Browsed by
Category: Self Improvement

Self Talk: “Sudahkah Diriku Puas Untuk Dibanggakan?”

Self Talk: “Sudahkah Diriku Puas Untuk Dibanggakan?”

Apa goals penting dalam hidupmu 10 tahun yang lalu? 15 tahun yang lalu?

Kalau aku boleh ‘sedikit curhat’ tujuan hidupku saat itu sangat simple. 

Menjadi Anak Kebanggaan orang tuaku. Kalau perlu, mengalahkan saudaraku. Kalau perlu lagi, mengalahkan semua teman yang pernah membullyku. 

10 dan 15 tahun yang lalu tujuan hidupku adalah tentang bagaimana caranya agar aku menjadi manusia yang patut dibanggakan.

Dan hari ini, aku cukup sering menatap diriku sendiri di kaca sambil bertanya, “Apakah tujuan hidupku yang dulu sudah terealisasi?”

Menjadi Seorang Anak yang Bisa Dibanggakan

Jujur, tulisan ini terinspirasi dari drakor on going yang sedang aku tonton. The Good Bad Mother judulnya. Kurasa aku selalu tertarik menonton drama yang memiliki unsur baper di dalamnya. Terlebih jika itu berkaitan dengan inspirasi kehidupan, apalagi jika itu berkaitan dengan hubungan ibu dan anak. Duh, rasanya hati ini ikut merasakan sakit, senang dan sedih. 

https://www.instagram.com/p/CsIYWe4JpTW/?utm_source=ig_web_copy_link&igshid=MzRlODBiNWFlZA==

Hingga episode ke-10, aku sangat merasakan bagaimana rasanya berada diposisi Kang Ho, dan bagaimana rasanya berada diposisi Sang Ibu. 

Awalnya, sebagai anak tujuan hidupku simple. Membahagiakan orang tua.

Disisi lain, sebagai orang tua atas berbagai alasan di dalamnya kadang memiliki tujuan yang lumayan melenceng. Entah itu menuntut anak untuk bisa berstrata sosial di atas, mengupayakan apa yang tak bisa dicapai orang tua dahulu. Sisi ‘bad’ sebagai orang tua adalah membuat anak menjadi senjata dalam hidupnya. Dan anak biasanya akan selalu mencoba goals orang tua tersebut tercapai.

Sepertiku dan Kang Ho dalam drama The Good Bad Mother. Kang Ho yang akhirnya terobsesi untuk ‘berhasil menjadi jaksa’, padahal passionnya sebenarnya adalah Menggambar-Melukis. Demi bisa membanggakan orang tuanya. Dan membantu orang tuanya untuk mengungkap keadilan. Sebenarnya, disisi ini aku merasakan kemiripan hidupku dengan Kang Ho.

Entah sejak kapan hidup Mama begitu meterialis. Ada sisi gelap dalam hidupku yang membuat kepalaku terus terobsesi dengan uang. Pertengkaran tentang uang, tangisan tentang uang, menghemat uang, hingga membicarakan profesi yang menghasilkan banyak uang dan meningkatkan strata sosial. Alih-alih membuat anak paham akan bakatnya.. Orang tua pada generasiku terobsesi dengan profesi keren dan uang. Itu tak hanya dialami oleh orang tuaku. Aku melihat fenomena ini dialami oleh hampir semua orang tua.

“Ingin kuliah dimana setelah lulus?” Tanyaku pada temanku

“Aku mau jadi bidan”

“Aku mau jadi perawat”

Jawaban yang terasa aneh bagiku karena mereka jurusan IPS sepertiku. Namun jawaban itu terasa keren karena profesi beken pada zamanku adalah profesi yang berkecimpung di dunia kesehatan. Entah itu Dokter maupun yang berhubungan dengan uang.

“Wah, nanti kerja di dinas dong setelah lulus” Tanyaku pada temanku yang telah lulus kuliah

“Enggak, aku mau kerja di Bank”

Tidak mengherankan jika 90% teman-temanku saat sekolah memilih profesi yang itu-itu saja. Teller Bank, atau dunia kesehatan. Nah, bagaimana denganku sendiri?

Jujur sejak SMA aku sama sekali tidak memiliki minat di jurusan IPA. Tidak memiliki passion di bidang itu (kecuali biologi). Aku jauh lebih senang mengamati fenomena sosial-ekonomi, atau merenung dan membuat cerita sendiri yang baper-baper. Kadang, aku mirip seperti Kang Ho. Suka menggambar untuk menghabiskan waktu. Mungkin, jika profesi jaksa saat itu sudah ‘beken’ aku akan melirik ke profesi itu. Atau andai saja profesi ilustrator atau animator sedang beken.. Mungkin aku akan memilih itu. Zaman dulu, aku tidak terlalu terbuka dalam mindset memilih profesi. Aku hanya memikirkan 1 goal penting dalam hidupku. Bagaimana caranya agar hidupku selalu bersinggungan dengan uang? Dan tak pernah kehabisan uang? Dan membantu orang dengan uang?

Karena otakku rasanya ingin melonjak setiap kali mendengar celotehan tentang uang. Thats why, aku memilih jurusan akuntansi ketika kuliah. Sesimple itu. Alih-alih memikirkan passion, aku lebih nyaman dengan diriku sendiri saat orang tua membanggakanku bahwa aku kuliah di akuntansi dan suatu saat akan bekerja di bank atau perusahaan bonafit atau profesi lain yang bersinggungan dengan uang.

Tetap Berusaha Menjadi Anak yang Membanggakan

Keadaan seketika berubah kala aku dekat dengan asisten dosen di kampusku. Niatku dekat dengannya, jujur saja karena dia orang yang cukup unik dalam berbicara tentang impian. Karena itu aku berani berpacaran dengan orang unik plus mindset out of the box demikian. Aku ingin terus mengasah mimpi yang benar. Aku perlu tau apa mimpuku. Bukan sekedar tentang profesi untuk harga diri yang membanggakan.

Tapi, yang namanya hubungan selalu punya tujuan. Kalau tidak, hubungan itu akan melayang tidak jelas. Begitulah perkataan mama. Hubungan kami menjadi serius kala keluarga mengetahui satu sama lain. Mereka sepakat menikahkanku sebelum pacarku kuliah S2. Mama menceritakanku sekian banyak cerita horor tentang nasib anak gadis yang tak kunjung menikah saat menolak lamaran. Menceritakan itu berulang-ulang layaknya kaset rusak. Membuatku menuruti kata-kata mama. Menikah saat kuliah semester akhir. Aku bahkan baru saja ingin menyusun skripsi. Tapi, aku kekeuh ingin tetap menjadi anak yang baik. Anak yang bisa membanggakan. Jika saat itu menikah bisa membanggakan alih-alih bekerja dengan profesi keren.. Kenapa tidak?

Menikah-langsung hamil (tak terencana)-punya anak-jadi IRT. 

Awalnya rasa bangga itu masih aku rasakan kala hamil dan punya anak. Semakin anakku besar, rasa bangga itu berangsur menghilang. Mama, mama mertua, semuanya. Mulai memudar. Aku tak lagi tahu jalan mana yang perlu aku tempuh untuk memperoleh rasa bangga lagi. Memasak, berusaha berjualan kue, fokus mendidik anak. Aku sadari segala material yang dulu ingin kukejar hilang seiring aku menjadi ibu.

Alih-alih membanggakan orang tua, mertua atau suami.. Aku bahkan sering melihat diriku sendiri di kaca dengan rasa minder. Seorang Ibu yang bahkan tak mandiri finansial. Ibu yang bahkan terus terpaksa meminta uang saat mau tak mau jatah bulanan habis. Apa itu pencapaian, harga diri, kebanggaan.. Semua hilang.

Saat itulah aku sadar. Bahwa menjadi anak yang membanggakan.. Menjadi istri yang berusaha sempurna.. Menantu yang ingin selalu terlihat sama dengan mama mertuanya.. Membuat aku kehilangan apa yang berharga bagiku.

Diriku yang bahkan tak pernah mendapatkan haknya untuk keluar dan berdaya dengan benar

Menjadi Istri yang Benar = Menemukan Diri Sendiri Lewat Relasi

Memiliki anak pertama tanpa terencana, LDR, hingga kesibukan masing-masing membuat hubunganku dengan suami tak berjalan lancar. Terlebih 5 tahun pertama. Alih-alih berkomunikasi, aku lebih memilih berusaha menjadi sempurna untuk melayani. Alih-alih menanyakan kelayakan nafkah, suamiku lebih fokus membangun bisnisnya dibanding sering mengevaluasi kenapa istrinya sering menangis tak jelas. Kami adalah pasangan yang buruk dan sulit sekali belajar. Bahkan berlangsung hingga anak ke 2. Pasang surut empati dibangun atas dasar material semata. Tanpa memahami hal yang lebih jauh dibanding itu.

Aku bersyukur atas konflik yang muncul setahun yang lalu. Ledakan konflik yang membuatku marah luar biasa. Aku sempat menulis konflik itu di blog ini bahkan. Dan tentu sudah kuhapus sekarang. Konflik itu membuat suami mulai memahamiku. Meski hubunganku dengan yang lain menjadi tak baik, tapi aku bersyukur karena dari konflik itulah keluarga kami akhirnya bertumbuh dengan cara yang benar. Dulu, aku adalah pelayan di rumah ini. Di kantor yang dibangun oleh kerja keras keluarga kami. Aku menjaga kedua anakku, membuatkan cemilan untuk pegawai, membersihkan rumah, bahkan mengurus administrasi kantor. Tanpa gajih. Tulus ikhlas. Orang melihatku sebagai istri dan ibu yang sempurna. Namun di dalam aku bukanlah menjadi istri yang baik. Tapi sejak konflik itu.. Sejak kemarahan itu.. Aku berhasil menentukan prioritas yang baik: menjadi istri yang baik.

Alih-alih sempurna dalam hal melayani layaknya pembantu. Aku lebih memilih menghargai diriku sendiri lagi. Memahami lebih dalam psikologis laki-laki. Rutin workout, membeli lingerie, belajar teknik komunikasi, kembali menjadi teman komunikasi terbaik saat pacaran. Alih-alih selalu bertanya tentang mau makan apa atau ini itu. Topik komunikasi kami mulai seru. Tentang bagaimana membangun branding perusahaan kami, mengembangkan inovasi. Alih-alih bertengkar soal hemat dan irit uang belanja, kami lebih fokus untuk mengembangkan dana yang ada untuk hal produktif. Merekrut pekerja lagi, membangun project baru, menginvestasikan dana dengan aman. 

Hubungan yang baik dengan suami, membuatku kembali menemukan diriku sendiri.

Dalam setahun ini, banyak hal yang aku pelajari. Mulai dari investasi, digital marketing, design, copywriting, apply project pemerintah, belajar administrasi, pajak, belajar berkomunikasi. Perlahan aku mulai menemukan diri dalam hal yang tak bisa dijelaskan dengan sebutan profesi.

Diluar, orang mengenalku sebagai IRT biasa. Di dunia maya, orang mengenalku sebagai pembuat konten drakor. Di kantor, aku dikenal sebagai Direktur. Di dunia lain di malam hari, aku dikenal anakku sebagai guru yang galak. 

Sehingga jika ditanyakan kembali, “Sudah puaskah diriku untuk dibanggakan?”

Aku mulai tak peduli tentang apa profesiku di mata orang lain. Apalagi yang tak kenal dengan diriku. Mereka boleh saja berkata aku IRT pemalas, tidak bisa membuat pepes ikan atau penulis pembuka aib keluarga. 

Disisi lain aku juga sebenarnya kurang suka dengan orang tua yang membanggakanku berlebihan. Aku sedikit tak nyaman saat dipamerkan bahwa posisiku adalah direktur perusahaan sekarang. Bagiku, its too much. Aku tidak setinggi itu. Tapi jika itu membuat orang tuaku bahagia, aku tetap bisa nyengir bahagia. Merekalah yang terus berdoa untukku setiap hari. Mungkin mereka dulu sangat materialis dalam memandang profesi. Tapi aku bangga memiliki orang tua demikian. Merekalah yang membuatku ada di posisi sekarang.

Semakin lama, aku merasa ‘cringe’ jika ada yang membanggakan apa profesiku. Tapi jujur, saat ada yang bercerita mendalam tentang bagaimana aku berjuang di dalamnya.. Itu membuatku tersentuh. Aku yang sekarang tak peduli tentang kebanggaan di mata orang lain. Yang aku tau, hidupku hanya sekali. Aku ingin membuatnya lebih berarti.

Terima kasih untuk anakku yang lahir disaat aku tak siap.

Terima kasih untuk orang tua yang selalu mendoakanku, menyuruhku untuk menikah dini.

Terima kasih untuk konflik dalam hidupku, tanpa itu aku mungkin tak akan meledak dan bertumbuh

Terima kasih untuk suami yang akhirnya mau mendengarkanku dan menjadi support terbaik.

Terima kasih diriku, untuk puas pada dirimu sendiri. Terlepas bisa dibanggakan atau tidak.. Kamu tetaplah kamu. Sedari awal, kamu tau apa yang terbaik dalam hidupmu. 

The Glory Versi Ibu-Ibu

The Glory Versi Ibu-Ibu

Ada luka yang membekas, tak bisa sembuh namun merencanakan kesembuhannya.

Ada sakit yang menghantui malam demi malam, tak kunjung bisa terhindar. Namun tak sadar aku kutuki rasa sakit itu perlahan.

Disisi lain drama Korea the Glory.. Ada ibu yang berjuang untuk kemenangan. Dari hal-hal yang pernah menyakitinya.

Mulut-mulut nyinyir itu.

Wajah-wajah meremehkan.

Tawa lepas mentertawakan.

Ini bukanlah kisah tentang pembalasan rasa sakit. Ini adalah kisah bagaimana hati seorang ibu bisa meraih kemenangan.

Untukmu Yang Mendengar Mulut-Mulut Tajam

Sebenarnya, aku sudah lama ingin menulis tentang ini. Tulisan yang kubuat untuk mendamaikan hatiku pada mulut-mulut yang tajam. Mulut yang selama ini mengganggu aktivitasku sebagai seorang ibu. Sebagai seorang istri. Dan terakhir, sebagai diriku sendiri. Jika monster itu keluar dan kambuh. Mungkin aku bisa saja membiarkan blogpost menyeramkan itu tetap ada. Tapi, atas nama menjaga dan menjaga aku memilih menghapusnya. Aku memilih kalah. Dan memang sebagai orang bawah. Aku harus kalah bukan?

Demikian egoku berkata dengan mengalah sok elegan. Hatiku sakit dan tak nyaman. Tak nyaman hingga suatu hari aku menemukan konten sejuk dari risalah amar.

https://www.instagram.com/p/CqObYOvB9kN/?igshid=MzRlODBiNWFlZA==

Dari cerita ini aku menyadari bahwa sindir menyindir dan menjelek-jelekkan orang bahkan bisa dilakukan oleh istri Rasulullah. Yang sebenarnya.. sungguh mereka pun adalah orang baik. Hanya saja, kebencian.. iri, dengki.. sering melintas pada hati manusia pada situasi dan kondisi yang berbeda.

Maka, kenapa aku tak mencoba seperti Shafiyyah?

Kenapa aku malah berusaha menjelaskan dan marah pada satu orang, berharap orang tersebut memahamiku dan bisa menjadi penengah konflikku?

Sungguh, andai bisa mengulang waktu. Aku akan mengurung rasa-rasa marah itu dan membuangnya jauh. Tapi apa daya. Ternyata aku manusia biasa yang belum cukup bisa untuk mindfullness.

The Glory Versi Aku

Konten dari Risalah Amar tersebut sebenarnya sudah lama. Aku hanya menekan love dan menyimpannya untuk kubaca kala hatiku sedang sedih lagi. Perlahan, sejak bulan puasa kemarin aku mulai mengurangi keaktifan di sosial media. Lari pada hal lain.

Belajar menang tanpa perlu curhat. Belajar waras tanpa perlu curhat. Itulah misi hidupku sejak ramadhan kemarin. Dan ini juga sudah aku jadikan microblog beberapa hari yang lalu.

https://www.instagram.com/p/CsawXZ_JLT3/?utm_source=ig_web_copy_link&igshid=MzRlODBiNWFlZA==

Untuk belajar seperti Shafiyyah, yang perlu aku perbaiki adalah hatiku sendiri. Hatiku yang selalu sedih mengingat perkataan yang tak enak. Hatiku yang saat marah bisa tak terkontrol. Hatiku yang rasanya ingin bicara mencari pendukung tapi tak tau harus mengeluarkannya kemana.

Entah kenapa, sejak menonton berbagai drama Korea sedikit demi sedikit.. aku ingin sekali mengambil pembelajaran dari itu. Menulisnya tanpa perlu membeberkan kisah hidupku. Melakukan hal itu, membuatku bisa curhat dalam media berbeda.

Sejak itu pula aku nyaman melakukan workout, perlahan saat malam datang dan anak sedang tidur aku mulai belajar meditasi. Streching tubuhku sebelum tidur dengan yoga. Itu membuatku nyaman dan tidur lebih nyenyak. Perlahan kata-kata tak mengenakkan itu pun teralihkan. 

Menjadi Shafiyyah mungkin terasa mustahil. Tapi nyatanya, saat bertekad melakukan hal baik secara konsisten.. Kemenangan itu datang.

Bukan menang seperti Drakor the Glory. Tapi aku menang dalam hal menenangkan diri sendiri. Bagiku sebagai ibu, itu adalah sebuah kemajuan yang besar 

Output dari Kemenangan

Sejauh ini, aku belum merasa bahwa sakit hati memerlukan balasan. 

Aku merasa bahwa hati yang sakit perlu diobati. Itu saja. Dan urusan hati adalah urusanku dengan diri sendiri. Memaafkan adalah tentang kebaikan diri sendiri. Kurasa itu benar adanya.

Aku tak tau apakah ini memaafkan atau tidak. Tapi aku sudah tak merasa bersalah lagi kala setiap hari aku bolos tak menyiapkan cemilan kantor. Aku tak merasa bersalah kala hanya memasak sesuka hatiku saja. Tak merasa perlu pengakuan versi mereka. Aku merasa nyaman menjadi Ibu versi diriku sendiri. 

Anakku berkata masakanku enak. Suamiku pun demikian. Untuk apa aku perlu pengakuan dari yang lain lagi?

Badanku nyaman dengan workout. Skinny fat ku berkurang. Untuk apa aku tampil sempurna lagi. Aku tak perlu pengakuan dari luar. Membeli alat olah raga dan lingerie cantik sudah cukup membuatku berharga.

Anakku butuh ibu bahagia. Yang bisa mencintai mereka dan mengajarkan mereka tentang kehidupan. Bukan ibu sempurna yang sebentar-sebentar menangis minta pengakuan. 

Maka ketika aku bisa bahagia dengan caraku tanpa memikirkan harus bisa seperti standar mereka..  bukankah aku sudah menang?

Menang melawan diriku yang lain. Alhamdulillah. Ternyata benar, bahwa musuh terberat itu adalah diriku sendiri. Diriku yang berusaha menjadi orang lain. Diriku yang selalu memikirkan ucapan orang lain.

Hai diriku. Bertumbuh dan berharga lah dari sekarang.

Tentang Hubungan Mana yang Perlu diperbaiki

Tentang Hubungan Mana yang Perlu diperbaiki

Ada konten yang selalu terngiang-ngiang dipikiranku sejak bulan ramadhan kemarin. Kalian tau konten tentang apa?

FYI, Aku suka sekali memfollow akun instagram dari para psikolog. Sejauh ini, ada 3 psilokog dan psikiater yang senang aku ikuti. Antara lain adalah wantja, jiemi adrian dan verauli. Ketiganya punya value unik masing-masing. Wantja menjelaskan struktur fenomena psikologis dengan ilustrasi uniknya, Jiemi yang  lebih realistis dan bagus dalam berkomunikasi. Serta Verauli yang lebih membahas tentang cara membina hubungan yang baik antar keluarga. 

Adalah konten dari Dr Jiemi Adrian yang banyak sekali aku renungkan 2 minggu bekalangan ini. Sudahkah kalian menonton reels dari beliau?

https://www.instagram.com/p/CrQFRB5JrEf/

Hablum-Minannas

Jika kalian sudah menonton reels dari Jiemi Adrian yang aku selipkan di postingan ini, kalian pasti ‘manggut-manggut’ dan mungkin kalian sependapat dengan reels tersebut. Tentang sumber kebahagiaan yang berasal dari ‘hubungan yang baik’. Hubungan yang baik antar manusia.

Sebagai orang islam, kita mengenal hal ini dengan istilah Hablum-Minannas. 

Manusia tercipta sebagai makhluk sosial yang membutuhkan orang lain untuk bertahan hidup. Bukan cuma tentang perkara kebutuhan biologis. Namun juga perkara kebutuhan psikologis. Penelitian yang memakan waktu berpuluh tahun pun menunjukkan bahwa sumber kebahagiaan manusia ternyata ada pada ‘hubungan yang baik’. Hubungan yang baik antar sesama.

Aku sering bertanya-tanya. Tentang ‘hubungan yang baik’. Seberapa efektif hal itu? I mean, Apakah semakin banyak kita memiliki hubungan baik dengan manusia..maka semakin banyak pula kita memiliki kebahagiaan?

Apakah jika kita memiliki hubungan yang baik dalam jumlah sedikit.. Maka kebahagiaan kita tak sebanyak dari mereka yang memiliki banyak hubungan baik?

Atau dalam era sosial media sekarang.. Apakah mereka yang memiliki banyak followers dan persentasi engangement yang tinggi akan memiliki kebahagiaan lebih tinggi dibanding mereka yang memiliki puluhan follower saja? Yang bahkan malu-malu berinteraksi didalamnya.

Jika kebahagiaan adalah tentang kuantitas jumlah hubungan baik dengan manusia, apakah itu bisa melawan kualitas hubungan baik dengan manusia?

Pertanyaan yang berulang aku tanyakan. Dan sebenarnya konteks yang aku pikirkan bertolak belakang dengan nasehat salah seorang guru di daerahku..

“Jika melakukan kebaikan, jangan berharap balasan dari manusia. Kalau berharap pada manusia, hatimu akan sakit. Berharaplah hanya pada Allah. Dia yang paling memahami rasa dan niat dari dirimu..”

Ya, jangan berharap pada manusia. Sering kali aku paham dengan nasehat ini, namun seringkali aku juga lengah dengan insting sosialku. Saat melakukan kebaikan, kadang aku ingin dianggap ‘baik’ oleh orang lain. Aku ingin sekali ditatap dengan tatapan berharga. Tatapan kasih. Ucapan kebaikan yang tulus. Pujian. Ingin sekali. Saat mendapatkan hal itu aku merasakan keterikatan dengan manusia. Merasakan hidup yang berarti. Ada energi positif yang masuk dalam diriku. Sesaat, Aku meyakini bahwa itulah yang dimaksud dengan ‘hubungan yang baik’ oleh Dr Jiemi. 

Namun, saat aku tak mendapatkan itu semua. Rasanya ikatan itu longgar. Enggan rasanya mendekat dengan lebih jauh. Saat mendapat sindiran atau celaan. Aku lebih memilih melindungi harga diriku. Menyindir dan mencela balik dengan cara implisit. Demi melindungi ego yang masih ada. Agar masih bisa teguh berdiri. Aku mengumpulkan orang yang mendukungku dan senasib denganku agar bisa terus membelaku. Sekilas, aku bertanya-tanya.. Orang-orang yang mendukung egoku ini dan terus disampingku.. Lantas, Apakah mereka yang mendukungku juga dinamakan ‘hubungan yang baik’?

Lantas timbul pikiran mengerikan. Siapakah yang mungkin akan datang dan menangis saat aku sudah meninggal nanti? Siapakah yang merasakan kehilangan teramat dalam? Apakah mereka itu yang masuk dalam ‘hubungan yang baik’ dan membuat aku bahagia bahkan ketika sudah meninggal?

Saat menulis hal ini pikiranku membayangkan dan mataku menjadi panas. Aku sering bertanya-tanya.. Apakah ada yang merasa nyaman saat aku sudah tidak ada? Berapa banyak perbandingan jumlahnya dengan mereka yang menangis? Apakah itu sumber timbangan kebahagiaanku di alam akhir nanti?

Lantas aku diam lebih jauh. Lebih memikirkan kata-kata guru dan ceramah yang pernah aku dengarkan. “Jangan berharap pada manusia atau hatimu akan sakit”

Benar rasanya. Jika mengkhayal dan mengharapkan sifat baik dari manusia.. Hatiku malah merasakan rasa tak nyaman. Dalam beberapa periode hidupku, aku sulit sekali berkhusnuzhon pada sesama manusia. Ada trauma kecil yang pernah aku alami saat kecil dulu. Dan rasa itu sering membengkak jika sudah menemui triggernya. Aku menyadari bahwa setiap rasa dengki dari orang lain yang terus berhembus kearahku tanpa tau kebenarannya akhirnya menjadi penyakit bagi hatiku sendiri saat mengetahuinya.

Karena itulah mungkin orang-orang terdekatku selalu berkata untuk membaca surah Al-Falaq setiap kali muncul prasangka buruk. Allah Bersama kita, dalam setiap hubungan dalam sesama manusia. Aku baru-baru saja mengerti lebih dalam kenapa surah ini menjadi salah satu surah yang sakti. Karena dalam surah ini, kita menjaga hati tak baik dari orang lain. Kita juga menjaga hati sendiri. Dalam dunia luas ini, selalu ada sisi hitam dibalik itu. Maka sebenarnya hubungan antar manusia adalah tentang menjaga hati dan usaha tanpa batas untuk bisa ikhlas. Bukan tentang kuantitas hubungan, bukan pula tentang kualitas hubungan. 

Hablum-Minallah

Pertanyaan yang sering aku pertanyakan setelah menonton reels itu kembali adalah Bagaimana jika ternyata dalam hidup salah seorang manusia ia dikelilingi oleh orang yang ‘hitam’. Orang yang tidak baik. Yang kemudian manusia tersebut tetap berusaha menjadi terbaik diantara yang tak baik. Maka atas kehendak itu pula ia melukai hubungan yang baik. Untuk bisa menjadi baik. *berputar sekali bahasaku..

Keadaan demikian mungkin banyak terjadi di sekililing kita. Ingin keluar dari circle KDRT misalnya, maka seseorang harus berani melawan. Melaporkan orang yang dulu ia sayangi dan ia yakini harus bisa menjaga hubungan yang baik. Ingin keluar dari circle patriarki untuk bisa berdaya misalnya. Maka mau tak mau harus ada yang ‘merasa tersakiti’ demi keberdayaan diri. Ada saatnya komunikasi baik tak efektif. Ada saatnya kita sebagai manusia memutuskan untuk keluar dari hubungan yang baik. Demi diri sendiri, demi orang yang kita sayangi. Maka kepada siapa kita bersandar untuk terus bisa yakin? untuk diberikan ‘jalan yang lurus’?

“Jika ingin hubungan antar manusia membaik, maka perbaiki dulu hubunganmu dengan Allah” Nasehat lama dari seorang Guru yang sudah lama aku lupakan.

Yang kadang manusia sepertiku lupakan adalah terlalu fokus untuk menjadi makhluk sosial yang baik, makhluk sosial yang bisa diterima, diakui manusia yang lain.. sampai lupa bahwa sebenarnya hubunganku dengan penciptaku sendiri mulai tak kunjung diperbaiki.

Lupa untuk sholat malam dan mengadu tentang hati. Tapi masih bisa menulis panjang lebar sekian jam untuk curhat. Lupa untuk khusyuk dalam sholat. Malah memikirkan pekerjaan domestik untuk serba sempurna. Lupa bahwa setiap doa tak hanya sekedar dari lisan namun juga dari hati yang sungguh-sungguh. 

Manusia sepertiku kadang begitu egois. Ingin hubungan dengan manusia membaik. Tapi lupa bahwa setiap hati pada manusia bisa lunak dalam kehendak-Nya. Dan sebanyak apapun aku mengadu pada manusia. Tak ada yang benar-benar memahami diriku sendiri kecuali Allah. 

Tak ada yang benar-benar tau masa laluku, hatiku, apa yang sedang aku usahakan. Sebanyak apapun aku ‘mengadu’ dan mencari dukungan dari sesama manusia rasanya dahaga itu tak kunjung terpuaskan. Ramadhan kemarin, aku off sosial media dan blog. Rasanya hatiku lebih nyaman saat tak memikirkan apa penilaian manusia kepadaku. 

Karena yang tau betul tentangku hanya Allah.

Maka, mungkin menjawab judul artikel ini.. Tentang hubungan mana yang terlebih dahulu diperbaiki? Hablum-minannas atau Hablum-minallah..?

Mungkin Hablum-minallah jawabannya. Dan jika dipertanyakan kembali.. Apakah itu akan membuat manusia merasa bahagia? 

Mungkin kita perlu merenungi kembali tentang apa itu definisi bahagia. Aku pun masih sering merenung tentang variabel bahagia hingga sekarang. 🙂

5 Privileges Besar Dalam Hidup Aku

5 Privileges Besar Dalam Hidup Aku

Pernah gak kalian merasa iri dengan privilege yang dimiliki oleh orang lain?

Yang mana, hak istimewa tersebut sudah melekat padanya sejak ia dilahirkan. 

Tapi kemudian aku sering berpikir bahwa sebenarnya, setiap individu manusia itu lahir ke dunia dengan privilege besarnya masing-masing. Hanya saja, kadang kita tak menyadari hal itu.

Mengawali rasa syukur, ini adalah tulisan pertamaku di bulan ramadhan tahun ini setelah diawali dari perenungan dari malam ke malam

Penciptaan Karakter dan Kelahiran, Awal dari Privilege

Sejak dilahirkan, sebenarnya manusia sudah memiliki privilegenya masing-masing. Hal yang aku yakini bahwa sebelum dilahirkan pun sebenarnya sosok ruh kita masing-masing pun ‘special’. Mereka membawa porsi keberuntungan, rejeki, dan takdir yang special. Tugas kita sebagai manusia adalah mengemban misi dengan privilege yang kita miliki untuk semakin dekat pada-Nya. Pada Allah. Sang pencipta Privilege dasar.

Aku yakin sejak sebelum dilahirkan. Allah sudah memberi privilege rahasianya pada manusia. Selebihnya, ia menyerahkan tugas pengembangan privilege itu pada karakter utama dalam hidup kita diawal kehidupan.

Siapa?

Ibu, orang yang melahirkan kita. Ayah, orang yang mendampingi langkah hidup kita. Orang tua kita adalah karakter utama dalam kehidupan kita. 

Kita memang tak bisa memilih akan lahir pada orang tua yang seperti apa. Apakah kita terlahir kaya atau miskin. Apakah orang tua kita sabar atau tidak. Selama sekian tahun kita tinggal dan hidup mengambil value yang ditanamkan oleh orang tua kita. Maka sebenarnya. Tidaklah salah jika ada yang berkata bahwa privilege terbesar itu adalah ketika kita lahir dalam keluarga yang sempurna. Lantas bagaimana jika kita terlahir dari keluarga yang tak sempurna dan biasa saja? Bahkan mungkin terlahir dari circle kemiskinan dan amarah. 

Kembali lagi, tentang apa yang aku jabarkan diawal. Mungkin, jika kita tak begitu beruntung dalam memiliki tokoh utama. Maka Allah menolong kita dalam garisan keberuntungan, kesempatan, dan jalur rejeki. Itulah kenapa aku sering sekali melihat..

Ketika orang susah memiliki mindset yang baik dan tekun maka tingkat keberuntungannya lebih tinggi dari orang yang memiliki privilege setingkat denganku.

Bagaimana dengan privilegeku sendiri?

Aku menuliskan 5 privilege besar dalam hidupku. Untuk pengingat diri sendiri bahwa aku begitu beruntung dan begitu bersyukur pada apa yang telah Allah berikan dalam hidupku.

Privilege Pertamaku: Orang Tua yang Bervalue

Aku lahir dari orang tua yang berprofesi sebagai guru. Mamaku adalah seorang guru TK, sementara ayahku adalah seorang guru SMA. Keduanya PNS. Dan Alhamdulillah secara ekonomi aku merasa berkecukupan. Aku hidup bersama 3 saudara laki-lakiku. Aku adalah seorang anak tengah dan anak perempuan satu-satunya. Privilege terbesarku dalam keluarga adalah aku tak merasa memiliki saingan dalam hal kecantikan. Kecuali dengan mama. Hihi

Orang tuaku bukanlah orang tua yang sempurna. Mamaku, mungkin seperti mama-mama anak generasi milenial lainnya. Pemarah dan menganut budaya patriarki yang ‘agak strict’ ketika aku kecil. Tapi jujur, aku tidak begitu merasa terganggu. Zaman itu, semua anak perempuan ya bermindset demikian. Keseragaman membuat kebiasaan patriarki terasa biasa saja. 

Abahku, mungkin juga seperti abah generasi sepantaranku. Yang tidak begitu memanjakan seorang ibu dan bermindset kedepan perkara menghemat fiansial. Mama sering mengomel pada abah. Perkara nafkah, perkara pekerjaan rumah. Menjadi semacam kaset rusak yang selalu diputar di kepalaku. Atas hal itu, mama begitu sering menasehatiku untuk bisa mandiri finansial. Berjaga-jaga kalau saja bertemu suami yang tak paham dengan keadaan ekonomi. “Harus mandiri finansial seperti mama, bisa merawat diri seperti mama, bisa sempurna di rumah seperti mama.”

Thats.. My Family. Sering bertengkar namun terasa hangat dan begitu bervalue.

Value positif yang aku ambil dari Mamaku adalah, mama begitu sering mengomel. Sehingga tanpa sadar, mama itu sangat transparan soal rumah tangga pada anak-anaknya. Aku jadi tau harga rata-rata lauk pauk berapa. Jadi tau bahwa mama membeli ini dan itu untuk meningkatkan usaha sampingan keluarga kami. Jadi tau, cara menghemat pengeluaran rumah tangga dan berinvestasi sejak dini. Mamaku mempraktikkan hal yang jauh lebih ekstrem dibanding hanya sekedar frugal living style. Dan gaya hidup demikian, kerja keras demikian menular mindsetnya padaku.

Thats My Biggest Privileges.

Bagaimana dengan Abahku?

Value positif yang aku ambil dari Abahku adalah, kesetaraan. 

Dulu, aku akui Abah orang yang sangat strict pada budaya patriarki. Mungkin akan selamanya demikian andai saja Mama tidak bekerja. Karena mama bekerja diluar dan memiliki waktu terbatas dan juga memiliki uang sendiri maka otomatis ‘perasaan itu’ hadir pada diri seorang perempuan. Taukan? Perasaan ingin dibantu. Perasaan bahwa pekerjaan rumah bukanlah pekerjaan perempuan semata. Perasaan bahwa sebagai pasangan harus saling menghargai dan membantu. 

Aku merasakan up n down kehidupan rumah tangga dari pertengkaran abah dan mama. Mengamati dan menjadi pendengar yang baik saat keduanya ‘curhat’. Hal yang paling banyak aku pelajari dari Abahku adalah perubahan sifatnya yang membaik saat mama merasa menjadi dominan. 

Abah adalah figur pertama yang mengajarkan padaku bahwa memasak di rumah adalah sebuah keharusan. Bukan semata karena hemat. Tapi memasak adalah wujud dari pekerjaan ‘membantu’ yang dilakukan oleh Abah. Abah punya kebiasaan selalu memasak sejak kuliah. Dan kebiasaan ini sempat mandeg saat awal menikah. Karena budaya patriarki, abah sempat menjadi pemimpin yang serba ingin dilayani dan akhirnya membuat sifat mama berubah. Obatnya? Membantu mama di dapur. Hehe. Ini adalah pelajaran penting bagiku dan awal mindsetku terbuka dalam memandang arti kesetaraan gender.

Lahir pada kondisi orang tua demikian adalah keberkahan bagiku. Aku banyak belajar dari Mama dan Abah. Sifatku menurun dari mereka. Bagaimana caraku mengomel. Bagaimana caraku curhat. Hingga bagaimana aku bertahan hidup. Orang tuaku adalah privilege terbesar yang aku miliki. Sampai sudah berumah tangga pun aku merasa peran orang tuaku begitu besar. Mereka bukanlah generasi sandwich, mereka tak pernah sekalipun menyusahkanku yang sudah berumah tangga ini. Bukan semata karena profesi mereka yang PNS. Kalian tau? Kakak dan Kedua adik kembarku kuliah di fakultas kedokteran full biaya orang tua kami. Semua tak akan sukses dibiayai jika saja Mama dan Abah tidak hemat dalam mengelola hidup kami. 

Privilege keduaku: Lahir Sebagai Perempuan

Aku adalah anak istimewa dalam keluargaku. Itulah yang aku yakini karena menjadi anak perempuan satu-satunya. 

“Paling Cantik.” Kata kedua orang tuaku. Kata-kata yang tidak akan pernah aku lupakan.

Hanya aku di dalam keluarga itu yang pernah merasakan perasaan perempuan pada umumnya seperti baper, merajuk, menangis paling sering, membeli pelembab ponds saat remaja, bingung saat ingin membeli pembalut, mencoba memakai bedak dan lipstik mama, ingin memiliki baju yang sedang trend, menangis semalaman karena kucing meninggal. Ya, hanya aku yang pernah merasakan hal demikian. Bahkan juga hanya aku yang sering bertengkar hebat dengan Mama. Plus juga, hanya aku yang selalu dijadikan tumpahan curhat orang tuaku.

Punya perasaan halus layaknya perempuan itu adalah privilegesku sebagai perempuan. Memang, sesama teman perempuan pun sering berkata bahwa aku terlalu sensitif. Tapi bagiku sendiri, sensitif dan mudah baper adalah privileges.

Aku menyukai perasaanku saat bertumbuh menjadi remaja. Perasaan ingin cantik, ingin dipuja, tersipu malu. Perasaan ingin menjadi perempuan terbaik di kelas. Kalau diingat-ingat perasaan tersebut menyenangkan. Perasaan perempuanku yang labil dan terus bertumbuh adalah sensasi sendiri yang mungkin tak akan pernah dirasakan oleh laki-laki.

Laki-laki tak akan tau seberapa halusnya rasa yang dimiliki perempuan. Bagaimana ia menimbun rasa dengan ekspresi penuh tanya. Bagaimana rasanya meledakkan bom amarah. Memendam cinta demi memenangkan rasa angkuh. Kalau dipikir-pikir, meski segala perilaku itu terlihat ‘tidak dewasa’ tapi.. Begitulah cara perempuan bertumbuh.

Yang paling tak kusangka dan tak kuduga lagi adalah rasa ketika tumbuh menjadi seorang Ibu. Semua rasa bercampur. Antara optimis dan takut. Antara sedih dan bahagia. Antara tenang dan cemas. Pernah gak memiliki perasaan yang berlawanan dan porsinya sama besar? 50 50? Ya, itulah perasaan seorang Ibu yang berproses awalnya.

Lahir menjadi perempuan membuatku banyak mengalami ‘rasa rasa’ yang mungkin tak akan bisa dipahami oleh laki-laki. Dan seninya adalah bagaimana membuat laki-laki juga merasakan ‘rasa-rasa’ demikian. Agar perasaan berlawanan yang porsinya 50 50 itu menjadi dominan keluar dalam akhlak yang baik. Kembali lagi, aku banyak belajar dari Mama.. dari Abah.. tentang ini.

Privilege ketigaku: Kesadaran – Insting Survival

Saat tumbuh remaja aku meyakini bahwa mindsetku sedikit out dibanding teman-teman seumuranku. Saat yang lain tergila-gila pada pacaran, merasakan apa itu cinta dengan melihat wajah laki-laki tampan. Aku lebih memilih ‘berpura-pura’ merasakan hal yang sama. Pribadiku memang terlihat plegmatis diluar, tapi itu hanya aku gunakan sebagai topeng. Saat SMP aku berpacaran hanya untuk status semata. Tak ada kontak semestinya. Hanya teman-temanku yang secara iseng berkirim surat atas namaku.

Saat SMA, aku sedikit merasakan rasa senang saat mengetahui ada cowok tampan yang suka padaku. Namun aku memendam rasa itu sampai tamat SMA. Masa-masa putih abu-abu yang penuh romansa saat seumuranku.. Aku alihkan menjadi masa berteman. Aku memiliki 4 teman baik saat SMA. Dua berpacaran dan satu lagi tidak. Aku fokus menemani yang tidak berpacaran. Kami kesana kemari mencari buku komik terbaru, membicarakan hal receh dan pergi les bersama. Masa putih abu-abuku terbilang sangat biasa.

Sampai ketika aku kuliah dan mengambil jurusan akuntansi syariah. Jurusan yang unik bagi sebagian orang. Namun disanalah aku lulus. Masa ini agak merasakan kelabilan yang terlambat. Dulu, aku tidak merasakan cinta yang benar pada laki-laki. Tak juga merasakan labilnya masa remaja yang ingin mencoba ini dan itu. Aku merasa labil dan histeris ketika kuliah dan berkenalan dengan boyband. Haha. Sungguh aku ingin melupakan hal itu.

Apa maksudnya bercerita ini dengan insting survival win?

Aku merasa bersyukur menjadi perempuan yang tidak pada umumnya. Saat yang lain menyukai laki-laki tampan dan mengejarnya. Aku termasuk dalam orang yang bahkan tertutup dengan rasa. Saat yang lain menyukai laki-laki karena mobil atau motor kerennya. Aku justru senang mengobrol dengan laki-laki yang antusias detail dalam bicara games dan film. Aku justru senang berhubungan komunikasi secara online dan bertarung pada games, begitulah awal mula hubunganku dengan makhluk bernama laki-laki. Bukan karena di dunia nyata aku jelek sekali. Tapi entah kenapa itu lebih menyenangkan. Pada semester 3 saat kuliah, aku baru menyadari bahwa karakter demikian bernama introvert. Ya, aku introvert. Dan menyukai cowok introvert pula..

Aku menyebut menjadi seorang introvert yang realitistis adalah insting survival yang diberikan oleh Allah. Karena insting itu pula, jodohku sekarang adalah orang yang gigih dengan mimpinya. Aku menyukai laki-laki yang punya mimpi out of the box. Bukan semata tentang menjadi dokter, semata menjadi polisi atau ini dan itu. Karena belajar dari hidupku sendiri bahwa hidup dengan keterbatasan dan setumpuk aturan itu membuat mimpi menyempit. Aku ingin membuka mimpi itu. Dan itulah awal dari perjalanan rumah tanggaku yang pasang dan surut bergantian. Hingga kini, aku meyakini bahwa semua ini tak lepas dari privilege ketiga yang diberikan Allah padaku. Terima kasih telah membentuk hidupku ya Allah.. Untuk bisa survive pada segala kondisi dan tetap memiliki mimpi ke depan.

Privilege Keempat: Keluarga Baru

Suami dan kedua anakku yang sudah selama 11 tahun bersamaku adalah keluarga baru bagiku. Semuanya hadir dalam proses yang terbilang cukup cepat bagiku. Tahun 2012 aku menikah dan tahun 2013 aku sudah dikaruniai anak. Sesuatu yang sempat menghambat mimpiku awalnya karena aku terlalu dini menjadi Ibu.. Ternyata adalah peluang rejeki baru yang ditunjukkan oleh Allah.

Pica adalah pembuka peluang bahwa bekerja tak melulu tentang diluar rumah. Bekerja tak melulu tentang uang. Definisi bekerja yang terbaik adalah saat kita menemukan sesuatu yang menyenangkan untuk dikerjakan, dan kita punya target untuk membuat pekerjaan tersebut bervalue. Jujur begitu banyak pekerjaan menyenangkan yang aku lakukan sejak menikah. Dimulai dari eksplore dapur. Mencoba berbagai resep kue dan cemilan. Mencari ciri khasku sendiri dalam eksplore bumbu. Sampai kemudian aku mendapat goals yang aku inginkan. Keluarga senang dengan masakanku. Itu adalah tangga pertama pekerjaan yang membuatku merasa berharga.

Tapi, tak semua hal berharga bisa dijadikan uang. Itu sangat conditional. Memasak bagiku misalnya. Itu bukan tentang uang. Aku pernah memang berjualan kue. Namun, tak bisa grow dalam melakukannya karena kendala over multitasking. Anakku masih kecil. Banyak yang harus disupport dan diprioritaskan. Maka, tangga kedua bagiku bukan berjualan. Namun mencari peluang lain yang menyenangkan dan cocok untukku.

Bisa dibilang blog ini adalah tangga kedua. Dulu, aku sering menulis resep masakan disini. Seiring berjalan waktu, aku sadar ternyata aku lebih suka menulis sesuatu yang berbau improvement dan family life saja. Aku juga sadar bahwa blog bukanlah pekerjaan utama. Blog memang membuat diriku yang dulu berkembang. Namun, tangga ketiga bukan melulu tentang monetisasi blog. Tangga ketiga adalah Grow bersama Pica, Grow bersama suami. Aku dulu suka sekali mendampingi Pica ikut berbagai macam lomba. Itu membuatku bersemangat. Anakku ternyata suka mewarnai dan menggambar. Suamiku suka dunia IT. Dan bagaimana bisa aku fokus pada duniaku sendiri sementara mereka butuh support? Tangga keempat bagiku adalah Start Up kami. Perusahaan IT yang kami bangun hingga sekarang.

Aku akui perusahaan ini mungkin tidak akan berkembang tanpa dukungan keluarga baru. Kelahiran Pica membuat kami memiliki klien di daerah. Kelahiran Humaira membuat kami memiliki klien di luar negeri. Semua berkembang berkat inovasi. Ide yang tumbuh dalam rumah kami. Kusadari, memiliki keluarga kecil ini adalah privileges terbesar.

Privileges Kelima: Keseimbangan

Aku mengaku sangat bersyukur memiliki orang tua yang mendukungku. Tak pernah menyusahkanku bahkan membantuku untuk kembali bernilai saat awal kehidupan pernikahan. Tapi ternyata, Allah tau bahwa hidupku tak akan seimbang dan tak akan seseru ini tanpa adanya keseimbangan. Dilain pihak, suami bukanlah memiliki orang tua sepertiku. Dan saudaranya…banyak. Banyak yang perlu dibantu.

Tapi Allah kadang mengatur rejeki dengan seimbang. Ada saja keajaiban yang tak disangka-sangka. Mungkin benar bahwa rejeki sudah memiliki jalannya masing-masing. Dan dalam kandungan rejeki itu bisa jadi terkumpul karena adanya rasa ikhlas dalam hati kita.

Tak melulu dalam hidupku semuanya terisi oleh hal menyenangkan. Terutama ketika berkeluarga. Banyak peristiwa menyedihkan yang juga terpaksa dialami. Tak melulu dalam hidupku semuanya terisi oleh orang baik. Orang baik kadang berubah. Orang jahat kadang muncul memberikan luka dan pelajaran. Thats.. Keseimbangan. Itu adalah privileges. Yang membuat roda hidupku tak berhenti. Selalu ada ujian baru untuk hati, cinta, dan finansial. Dan orang mungkin tak tau aku hidup dalam proses sedemikian.

Baca juga: Berdamai dengan bekas luka

Itulah 5 privileges besar dalam hidupku. Sebagian dari kita mungkin sering merasa bahwa privileges adalah melulu tentang uang, status sosial, relasi, jabatan. Tapi sebenarnya, kembali ke headline pertama. Bahwa Allah sudah mengatur privileges kita sendiri sejak lahir. Karakter unik, orang tua, rasa-rasa yang pernah hadir, bahkan sebenarnya orang baik dan tidak baik yang hadir itu adalah privileges. Well, mungkin ada yang protes bahwa, “Win, bukan itu loh definisi privileges” 

Iya, memang bukan. Tapi cobalah membuang definisi saklek itu sebentar. Pejamkan mata dan rasakan apa-apa saja sebenarnya hal yang kita dapatkan dalam hidup dan membuat kita sampai ditahap sekarang. Semuanya adalah takdir unik yang tercipta dari kombinasi pengalaman hidup, doa, pembentukan karakter, dan insting survival kita masing-masing.

Semua kita, sebenarnya memiliki privileges unik.

5 Emosi Pada Seorang Ibu, Kamu Termasuk yang Mana?

5 Emosi Pada Seorang Ibu, Kamu Termasuk yang Mana?

Apa sih definisi ‘Ibu yang baik’ itu?

Ibu yang baik adalah Ibu yang sempurna..? Tet tott..

Ibu yang baik adalah Ibu yang selalu hadir 24 jam untuk anaknya? Tet tott..

Ibu yang baik adalah Ibu yang mau terus belajar.. 🙂

Ibu yang baik adalah Ibu… yang bisa memahami emosinya sendiri.. 🙂

Hal itulah yang aku pelajari 3 bulan yang lalu. Aku secara iseng mengikuti kegiatan ‘Me Time’ bersama Rangkul Keluarga kita. Dan akhirnya, perlahan aku mempelajari hal-hal baru. Termasuk halnya dalam memahami emosiku sendiri.

Setidaknya ada 5 emosi dominan negatif yang paling sering dirasakan oleh Ibu sepertiku, 

1. Marah

 Menurut Pica, Mama suka marah gak?” Tanyaku pada Pica hari itu.

Dan Pica menjawab.. “Mama jarang marah, tapi sekali marah.. Anu…”

Aku melihat raut wajah Pica, berkaca pada beberapa kemarahan dahsyat yang pernah aku keluarkan. Wah, kalau diingat rasanya kok menyeramkan sekali. Haha.

Jujur, aku termasuk dalam orang yang cepat sekali tersulut emosi. Tapi disisi lain, aku juga bisa ‘pause’ emosi dan menunda kemarahan. Tak hanya marah, aku juga bisa menunda emosi sedih, kecewa dll. Namun, sekali saja ‘trigger’nya muncul maka emosi itu bisa meluap seketika.

Tumpah semua. Bahkan tumpah berlebihan.

Kalau diibaratkan, kondisi emosi marahku ketika sudah meluap itu bagaikan kyubi ekor 6. Dan bisa saja sampai mencapai level 9 jika ‘triggernya tidak tau diri’. Hahaha.

Sesuai dengan saran dari relawan rangkul keluarga kita, saat kita sedang menunjukkan emosi dominan maka kita harus tahu apa penyebab utamanya. Dan jika aku berkaca pada kehidupanku sendiri, ‘ada penyebab utamanya…’

Sebenarnya sosokku yang marah mengerikan ini adalah warisan innerchild. Aku bukannya ingin mengklaim bahwa Mamaku adalah sosok pemarah, namun hal yang ingin aku sampaikan adalah aku lahir dalam lingkungan yang menganggap kemarahan adalah hal yang biasa saja. Sehingga, secara tidak langsung aku memiliki ‘imunitas’ atas rasa marah. Refleks, skill kemarahan itu akan keluar begitu saja ketika Pica melakukan hal yang tidak aku sukai. Bagiku dengan imunitas yang sudah ada, kemarahan adalah jalan keluar. Bagi Pica, hal itu adalah ‘virus’ dan ‘penyakit’ baru yang harus dihadapi dengan emosinya. Emosinya yang berwujud Sedih dan Kecewa.

Tanpa sadar, aku melupakan perasaan sedih dan kecewa pada masa kecilku dulu. Aku lupa, tentang rasa trauma akan teriakan mama. Aku lupa akan rasa takutku sendiri. Lupa bahwa itulah yang menyebabkanku sering mengurung diri di kamar. Yang tertinggal sekarang hanyalah rasa empati pada perasaan Mama. Rasa sayang pada Mama karena sudah memahami Mama. Dan sungguh, aku merasa jurus yang sama mungkin akan membuat Pica merasakan ‘takut untuk mengulanginya lagi’. Reward and Punishment adalah metode terbaik dalam masa kecilku, aku menyadarinya saat sudah bisa berempati pada Mama. Entah kenapa saat menerapkannya kembali pada masa kini, hal itu menjadi kurang efektif.

Baik untukku, untuk pasangan, maupun untuk anakku sendiri.

Dari sini aku sadar, marah adalah emosi dominan kedua yang aku miliki. Mungkin marah adalah pemegang saham emosiku sebanyak 15%. Whahaha, banyak sekali.

Wah, kalau marah saja termasuk dalam dominan kedua, berarti ada yang lebih dominan dari marah dong win?

Iya, dan kalian harus tau emosi dominan lain yang kadang juga sering muncul pada seorang Ibu.

2. Mudah khawatir

Setidaknya aku sempat mengalami emosi ini secara dominan selama 2 tahun. Kalian tau kapan?

Pertama, itu terjadi saat aku baru melahirkan anak pertama. Kedua, itu terjadi ketika pandemi melanda kehidupan. Oya, aku juga sering mengalami emosi ini saat sekolah. Terutama sewaktu ulangan. Namun moment demikian aku skip karena saat itu aku kan belum jadi Ibu. Xixi

Untuk masa sekarang, aku mengaku bahwa perasaan demikian sudah sangat jarang muncul. Terutama dalam keluarga. Jujurly, perasaan mudah khawatir atau berprasangka negatif itu justru sering muncul saat keluar rumah dan bertemu banyak orang. 

Biasanya perasaan demikian muncul ketika mau tak mau harus berhadapan pada ruang bicara Ibu-ibu yang tidak satu generasi. Yang sering berpandangan sempit akan peran perempuan, yang suka mengkerdilkan peran IRT. Jujur, takut sekali kalau berhadapan pada circle demikian. Takut diinjak, direndahkan, dianggap tidak punya power dan tak berharga. 

Maka, karena aku sudah tau pemicu akan emosi ini aku lebih memilah milih dengan circle siapa aku ingin berkumpul dalam durasi lama. Atau dengan circle mana aku cukup bertahan 15 menit saja.

3. Enggak Enakan

Pernah gak kalian merasa gak enakan dalam menolak ajakan atau permintaan tolong dari seseorang? Kalau aku, jujur saja sih dulu ‘lumayan sering’. Tapi itu ketika sebelum menjadi Ibu. Waktu zaman sekolah, fase remaja.. Aku sering sekali merasa tidak enakan kalau disuruh oleh seseorang. Manut mulu. Sekali saja ditolak, kok jadi merasa berdosa sekali. Sekali saja menghindar, kok sekejap teman itu berbisik kesana kemari. Kalau dipikir-pikir, kenapa ya dulu itu jadi anak plegmatis banget. Manuut aja gitu. Aih.. gemes.

Tapi, sejak jadi Ibu emosi ini sangat jarang muncul. Jujur sejak jadi Ibu aku lumayan tegas dengan orang-orang yang ingin ‘mengatur’ku. Tapi tetep sih, emosi enggak enakan ini masih berlaku sama suami sendiri. Haha. Jujurly, hampir 90% pekerjaan rumah tangga.. aku tetap mengerjakannya sendiri dan aku sih oke-oke saja. Karena memang sudah terbiasa hidup demikian. Karena kami sama-sama sibuk pada bidang berbeda. Bagiku asalkan biaya daycare Humaira dihandle suami dan aku masih bisa berdaya dari jam 8 pagi-4 sore, itu sudah sangat cukup. Yha. memang anaknya sejak dulu legowo aja gitu sama hal hal demikian. Yang enggak legowo itu, kalau sudah capek-capek apa-apa sendiri, sudah pinter banget manage keuangan rumah tangga n perusahaan.. Ada aja yang bilang cas cus cas cus diluar sana.. Yha.. yang demikian biar Allah aja yang mengatur orang yang suka ‘cas cus’ begini.

4. Mudah Merasa Bersalah

Kalau dibilang sensitif, iya sih aku orangnya ‘lumayan sensitif’. Konon kebanyakan anak zodiak Virgo itu demikian. Perasaannya Halus. Tapi kalau mudah merasa bersalah? Hmm, kayaknya sejak jadi Ibu aku berusaha banget improve harga diri aku. Sampai-sampai nih, udah jelas-jelas salah aja tapi mengumpulkan keberanian untuk minta maaf itu sulit sekali. Anyone like me? 

Jadi sungguh perasaan mudah merasa bersalah ini sangat jarang muncul. Yang sering muncul adalah perasaan takut menyakiti orang lain. Karena itu, biasanya kalau aku berkumpul dengan orang yang ‘gak kenal banget’ atau ‘kenal banget tapi gak cocok’.. Aku biasanya akan setting mulut aku ke mode silent dan mode ‘enggih enggih’ aja. Istilahnya.. Ya.. Main aman lah ya..

Bahkan nih saking enggak sensitifnya sama perasaan bersalah.. Aku itu kalau marah sama anak, bisa lupa buat minta maaf loh. Justru lebih memutuskan bicara santai dan biasa aja sama anak setelah marah. Seakan bilang dalam hati, “Gak terjadi apa-apa kok tadi, lupain ya..lupain”

Ya, kalau dinilai sampai sini nih. Kayaknya aku itu punya ego yang lumayan tinggi untuk bisa merasa bersalah dan meminta maaf. Padahal, merasa bersalah itu adalah rasa yang harus kita miliki sebagai manusia yang kudu sadar kalau diri sendiri itu banyak punya khilaf.

5. Ingin Mendapat Pengakuan

Diantara Marah, Mudah Khawatir, Enggak Enakan, Mudah Merasa Bersalah, dan Ingin Mendapat Pengakuan.. Jujur yang paling banget aku rasakan sekarang adalah Ingin Mendapat Pengakuan. Kalau Marah tadi menguasai 15% emosi aku, Sedangkan Ingin mendapat pengakuan itu mungkin menguasai 25% emosi aku. Dan sampai sekarang pun iya.. Mungkin masih.

Sedih sih, ini merupakan emosi yang enggak tuntas-tuntas sejak remaja. Mungkin bahkan sejak kecil. Gak ngerti kenapa aku itu merasa haus akan validasi dari orang lain. Orang bilang tahapan dari pengakuan itu ada 3. Pertama adalah toleransi. Kedua adalah eksistensi. Dan ketiga adalah validasi. 

Aku selalu bertanya-tanya apa penyebab aku selalu haus rasa validasi dari orang lain. Kenapa aku ingin serba sempurna dalam mengerjakan sesuatu. Aku bahkan suka menjerit kalau pagi-pagi terjadi kehebohan yang membuat rumahku tak sempurna. 

“Gimana kalau ada yang datang? Entar kalau rumahnya kotor pasti yang ditanya ‘mamanya mana? Maka mamanya gak kerja di rumah aja’..”

Aku suka menjerit kalau suamiku memakai baju yang sama dengan hari sebelumnya kalau keluar rumah apalagi kalau ke tempat mertua..

“Apa sih susahnya memakai baju yang beda? Bukannya baju yang kemarin dan sudah aku cuci ditaroh dilipatan bawah? Kenapa sih harus diambil lagi? Entar ada yang protes, protesnya malah ke tempat aku.. ‘Harusnya suami itu kalau pakai baju diperhatikan, pakai parfum supaya gak bau.. Dulu pas hidup sama aku bla bla bla’ “

Padahal yang ‘nyinyir’ gak ada di rumah. Tapi kata-katanya terus saja terbayang. Seakan-akan orangnya tepat berada di hadapan sendiri. 

Apa sih yang dikerjakan di rumah jadi gak bisa masak pepes ikan? Bukannya gak kerja?

Orangnya..yang nyinyir gak ada.. Tapi kata-katanya berulang seperti kaset rusak. Membuatku menjadi merasa berdosa kalau siang-siang tidak membantu perusahaan suami, tidak menghasilkan uang, tidak membuatkan cemilan, tidak memasak, atau lelah dan tidur siang. 

Jadi dinding kesempurnaan yang coba aku ciptakan terasa ‘haus’ akan validasi. 

Aku mencoba mengorek-ngorek apa sebenarnya penyebabnya. Dan aku paham, aku sulit sekali melupakan perkataan menyakitkan dari orang lain. Aku sulit memaafkan orang lain. 

Toleransi, eksistensi, dan validasi. Kalau dipikir lagi, padahal manusia cukup mendapatkan ‘toleransi’ dari sekitar untuk bisa move on. Andai ada toleransi, manusia tak perlu capek menunjukkan eksistensi dirinya. Andai ada toleransi, manusia tak perlu capek mencari validasi. 

Tak perlu capek ingin mendapat pengakuan dari orang lain. 

Aku sering bertanya-tanya, kenapa sih manusia itu sering sekali menganggap dirinya lebih sempurna dan menganggap apa yang orang lain kerjakan tak sepenting dirinya? Mom shaming, perbedaan pendapat tak berkehabisan. Penghancuran harga diri perempuan yang berstatus mulia sebagai Ibu. Ah, padahal kalau semua orang bisa bertoleransi dan berempati.. Kurasa emosi haus akan pengakuan orang lain ini.. Mungkin bisa diredam dan dihilangkan.

Pada akhirnya, dari kelima emosi yang sudah aku sebutkan. Aku yakin banyak diantara kita mulai merasa ‘ini kayaknya aku banget’ dan kemudian bergumam.. Penyebabnya ini nih… Bla bla..

Ya, penyebabnya ‘orang lain’ bukan?

Sama. Aku pun merasa demikian. Namun, aku pun juga sadar.. Kita mungkin tak akan pernah bisa mengubah orang lain. Tulisan receh demikian pun andai terbaca oleh orang ybs mungkin hanya akan dicerca lagi. Aku sadar sih, sebanyak apapun kita menjelaskan dan membela diri.. Itu mungkin tak akan mengubah apapun dari sikap orang lain. 

Tapi, aku sadar. Bahwa kita bisa mengubah diri sendiri. Kita bisa mulai mengontrol emosi tak baik yang sering kali muncul pada diri sendiri. 

Marah.. Ingin mendapat Pengakuan.. Adalah emosi dominan yang aku miliki. Saat aku mendapat pengakuan, kontenku diapresiasi oleh para pegawai di kantor, cemilan yang aku buat sekejap habis.. Kadang aku merasa senang dan aku bisa melawan rasa marahku jika rasa senang itu ada. Kadang, aku sering bertanya-tanya pada diriku sendiri. Apakah aku sedang ‘memberi makan’ emosi ingin mendapat pengakuan ini? Ataukah aku baru saja merasa senang karena bisa ‘merasa bermanfaat’?

Aku sadari, ternyata its okay kok punya emosi ingin mendapat pengakuan dan marah. Emosi yang ada sebenarnya bukan untuk dihilangkan. Tapi dikontrol. Emosi marah, aku turunkan levelnya menjadi emosi tegas yang membuat anak patuh dan disiplin. Emosi ingin mendapat pengakuan, aku turunkan levelnya menjadi ‘senang membantu orang lain’ atau ‘senang karena merasa bermanfaat’.

Pada akhirnya, aku mulai menemukan celah cahaya dari sekian emosi jelek yang telah mampir dihidupku. Kelima emosi ini.. Hampir semuanya pernah muncul dalam hidupku. Hanya saja, aku ingin terus menjaga levelnya agar tetap stabil.

Semoga kita semua diberikan hati yang luas untuk bisa mengontrol setiap emosi negatif yang timbul. Karena seorang Ibu.. harus menjaga hatinya.. Dari prasangka, dari sakit hati berkepanjangan.. Jagalah hati.. 

Terima kasih untuk komunitas rangkul banjarmasin yang telah mengenalkanku pada keluarga kita dan menginspirasiku untuk tulisan ini..

IBX598B146B8E64A