Pesan Tentang Hidup Bahagia Ala Mama Mertua
“Kalau menuruti nafsu manusia.. Gak akan ada habisnya hidup ini. Selalu ada yang dikejar.”
Suamiku tersenyum mendengarnya.
“Tapi kita itu berusaha bukan buat menuruti nafsu Ma. Kita tuh berusaha supaya bisa membantu orang. Coba kalau anak mama ini pasrah jadi PNS aja. Gak bakalan bisa membuka lapangan kerja. Dan gak bakalan bisa membantu keluarga dengan banyak..”
“Kalau prinsip kamu sudah benar nak. Yang mama maksud bukan itu. Coba lihat sekeliling kita. Banyak sekali orang-orang yang sebenarnya tidak tergolong mampu. Tapi suka sekali ganti-ganti mobil. Ya memang itu urusan mereka. Tapi apa iya kita harus hidup untuk mendapat penilaian dari orang lain dengan menyakiti diri sendiri. Itulah yang dimaksud hidup tidak ada habisnya.. Terlalu mengejar mata dunia..”
“Ya biarin aja ma.. Selama mereka bahagia. Nanti juga bakal sadar dan menyesal sendiri” Sahut Iparku di kamar sebelah..
Aku cengengesan mendengarnya.
“Selama mereka bahagia, itu selalu jadi pembelaan. Manusia itu, tidak bisa membuat batas dalam mengukur kebahagiaan.” Pikirku
Pesan Bermakna Untuk Mengukur Batas Kebahagiaan
Salah seorang dosen ekonomi islam di kampusku selalu saja mengulangi statement yang sama setiap kali pertemuan.
Kebutuhan manusia itu terbatas, keinginannya yang tidak terbatas
Tapi dalam menjalani kehidupan, aku menyadari bahwa hasrat ‘ingin’ merupakan sebuah power dalam kehidupan. Manusia memang didesign sedemikian unik. Ia punya akal, juga punya nafsu. Nafsu membuatnya bersemangat, tapi akal membatasinya. Begitulah pola yang terjadi.
Belakangan, pola itu sering mengalami kebablasan. Atas nama kebahagiaan, segala ‘ingin’ diciptakan. Sebuah saran dianggap parasit. Sementara ‘atas nama bahagia’ maka keinginan yang sebenarnya hanya butuh pengakuan selalu dijadikan alasan.
Banyak terjadi. Karena kurang merasa bahagia, maka manusia sering menyakiti dirinya sendiri. Menguras finansialnya untuk mengemis perhatian dari orang lain. Sekedar mendapatkan pengakuan. Lalu jika sudah dapat, pola itu tak kunjung usai. Ia ingin minta lagi dan lagi.
Lalu sebenarnya siapa sih yang ingin kita bahagiakan? Mata orang lain atau diri kita sendiri?
Pernahkah kalian berpikir kenapa kita diberikan nafsu oleh Tuhan?
Mungkin.. Hal itu karena kita ‘manusia’ harus memiliki impian..
Pentingnya Membedakan Impian, Pengakuan Hingga Ambisi untuk Batas Kebahagiaan
“Zaman sekarang, banyak orang salah persepsi tentang definisi bahagia.”
Pillow talk dengan suami malam itu begitu melekat di kepalaku.
“Mungkin, karena zaman sekarang mental health juga jadi perhatian khusus sih bah. Mereka melakukan hal-hal demikian karena psikisnya juga bermasalah..”
“Iya.. Tapi manusia perlu paham bahwa untuk memperbaiki diri.. Itu tidak bisa dimulai hanya dengan self reward remeh hingga mengemis pengakuan orang lain yang tiada habisnya. Itu bukan mengobati. Cenderung menganiaya diri sendiri.. “
Lantas, tahukah kalian bagaimana persepsi bahagia bisa tercipta?
Dimulai dari hal sederhana ternyata. Kita harus bisa membedakan antara impian, pengakuan, hingga ambisi.
Impian adalah hal yang benar-benar ingin kita lakukan dan bertujuan positif di masa depan. Impian selalu diatur setinggi mungkin. Ada rasa senang didalam menjalaninya. Apalagi jika membuat orang ikut merasa terbantu. Kita cenderung tidak peduli dengan penilaian toxic dari orang lain tentang impian. Selama itu bisa meningkatkan kualitas diri dan tujuan hidup yang lebih baik. Kenapa tidak?
Contoh, Seseorang memiliki mimpi besar untuk membangun sebuah perusahaan. Ia memiliki uang sebesar 1 M untuk mengembangkannya. Uang tersebut ia peroleh dari pola hidup yang sederhana. Banyak orang disekelilingnya menganggapnya pelit, kikir dsb karena tak pernah menikmati hidup. Tapi, ia tidak peduli. Toh, itu impiannya bukan? Bersakit-sakit dahulu supaya bisa mengembangkan mimpi dan membantu orang kemudian? Kalian tau, jika kita hidup dengan membangun mimpi.. Maka tangki bahagianya selalu terisi berkesinambungan.
Dan apa itu Pengakuan? Pengakuan adalah hal yang kita lakukan semata-mata untuk mendapat apresiasi dari orang lain. Kita tidak peduli hal itu benar atau salah. Selama itu bisa menyenangkan orang lain. Kenapa tidak?
Contoh, Seseorang memiliki kemampuan finansial yang pas-pasan. Namun, karena begitu banyak tuntutan dari orang sekeliling.
“Beli mobil, renovasi rumah, beli ini itu..”
Maka ia lemah, dan melakukan hal yang tidak seharusnya. Ketika sudah mendapat pengakuan ia bahagia. Namun, kebahagiaan yang dibangun atas nama pengakuan tidak akan restok dengan benar. Pengakuan cenderung akan menyakiti diri sendiri. Dan selalu meminta ‘lagi, lagi dan lagi’ tak ada habisnya.
Seperti layaknya kata-kata diatas..
“Hidup jika mengejar dunia.. Tak ada habisnya..”
Kalau dinilai dengan singkat, Impian ini memiliki kebahagiaan jangka panjang sedangkan pengakuan memiliki kebahagiaan jangka pendek.
Dan diantara keduanya, ada satu hal yang kadang muncul dan mirip dengan gabungan keduanya. Kalian tau apa itu?
Namanya adalah Ambisi. 🙂
Sudahkah dalam hidup ini kita berkenalan dengan rasa ‘ambisius’? Aku? Sering.
Ambisi terjadi ketika impian dan pengakuan bersatu. Seringkali dalam kehidupan hal ini terjadi pada sebuah kompetisi.
Menang-Kalah..
Ambisi adalah impian yang ingin diakui dengan kemenangan. Agar orang-orang yang menyayangi kita dapat mengakui kita lebih tinggi.
Ambisi seringkali terjadi jika impian kita tak kunjung mendapatkan semangat dari orang sekitar. Akhirnya, kita semacam mencari ‘pembuktian’
Pertanyaannya, Apakah rasa ambisius itu salah?
Bisa jadi salah, bisa jadi pula benar.
Benar ketika kita memunculkan semangat sendiri dalam mengejar ambisi. Namun, bisa menjadi salah saat kita tidak ‘legowo’ dengan hasilnya. Ambisi bisa menjadi salah ketika rasa ingin diakui lebih tinggi dibandingkan rasa legowo.
Karena itu, aku menyimpulkan bahwa..
Jadilah manusia yang terus membangun mimpi, tapi juga menikmati proses jatuh bangunnya.
Karena bahagia tak melulu dinilai dari hasil.
Well, aku pernah menuliskan tulisan yang mirip dengan hal ini. Meski terdengar pesimis tapi sesungguhnya, saat menjadi ibu kadang kala kita harus menurunkan ambisi.
Baca juga: Haruskah seorang Ibu mengejar mimpinya.
Pesan Mama Mertua, “Jadilah Manusia yang Biasa-Biasa Saja”
Terdengar pesimis bukan? Percayalah arti kata-kata Mama Mertua bukan sesederhana itu.
Dalam bahasa banjar kepanjangan dari kata-kata itu adalah..
“Babila Sugih Jangan Tatawa, Babila Miskin Jangan Manangis..”
Artinya: Jika Kaya jangan tertawa, Jika Miskin jangan menangis.
Seringkali, kita sebagai manusia begitu over dalam mengeluarkan ekspresi. Begitu pula dalam membendung keinginan. Padahal, sungguh andai saja kita itu bisa ‘biasa-biasa saja’ dalam setiap proses kehidupan, mungkin itu jauh lebih baik. Tapi, ya begitulah manusia bukan?
Aku mengartikan kalimat itu dalam konteks yang berbeda. Yaitu dalam membangun mimpi.
Mungkin maksudnya adalah.. Ketika kita membangun mimpi, jika berhasil maka jangan sombong. Sebaliknya, jika tidak berhasil maka jangan sedih.
Apa maksud menjadi manusia yang biasa-biasa saja?
Jadilah manusia yang mengenal arti ‘cukup’ dengan baik. Paham dengan hidup harus memiliki impian. Setuju bahwa dalam prosesnya tidak perlu pengakuan serta legowo dalam setiap tantangan hingga level ujian yang ada.
Ah, semoga saja bisa demikian. Mungkin benar adanya bahwa bahagia itu sederhana. Jika kita mengerti maksudnya.