Mengontrol Rasa Takut dalam Hidup

Mengontrol Rasa Takut dalam Hidup

Pernah gak kalian merasa bahwa hidup itu kadang menakutkan?

Bahwa ketidaktahuan kita akan masa depan kadang membuat ekspektasi menjadi sedikit berkurang atau bahkan hilang begitu saja.

Belum lagi ketika kita dibayang-bayangi oleh kesuksesan orang lain, kita kadang merasa kelelahan yang kita jalani seakan jalan ditempat saja tanpa hasil apa-apa. 

Keadaan demikianlah yang membuat kita takut dalam melangkah. Karena sudah sekian banyak ‘gagal’ yang dilalui. Karena sudah begitu banyak kewaspadaan yang muncul dari mana-mana.

Sehingga rasanya sulit sekali untuk melangkah.. Karena takut, proses yang kita lalui tak menghasilkan apa-apa.

Mengontrol Takut dimulai dari Konsisten Berproses tanpa Peduli Hasil pada Target

Kalau diingat lagi, tentang siapakah aku dahulu. Mungkin, orang-orang akan mengenalku sebagai Aswinda yang penakut. Takut tampil, takut mencoba bahkan takut mengadu jika ada yang melakukan hal salah padaku. Karena rasa takut, aku jadi sering dimanfaatkan oleh teman-teman masa kecilku. Dijadikan bahan bully dan dimanfaatkan untuk hal yang tak semestinya. Yah, setidaknya itu berlangsung selama 6 tahun.

Beda cerita ketika aku menginjakkan kaki di sekolah baru. Mengenal teman-teman baru yang ternyata memiliki sekian banyak kemiripan denganku. Rasa takut itu memudar perlahan. Digantikan oleh rasa nyaman dan merasa senasib sepenanggungan. Aku tak akan melupakan hari-hari dimana aku merasa nyaman dalam berbagi. Aku tak akan melupakan teman-teman terbaikku yang selalu membersamaiku dalam berproses.

***

Dan sejak menjadi Ibu, teman terbaikku digantikan oleh sosok mungil itu. Pica, anak pertamaku. Orang berkata aku begitu beruntung. Karena langsung hamil dan memiliki anak begitu menikah. Namun, jika boleh jujur.. Saat itu aku merasa…

Tertinggal..

Teman terbaikku Pica, anak pertamaku adalah sosok yang membuatku sempat merasa ‘tertinggal’… (Maaf ya nak.. Inilah yang Mama rasakan dahulu..)

Segala target di depan mata lenyap seketika. Segala pencapaian yang ada dahulu tak terasa berharga lagi. Belum lagi sekian banyak saran dari orang lain yang mengatakan seorang Ibu harus mandiri finansial. Rasanya, lembaran hidup baru itu rusak seketika.

***

Singkat cerita, siapa sangka Pica telah membuatku menjadi diriku yang lebih baik. Dari Pica, aku belajar banyak hal. Bahwa dalam kehidupan, target hanyalah gambaran impian yang ditulis di secarik kertas. Selebihnya, proses dan persistenlah yang membentuk ‘Positif Habbit’.

“Target hanyalah gambaran impian yang ditulis di secarik kertas. Selebihnya, proses dan persistenlah yang membentuk ‘Positif Habbit”

Aswinda Utari

Dari Pica, aku belajar tentang cara menghemat anggaran bulanan. Aku belajar arti syukur dari sedikit yang aku punya. Dari Pica, aku belajar untuk bangun lebih pagi dan bekerja keras mencukupi cinta pada dapur sumur keluargaku. Dari Pica, aku mengenal apa arti ‘berproses’ walau sulit mencapai ‘target’.

Manusia boleh jadi mengukir targetnya dalam hidup. Namun tahukah? Rencana dan hasil dari Allah selalu lebih ‘indah’.

Menghadapi Ketakutan dengan Belajar tentang Hal yang Kita takuti

Singkat cerita, petualangan ‘prosesku’ telah membawaku pada posisi Direktur dalam perusahaan IT kami. Yup, perusahaan IT keluarga kami yang sudah berjalan 8 tahun. Pica adalah awal dari semangat itu.

Jika kalian bertanya padaku.. Apa hal yang paling aku takuti dalam hidup maka jawabannya adalah ‘Aku takut sekali miskin mendadak’. Karena itu aku dan suami merintis bisnis. Dan karena itu pula keluarga kami selalu memiliki tabungan dan dana darurat. Aku pernah merasakan betapa tidak nyamannya tak punya uang. Jadi, aku tak mau anakku merasakan hal yang sama. 

Dalam perusahaan ini, aku bukanlah orang yang paham mengenai dunia IT. Tapi, aku punya ilmu akuntansi dan manajemen. Sejak dulu, aku selalu tertarik dengan dunia investasi. Namun, tak pernah berani berinvestasi pada instrument highrisk. Aku hanya mengenal obligasi syariah (sukuk), emas, dan RDPU. Sesuatu yang aman dan pasti. Profilku sendiri adalah investor yang ‘konservatif’. Tapi, sejak dipercayakan untuk memanagemen keuangan.. Aku mulai belajar hal yang aku takuti, yaitu saham.

Dalam 3 bulan ini aku belajar dan mulai paham tentang selak beluk saham. Mulai memberanikan diri investasi pada reksadana saham. Memahami rotasi sektoral. Sudah berhadapan dengan ‘kerugian’. Segala pembelajaran dan pengalaman ini membuat rasa takutku terpacu untuk terus belajar lebih baik lagi. 

“Positif Habbit memunculkan keberanian, dan langkah bijak dari buah keberanian adalah belajar menghadapi ketakutan.”

Aswinda Utari

Meminimalisir Ketakutan dengan Memberikan Reward dan Rasa Aman

Setiap belajar investasi, belajar mengembangkan bisnis..  berproses pada setiap langkah.. Ada satu hal yang rutin kami (aku dan suami) lakukan setiap bulan. Yaitu membeli ‘something spark joy’s

Sebagai pasangan, kami meyakini setiap langkah dan usaha yang kami lakukan patut dihargai baik itu berupa material maupun non material. Dulu, kami hanya memberikan reward berupa nonton netfilx bersama hingga memasak bersama. Sekarang, kami mulai mencoba hal yang sedikit berbeda.

Suami mulai menjelajah dunia parfum, sedangkan aku mulai memanjakan diri dengan skincare dan lingerie. Dulu, skincareku sangat amat basic sekali. Toner dan pelembab pun cukup.. sunscreen pun tak begitu rutin. Sekarang sudah menjelajah ke berbagai serum, essense, dan mencoba ini itu. Mengoleksi skincare dan lingerie adalah wujud hal yang aku lakukan untuk memberikan reward pada diri sendiri.

Entah kenapa, setiap memberikan reward pada diri sendiri rasanya senang lantas kemudian berani melakukan hal yang tak biasa dilakukan: menghadapi ketakutan level berikutnya.

Bagiku rasa senang bagaikan sebuah senjata, belajar adalah pelurunya. Dan ada satu hal yang aku butuhkan lagi untuk menghadapi ketakutan. Kalian tau apa itu? Namanya adalah perisai pelindung agar hatiku selalu merasa aman setiap berhadapan dengan ketakutan

Aswinda Utari

Aku sudah bercerita bahwa ketakutanku adalah pada saham bukan? Investasi yang begitu high-risk dimataku. Maka, untuk memberikan rasa aman aku tak mau memasukkan semua uangku disana. Aku lebih memilih memasukkan 50% dana daruratku pada tabungan dan 50% sisanya pada RDPU. Selebihnya, untuk tujuan jangka menengah aku memilih instrumen RDPT atau sukuk. Bagiku, untuk belajar sesuatu yang high-risk sangat diperlukan management rasa aman. 

Well, cerita tentang mengontrol rasa takut ini awalnya ingin aku tunjukkan tentang pengalamanku bersama Pica. Pada akhirnya dalam penulisannya aku malah banyak bercerita tentang diriku sendiri dan management keuangan..dasar.. wkwk

Mengontrol Rasa Takut pada Anak Sejak Dini

Aku sedikit menyesal kenapa rasa takutku dulu tidak terkontrol dengan baik sehingga aku berakhir menjadi sosok yang pemalu dan takut mencoba hingga besar. Satu hal yang pasti, aku tak mau Pica dan Humaira menjadi sepertiku. Dari pengalamanku diatas setidaknya ada 3 hal yang bisa aku praktikkan dalam parentingku bersama anak.

Pertama, dengan mengontrol takut dimulai dari berproses tanpa peduli hasil pada target. Aku percaya bahwa mengontrol takut tak melulu dimulai dari ambisi pada Terget. Tapi dimulai dari membangun proses pada habit positif. Misal, aku tau saat Pica mulai tak nyaman dengan pelajaran matematika bahkan mulai gugup dengan ulangannya. Maka, aku belajar untuk ‘legowo’ jika hasil ulangannya tidak setinggi target yang diharapkan. Yang penting adalah Pica belajar tekun matematika dan paham dengan logikanya tanpa perlu merasa takut.

Kedua, dengan memberikan reward plus rasa aman dalam berproses menghadapi ketakutan. Jujur, aku termasuk orang tua yang memberikan reward pada anak kalau ia punya pencapaian. Sekecil apapun. Tentunya dengan reward yang juga ‘sepadan’. Misalnya ketika dia dapat nilai bagus pada ulangan, aku memberinya hadiah es krim atau yogurt kesukaannya. 

Adapun rasa aman yang coba aku berikan pada anak saat dia menghadapi ketakutan adalah dengan berkata bahwa tak semua hal harus sempurna. Dalam belajar misal, aku tau Pica lemah pada pelajaran Matematika. Maka aku menyuruh dia untuk meningkatkan hobi yang dia benar-benar suka. Menceritakan padanya fakta kehidupan. Bahwa hobi yang ditekuni dengan telaten bisa menjadi mata pencaharian kelak. Sedini mungkin, konsep belajar survive harus mulai diajarkan pada anak. Itulah keyaninanku dalam manajemen risiko atau rasa takut.

Nah, kalau parent lain gimana? Punya ide lain dalam mengontrol rasa takut? Baik pada diri sendiri maupun pada anak? Sharing denganku yuk!

Komentar disini yuk
0 Shares

Komentari dong sista

Your email address will not be published.

IBX598B146B8E64A