Self Talk: “Sudahkah Diriku Puas Untuk Dibanggakan?”
Apa goals penting dalam hidupmu 10 tahun yang lalu? 15 tahun yang lalu?
Kalau aku boleh ‘sedikit curhat’ tujuan hidupku saat itu sangat simple.
Menjadi Anak Kebanggaan orang tuaku. Kalau perlu, mengalahkan saudaraku. Kalau perlu lagi, mengalahkan semua teman yang pernah membullyku.
10 dan 15 tahun yang lalu tujuan hidupku adalah tentang bagaimana caranya agar aku menjadi manusia yang patut dibanggakan.
Dan hari ini, aku cukup sering menatap diriku sendiri di kaca sambil bertanya, “Apakah tujuan hidupku yang dulu sudah terealisasi?”
Menjadi Seorang Anak yang Bisa Dibanggakan
Jujur, tulisan ini terinspirasi dari drakor on going yang sedang aku tonton. The Good Bad Mother judulnya. Kurasa aku selalu tertarik menonton drama yang memiliki unsur baper di dalamnya. Terlebih jika itu berkaitan dengan inspirasi kehidupan, apalagi jika itu berkaitan dengan hubungan ibu dan anak. Duh, rasanya hati ini ikut merasakan sakit, senang dan sedih.
Hingga episode ke-10, aku sangat merasakan bagaimana rasanya berada diposisi Kang Ho, dan bagaimana rasanya berada diposisi Sang Ibu.
Awalnya, sebagai anak tujuan hidupku simple. Membahagiakan orang tua.
Disisi lain, sebagai orang tua atas berbagai alasan di dalamnya kadang memiliki tujuan yang lumayan melenceng. Entah itu menuntut anak untuk bisa berstrata sosial di atas, mengupayakan apa yang tak bisa dicapai orang tua dahulu. Sisi ‘bad’ sebagai orang tua adalah membuat anak menjadi senjata dalam hidupnya. Dan anak biasanya akan selalu mencoba goals orang tua tersebut tercapai.
Sepertiku dan Kang Ho dalam drama The Good Bad Mother. Kang Ho yang akhirnya terobsesi untuk ‘berhasil menjadi jaksa’, padahal passionnya sebenarnya adalah Menggambar-Melukis. Demi bisa membanggakan orang tuanya. Dan membantu orang tuanya untuk mengungkap keadilan. Sebenarnya, disisi ini aku merasakan kemiripan hidupku dengan Kang Ho.
Entah sejak kapan hidup Mama begitu meterialis. Ada sisi gelap dalam hidupku yang membuat kepalaku terus terobsesi dengan uang. Pertengkaran tentang uang, tangisan tentang uang, menghemat uang, hingga membicarakan profesi yang menghasilkan banyak uang dan meningkatkan strata sosial. Alih-alih membuat anak paham akan bakatnya.. Orang tua pada generasiku terobsesi dengan profesi keren dan uang. Itu tak hanya dialami oleh orang tuaku. Aku melihat fenomena ini dialami oleh hampir semua orang tua.
“Ingin kuliah dimana setelah lulus?” Tanyaku pada temanku
“Aku mau jadi bidan”
“Aku mau jadi perawat”
Jawaban yang terasa aneh bagiku karena mereka jurusan IPS sepertiku. Namun jawaban itu terasa keren karena profesi beken pada zamanku adalah profesi yang berkecimpung di dunia kesehatan. Entah itu Dokter maupun yang berhubungan dengan uang.
“Wah, nanti kerja di dinas dong setelah lulus” Tanyaku pada temanku yang telah lulus kuliah
“Enggak, aku mau kerja di Bank”
Tidak mengherankan jika 90% teman-temanku saat sekolah memilih profesi yang itu-itu saja. Teller Bank, atau dunia kesehatan. Nah, bagaimana denganku sendiri?
Jujur sejak SMA aku sama sekali tidak memiliki minat di jurusan IPA. Tidak memiliki passion di bidang itu (kecuali biologi). Aku jauh lebih senang mengamati fenomena sosial-ekonomi, atau merenung dan membuat cerita sendiri yang baper-baper. Kadang, aku mirip seperti Kang Ho. Suka menggambar untuk menghabiskan waktu. Mungkin, jika profesi jaksa saat itu sudah ‘beken’ aku akan melirik ke profesi itu. Atau andai saja profesi ilustrator atau animator sedang beken.. Mungkin aku akan memilih itu. Zaman dulu, aku tidak terlalu terbuka dalam mindset memilih profesi. Aku hanya memikirkan 1 goal penting dalam hidupku. Bagaimana caranya agar hidupku selalu bersinggungan dengan uang? Dan tak pernah kehabisan uang? Dan membantu orang dengan uang?
Karena otakku rasanya ingin melonjak setiap kali mendengar celotehan tentang uang. Thats why, aku memilih jurusan akuntansi ketika kuliah. Sesimple itu. Alih-alih memikirkan passion, aku lebih nyaman dengan diriku sendiri saat orang tua membanggakanku bahwa aku kuliah di akuntansi dan suatu saat akan bekerja di bank atau perusahaan bonafit atau profesi lain yang bersinggungan dengan uang.
Tetap Berusaha Menjadi Anak yang Membanggakan
Keadaan seketika berubah kala aku dekat dengan asisten dosen di kampusku. Niatku dekat dengannya, jujur saja karena dia orang yang cukup unik dalam berbicara tentang impian. Karena itu aku berani berpacaran dengan orang unik plus mindset out of the box demikian. Aku ingin terus mengasah mimpi yang benar. Aku perlu tau apa mimpuku. Bukan sekedar tentang profesi untuk harga diri yang membanggakan.
Tapi, yang namanya hubungan selalu punya tujuan. Kalau tidak, hubungan itu akan melayang tidak jelas. Begitulah perkataan mama. Hubungan kami menjadi serius kala keluarga mengetahui satu sama lain. Mereka sepakat menikahkanku sebelum pacarku kuliah S2. Mama menceritakanku sekian banyak cerita horor tentang nasib anak gadis yang tak kunjung menikah saat menolak lamaran. Menceritakan itu berulang-ulang layaknya kaset rusak. Membuatku menuruti kata-kata mama. Menikah saat kuliah semester akhir. Aku bahkan baru saja ingin menyusun skripsi. Tapi, aku kekeuh ingin tetap menjadi anak yang baik. Anak yang bisa membanggakan. Jika saat itu menikah bisa membanggakan alih-alih bekerja dengan profesi keren.. Kenapa tidak?
Menikah-langsung hamil (tak terencana)-punya anak-jadi IRT.
Awalnya rasa bangga itu masih aku rasakan kala hamil dan punya anak. Semakin anakku besar, rasa bangga itu berangsur menghilang. Mama, mama mertua, semuanya. Mulai memudar. Aku tak lagi tahu jalan mana yang perlu aku tempuh untuk memperoleh rasa bangga lagi. Memasak, berusaha berjualan kue, fokus mendidik anak. Aku sadari segala material yang dulu ingin kukejar hilang seiring aku menjadi ibu.
Alih-alih membanggakan orang tua, mertua atau suami.. Aku bahkan sering melihat diriku sendiri di kaca dengan rasa minder. Seorang Ibu yang bahkan tak mandiri finansial. Ibu yang bahkan terus terpaksa meminta uang saat mau tak mau jatah bulanan habis. Apa itu pencapaian, harga diri, kebanggaan.. Semua hilang.
Saat itulah aku sadar. Bahwa menjadi anak yang membanggakan.. Menjadi istri yang berusaha sempurna.. Menantu yang ingin selalu terlihat sama dengan mama mertuanya.. Membuat aku kehilangan apa yang berharga bagiku.
Diriku yang bahkan tak pernah mendapatkan haknya untuk keluar dan berdaya dengan benar
Menjadi Istri yang Benar = Menemukan Diri Sendiri Lewat Relasi
Memiliki anak pertama tanpa terencana, LDR, hingga kesibukan masing-masing membuat hubunganku dengan suami tak berjalan lancar. Terlebih 5 tahun pertama. Alih-alih berkomunikasi, aku lebih memilih berusaha menjadi sempurna untuk melayani. Alih-alih menanyakan kelayakan nafkah, suamiku lebih fokus membangun bisnisnya dibanding sering mengevaluasi kenapa istrinya sering menangis tak jelas. Kami adalah pasangan yang buruk dan sulit sekali belajar. Bahkan berlangsung hingga anak ke 2. Pasang surut empati dibangun atas dasar material semata. Tanpa memahami hal yang lebih jauh dibanding itu.
Aku bersyukur atas konflik yang muncul setahun yang lalu. Ledakan konflik yang membuatku marah luar biasa. Aku sempat menulis konflik itu di blog ini bahkan. Dan tentu sudah kuhapus sekarang. Konflik itu membuat suami mulai memahamiku. Meski hubunganku dengan yang lain menjadi tak baik, tapi aku bersyukur karena dari konflik itulah keluarga kami akhirnya bertumbuh dengan cara yang benar. Dulu, aku adalah pelayan di rumah ini. Di kantor yang dibangun oleh kerja keras keluarga kami. Aku menjaga kedua anakku, membuatkan cemilan untuk pegawai, membersihkan rumah, bahkan mengurus administrasi kantor. Tanpa gajih. Tulus ikhlas. Orang melihatku sebagai istri dan ibu yang sempurna. Namun di dalam aku bukanlah menjadi istri yang baik. Tapi sejak konflik itu.. Sejak kemarahan itu.. Aku berhasil menentukan prioritas yang baik: menjadi istri yang baik.
Alih-alih sempurna dalam hal melayani layaknya pembantu. Aku lebih memilih menghargai diriku sendiri lagi. Memahami lebih dalam psikologis laki-laki. Rutin workout, membeli lingerie, belajar teknik komunikasi, kembali menjadi teman komunikasi terbaik saat pacaran. Alih-alih selalu bertanya tentang mau makan apa atau ini itu. Topik komunikasi kami mulai seru. Tentang bagaimana membangun branding perusahaan kami, mengembangkan inovasi. Alih-alih bertengkar soal hemat dan irit uang belanja, kami lebih fokus untuk mengembangkan dana yang ada untuk hal produktif. Merekrut pekerja lagi, membangun project baru, menginvestasikan dana dengan aman.
Hubungan yang baik dengan suami, membuatku kembali menemukan diriku sendiri.
Dalam setahun ini, banyak hal yang aku pelajari. Mulai dari investasi, digital marketing, design, copywriting, apply project pemerintah, belajar administrasi, pajak, belajar berkomunikasi. Perlahan aku mulai menemukan diri dalam hal yang tak bisa dijelaskan dengan sebutan profesi.
Diluar, orang mengenalku sebagai IRT biasa. Di dunia maya, orang mengenalku sebagai pembuat konten drakor. Di kantor, aku dikenal sebagai Direktur. Di dunia lain di malam hari, aku dikenal anakku sebagai guru yang galak.
Sehingga jika ditanyakan kembali, “Sudah puaskah diriku untuk dibanggakan?”
Aku mulai tak peduli tentang apa profesiku di mata orang lain. Apalagi yang tak kenal dengan diriku. Mereka boleh saja berkata aku IRT pemalas, tidak bisa membuat pepes ikan atau penulis pembuka aib keluarga.
Disisi lain aku juga sebenarnya kurang suka dengan orang tua yang membanggakanku berlebihan. Aku sedikit tak nyaman saat dipamerkan bahwa posisiku adalah direktur perusahaan sekarang. Bagiku, its too much. Aku tidak setinggi itu. Tapi jika itu membuat orang tuaku bahagia, aku tetap bisa nyengir bahagia. Merekalah yang terus berdoa untukku setiap hari. Mungkin mereka dulu sangat materialis dalam memandang profesi. Tapi aku bangga memiliki orang tua demikian. Merekalah yang membuatku ada di posisi sekarang.
Semakin lama, aku merasa ‘cringe’ jika ada yang membanggakan apa profesiku. Tapi jujur, saat ada yang bercerita mendalam tentang bagaimana aku berjuang di dalamnya.. Itu membuatku tersentuh. Aku yang sekarang tak peduli tentang kebanggaan di mata orang lain. Yang aku tau, hidupku hanya sekali. Aku ingin membuatnya lebih berarti.
Terima kasih untuk anakku yang lahir disaat aku tak siap.
Terima kasih untuk orang tua yang selalu mendoakanku, menyuruhku untuk menikah dini.
Terima kasih untuk konflik dalam hidupku, tanpa itu aku mungkin tak akan meledak dan bertumbuh
Terima kasih untuk suami yang akhirnya mau mendengarkanku dan menjadi support terbaik.
Terima kasih diriku, untuk puas pada dirimu sendiri. Terlepas bisa dibanggakan atau tidak.. Kamu tetaplah kamu. Sedari awal, kamu tau apa yang terbaik dalam hidupmu.