

Tapi dimana serunya ngeblog jika itu hanya berputar pada diriku sendiri saja? Bukankah inti dari ngeblog adalah berbagi? Dimana tempat berbagi? Bagaimana aku bisa move on dengan ngeblog? 


***

Tidak ada yang lebih menyenangkan dibanding menemukan ‘seseorang yang begitu mengerti dirimu’.

Ya, itu benar.

Itulah yang terjadi saat aku bertemu dua orang perempuan ketika seminar Dancow “Katakan, IYA-BOLEH untuk mendukung eksplorasi si kecil” di Hotel Golden Tulip Banjarmasin bulan Februari lalu. Singkat cerita, disana aku diundang sebagai blogger untuk meliput acara Dancow. Aku pikir tadinya mungkin aku disana akan sendirian saja_seperti biasa. 😂

Ternyata aku bertemu dengan dua blogger perempuan lainnya. Mereka bernama Shovya dan Leha. Aku duduk berjejer dengan mereka dan mendengarkan ‘kata-kata yang tidak aku mengerti’. Sebut saja itu niche, tld, hingga monetize dan job. Ya ampun, begitu mengasyikkan-kah dunia ngeblog itu? Pikirku.

Leha, Shovya, dan Aku

Aku memutuskan untuk bertanya tentang komunitas blogger yang ada diindonesia hingga yang khusus di Kalimantan Selatan. Dan mereka antusias. Shovya adalah member dari Blogger Banua dan Leha adalah member dari Female Blogger Banjarmasin. Berhubung aku lebih suka dengan ‘komunitas khusus perempuan’ maka aku memilih bergabung di Female Blogger Banjarmasin.

Saat pertama kali bergabung hanya ada beberapa member disana. Aku pikir jelas alasannya, karena tidak banyak orang yang memiliki passion dibidang menulis. Kenyataannya, sejak aku bergabung hingga sekarang_anggota Female Blogger Banjarmasin semakin bertambah dan kami semakin serius dengan membentuk sistem kepengurusan hingga secara khusus mengelola sosial media kami.

Aku benar-benar bersyukur tergabung dalam komunitas ini. Aku pernah tergabung dalam komunitas ’emak-emak’, komunitas agamis, komunitas ‘alay’ namun tidak pernah merasa secocok dan senyaman ini. Ya, seseorang pernah berkata padaku bahwa, “Kita tidak bisa menjadikan semua orang sebagai teman kita berpijak, kita butuh beberapa topeng dibalik itu semua agar diterima. Tapi yang menerimamu apa adanya_hanyalah keluarga dan mereka yang satu passion denganmu”

Itu benar, dan akhirnya aku memutuskan untuk menjadi member Female Blogger Banjarmasin selamanya. 😂

Anggota famale blogger banjarmasin memiliki jenis niche yang berbeda untuk blog yang dikelolanya. Ada yang memiliki niche Lifestyle, Beauty, hingga Travelling. Tadinya, aku adalah satu-satunya member yang memiliki niche Food didalamnya. Namun sekarang jujur saja niche blogku memuat banyak post lain selain Food. Dan yang paling lucu itu adalah aku mulai suka menulis di label kecantikan bertema lipstik. Dan terakhir, aku sekarang mulai suka berganti-ganti BB Cream. 😂

Itulah yang terjadi ketika dalam komunitas ini banyak Beauty Bloggernya. Maklum, aku memiliki sedikit beberapa sifat plegmatis sehingga suka sedikit terbawa arus.

Tapi itu benar, selama ngeblog aku tidak pernah berpisah dengan skincare maupun make up. Jika beberapa orang berpendapat bahwa make up adalah alat untuk bernarsis ria maka bagiku sendiri make up (khususnya lipstik) merupakan alat penunjang percaya diri saat ngeblog.

Nulis aja perlu lisptik win? Kamu waras?

Katakan saja aneh, tapi inspirasiku datang selalu dari luar rumah.. Sehingga lipstik selalu menemaniku saat mencari inspirasi.. 😂

Contohnya saat aku mengunjungi anakku pada jam istirahat sekolah untuk membawakannya kue. Aku suka sekali mendengar pembicaraan emak-emak dan menjadikannya inspirasi tulisanku. Eits, tapi jangan salah. Aku tidak pernah menulis gosip secara gamblang. Aku hanya menulis dan menangkap kesimpulan agar mendapat pembelajaran. Bukankah itu yang namanya terinspirasi?

Nah, bicara soal lipstik aku punya brand favorite yang bener-bener kece soal make up. Siapa lagi kalau bukan Wardah? I’m so in love with Wardah. Mulai dari Bedak, lipstik, blush on, eye shadow semua dari wardah. Kenapa? Karena aku terlanjur jatuh cinta sama make up wardah sejak acara ‘behantaran’ saat pernikahanku dulu. Wardah merupakan make up pertama yang membuatku jatuh cinta. 😍

Baru-baru ini yang membuatku sangat luar biasa ketagihan adalah mengoleksi berbagai warna lipcream wardah. Ya, sejak pertama kali membeli Wardah Ekslusive Matte Lip Cream No. 5 (Speachless) aku akhirnya mulai mencoba warna lain. Aku sudah memiliki lipcream wardah no. 3, 4, 5 dan 10. Menurutku produk lipcream wardah ini kece banget. Warnanya pigmented dan selalu bikin aku merasa cantik saat mencari inspirasi diluar.

Dan warna yang paling menyenangkan dan membuat wajahku fresh adalah no. 05 (Speachless). Aku selalu ketagihan dengan berbagai warna nude hingga orange karena warna itu bisa ‘sedikit’ menyamarkan usiaku sebenarnya.. 😂

Lipstik adalah senjata percaya diriku dalam mencari inspirasi

***

Oke, itu sekilas cerita tentang Female Blogger Banjarmasin dan hal yang membuatku ‘teracuni’ dengan produk kecantikan hingga brand favorite aku, Wardah. 😘

Sekarang bagaimana kabar Female Blogger Banjarmasin?

Alhamdulillah, Female Blogger Banjarmasin telah berumur satu tahun dan kita sudah banyak kemajuan didepan. Tepatnya tanggal 6 Oktober 2016 (06-10-2016) Female Blogger Banjarmasin berulang tahun yang pertama. Aku berharap komunitas ini akan lebih maju dan lebih bersemangat sehingga memberi keberkahan untuk setiap member dan memberi manfaat untuk setiap orang dengan tulisan. 😊

Oya, Kami sudah memiliki Struktur Organisasi yang jelas untuk kepengurusan. Siapa saja sih? Yuk, kepoin..

  • Ketua: Ruli Retno Mawarni (www.ruliretno.com)
  • Wakil Ketua: Vina Jihan Faheera (www.reistilldoll.com)
  • Sekretaris: Siti Zulaeha Barsieh (www.syunamom.com)
  • Bendahara: Rima Melaty (www.rima-angel.com)
  • PJ Sosmed: Dina Yulini Fahdina (www.dinalangkar.com)
  • Humas: Antung Apriana (www.ayanapunya.com)

Dan beberapa member lainnya. Saat ini member kami sudah mencapai 20 orang. Dikit ya? Eh banyak kok.. 😂

Soal angka itu tak masalah bukan? Yang penting kami kece dan konsisten nulis setiap bulannya dan dapat job. Hehe..

Berbicara tentang konsisten, hal yang paling membuatku bersemangat bergabung dalam komunitas Female Blogger Banjarmasin adalah kami memiliki jadwal untuk share link setiap hari selasa dan sabtu. Pada jadwal share link kami diwajibkan untuk saling blog walking. Bagaimana jika kami tidak blog walking dan ada yang terlewat meninggalkan komentar? Secara tegas sudah ada sanksi khusus untuk itu, yaitu tidak boleh mengikuti kegiatan share link selama 2 minggu. Ngomong-ngomong, aku juga pernah kena sanksi loh satu kali. Oh, semoga itu yang terakhir. 😂

Oh iya, kami sudah pernah meet up loh. Dan luar biasa menyenangkan bertemu dengan orang-orang yang satu passion denganmu. Rata-rata dari kami memang pendiam tapi siapa sangka kami bisa seriang ini jika berkumpul bersama?

Meet up kedua adalah saat kami menghadiri HP Notebook Gathering Media di Swiss Bell Hotel. Ini ketiga kalinya aku meet up dengan member Female Blogger Banjarmasin. Sayangnya hanya Aku, Rima, dan Kak Pita yang hadir. Tapi tidak apa-apa, aku sangat senang sekali. 😊

Kak Pita, Aku dan Rima

Jika tidak bertemu dengan komunitas kece ini mungkin saja aku tidak bisa begini. Mungkin aku kini hanya Ibu Rumah Tangga biasa yang sangat moody ngeblog karena tidak ada pembaca, komunitas pendukung, job, dan berbagai event blogger. Mungkin kini aku hanya menggerutu dengan berbagai pekerjaan rumahku tanpa bisa move on. Tapi komunitas ini merubahku, benar-benar merubahku

Well, ulang tahun ga ada event spesial?

Ah, siapa bilang..! Ada Kok! 😆

Event spesial berikutnya dari Female Blogger Banjarmasin adalah mengadakan Beauty Class spesial dengan Wardah di Street Food Banjarmasin. Acara ini akan berlangsung pada 22 Oktober 2016. Penasaran dengan acara ini? Bagaimana sih Beauty Class bareng wardah? Tenang saja, aku pasti akan menulis pengalamanku pertama kalinya  mengikuti beauty class di blog ini. 😊

Jadi, Anda perempuan dan seorang blogger yang berdomisili dibanjarmasin? Bingung bagaimana cara move on dalam ngeblog? Tertarik ingin bergabung dengan komunitas Female Blogger Banjarmasin? Yuk, kepo’in tentang kita di instagram dan twitter kami.

Karena komunitas satu passion adalah wadah yang bisa membuatmu move on. Jadi, mari segera move on! Tunggu apa lagi!

Tentang Rumah Kenangan

Tentang Rumah Kenangan

Apa arti rumah buatmu? 

Bagiku, Rumah adalah tempat untuk pulang dimana didalamnya ada orang-orang yang menyayangimu dan menantikanmu selalu berada didalamnya. 

Bagiku, Rumah adalah tempat kehangatan. Tempat mengisi perut serta mengisi batinku dengan pelukan kasih sayang. 

Bagiku, Rumah adalah tempat berteduh. Tempat yang melindungi jasmani dan mengeluarkan semua isi hati agar selalu berada ditempat ‘teraman’. 

Hal yang dinamakan ‘rumah’ akan selalu menjadi surga dunia. Karena kenyamanan yang diciptakannya membuat seonggok telur ceplok dan kecap-pun terasa lebih enak dibanding restoran manapun. 

Tak ada yang bisa menyamai.. Bau dari kamar nyaman itu hingga prasasti didinding-dindingnya.. Terlalu banyak cerita disini. Cerita yang menyenangkan. 

Sangat munafik, jika mereka bilang “Jangan meratapi Sejarah! Bangkitlah menatap masa depan!” Karena nyatanya sejarah menyenangkan. Sejarah adalah ilusi terindah yang mengenangnya selama apapun akan terasa menyejukkan hati. 

Karena Kenangan itu beralasan kuat. Ada keluarga yang membuat rumah itu terasa seperti surga. Ya, keluarga itu. 

Ibu yang tak pernah tidak ribut denganku minimal tiga hari sekali. 

Ibu yang memelototiku setiap kali aku mulai bertindak konyol. 

Ayah yang selalu bertindak konyol dan bertentangan dengan Ibu. 

Pertengkaran ‘konyol’ yang terjadi hampir tiap hari. Kemudian terlihat tak terjadi apa-apa beberapa jam kemudian. 

Celotehan setiap anggota keluarga saat makan malam yang berujung pada protes kecil dari mulutku yang cerewet. 

Dulu aku membencinya. Sangat membencinya. 

Dan sekarang aku merindukannya..

Kadang aku menyesal kenapa aku malas sekali merawat rumah dan isinya dulu. 

Tentang mama yang selalu menggerutu bahwa aku pemalas dan tak betah dirumah. Tapi, aku sama sekali tak merasa pemalas saat itu_dibandingkan teman yang lain aku jauh lebih introvert. Aku selalu membela diri bahwa aku butuh dunia lain untuk sekedar mengakui keberadaanku. Didalam hati aku selalu menggerutu “Hei Mama, sampai kapan aku harus berada di dunia kotak?” 

Tapi akhirnya aku sadar. Bagi orang sepertiku, dunia kotak adalah sebuah surga. Rumah dan kasih sayang didalamnya takkan bisa digantikan oleh apapun. 

Beberapa tahun lalu aku adalah anak pertama yang meninggalkan rumah itu. Tak sempat sebuah bakti aku sempurnakan. Hanya sebuah restu untuk meninggalkan rumah_menuju rumah yang baru. 

Hampir satu tahun dirumah mertua dan akhirnya keluarga kecilku mendapat rezeki untuk memiliki rumah sendiri. Rumah baru untuk menjadi sebuah surga yang baru. 

Aku yang berada pada rumah baru dan sebagai pusat kehangatan dalam keluarga akhirnya mengerti kenapa Mama memperlakukanku sedikit berbeda dengan saudara-saudara laki-lakiku. 

Karena perempuan terlahir spesial..

Karena menjadi apapun perempuan. Sebagai apapun dan sekeren apa passionnya membawanya ketingkatan level kehidupan. Tetap saja! Tetap saja ia perempuan. 

Tetap saja, jantung sebuah rumah adalah perempuan didalamnya. Karena itu ia harus bisa membuat suami dan anaknya berbahagia dirumah. Itulah yang menguatkan ikatan. Perempuan terlahir lebih sensitif karena memendam banyak cinta. 

Cinta adalah alasan kenapa telur ceplok didapur Mama terasa lebih enak. 

Cinta adalah alasan kenapa kamar berprasasti itu menjadi buah tidur penyimpan kenangan. 

Cinta adalah alasan kenapa aku merindukan kemarahanmu. 

Cinta adalah alasan kenapa aku berusaha menjadi lebih baik dibanding saudaraku. 

Rumahku dahulu, adalah tempat dimana banyak cinta dilahirkan. Karena itulah aku merindukannya.. 

Selama seminggu berada disini. Dalam moment idul fitri. Betapa banyak lubang kosong pertanyaan amunisi cinta selama ini mulai menemukan jawabannya. Aku hanya butuh tertawa, bercanda dan menangis bersama dengan orang-orang yang memiliki ikatan pertama denganku. 

Mama.. 

Abah..

Dan Kakak adik cuek bebek sekalipun yang kupikir aku tak terlalu peduli dengan mereka. Nyatanya malah cukup senang melihat mereka berkumpul. 

Dan Aku memiliki ikatan baru yang kupikir cukup menyenangkan memilikinya. 

Ipar perempuan pertama dan dua keponakan dari pihak keluargaku. 

Entah bagaimana kekosongan selama ini yang Mama dan Abah rasakan selama semua anaknya terpisah. Aku sendiri tak bisa membayangkan. Rumah yang dulunya ramai itu menjadi sunyi senyap. 

Ah.. Bukankah itu yang dulu selalu kau inginkan win? Sebelum memiliki Farisha kau ingin berdua saja dengan suamimu dan merajut karirmu? Betapa memiliki anak telah mengikis semua impianmu? 

Belakangan aku merenung dan berpikir bahwa itu adalah salah satu cara-Nya untuk membuatku mengekspresikan cinta dengan benar. Level baru yang mengubah hidupku selamanya. Menjadi Ibu. 

Karena itu aku tidak boleh sedih. Meratapi betapa menyenangkan menjadi seorang anak-anak dirumah kenangan itu. Tapi aku bukanlah anak-anak lagi bukan? 

Aku sudah menjadi Ibu! Seseorang yang mandiri di rumahnya sendiri dengan keluarga baru yang dibangunnya. 

Karena itu, rumah kenangan tak pantas diratapi. Hanya sebuah kunjungan bertahap untuk menepis kerinduan. 

Karena jika ia terus diratapi. Hati kecilmu selalu berharap selalu menjadi gadis kecil. 

Dan kau sudah besar bukan? 

Untuk Apa Aku Harus Membenci Mertuaku? 

Untuk Apa Aku Harus Membenci Mertuaku? 

Mertua. Ya, satu kata yang berarti adalah mama dari suami ini adalah nama yang entah kenapa selalu berkonotasi negatif dikehidupan emak-emak. Dimulai dari cerita mertua galak, mertua sok ngatur, mertua bla bla bla. Hingga tidak jarang karena hubungan complicated antar menantu dan mertua ini maka kehidupan mereka terlihat selalu tidak damai. 

Nah, soal mertua. Kenapa pula tanaman satu ini diberi nama lidah mertua? Aku pikir tadinya cuma orang indonesaah yang menamai tanaman ini begitu kejam. Ternyata nama versi bahasa inggrisnya juga mother in law tonge. Seolah-olah lidah mertua itu diibaratkan terlihat tajam dan panjang seperti tanaman ini. 

Semua tentang mertua selalu dipandang negatif. Dulu saja ya, kalau anak cewek macam aku gini ga bisa masak mama pasti bilang “gimana nanti kamu nih kalo satu dapur sama mertua?”. Hingga hal sepele seperti duduk didepan pintu aja diledek, “kada disayangi mertua nanti” padahal kan waktu itu aku masih single yak, apa hubungannya si calon mertua ini dibawa-bawa. Hihihi. Ini pengaruh juga ke inner child dari kita tentunya. Kita sudah terlanjur menempatkan kata mertua dengan konotasi negatif dilubuk pikiran kita_bahkan jauh hari sebelum menikah. 

Kebencian kepada mertua disebabkan oleh banyak faktor namun aku meyakini faktor utama yang beranak-pinak menjadi berbagai faktor penyebab lainnya adalah adanya rasa cemburu. Apakah wajar kita cemburu kepada Mertua? Apakah wajar Mertua juga cemburu kepada kita? 

Tentu saja wajar. Cemburu sangat manusiawi. Cemburu adalah perasaan tidak nyaman dimana orang yang sangat kita sayangi menomor dua-kan kita, lebih memperhatikan yang lain. Cemburu boleh-boleh saja, sebagian lelaki suka jika kita ketahuan cemburu padanya. Namun, jika cemburu salah obyek kemudian menimbulkan perasaan iri hingga dengki maka cemburu jenis ini harus segera diobati.

Cemburu yang berasal dari perasaan ingin lebih baik dari pada obyek adalah cemburu yang positif_tidak berbahaya. Sebaliknya jika cemburu dilandasi oleh perasaan benci maka akan menciptakan monster kecil dihati kita. Semakin kita memberi makan monster tersebut, ia akan tumbuh semakin besar dan menggerogoti hati kita. Ibarat Api yang tiba-tiba memakan habis kayu bakar. 

Kebencian_apapun asalannya, adalah hal negatif. Namun sangat manusiawi jika kita pernah membenci. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana cara kita menghilangkan kebencian tersebut dan mengubahnya menjadi kecemburuan yang positif? 

Jujur saja, Mertua adalah orang pertama yang aku cemburui setelah aku mengenal kehidupan Rumah Tangga. Segala yang aku lakukan sejak berumah tangga tak lepas dari pengawasan mertua. Dia yang aku pikir tadinya sebagai orang kesekian dalam kehidupanku tiba-tiba saja harus aku nomor satukan. Monster dalam diriku tentu sering merasa protes. “Emang dia siapa? Mau menggantikan posisi Mama dikehidupanku.. Tiba-tiba saja jadi si nomor satu dikehidupanku” 

Oh, rupanya hadis ini yang menjadi senjata ya. “Huh” Pikirku.

Kehidupan berumah tangga sungguh proses yang tidak mudah. Hal yang pertama kali harus kau terima adalah meninggalkan rumah mama. Mengganti peran Mama yang merupakan sosok paling dicintai menjadi suami. Aku perlu beberapa kali berkonflik untuk mengakhiri dengan damai keputusanku dengan mama. Kau bisa membaca tulisanku di sini

Memutuskan untuk berbakti kepada suami dan belajar menggantikan peran Mama adalah hal yang tidak sederhana. Suami bukanlah orang nomor satu pengatur hidupku. Dibelakang layar, sang mertua bagaikan dalang wayang yang turut mengatur pergerakan suamiku, membuatku mau tak mau harus mematuhinya pula. Jadi, bila kau bertanya siapa orang nomor satu pengatur hidupku? jawabannya adalah mertua. Dan saat itulah awal kebencian itu muncul. 

Awal kebencian muncul ketika cita-citaku kandas begitu saja karena larangan mertuaku kepada suamiku untuk meninggalkannya merantau di Pelaihari. Aku sudah sangat positif ingin sekali bekerja disana, aku pikir bukanlah jarak yang jauh antara Pelaihari dan Banjarmasin. Kami masih bisa seminggu sekali menengok beliau. Namun kemudian beliau menangis ingin anaknya tetap disini saja. Aturan darinya mengontrol tujuan hidupku. Sudah jelas tentu, suamiku selalu menomor satukan mamanya. Berarti segala langkah hidupku akan selalu dibayang-bayangi olehnya_Mertuaku. Kebencianku sangat beralasan. 

Kebencian semakin bertambah subur ketika aku kemudian harus serumah dengan mertua. Saat itu anakku masih berumur 3 bulan, sering menangis dan begitulah. Aku yang saat itu mengalami Post Partum Depression hanya menginginkan satu hal “jangan atur lagi hidupku”. Apa aku mengucapkannya? Tentu saja tidak. Kebanyakan dari pelampiasanku hanya menangis. Jika tak sembuh juga kadang aku meledak dimedia sosial dan menghapus ledakan itu dipagi harinya. 

Rasa cemburu, iri dan tak suka diaturku telah menggelapkan hatiku. Sebagai Ibu dengan anak yang sering terbangun dimalam hari dan memakai popok kain untuk menghemat keuangan aku cukup kelelahan. Kadang dipagi hari aku tertidur lagi sehabis sholat subuh. Terkadang juga aku bangun telat. Siapa yang menyiapkan sarapan? Aku cuma sesekali. Kebanyakan adalah mertuaku dan iparku. Penyakit anti-sosial dan introvert tingkat akut-ku membuatku sulit beradaptasi didapur yang sudah mempunyai 2 chef andalan. Aku lebih suka dikamar. Berpura-pura terlalu sibuk dengan bayiku. 

Kegelapaan hatiku telah menghapus segala kebaikan mertuaku. Aku hanya melihat segala tentang mertua dari sisi gelap saja, sang pengatur_pikirku. Dalang Suami pikirku. Kapan aku bisa terbebas dari kontrol mertua dan berada di ruang bebasku sendiri? 

Setiap malam aku mengadu kepada suamiku. Tentang ketidaksukaanku pada Mamanya. Dia berusaha mendamaikan perasaanku. Tapi itu selalu tidak berhasil. Hatiku gelap. Aku tak bisa melihat sedikitpun kebaikan dari mertuaku. 

Setiap pagi, siang dan malam. Mertuaku selalu menyetok bayam dan katu dikulkas. Dia menyuruhku untuk selalu memakan sayur agar ASI ku lancar. Jika aku tak membuat karena malas maka mertuaku pasti membuatkannya. Sepanci penuh. Aku tak protes, memang benar Katu melancarkan ASI, tapi apa jadinya jika itu dijadikan seperti cemilan yang harus kau konsumsi setiap saat? Ya, muak. Bosan. Terlebih kondisi Ibu Menyusui sebenarnya bukan hanya butuh sayur, tapi karbohidrat. Aku sukses menjadi anak super kurus disana. 

Sejak kecil aku anti sekali berbicara dengan orang yang lebih tua. Tapi sejak berumah tangga aku harus bisa agar terlihat normal. Sayangnya pembicaraanku kadang tak selalu berjalan mulus. Alasan Pertama adalah aku amatiran dalam berbicara. Alasan Kedua, mertuaku sudah tua, perasaannya tentu mudah tersinggung jika menerima kritik. Maka, diam dan pura-pura setuju adalah pilihan terbaik.

Setiap hari Mertuaku memasak untuk suamiku. Aku yang masih menyusui kadang membantu sesekali. Aku tak terlalu suka dengan sistem dapur ala mertuaku. Setiap pagi harus memasak air dikayu bakar, kuno sekali. Padahal kompor gas sudah tersedia disana. Beliau bersikeras tentang peraturan yang satu itu walau banyak anak yang membantah. Aku sebenarnya alergi dengan bau asap. Dan kamar adalah tempat teraman dari asap. 

Semakin hari aku semakin mengerti bahwa suamiku tergila-gila dengan masakan Mamanya. Segala masakan yang dimasak oleh mertuaku selalu berhubungan dengan asap_ikan panggang, wadai bikang. Akupun diam-diam mengingat segala bahan dan cara memasak ala mertuaku didapur. Aku bertekad, aku harus bisa nanti. 

Bermalas-malasan dirumah mertua adalah hal yang dinamakan serba salah. Aku adalah anak tercanggung dalam penyesuaian dilingkungan yang baru_terlebih jika pada lingkungan itu banyak sekali orangnya. Iparku banyak dan masih berkumpul. Setiap pagi masing-masing memiiki job description tersendiri. Tinggallah aku melongo atau berpura-pura sibuk dengan bayi. 

Ketika anakku menginjak usia satu tahun 2 bulan kami memberanikan diri mengambil rumah secara kredit. Suamiku Sepertinya mengerti dengan aku yang serba salah dirumah mertua. Aku benar-benar bersyukur dapat memiliki rumah dan merenovasinya dengan uang tambahan dari pekerjaan sampingan suamiku. Aku mulai mantap untuk mengganti peran pelayan yang selama ini selalu diambil alih oleh Mertuaku. Sebenarnya, jauh dilubuk hatiku aku ingin melakukannya juga, ingin dapat pujian juga.

Aku mulai belajar memasak. Semua masakan favorit suamiku mulai aku tekuni prosesnya. Dari mulai menyalakan api tanpa minyak gas, membuat bikang, membersihkan ikan sungai hingga mencoba memberi penilaian plus pada diriku dengan mengeksplorasi skill baking. Aku terobsesi untuk melebihi Mertuaku. Aku cemburu setiap kali disebut masakan Mertuaku lebih baik dibanding masakanku. Lihatlah, tanpa disadari aku menjadikan Mertuaku sebagai Rule Mode dalam kehidupan pertama Rumah Tanggaku. 

Hubunganku dengan mertua semenjak berpisah rumah berangsur-angsur membaik. Walau Aku sebenarnya masih agak kesal jika kerumah beliau selalu bertanya “Makan apa tadi? Kalo bikin anu tu begini begini jangan begini nanti bisa begini…. Bla bla”. Sebenarnya aku sudah lumayan memperhatikan cara memasak beliau kan? Dan suamiku selalu bilang enak kok. Aku sudah berusaha melayani suamiku melebihi mertuaku. 

Hal yang lebih menyebalkan adalah jika aku sudah capek-capek menyiapkan makan untuk suamiku, tiba-tiba saja sang mertua memberi makanan untuk dimakan suamiku pula. Seolah-olah tak mau kalah denganku. Aku, dengan sifat kekanakanku sering sekali ngambek dirumah. Ngambek dengan kekalahan. Merajuk dan tak mau memasak. “Makan ditempat mama aja sudah sana” kataku. 

Butuh waktu lama untukku agar bisa memahami apa sebenarnya yang ada dalam pikiran Mertuaku. Mengapa mertuaku tak henti-hentinya mencuri perhatian suamiku. Rasa Cemburu dan obsesi untuk melebihinya telah membuatku lupa. Lupa akan Bagaimana rasanya menjadi Ibu tua yang Janda. 

Suamiku, sepertinya adalah salah satu anak yang memiliki ikatan erat dengan Mamanya_melebihi saudara lainnya. Sejak Ayah suamiku meninggal, suamiku adalah salah satu anak yang mengisi kebahagiaan batin Mamanya_Mertuaku. Dan bagaimana mengisinya? 

Yaitu dengan memasak. Mertuaku memiliki passion memasak. Rasa cinta tersalur untuk orang-orang yang disayanginya melalui memasak. Menerima pujian dari Suaminya adalah hal yang paling membahagiakan. Sejak suaminya meninggal, pujian dari anaknya_lah yang diharapkan untuk membuatnya merasa senang. 

Aku kemudian menyadari bahwa semua pujian dari suamiku_semua pujian yang dilebih-lebihkannya dihadapan mertua ku sama sekali tak layak untuk aku cemburui. Pujian itu adalah salah satu bentuk rasa bakti yang ditunjukkan suamiku untuk Mamanya. Orang yang merawatnya sejak bayi, membesarkannya dan menyayanginya hingga sekarang. Ah, lantas siapa aku ini, yang selalu cemburu buta dan memasang wajah cemberut setiap kali pujian itu ada. Aku hanya orang yang baru beberapa tahun mengenal suamiku. 

… Namun ia telah memutuskan untuk hidup serumah denganku..


Aku menatap tanaman lidah mertua dibalik jendela kamarku. Tanaman dengan bentuk daun menyerupai lidah yang terkesan tajam. Yah, lidah mertua. Memang sesuatu sekali tanaman ini. Dengan namanya terdengar negatif namun ia telah menyerap udara racun yang ada disekitarku, menciptakan udara segar untuk kuhirup. Mertua memang ikatan unik yang kusyukuri karena telah merubah hidupku. 

Dari rasa Cemburu aku akhirnya belajar untuk lebih baik. 

Dari Cemburu aku memiliki cita-cita baru, ingin menjadi seperti-nya. 

Dari Cemburu aku mengenal arti cinta yang sebenarnya. 

Terima kasih telah mengenalkanku pada rasa Cemburu ‘yang benar’ Mertuaku.. 

IBX598B146B8E64A