Wajarkah kehadiran Teman Imajinasi pada Anak? 

Wajarkah kehadiran Teman Imajinasi pada Anak? 

Siapa yang waktu kecil punya teman imajinasi? Angkat tangan.. 🙋

(Sepertinya cuma aku.. Hiks) 

Beberapa hari ini aku tertarik untuk sedikit belajar tentang Psikologi. Aku tertarik dengan ilmu ini sejak memiliki anak. Kau tau kenapa? Karena aku ingin memahaminya. 

Ya, anak itu spesial. Melihat caranya tumbuh dengan berbagai polahnya yang membuatku sadar bahwa ilmu memahami seharusnya aku dalami sejak dulu. Dulu aku merasa bahwa memahami anak kecil sejatinya adalah mencoba flashback dengan masa kecil kita sendiri. Yup, inner child. 

Tak semua Ibu memiliki Inner Child yang sempurna. Kadang kala Inner Child membisiki_memaksa kita menghadapi anak kita sendiri untuk sama seperti saat kita kecil. Pertanyaan selanjutnya, Apakah wajar bentuk pemaksaan itu? 

Yup, aku akui. Beberapa hari ini aku sedang mengetes imajinasi anakku sendiri. Aku ingin tau seberapa besar daya khayalnya. Apakah sama sepertiku dahulu? Atau benar-benar berbeda. 

Ini terjadi ketika pertama kali aku membiarkannya bermain sendiri. Aku melihatnya duduk bosan sambil memegangi bonekanya. Termangu. 

Aku ingat sekali bahwa sudah berapa kali aku mengajarinya tentang bagaimana pura-pura berteman dengan boneka. Bagaimana cara menganggap boneka itu adalah benda hidup. Aku mengajari hal ini karena saat itu terlintas ‘rasa bosan’ saat aku harus berjam-jam menjadi teman mainnya. Tapi didalam otak anakku hanya mengerti satu hal “boneka ini tidak hidup, mama yang menghidupkannya” 

Ini bukan anak saya ya, Saya ambil gambar ini karena bagus aja.. 😛

Jadi, ketika aku menghilangkan diri dalam permainan Farisha maka boneka itu adalah benda mati. Benar-benar mati. 

Aku mencoba mengarungi masa laluku dahulu. Aku pikir aku berbeda dengan Farisha. Dulu waktu aku seumur dia aku sudah memiliki teman imajinasi. Bukan hanya satu, tapi banyak. Seingatku ada 4 orang dan semuanya perempuan. Aku cukup ingat betapa konyolnya aku berjalan-jalan sendiri menghampiri pohon rambutan, jambu biji dan mangga sebagai perwakilan dari rumah teman-teman imajinasiku. Aku punya duniaku sendiri. 

Tapi Farisha? Dia tidak betah bermain sendiri tanpaku. Kadang dia main keluar rumah tanpa seizin dariku, lari untuk bermain bersama tetangga. Andai berbicara sendiripun dia pasti punya alasan. Berbicara dengan siput misalnya. Setidaknya bila berbicara dia ingin berbicara dengan sesuatu yang bergerak. Aku menyadari dia tidak punya ‘yang lain’ dalam hidupnya. 

Dalam memahami Tuhan pun Farisha sangat kompleks. Tidak seperti aku yang manggut-manggut saja dulu. Dulu, aku pernah bertanya dengan Mama. 

“Tuhan tu Allah kan Ma? Allah dimana?”

Mama menjawab, “Allah diatas sayang” 

Dan aku selalu mengimajinasikan bahwa Allah ada diatas awan mengawasiku. Aku tak pernah bertanya hal rumit seperti Farisha… 

“Ma, Allah dimana? ”

Aku menjawab,” Dihati Farisha sayang, kemana aja Allah ada sama Farisha”

Farisha “Berarti kalo hati Farisha dibelah keluar Allah lah?” 

Aku menjelaskan kepada Farisha tentang Hati dalam versi yang berarti adalah perasaan yang bergabung dengan ruh. Namun, Farisha tetap memahami bahwa hati adalah salah satu organ yang ada dalam perutnya. Persis seperti saat dia melihat hati dalam perut ayam dan ikan. 

Aku pun sadar bahwa Inner Child ku adalah masa penuh imajinasi, aku mudah memahami hal yang berhubungan dengan perasaan dan punya banyak khayalan. Sedangkan Farisha adalah anak yang sangat realistis. Sampai kapanpun aku mengajarinya berimajinasi_Farisha tetap suka membuka matanya dan melihat fakta. 

Akupun maklum dengan itu semua. Jika aku telaah lebih mendalam tentang inner childku_tentang kenapa aku bisa punya teman imajinasi maka hanya satu jawabannya. Yup, aku kesepian. 

Aku akui, aku memang punya Mama dan Ayah serta Kakak laki-laki dirumah yang hangat. Namun, menginjak usia 4 tahun aku mulai merindukan adanya teman perempuan seusiaku di sore hari. Aku adalah anak yang luar biasa pemalu. Saat TK aku hanya mengetek dengan Mamaku dan tak terlalu banyak punya teman_walau aku ingin sekali. 

Maka aku memutuskan menciptakan imajinasi itu sendiri. Setiap sore aku berbicara sendiri dipepohonan. Lingkunganku adalah lingkungan pedesaan yang lumayan sunyi. Tidak ada teman perempuan nyata untuk anak seumurku saat itu. Itu adalah alasan kuat untuk menciptakan teman imajinasi. 

Sampai kapan teman imajinasi ada? 

Sampai aku mempunyai teman nyata yang ‘asli’. Dan Farisha sudah memiliki teman nyata dan asli sejak seumurku waktu itu. Jelas sudah, dunia Farisha penuh dengan Teman Realistis. Tidak sepertiku. 

Dari pengamatanku, Farisha tumbuh menjadi anak yang ‘memiliki beberapa kepribadian ekstrovert’ walau kedua orang tuanya dominan introvert. Hal ini membuatku merenung bahwa mungkin saja kepribadian introvertku sebenarnya terbentuk karena faktor lingkungan. 

Karena Farisha tidak memiliki Teman Imajinasi sepertiku dulu maka jelas tulisan ini tidak akan membahas tentang perkembangan anakku. Melainkan tentang diriku sendiri dan para ibu yang anaknya sekarang memiliki teman imajinasi. 

Sebenarnya Apakah Wajar kehadiran teman Imajinasi Pada anak? Apa sebenarnya faktor yang menyebabkan hadirnya teman imajinasi?

Menurut psikolog pediatrik Dr. David Erickson, Ph.D. dari Glenrose Rehabilitation Hospital di Edmonton, Canada dan Associate Clinical Professor of Pediatrics di University of Alberta, teman imajinasi pada anak ini sering dialami oleh anak-anak karena keberadaan teman imajinasi memungkinkan mereka untuk keluar dari situasi yang tengah dijalani dan membuat realita yang sebenarnya mereka harapkan terjadi. 

Dengan memiliki teman imajinasi anak menjadi ‘pengontrol’ dalam imajinasinya. Ia dapat berekspresi sesuai kehendaknya. Berpura-pura senang, sedih, tertawa, dan pengandaian lainnya. Dengan berimajinasi anak menjadi bebas melakukan apa saja untuk mengatasi kesendiriannya. 

Bagaimana sebenarnya berbagi tipe wujud dari teman imajinasi yang diciptakan anak kita? Berikut berbagai wujud dan faktor yang melatarbelakangi imajinasi tersebut:

1. Menciptakan Teman Bermain karena merasa sendirian

Sebagian besar teman imajinasi tercipta karena rasa kesepian. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak sulung cenderung memiliki teman imajinasi. Hal ini karena ia tak memiliki adik untuk diajak bermain maupun berbagi emosi.

Ini gambar lucu, aku selipin aja.. 😀

Untuk anak yang merasa kesepian wujud teman imajinasi fase pertamanya adalah berupa teman bermain. Namun tidak menutup kemungkinan ia dapat menciptakan wujud lainnya sesuai perkembangan emosi yang dimilikinya. 

Bentuk teman imajinasi berupa teman bermain ini biasanya muncul sangat sering. Karena kebutuhan anak akan teman tergolong tinggi. 


2. Menciptakan Figur Tokoh Sang Pembela karena Persaingan

Kebanyakan anak yang memiliki teman imajinasi adalah si sulung yang tidak punya adik. Namun, tidak menutup kemungkinan di tengah dan si bungsu juga memiliki teman imajinasi. Karena teman imajinasi muncul ketika realitas tidak sesuai dengan kenyataan.

Biasanya anak tengah maupun bungsu mengalami situasi ketidakpuasan karena sibling rivalry. Kemudian mereka berandai-andai memiliki kakak yang ‘begini’ maupun ‘adik’ yang begini. Mereka memunculkan tokoh imajinasi tersebut begitu saja untuk merasa dibela. 

Pada kebanyakan anak perempuan sosok Imajinasi Pembela ini sering muncul dengan sebutan ‘Ibu Peri’. Mereka mengkhayal bahwa apapun yang terjadi Ibu Peri selalu melindunginya dan mendukungnya. 

Bentuk teman imajinasi jenis ini muncul ‘saat terdesak’ karena anak membutuhkan sosok pembela agar membenarkan hatinya

3. Menciptakan Figur Jahat sebagai tantangan

Anak dengan kehidupan sempurna yang tidak kesepian dan banyak teman pun tak luput dari kebutuhan akan teman imajinasi. Hal ini dikarenakan kebutuhan emosi anak tergolong kompleks. Ia butuh tantangan.. 

Karena itu ia mengkhayal ada tokoh jahat yang sedang mengincarnya. Dan pahlawannya? Adalah dia sendiri. 

Bentuk imajinasi jenis ini biasanya tidak bertahan lama. Kemunculannya hanya sesekali saja. Kadang kala, saat anak melakukan kesalahan ia dapat menciptakan figur jahat ini sebagai pelaku sebenarnya dari kesalahannya. 

Dari beberapa alasan dan jenis Teman Imajinasi di atas maka dapat disimpulkan bahwa Teman Imajinasi adalah bentuk adaptasi psikologis dari rasa tidak menyenangkan yang ditimbulkan oleh Anak agar dapat diubah menjadi situasi yang menyenangkan.

Lalu anehkah jika anak memiliki Teman Imajinasi? 

Tentu saja Tidak! Teman Imajinasi adalah hal yang wajar. Kita harus mengakuinya. Aku_sudah mengakuinya bahwa pernah memiliki teman imajinasi dahulu. Lalu apakah aku gila karena saat kecil pernah berbicara dan tertawa dengan pohon? Haha.. Mari kita lihat faktanya.. 

Penelitian baru-baru ini memberikan jawaban bahwa teman khayalan adalah bagian yang umum terjadi dalam perkembangan pada masa anak-anak. Di Amerika Serikat pada tahun 2004 anak-anak usia pra sekolah dan orang tua mereka mengikuti sebuah penelitian yang meneliti aspek-aspek perkembangan anak, termasuk teman khayalan.

Anak-anak yang mengikuti penelitian itu dipantau kembali setelah mereka bersekolah yaitu ketika usia mereka tujuh tahun. Para peneliti terkejut mengatahui bahwa 65% anak-anak hingga usia tujuh memiliki atau pernah memiliki teman khayalan.

Seperti pada penelitian lain di Inggris dimana teman khayalan berupa mainan khusus diikut sertakan, 1800 anak mengisi kuesioner mengenai teman khayalan. 46% dari mereka mengungkapkan teman khayalan yang mereka miliki sekarang atau pernah mereka miliki, termasuk 9% yang berusia 12 tahun. 

Aku jadi ingat ketika aku membahas tentang teman khayalan ini dengan salah satu temanku. Dia berkata bahwa aku aneh karena pernah memilikinya. Dan kemudian dia berkata ‘Jangan’ ketika aku bercerita bahwa ingin mengajarkan Farisha untuk memiliki Teman Khayalan. Katanya itu akan menghambat fasenya dalam berteman. 

Kenyataannya aku merasa tidak aneh. Bagiku memiliki daya imajinasi berlebih bahkan bisa menciptakan teman khayalan semasa kecil juga bermanfaat. 

Dr. Karen Majors mewawancara anak-anak usia lima hingga sebelas tahun dan orang tua dari anak-anak yang lebih kecil. Semua anak-anak itu mengatakan bahwa teman khayalan penting bagi mereka dan mengapa mereka bergaul dengan teman khayalan.

Kesimpulan yang diambil adalah teman khayalan umumnya merupakan bagian yang sangat positif dalam kehidupan anak. Teman khayalan memberikan rasa senang, menghibur dan menemani bermain. Mereka juga baik hati dan senang menolong, pendengar yang baik dan selalu ada bila dibutuhkan. 

Perlukah anda khawatir jika anak anda memiliki teman khayalan? Jawabanku, Tidak, No Problem. 

Sebaliknya orang tua perlu tau seperti apa wujud teman khayalan si kecil. Jika berbentuk teman bermain mungkin karena dia kesepian. Jika berbentuk sang pembela berjenis Ibu Peri mungkin dia perlu dibela. Jika berbentuk musuh mungkin dia perlu tantangan. Anda harus mencoba untuk menjadi seperti teman imajinasinya sesekali. Mungkin, yang dia butuhkan sebenarnya adalah anda yang pintar berakting. 

Farisha anakku tak memiliki teman imajinasi sepertiku karena kupikir hidupnya sudah terlalu sempurna secara psikologis. Farisha memiliki teman bermain baik dilingkungan maupun disekolah. Dia anak tunggal yang tidak memiliki saingan dan memiliki Ayah yang bisa berakting sebagai musuhnya dirumah. 

Aku sewaktu kecil? Jujur saja aku memiliki semua jenis teman imajinasi diatas. 😂

Kapan kita harus khawatir? 

Keberadaan teman imajinasi adalah sesuatu yang tidak mengkhawatirkan. Namun, akan patut dikhawatirkan jika anak tetap asik dengan imajinasinya sendiri ketika berada dilingkungan sosial. Berarti teman imajinasinya berperan terlalu kuat dalam pikirannya sehingga dia tidak tertarik berteman dengan teman nyata. Kehidupan sosial anak bisa jadi bermasalah karena anak selalu menggunakan imajinasinya untuk melindungi dirinya. 

Kapan teman imajinasi hilang? 

Biasanya teman imajinasi akan hilang dengan sendirinya dalam waktu paling cepat selama enam bulan, teman imajinasi akan hilang jika anak sudah berhasil mengatasi masalah yang menjadi pemicu hadirnya teman imajinasinya ini. 

Seiring berkembang waktu anak akan mengenal sosial emosi dengan berteman secara nyata. Ia juga akan belajar kemampuan bahasa hingga kognitif sehingga secara perlahan akan menghapus kehadiran teman imajinasi karena menyadarinya bahwa itu hanya sebatas khayalannya saja.  

Bagaimana jika teman Imajinasi terus dan selalu ada? 

Jika teman imajinasi anak selalu ada bahkan hingga berumur 7 tahun maka orang tua perlu mengkhawatirkan hal ini dan mungkin perlu berkonsultasi dengan psikolog anak.

Sumber kutipan:

resourceful-parenting

meetdoctordotcom

Sumber Gambar

Komentar disini yuk
11 Shares

Komentari dong sista

Your email address will not be published.

IBX598B146B8E64A