#FBB Kolaborasi Sejak Jadi Emak-emak, Aku mulai Sensi dengan Makhluk Bernama Kucing
“Mama tuh gak mau di rumah ada binatang peliharaan. Bulunya itu loh win.. Belum lagi bla bla bla.. “
Itulah ceramah yang sering aku dengar dahulu saat aku diam-diam memelihara kucing jalanan. Yaa.. Sejak kecil aku suka sekali dengan kucing. Sejak SD aku sering diam-diam memberi makan kucing jalanan, memeliharanya hingga membawanya kerumah. Namun mamaku selalu melarangku. Hingga suatu hari, malah mama sendiri yang meminta seekor kucing dari keluargaku. Katanya, kucing yang dipelihara lebih bersih dibanding kucing yang aku pungut dari jalanan.
Sejak itu, aku tergila-gila dengan makhluk yang bernama kucing. Aku sering membawanya ke kamarku untuk diajak tidur bersama. Setiap sore aku selalu ‘ngobrol’ dengannya. Belum lagi kalau rasa gemes ku menjadi-jadi. Aku bisa saja mencium kucingku. Serius ini.
Jadi, kali ini aku ingin bercerita tentang perkenalanku dengan kucing. Rasa cinta yang kemudian berubah menjadi benci, gemes dan jengkel. Cerita kali ini aku tulis dalam rangka ikut FBB kolaborasi dengan tema Hari Kucing Internasional yang jatuh pada Tanggal 8 Agustus kemarin.
Kalian tau? Aku punya Rhinitis Alergi
Sejak kecil aku memiliki riwayat alergi yang menurun dari ayahku. Bukan, bukan alergi gatal-gatal kulit begitu. Bukan juga alergi makanan. Aku alergi dengan debu, cuaca yang dingin dan yah… Bulu kucing.
Jika aku menyapu di pagi hari aku selalu membawa tisue di tanganku. Hidung dan mataku tidak bersahabat dengan debu plus udara di pagi hari yang dingin. Jujur, aku lebih suka mengepel lantai di hari yang panas. Walau berkeringat setidaknya hidungku aman dari mimisan yang tidak keren. Yah.. U know lah.. Sejak dulu aku menganggap cairan bening yang keluar dari hidung ini agak mirip dengan karakter ‘Bo’ di kartun crayon shinchan. Duh, tidak keren sama sekali.
Jauh lebih bagus mimisan darah yang kemudian di gendong sang pangeran.. *eyaa.. Khayalanku mulai menjadi-jadi.. 🤣
Dan Rhinitis alergi ku mencapai puncaknya jika aku sudah berhadapan dengan kucing. Jika sudah lama bermain dengan kucing mataku akan merah dan gatal, hidungku mengeluarkan cairan yang tidak keren dan rasanya luar biasa gatal.Anehnya, aku tidak jera bermain dengan kucing. Jika alergi ku kambuh aku hanya berhenti sejenak bermain dengan kucing. Kemudian membasuh muka dengan air bersih berkali-kali. Jika keadaanku sudah normal maka aku akan mengulangi kebiasaanku. Bagiku, bermain dengan kucing seperti kecanduan. Menyayangi kucing itu seperti sebuah therapi psikologis untukku. Jadi, biarpun aku alergi.. Tetap saja aku mencintai kucing lebih dari apapun.
Lalu, sejak kapan aku mulai sensi dengan kucing?
Bukan, bukan sejak menikah. Asal kalian tau saja.. Suamiku penggila kucing tingkat akut. Dan itu salah satu hal yang kusukai darinya. Karena akupun pecinta kucing garis keras.
Sejak hamil pun aku punya kecanduan dengan kucing. Aku memelihara kucing sejak TM 1 sampai TM 3. Merawat kucing sakit, membersihkan pup nya. Hingga para tetua menceramahiku bahwa kucing tidak baik bagi Ibu hamil karena yaah.. Search sendiri di google yak. Tapi aku cuek, toh kucing binatang kesayangan nabi. Itu pembenaranku. Aku bahkan sempat menulis tentang TORCH dan kucing dahulu.
Dan semuanya berubah sejak Farisha lahir..
Kalian tau? Sejak Farisha lahir aku tidak punya kucing di rumah karena kucingku dahulu sudah meninggal. Tapi bukan itu masalahnya. Toh aku punya Farisha dan dia telah mengisi seluruh waktuku. Jadi, kecanduan ku pada kucing tertutupi dengan munculnya Farisha.
Masalahnya adalah Farisha ternyata juga Rhinitis Alergi sama sepertiku
Iya, penyakit itu menurun pada anakku. Setiap cuaca dingin Farisha selalu pilek. Jika terkena debu ia langsung bersin. Dan jika bersentuhan dengan kucing.. Yah.. Itu yang terparah.
Entah kenapa aku tidak bisa melihat anakku ‘menderita’ karena kucing. Secara otomatis aku langsung menjauhkan kucing dengan Farisha. Aku ingin melindunginya. Aku tidak ingin penyakit tidak keren Farisha kambuh karena kucing. Aku tidak tega melihat matanya merah dan berair. Aku BENCI setiap kali melihat kucing mendekati anakku.
HUSH HUSH..
Seruan itu sering aku serukan setiap kali melihat kucing mendekati Farisha kecil. Bagiku, anakku jauh lebih berarti dibandingkan dengan kucing. Entah selucu apapun kucing itu. Padahal, Farisha selalu menangis setiap kali melihatku memburu kucing. Aku tau, Farisha suka sekali pada kucing. Setiap kali melihat kucing, Farisha kecil selalu berseru dengan bahasa bayi. Dia memanggil kucing dengan sebutan “Biii..” waktu itu. Tapi bagiku, kucing tersebut terlihat seperti pembawa penyakit. Yah, itulah.. Sejak menjadi Emak-emak perasaanku pada kucing berubah 180 derajat.
Kini aku mengerti perasaan mama dahulu. Kenapa mama tidak memperbolehkanku memelihara kucing.
Menumbuhkan kembali rasa cinta pada Kucing selama menjadi Emak-emak
Tapi, rasa benci itu tidak boleh kekal. Aku harus belajar mencintai. Seperti mamaku dahulu yang belajar menerima dan mencintai apa yang disukai oleh anaknya..
Maka, tepat ketika Farisha berumur 3 tahun.. keluarga kami memutuskan untuk mengadopsi kucing dari Ibu Manik, teman dosen ayah Farisha di kampus. Kucing ini berjenis Tonkiness. Matanya biru dan belangnya putih keabu-abuan. Kami memeliharanya sejak berumur 2 bulan. Kalian tau? Farisha sangat amat senang ada kucing di rumahnya. Kucing itu bernama Dusty.
Selama 2 tahun Dusty di rumah, aku pernah berteriak memarahinya beberapa kali. Bahkan pernah menangis dan meminta suamiku membuangnya. Bagaimana tidak? Kucing ini beberapa kali pup dan muntah di rumah. Sementara pekerjaan rumahku banyak. Belum lagi kalau Farisha alergi.. Rasanya itu Grrrrrrr…..
Walau suami berjanji akan mengurus segala hal tentang kucing itu tetap saja aku yang 24 jam berada di rumah. Kadang, aku bisa saja iseng memangkunya sekedar untuk bernostalgia dengan masa kecilku yang begitu menyayangi kucing. Sayangnya aku lebih sering emosi dengan kucing ini. Tapi serius, mungkin ini namanya benci tapi cinta. Masa sih setiap hari aku yang rutin memberinya makan. Bahkan aku juga yang kepasar membelikan ikan pindang khusus untuknya. Membersihkan ikannya dan membumbuinya dengan garam dan asam lalu menggorengnya. Dih, aku ini benci atau suka sih dengan kucing ini?
Ah, entahlah..
Dan emosiku semakin menjadi-jadi kala menghadapi masa birahi nya sang kucing. Bayangkan! Gorden, dinding, lemari dan perkakas lain di rumahku selalu dipipisin si Dusty. Bahkan walau sudah aku teriaki pun sempat-sempatnya si kucing nyemprot. Mengesalkan sekali. Puncaknya, pernah loh aku mengambil sapu dan mengejar kucing ini dihalaman. Jangan khayalkan kekonyolannya.
Sungguh, ini memalukan. 😣
Akupun curhat dengan Suami. Meminta agar si Dusty di kebiri saja. Mengesalkan sekali dia. Dan kalian tau apa yang dilakukan suamiku?
Dia membawa kucing baru ke rumah. 😅
Namanya Finger. Warnanya jingga dan putih. Dia kami pelihara sejak berumur 3 bulan. Kucing yang satu ini jauh lebih menyenangkan. Mungkin juga karena ia mengingatkanku pada kucing jalanan yang aku pelihara pertama kali waktu kecil. Kucing ini manja sekali. Dia selalu ingin tidur di kaki majikannya. Aku sih oke ya.. Asal Farisha tidak tidur dengannya.
Finger adalah kucing terbaik yang pernah dimiliki keluarga shezahome. Untuk ukuran kucing domestik, kucing ini memiliki bulu yang bagus. Dan dia sangat manja dengan majikannya meskipun sudah memasuki umur birahi. Suamiku berkata, “Finger bagaikan istri kedua.. “
Yaah.. Eike dipoligami sama kucing.. Genks.. Kucing laki-laki pulaa.. Wkwk..
Sayangnya Finger menghilang saat Humaira lahir. Iya.. Hilang begitu saja genks.. Entahlah kenapa itu pokoknya aku ikut sedih dan merasa kehilangan banget.
Sejak Finger hilang, si Dusty mulai suka kerumahku lagi. Tapi, Dusty yang sekarang sangat berbeda. Ia hanya pulang untuk sekedar minta makan. Selebihnya, dia hanya meninggalkan pipis dan keluar lagi untuk berpacaran. Hmm.. Dasar playboy. Karena itu, kami keluarga shezahome memutuskan untuk memelihara kucing baru di rumah.
Namanya Hatori dan Shiro. Kucing ini didapatkan dari teman kampus suamiku. Umurnya masih 2 bulan saat kami adopsi. Ini adalah kali pertama aku memelihara 2 ekor anak kucing di rumahku sendiri. Apalagi keduanya masih kecil dan tidak bisa ditaroh diluar rumah. Alhasil, cobaan pup dan pee di pagi hari selalu menguras emosi.
Sensi kepada kucing datang lagi. Yah.. Sepertinya aku benar-benar mengerti kenapa para emak-emak kadang suka benci sama kucing. Haha..
Tapi aku menghadapinya. Kadang aku ikut membersihkan kotorannya. Kadang, aku mengajak Humaira ikut bermain dengannya. Ya, asal kalian tau juga.. Humaira juga memiliki Rhinitis alergi yang menurun dariku. Tapi aku memutuskan untuk menghadapi alergi itu.
Karena konon aku percaya pada sugesti konyol para tetua, yaitu..
“Penyembuh alergi adalah menghadapi alergi itu sendiri. Bukan menghindarinya.. “
Ah, semoga saja benar. Karena bagaimanapun juga.. Sulit rasanya membenci Makhluk lucu ini..