Mengeluh karena Penat, Bolehkah?
“Bolehkah seseorang mengeluh ketika merasa penat? Atau sebaiknya menutupinya dan berusaha terlihat baik-baik saja?”
Penat adalah Proses
Aku terbaring siang itu. Kala si kecil mengantuk, akupun tanpa sadar ikut mengantuk juga. Orang bilang, menyusui adalah proses yang harus dilakukan bersama dengan pekerjaan baik. Membaca surah pendek misalnya atau sekedar berdzikir. Tapi tanganku gatal memeriksa handphone untuk sekedar melakukan tugas rutin mingguan. Blogwalking dan menelusuri sosial media. Dan akhir-akhir ini, rutinitas itu membuatku mengantuk.
Terbangun dan menyadari bahwa aku tertidur selama 2 jam. Syukurlah si kecil Humaira masih tidur. Perlahan kulakukan jurus ninjutsu baru. Gerakan berpindah tempat tanpa bunyi dan pergerakan. Sudah sering kulatih jenis ninjutsu ini. Tapi seringnya gagal dan menimbulkan bunyi ‘kreek’ dari kasur. Alhasil, Humaira menyadari dan menangis melihatku.
Rutinitas biasa dari keseharian ibu rumah tangga biasa. Drama biasa-biasa saja bukan?
Tapi kadang, hal beginilah yang membuatku merasa penat. Bahkan tertidur 2 jam pun merasa sangat berdosa. Lihatlah mainan yang lupa kubereskan. Lihatlah cucian yang belum dijemur. Bagaimana kalau ada tamu yang datang?
Perulangan yang kadang terjadi setiap hari. Membuatku merasa menjadi bukan Istri yang baik. Tapi, kadang hidup harus memilih bukan? Mau jadi Ibu yang baik hari ini kah? Atau Istri yang baik kah? Kadang hari ini cantik, besoknya menjadi tidak karuan karena peran Ibu sedang dominan. Kadang masakan tertata rapi dan diri sudah cantik tapi anak terpapar gadget lama. Kadang, diri sendiri terupgrade sempurna dengan berbagai ilmu tapi suami terabaikan.
Kadang berkata juga pada diri sendiri, “Tak bisakah punya jurus membelah diri? Atau seribu bayangan saja?”
Tapi logikaku masih jalan dengan baik. Dan aku selalu berkata pada diriku sendiri..
“Ini tidak akan lama. Ini hanya sementara.”
Karena penat adalah proses untuk bangkit.
Nikmati setiap rasa penat dengan syukur. Karena makhluk tanpa rasa penat, sedih, lelah dan down itu bukanlah manusia. Manusia bisa merasakan dan bisa memanjatkan syukur.
Manusia, selalu memiliki pilihan.
No Pain No Gain
Dalam penat, selalu ada luka.
Ih..sudah penat, luka pula. Apa asiknya!
Yah.. Aku menyadari sepenuhnya bahwa tidak ada ibu yang sempurna. Kecuali mungkin ibu yang bisa membelah diri atau memiliki ninjutsu hebat. Siapa aku? Amoeba bukan, ninja juga bukan.
Tapi, bolehkan seorang ibu punya jalan ninjanya sendiri?
Aku memutuskan untuk mengakui rasa penat itu. Membagikannya bersama suami. Melalui penat itu. Jika suatu saat luka datang dari rasa penat.. Baik itu berupa luka dari diri sendiri, suami maupun anak yang kadang terabaikan maka aku memutuskan untuk mengobati luka itu. Membuka luka dan mengobatinya. Bukan sekedar mengabaikannya dan berkata aku tidak apa-apa.
Karena dalam setiap luka, ada perolehan.
Aku memutuskan untuk tidak menyesali masa laluku. Diriku yang sempat terkena PPD, anakku yang terpapar oleh rasa itu, hingga pertengkaran yang pernah terjadi dengan suami. Itu hanya masa lalu. Aku sudah mendapatkan pelajarannya. Sudah memiliki harga atas itu semua.
No pain, No gain.
Mengeluh Karena Penat itu Tidak Apa-Apa.. Tetapi..
Kembali lagi, apakah mengeluh karena rasa penat itu tidak apa-apa?
Apakah tidak apa-apa jika kita merasa lelah kemudian mengabaikan obatnya? Butuh tidur misalnya. Tapi kita mengabaikannya.
Menurutku, itu salah.
Begitupun dengan rasa penat di hati. Jika kita sedang merasa tidak baik-baik saja dengan kondisi yang ada maka apakah kita tidak boleh mengeluh?
Boleh, mengeluh atas ketidaknyamanan maupun rasa penat itu sungguh tidak apa-apa. Tapi, mengeluh-lah sekedarnya. Dan yang lebih penting lagi, carilah jalan keluar atas rasa penat.
Karena sesungguhnya fungsi dari mengeluh adalah membuka kesadaran. Lantas mencari ruang teduh untuk mengatasi penat itu.
Dan carilah ruang teduh yang cocok untuk diri kita masing-masing.
Karena setiap kita punya cara yang berbeda. 🙂
Jadi, sudahkah Anda memiliki solusi dari rasa penat?