#FBB Collaboration: Surat Untuk Mama, Maafkan Aku yang Terlambat Reframing
“Nanti kalau kamu sudah jadi Ibu.. Baru tau rasanya.. “
Itulah kalimat yang sering mama ucapkan setiap kali kami bertengkar. Berulang-ulang layaknya kaset rusak. Sudah diputar kebelakang.. Tapi malah masuk lagi di gendang telinga. Sampai-sampai.. Lelah mendengarnya.
Lalu aku mendengus di dalam hati, “Nanti kalau aku jadi emak-emak.. Aku harus jadi emak yang bijak.. Yang enggak ngomong kalimat itu-itu saja setiap kali marah.. Aku bakal menjadikan anak sebagai teman lalu aku bla bla bla.. “
Begitu kiranya keluhanku di dalam hati.
Perkenalkan, Aku adalah Anak yang Paling Sering Bertengkar dengan Mama
Aku adalah anak kedua dalam empat bersaudara. Kakakku yang pertama adalah laki-laki, berjarak 3 tahun dariku. Sementara adikku kembar.. Laki-laki juga, berjarak 8 tahun dariku. Yaa.. Aku adalah anak perempuan satu-satunya..
Seharusnya.. Akulah yang paling disayangi. Itulah ego yang sering muncul di kepalaku.
Nyatanya, diantara 4 bersaudara tersebut.. Akulah yang paling sering mencari masalah dengan mama.
Sewaktu kecil dulu.. Aku sering menangis karena selalu mendapat baju lungsuran dari kakak. Aku iri dengan teman-teman perempuanku. Aku ingin memakai baju cantik seperti mereka. Aku tidak suka terlihat seperti laki-laki. Aku bilang pada mama, “Ma, Winda mau seperti xxxx juga. Winda mau cantik juga.. “
Aku.. Tidak tau bagaimana perasaan mama saat itu..
Kami hanya bertengkar. Dan berakhir saling memeluk di malam hari.
Aku masih ingat ketika aku beranjak remaja dulu. Aku yang mengamuk saat tidak diperbolehkan ikut berkemah. Aku yang protes dengan lantang saat tidak diperbolehkan ikut acara ‘masak-masak’ di malam hari. Aku yang berdebat karena dibilang boros dan langsung membandingkan uang sakuku dengan temanku.
Tak terhitung rasanya pembenaran demi pembenaran aku ucapkan dengan lantang dihadapan mama. Aku selalu merasa bahwa akulah yang paling menderita di dalam circle pergaulanku. Dalam circle keluargaku.
Itu terjadi begitu saja. Perasaan insecure.
Ketika kakakku lulus kedokteran. Ketika adikku terlihat kepintarannya. Sementara aku si anak tengah? Aku terlihat biasa saja. Tidak memiliki kelebihan.
Ketika itu.. Setiap kali aku ingin mengembangkan diri dengan caraku.. Mama selalu mengatakan ‘jangan’ dan ‘jangan’ yang lain. Mama seakan menjadi pagar dalam kehidupanku. Membuat duniaku yang seharusnya bulat menjadi kotak.
Saat itu.. Sungguh.. Aku tidak tahu perasaan mama..
Aku hanya berteriak dan membangkang…
‘Kebebasan!’ teriakku..
Antara Mama dan Anak Perempuan
Perasaan paling menyenangkan yang aku rasakan hingga sekarang salah satunya adalah ketika mama bercerita.. Bahwa ia sangat menginginkan anak perempuan.
Ya, katanya.. Saat ia hamil anak kedua ia menginginkanku. Sang anak perempuan. Bukan hanya itu.. Ayah dan kakakku juga.
Mereka menantikan kehadiranku!
Katanya, aku sangat lama keluar. Hampir 11 bulan. Aku yang seharusnya lahir bulan Juli malah lahir di bulan September. Mama mengeluarkanku kedunia ini penuh dengan perjuangan. Mama harus diinduksi. Konon itu rasanya sakittt sekali. Aku? Sampai sekarang aku yakin tak ada rasa sakit yang aku lalui dan bisa menyamai rasa sakit itu.
Saat itu, kondisi ekonomi keluarga kami sangat pas-pasan. Mama dan Abah berjuang mulai nol. Aku masih ingat ketika kami memiliki rumah yang baru dulu. Kami bahkan tidak punya toilet. Jangan tanyakan bagaimana. Itu hal yang tidak nyaman diceritakan.
Aku berlarian kesana kemari dengan memakai baju lungsuran kakakku yang laki-laki. Tidak ada perasaan kecewa saat itu. Yang aku rasakan hanya cinta dan penuh Terima kasih.
Aku masih ingat, baju perempuan pertama yang paling berkesan. Baju Sailor Moon yang mama belikan sebagai oleh-oleh saat pergi penataran dulu.
Aku masih ingat, boneka susan pertama di desaku dulu. Akulah yang pertama kali memilikinya. Saat itu.. Aku begitu merasa disayangi.
Entah apa yang membuatku berkata kalimat pembandingan itu. Entah setan apa yang menggodaku untuk merasakan perasaan kurang dan kurang. Hingga aku sakiti perasaan mama… Yang saat itu sedang jatuh bangun menyejahterakan ekonomi keluargaku.
Aku menyakiti mama sejak sekecil itu. Dengan kalimatku yang polos.. Dengan wajahku yang lugu.
Tidak cukup sampai disitu, Aku pernah bertengkar paling mengerikan dengan mama saat hamil anak pertama dahulu. Aku yang merasa down saat fase ekonomi sedang tidak stabil. Aku yang berkata pada mama, “Memangnya siapa yang menyuruhku untuk menikah semuda ini? Siapa yang menyuruhku menunda cita-citaku? Kenapa Mama begitu egois. Aku sudah menuruti semua permintaan Mama…”
“Ma.. Aku sudah berusaha menjadi Winda versi terbaik bagi Mama..”
Aku mengeluarkan semua emosiku. Tapi, aku terlambat untuk Reframing. Aku tidak tau.. Bahwa segala keputusan mama memang selalu dilandasi oleh Kasih Sayang.
Hei, ternyata begini rasanya menjadi Seorang Mama.. Mama dari Anak Perempuan..
Kini, aku mengerti segala keputusanmu Ma. Setelah melahirkan Farisha. Membesarkannya dan menyelami segala kelakuannya. Kini aku mengerti bagaimana perasaan seorang Ibu.
Bahwa seorang Ibu hanya ingin yang terbaik untuk anaknya.
Untuk segala pikiran kerasmu dalam mendidikku..
Untuk semua pagar demi pagar yang engkau berikan..
Aku mengerti..
Untukmu yang menghalangi mimpiku dahulu..
Aku memaafkanmu atas segala perlindungan kerasmu untukku..
Aku kini mengerti, kau lakukan itu semua karena aku adalah si Anak Spesial. Satu-satunya perempuan yang harus dilindungi.
Segala perlakuanmu padaku.. Aku sudah mengerti segala manfaatnya.
Lihatlah anakmu yang memiliki dua anak perempuan. Masih sekecil ini saja sudah berapa aturan yang aku terapkan untuk melindunginya. Ternyata, memiliki anak perempuan tidak semudah yang dibayangkan.
Perempuan cenderung berbicara dengan perasaan. Terkadang emosinya turut ikut andil. Jika kita sangat sering bertengkar karena itu.. Maka kini aku mengerti kenapa anakku sering menangis saat aku nasehati. Ya, dia masih kecil saja begini. Bagaimana jika sudah besar nanti? Konflik macam apa yang akan terjadi? Pagar macam apa yang harus aku berikan? Dan bisakah aku sesukses mama dalam mendidiknya nanti?
Ah, entahlah.
Mama, kini aku bisa memahamimu.
Izinkan aku berterima kasih, meminta tolong dan meminta maaf padamu.
Ya, kau kan yang mengajariku 3 kata ajaib itu?
Terima kasih Mama
Aku memang hidup dalam lingkungan yang patriarki sekarang. Namun aku bersyukur memiliki seorang mama feminis yang selalu menjunjung tinggi tugas domestik di rumah. Atas segala pembelajaran berharga mu untukku.. Sungguh aku merasakan sekali manfaatnya sekarang.
Lihatlah, karenamu aku bisa melakukan segalanya di rumah. Aku tidak terkejut dengan tugas domestik di rumah. Aku sudah terbiasa. Karenamu aku bisa memasak, melipat baju dengan rapi dan merawat anak-anakku dengan baik.
Please.. Mom..
Tolong ma..
Tolong percayalah sepenuhnya pada langkah hidupku. Hanya doamu yang aku harapkan. Dan aku ingin kau bangga padaku. Walau aku satu-satunya yang bukan seorang dokter dari semua anak-anakmu.
Menjadi Ibu rumah tangga itu tidak berat ma. Lelah hanya begitu-begitu saja. Yang paling membuatku lelah adalah tidak ada apresiasi. Tidak ada kata-kata Terima Kasih atas usaha yang aku berikan di rumah. Tolong berilah aku perasaan bangga itu. Aku sungguh sangat membutuhkannya.
Tolong lindungi aku dari orang-orang yang memandang rendah diriku. Orang-orang yang berkata bahwa aku tidak bisa apa-apa. Mereka yang sering berkata Susah-susah dikuliahkan tapi malah tidak bekerja, apa yang dikerjakan di rumah? Dan pertanyaan memojokkan lainnya. Aku tau kau sudah menerimaku dan please.. Banggakan aku di mata orang-orang tersebut.
Maaf Ma..
Maaf karena aku hanya bisa menjadi Ibu Rumah Tangga. Jauh dari cita-cita mandiri secara finansial yang engkau harapkan.
Maaf karena tidak bisa menemanimu di rumah. Maaf karena aku harus menjauh mengikuti suamiku.
Terakhir.. Maaf karena aku terlambat reframing perasaanmu. Sungguh, aku menyesali pertengkaran demi pertengkaran dahulu. Andai saja aku bisa berkomunikasi dengan lebih baik dahulu. Mungkin aku bisa membuatmu mengerti tentangku. Andai saja emosiku tidak menggebu-gebu.. Mungkin aku bisa menjadi Winda yang lebih baik.
Ah, menyesal memang selalu terlambat bukan? Tapi semoga tidak ada kata terlambat untuk menyayangimu lagi.
Dariku, sang anak yang sudah berubah menjadi Ibu.
NB: Tulisan ini diikutsertakan dalam FBB Collaboration dengan tema Hari Ibu