Browsed by
Tag: Teman Imajinasi masa kecil

Aku dan Teman Imajinasiku

Aku dan Teman Imajinasiku

Mereka berkata bahwa masa kecil seseorang akan mempengaruhi 50% karakternya saat dewasa. Dan hari ini, aku ingin bercerita..

Masa kecilku tak seperti kebanyakan anak pada umumnya

Bukan..

Aku bukanlah seorang tarzan yang hidup dihutan sebatang kara dan berteman dengan gorilla maupun monyet-monyet.

Bukan pula seorang anak yang hidupnya sebatang kara tanpa teman dipanti asuhan.

Bukan seperti Putri Salju yang hidup terkurung di istana karena Ibu Tiri yang jahat.

Bukan pula seperti Cinderella yang ditinggal mati Ibunya dan mulai mengkhayal memiliki Ibu Peri.

Bukan seperti itu.

Hidupku sempurna. Aku memiliki Ayah, Ibu dan seorang Kakak laki-laki yang menemaniku sejak kecil. Kami hidup di desa. Dimana saat itu tetangga yang kumiliki sangat..

Sedikit…

Kakakku adalah satu-satunya temanku. Kebanggaanku, orang yang selalu kubuntuti kemanapun ia pergi. Jikapun aku tau tentang tujuan hidup saat itu, maka jawabanku sangat sederhana.

“Aku ingin bersama Kakakku selamanya”

Namun semuanya berubah sejak aku mulai mengenal sekolah. Aku mulai mengenal teman perempuan sebaya. Kukira, di dunia ini hanyalah aku anak perempuan tercantik didunia. Seperti kata-kata yang dilontarkan kakakku.

Aku menyukai dunia sekolah saat itu. Namun aku sedikit lambat dalam proses adaptasi. Hal ini mengingat aku tak memiliki tetangga, tak pernah memiliki teman perempuan sebaya sebelumnya, dan cenderung menjadi adik yang manja. Adaptasiku semakin terhambat mengingat Mamaku adalah guru dikelasku sendiri. Sehingga aku lebih menyukai berteman dengan Mama dibanding dengan teman perempuan sebayaku. Lambat laun, aku mulai merasakan perasaan iri dari teman-temanku karena kedekatanku dengan Mama yang merupakan guru dikelas kami.

Seingatku, aku tak pernah punya teman akrab selagi TK. Aku hanya membuntut pada Mama. Hingga istirahat tiba pun aku takut untuk bermain bersama. Kurasa, tidak ada teman yang bersifat seperti Mama maupun Kakak. Ya, itulah perasaan yang kuingat sewaktu kecil dulu.

Aku tumbuh menjadi anak manja yang rindu akan teman perempuan sebaya, berharap mereka dapat bersifat sama seperti Kakak dan Mamaku..

Maka, aku mulai menciptakan Karakter itu.

source: detikhealth.com

Sejak aku sekolah, Mama mulai menyadari bahwa aku sering berbicara sendiri tanpa Kakak. Mama sering menanyakan hal aneh itu padaku namun aku hanya tersenyum-senyum malu. Aku tau bahwa lawan bicaraku bukanlah makhluk nyata. Aku hanya berimajinasi.

Fase ini beralasan. Kakakku mulai memiliki teman laki-laki dan aku pastinya juga harus memiliki teman perempuan. Namun, lingkungan tempatku tinggal tidak mendukung, begitupun dengan dunia sekolah. Lingkunganku sunyi tanpa satupun tetangga yang memiliki anak perempuan sepertiku. Aku tak pernah bergaul dengan para sepupu karena kami adalah keluarga perantauan.

Pohon-pohon disekeliling rumahku adalah tempat persinggahan imajinasiku. Pohon rambutan adalah rumah Rita, pohon jambu adalah rumah Aulia, dan pohon rambutan kering adalah rumah Gigi. Tidak perlu imajinasi lebih untuk mengkhayalkan Rita dan Aulia karena mereka adalah wujud imajinasi dari teman yang satu TK denganku. Sementara Gigi adalah teman yang kuciptakan sendiri. Dalam imajinasiku, Ia adalah tetangga baruku.

Menggenaskan? Kesepian?

Tidak, itu menyenangkan..

Jika itu tidak menyenangkan, mana mungkin aku masih mengingatnya hingga sekarang? Ya, hingga setua ini?

source: bukubiruku.com

Sewaktu kecil aku sangat hoby memanjat pohon. Tentunya pohon yang kupanjat tidak terlalu tinggi. Pohon-pohon itulah yang telah kujadikan rumah imajinasi untuk setiap teman-teman imajinasiku. Aku bahkan memasukkan karakter detail dari setiap teman imajinasiku. Seperti Gigi, si cengeng yang selalu menangis. Rita, si cantik yang banyak dikagumi. Bahkan Aulia, si baik hati yang suka bermain masak-masakan. Dan aku? Aku adalah teman yang paling mereka sukai.

Aku masih mengingat saat-saat itu. Masa saat aku membawa empat pasang sandal kerumah imajinasi. Kemudian mama panik mencari sandal-sandal dirumah yang hilang. Dan aku dengan wajah tanpa dosa berkata, “Rita, Aulia dan Gigi yang pinjam Ma”

Aku juga masih mengingat saat saat lucu itu. Saat aku menghamburkan baju-bajuku. Mencari baju yang pas untuk boneka susanku. Mengkhayal bahwa salah seorang temanku baru saja melahirkan. Ya, akulah sang dewi penolong yang membantunya melahirkan.

Dan saat pujian-pujian imajinasi itu datang satu persatu dari mulut teman imajinasiku, Mama berteriak menggerutu betapa berantakan lemari pakaianku. Tapi aku tak peduli, di mata teman-teman imajinasiku saat itu aku adalah pahlawan.

Menginjak usia lima tahun imajinasiku semakin berkembang. Mungkin ini karena perubahan teman dari lingkungan nyataku di sekolah. Teman TK yang dulu sekelas denganku sudah memasuki Nol Besar. Dan aku mendapati teman-teman baru di Nol Kecil. Bagaikan senior dikelas baru, aku kini merasa lebih dihargai. Satu per satu mulai berteman denganku di dunia nyata.

Dan teman imajinasiku di rumah mulai berubah tingkatannya. Seingatku, saat itu aku pernah mengkhayal menjadi ‘Tuan Putri’ yang berteman dengan dayang-dayangnya. Maklum saja, zaman itu acara TV sedang ramai-ramainya tentang film asia. Dan setiap sore hal yang kulakukan adalah membawa selendang putih yang dapat kutemukan kemana saja dan menyelimutkannya keseluruh tubuhku. Rasanya saat itu bahagia sekali.

Khayalan terus berkembang dimasa-masa TK hingga akhirnya aku masuk sekolah SD.

SD yang menjadi pilihan orang tuaku saat itu adalah SDN Tampang. Satu-satunya SD di desaku. Lingkungan baru yang satu itu tidak terlalu aku sukai karena sekali lagi aku harus beradaptasi. Kali ini aku harus berlatih benar-benar berteman karena mama kini tak lagi bisa kubuntuti.

Aku tak menyukai lingkungan ini. Apalagi anak laki-lakinya. Anak Desa memiliki kekuatan yang menyeramkan dibanding Anak Kota terlebih dalam olah raga. Seingatku aku selalu menjadi siswi terpayah dalam hal olah raga. Aku tidak tertarik menjalin hubungan dengan teman-teman laki-laki. Hanya satu sampai tiga anak perempuan yang dekat denganku. Tapi, keberadaan teman imajinasiku tetaplah lebih dominan dibanding teman nyataku.

Hingga umur 7 tahun aku masih memiliki teman imajinasi dan keberadaannya masih dominan dibanding teman nyataku. Akhirnya, Mama mulai bertindak. Mama mengenalkanku dengan Yanti, teman SD yang rumahnya paling dekat denganku.

Yanti menyenangkan. Kami membuat rumah-rumahan bersama. Bermain didalamnya kemudian berjalan-jalan bersama dari siang hingga sore hari. Apakah saat itu perlahan teman imajinasiku menghilang?

Tidak..

Dengan percaya diri aku mengenalkan Teman Imajinasiku kepada Yanti.

“Aku tidak melihat mereka” protes Yanti

“Aku juga tidak, tapi menyenangkan jika kita berpura-pura melihatnya”

“Haha.. Kamu aneh win..” Katanya tertawa

“Ayolah.. Ini menyenangkan” kataku memaksa

Aku memperkenalkan rumah-rumah teman imajinasiku. Yanti hanya tertawa dan memanjat pohon itu. Aku mengajaknya pura-pura mengobrol dengan teman imajinasiku. Tapi Yanti bersikeras menghilangkan keberadaan mereka. Akhirnya, kami memutuskan untuk bermain ‘bipian’.

Apa itu bipian? Mungkin terdengar asing ya. Sebagian dari kalian mungkin menyebutnya ‘pepean’ tapi kami ‘urang banjar’ lebih senang menyebutnya bipian, yaitu mainan kertas yang berbentuk karakter wanita lengkap dengan pasangan baju-bajunya. Bagi kami, bipian bagai jenis boneka dua dimensi yang sangat menyenangkan untuk dimainkan.

Source: tokopedia

Mainan bipian sangat menyenangkan saat itu. Aku sangat ketagihan. Aku bahkan belajar menggambar lebih baik untuk dapat membuat salah satu karakter bipian. Saat itu, bipian menjadi tuangan nyata dari wujud teman imajinasiku. Ya, tadinya aku sering keluar dan memanjat pohon untuk berimajinasi. Kini, aku hanya butuh ruang kotak yang berisi kertas, pensil, spidol dan crayon. Saat itu, aku ingat dengan senyum kepuasanku dan berkata, “Lihatlah, kalian semua sudah menjadi nyata”

Aku berbeda, dan aku tetap mensyukuri itu..

Memiliki teman imajinasi adalah proses adaptasi psikologis masa kecilku. Aku mengingat hal itu sampai sekarang. Aku tak pernah merasa bahwa aku termasuk anak yang aneh karena suka tertawa sendiri dahulu. Masa kecilku bahagia dan ialah pembentuk diriku yang sekarang.

Baca juga: “Wajarkah Kehadiran Teman Imajinasi pada Anak”

Memang dampak dari teman imajinasi terbawa hingga besar. Dalam proses berteman, aku terbilang sangat pendiam dan selektif. Aku tau aku adalah karakter yang pemilih dan susah untuk dijadikan teman akrab. Saat SD hanya Yanti dan Wiwik yang menjadi teman dekatku. Seiring berjalan waktu mereka berubah. Sejak lulus SD, Yanti telah berpindah rumah dan jauh dariku. Dan sejak SMP Wiwik berubah menjadi lebih gaul dibandingkan denganku yang ‘begini-begini saja’.

Aku percaya, dalam setiap proses penciptaan Tuhan ia telah menanamkan karakter yang berbeda pada setiap manusia. Seperti aku yang lebih suka hidup diruang imajinasiku, selektif dalam berteman dan tidak suka keramaian berlebihan. Dan aku hanya berharap suatu hari dapat menemukan orang berkepribadian terbalik yang dapat merubah karakterku yang ‘parah’.

Tapi itu omong kosong. Sudah berapa banyak aku berteman dengan karakter yang berlawanan denganku? Pada akhirnya, aku hanya butuh karakter yang sama denganku untuk dapat melihat potensiku.

source: pinterest

Ialah suamiku, bukan teman imajinasiku..

Ia adalah sosok nyata dari gabungan karakter teman imajinasiku..

Ia adalah temanku sekarang dan selamanya.. 😊

IBX598B146B8E64A