Satu Solusi Jitu untuk MENGAKHIRI masa Tantrum Anakku
Halooow? Hari gini siapa Ibu-ibu yang stress luar biasa punya anak tantrum angkat tangan🙋
Eh, itu sih derita kaliaaan.. Aku udah lewaaaat.. Hahaha.. *peace.. Becanda😂
Iya, sekarang Farisha udah umur 4 tahun dan sudah ga tantrum lagi. Usia tantrum Farisha sekitar menjelang 2 tahun hingga 6 bulan terakhir. Aku punya cerita yang cukup panjang tentang masa tantrum anakku sehingga akhirnya aku menemukan satu solusi jitu. Tapi terlebih dulu, kuharap kalian tidak bosan membaca cerita sebelum ditemukannya solusi jitu itu. *catatan ini cukup panjang
Sebenarnya apa sih tantrum itu? Wajar ga sih? dan kenapa sih anak bisa tantrum? Terakhir yang paling penting, Gimana sih mengatasi Tantrum yang bijak dan benar?
Pernah punya anak ngambek, suka nangis berlebihan kalau apa yang dia inginkan tak tercapai, suka menghentak-hentakkan kakinya tanda tak setuju? Nah inilah disebut dengan temper tantrum. Tantrum adalah Letupan Emosi yang tidak terkendali. *sejenis siklus PMS mungkin bagi anak kali ya.. Haha😂
Umumnya Tantrum terjadi pada anak anak usia 15 bulan hingga 4 tahun. Tantrum adalah Sikap yang ditunjukan berupa perasaan tidak senang pada sesuatu atau lingkungannya. Ketika umur dibawah 3 tahun tantrum diekspresikan dengan menangis, memukul, menjerit, menendang hingga membentur bentur kepalanya ke tembok(ini parah banget ya). Pada usia tiga sampai empat tahun biasanya dengan ekspresi kemarahan yang diungkapkan dengan membanting, merengek, mengkritik bahkan sampai menghentak-hentakan kaki. Pada usia 5 tahun ke atas dengan mengkritik diri sendiri, memukul bahkan yang lebih parah merusak benda benda yang ada disekitarnya.
Beruntunglah Aku, Tantrum pada anakku diatasi sedini mungkin sehingga tidak mencapai level kronis seperti pada kalimat terakhir.
Masa tantrum merupakan masa yang wajar dimana anak mulai menginginkan perhatian dari orang tuanya. Aku percaya Tantrum adalah ekspresi anak untuk sekedar membuat kita perduli padanya. Namun, dia yang masih kecil tentu tidak tau persis bagaimana cara membuat kita peduli, karena itu ia memulai dengan tangisan, jeritan, hentakan kaki dan rengekan hingga pukulan.
Sejak kecil, Aku, Kakak dan Adik kembarku tak pernah mengalami tantrum yang serius. Hal ini berkaitan dengan faktor genetik hingga faktor lingkungan juga tentunya. Mama pernah berkata padaku bahwa diantara keempat anaknya akulah yang paling sering ‘merajuk’ dan menangis jika keinginanku tak tercapai. Aku tak ambil pusing tentang alasannya. Sudah jelas kan, Akulah yang paling melankolis diantara saudaraku terlebih lagi Aku ini Perempuan, satu-satunya.
Kakakku, Sejak kecil sudah mengekspresikan tantrum dengan cara yang cukup cerdas. Mama bahkan sudah puluhan atau hampir seratus kali menceritakannya hingga aku hapal. Kakakku tak pernah menangis kencang, menjerit, apalagi sampai memukul-mukulkan kepalanya. Mama berkata, “Wanda dulu pernah diajak kesupermarket, kami lewat di tumpukan coklat. Wanda cuma diam melihatnya. Ketika sudah satu putaran dia bilang, ‘Ma, Coklat itu enak ya (wanda diam sebentar, merasa tak ditanggapi dia berkata lagi) ulun suka makan coklat tuh, coklat itu enak, lezat’, Mama tentu saja kasihan melihat caranya meminta dan langsung membelikannya”
Hal ini tentu berbeda jauh denganku, sebagai anak perempuan ‘kecil’ ditengah-tengah kakak yang selalu mengalah dan Ibu serta Ayah yang tentu saja kupikir lebih menyayangiku, Aku lebih senang mengekspresikan keinginanku dengan blak-blakan, dibumbui dengan rasa iri dan tangisan. Saat itu yang ada dipikiranku adalah ‘harus aku yang diutamakan’. Aku spesial kan, aku anak terkecil dan perempuan yang lemah.
Tentu saja, Mama tidak mengabulkan begitu saja keinginanku walau aku adalah anak perempuan kecil yang lucu. Mamaku adalah pendidik yang luar biasa. Mama tak pernah menerapkan Pola Asuh Permisif kepada semua anaknya. Mama adalah Pendidik yang Demokratis.
Satu-satunya solusi kecil untuk tantrumku adalah Mengenal Simpati. Sejak kecil, aku sudah sering mendengar cerita mama tentang masa lalu mama. Aku tak tau persis apa maksudnya. Yang jelas cerita itu membuatku kasihan dengan mamaku. Kasihan yang berkelanjutan.
Mama adalah anak korban broken home. Sejak kecil sudah tak dipelihara oleh orang tua kandung. Hidup mama sejak kecil tak pernah tersentuh langsung oleh kebahagiaan memiliki Ayah dan Ibu yang mengabulkan semua permintaan. Sebaliknya, Mama harus bertahan dengan sakitnya hidup dengan keluarga lain. Bertahan agar tetap diterima dengan membantu mengerjakan semua pekerjaan rumah mereka.
“Mama boleh sekolah, asalkan sudah menyapu dan mengepel seluruh rumah. Boleh sekolah, asalkan mau sambil berjualan. Boleh sekolah, asalkan tak meminta uang jajan”
Kisah-kisah hidup mama secara tidak langsung telah membuatku merasa bersyukur. Aku memang tak terlalu memahami kisahnya ketika umurku hampir 2 tahun hingga 4 tahun. Mama menceritakan itu semua kepada kakakku yang berumur diatasku. Aku hanya termangu-mangu tak mengerti ceritanya.
Kesuksesan mendidik Kakakku dalam tantrum membuat kakakku juga sukses membimbingku untuk mengatasi tantrumku. Anak kedua adalah peniru dari anak pertama. Jika anak pertama sukses, anak kedua akan menirunya, tak mau kalah dengan kakaknya. Hukum itulah yang kupegang teguh, hingga sekarang. Aku harus berhasil dengan anak pertamaku.
Ketika Farisha tantrum untuk pertama kalinya aku tentu saja merasa serba salah. Disatu sisi, dia adalah anakku satu-satunya dengan wajah yang teramat lucu. Aku ingin sekali wajah lucu itu selalu terlihat menyenangkan, menghiburku dengan berbagai kelucuannya. Mengabulkan segala keinginan tantrumnya adalah godaan besar bagi seorang Ibu muda sepertiku.
Awalnya, ketika aku mulai mengabulkannya segalanya terasa menyenangkan. Melihatnya tertawa dan riang kembali. Lama kelamaan Farisha mulai merengek lagi, meminta lagi dan lagi lagi lagi. Aku mulai merasa ada yang salah dengan semua ini. Waktuku habis karenanya. Hanya untuknya. Ini salah.
Aku mencoba sedikit kemarahan padanya. Tantrum Farisha yang sangat membuatku kesal (hingga sekarang) adalah Picky Eater yang disertai dengan tangisan. Aku pernah menaruhnya diluar rumah ketika tak mau makan sementara air susuku sudah mulai menyusut. Aku bilang dengan kasar kepadanya “Sudah, ga usah makan aja.. Biarin Kurus, Cacingan!”
Kau tau apa yang terjadi dimalam harinya? Dia langsung gagap. Anakku termasuk lancar dalam berbicara. Malam itu, dia tak bisa berbicara lancar seperti biasa. Sampai berapa lama? 3 bulan. Aku benar-benar jera membentaknya.
Farisha diam dan mengurangi tantrumnya sejak itu. Dia jera. Aku sering memeluknya untuk meekspresikan permintaan maafku. Aku mulai mengerti bahwa lidah Farisha berbeda denganku dan keluargaku dulu. Dia lebih mirip dengan Ayahnya. Dia pemilih dan penuh cita rasa. Aku memakluminya, Aku rasa ‘cita rasa’ adalah bakatnya sejak kecil.
Fase selanjutnya, dia mulai meniru ‘kemarahanku’. Dia sering menghentak-hentakan kakinya dan merajuk dalam bermain dengan temannya. Ingin segalanya hanya tentang dia, milik dia dan untuk dia.
Awalnya aku hanya mendiamkannya menunjukkan kepadanya bahwa caranya meminta salah. Jika tak berhasil, sesekali aku mengalihkan perhatiannya. Hasilnya tentu berhasil. Namun, ini tak bertahan lama. Masih saja ada yang kurang.
Tantrum itu seperti alergi yang muncul jika ada pemicunya. Apa yang harus aku lakukan untuk mempengaruhi otak kecilnya ini? Agar dia mau mengerti tanpa harus mengalihkan perhatiannya, sok merajuk padanya, menunjukkan sang emak adalah pemimpin dirumah hingga Jurus terakhirku membandingkannya dengan anak yang berperilaku lebih pintar. Semua solusi itu tak pernah bertahan lama. Tidak pernah. Hanya sekedar obat sementara yang hilang lalu kambuh lagi ketika pemicu alergi menyerang. Aku perlu benar-benar mengakhirinya.
Aku belum pernah membaca Teori Parenting tentang tantrum? Percayalah aku sudah membacanya. Cara mengatasinya dengan berbagai bentuknya. Pada akhirnya teori hanyalah sekedar teori yang kemudian pengalamanlah yang mengajarkan kita segalanya. Hanya kita yang tau persis tentang anak kita. Penanganan terakhir pada sesi tantrum adalah tentang cara kita belajar dari pengalaman. (Sementara cara lainnya sebelum penangananku ini bisa anda cari sendiri di google😅)
Kemudian aku teringat tentang cerita-cerita sedih Ibuku. Aku sadar ada satu hal yang belum aku coba. Aku belum mengajarinya tentang rasa kasihan. Ya, kasihan yang membuahkan rasa Simpati dan Empati.
Pertama kali aku mengajarkan rasa kasihan tentu saja dengan menceritakan tentang penderitaan orang lain. Karena jelas masa kecilku sungguh bahagia, tak seperti mamaku. Serial TV disore hari (entahlah aku lupa nama programnya) adalah yang menyentuh ingatanku untuk mengajarkan kasihan padanya.
“Lihat, anak itu harus mengais-ngais sampah, mencari barang bekas, sisa makanan untuk dimakan” Kataku.
“Mamanya dimana? Mamanya tidak memasak? ”
“Mamanya Sakit, Ayahnya meninggal. Tidak ada yang nyari duit. Anak-anaknya akhirnya yang mencari duit, kasiankan?”
(Farisha terdiam, mencari pembelaan)
“Nininya gimana?”
“Nininya meninggal juga sudah, Dia tidak punya apa-apa, Ayah tidak ada, uang tidak ada, makanan tidak ada.. Makan nasi saja sudah membuatnya senang, apalagi mainan, mana punya.. ”
“Farisha aja punya Mama, Abah, Mainan Farisha Banyak nah, Allah sayang kan lawan Farisha”
“Berarti Farisha disuruh Allah supaya mau berbagi dengan Anak-anak yang tidak punya uang, karena Farisha punya semuanya”
“Nanti kalo Farisha mau berbagi dia mau lah bekawan sama Farisha?”
“Mau dong sayang.. ”
Itulah awal Aku mengenalkannya pada rasa simpati. Aku akhirnya menyadari bahwa jurus ini adalah yang terampuh untuk meracuni otaknya dengan kebaikan.
Moment kedua aku mengajarinya simpati adalah ketika kami berjalan-jalan di mall. Dia merajuk minta belikan barbie. Dia protes, sudah lama dia tak beli mainan. Aku mengajaknya menjauh. Berbisik padanya.
“Farisha tau, mall ini punya siapa? ”
“Ga tau”
“Farisha tau, mall ini punya orang kaya, orang yang sudah punya semuanya, punya mobil, rumah besar, mainan banyak, Farisha mau uang Farisha buat memberi orang yang sudah kaya?”
“Jadi, duit Farisha buat orang yang ga punya duit aja ya?” Farisha bertanya bingung
“Anak-anak semalam di TV kasian kan? Dia ga punya Ayah, mamanya sakit..ga punya rumah”
“Kasian sih.. Tapi Farisha mau mainan”
“Berarti Farisha beli mainan sama orang-orang yang ga kaya aja, jangan di mall, ini punya orang kaya yang beli juga orang-orang kaya, Farisha ini orang kaya bukan?
“Kaya sih, tapi sedikit ajaa”
Aku tersenyum melihatnya, dia mau kubujuk untuk beralih dari Barbie itu. Untung saja pertanyaannya tak memanjang seperti “terus, kenapa mama jalan-jalan di mall buat belanja?” jawabannya tentu saja ’emakmu cuci mata bulanan sayang, alasan nyari diskon padahal bosan dirumah’ wkwkwkwk
Aku Berbisik Pada Farisha “Nanti besok mama ajak ke penjual mainan yang ga punya duit dan sangat butuh duit”
Besoknya aku mengajak Farisha ke SD yang kebetulan dekat dengan rumah neneknya dibanjarmasin. Disana ada penjual mainan yang berpenampilan rusuh. Dan, skenario sedih itu aku mulai.
“Farisha liat lah Paman yang itu, liat, Bajunya jelek, kulitnya hitam badannya kurus. Coba tebak, dia punya duit ga?”
“Sepertinya ga punya ma, dia orang miskin kah? ”
“Orang miskin sayang, duitnya sedikit, yang membeli sedikit, jualannya murah, padahal rumahnya jelek, anaknya makan ga pake lauk, istrinya ga kerja, kasian ga?”
(Farisha terdiam) “Kasian ma, kena beli mainan disini aja lah?”
“Iya, disini aja.. Jangan di mall, di mall itu yang jualan sudah kaya, mainannya mahal, kalau mainannya mahal duit siapa yang cepat habis? ”
“Duit mama”
“Kasian ga mama? Kasian ga abah yang nyarikan duit?
“Kasian.. Ma.. ”
Baiklah.. Pelajaran Simpati sudah menular ke rasa empatinya. Emejing sejauh ini. 😊
Pelajaran simpati dan empati akhirnya membuat Farisha mengerti tentang sifat terpuji lainnya, yaitu berbagi. Suatu malam dia pernah bertanya padaku.
” Ma, kalo Farisha sudah punya duit banyak berarti duitnya buat siapa? ”
” Buat siapa? Farisha tebak sendiri pang”
“Buat anak-anak yang ga punya Ayah, Paman jualan mainan yang miskin, itu aja kah? ”
“Anak yang ga punya Ayah tu namanya Anak Yatim Sayang, Orang-orang miskin itu banyak, bukan cuma paman bejual mainan aja”
“Siapa lagi?”
“Anak Yatim, Ibu yang ditinggal suaminya, Anak Miskin, Paman miskin yang bejualan, Orang-orang yang cacat ga bisa kerja, banyak lagi”
“Ooo.. Gitu, Nanti farisha kasih supaya senang”
Setidaknya pelajaran empati berlangsung baik untuk orang-orang yang perlu dikasihani walau itu belum termasuk ‘teman sepermainan’ 😅
Hasil dari pelajaran empati sungguh menakjubkan. Ketika suatu hari aku berkunjung ke rumah Mamaku Farisha termangu melihat rumah seberang Mama yang terlihat jelek dan bertanya
“Nene, orang diseberang rumah nene itu orang miskin kah? Kenapa rumahnya jelek? ”
Aku cekikikan mendengarnya.
Cerita lain adalah ketika Aku dan Farisha menghadiri majelis di Mesjid Raya Sabilal Muhtadin. Ditengah Ceramah ada beberapa Ibu lewat didepan kami sambil membawa kotak sumbangan. Awalnya Farisha bingung dan bertanya
“Ibunya tu ga punya duit ya ma? Kasiannya”
(aku sempat malu-malu melirik kearah ibu tersebut karena Farisha bertanya dengan Suara yang cukup nyaring)
“Farisha, mesjid ini bagus kah ga? Bagus kan? Farisha tiap minggu kesini, yang membersihkan mesjid siapa? yang bikin air mancur dimuka siapa? Farisha beri uang sedikit untuk membantu supaya mesjidnya bagus”
Farisha ber ‘Oooo’ dan menatap Ibu-ibu itu hingga hilang dari pandangan.
Cerita lain ketika kami pulang dari memarkir kendaraan. Dia bertanya lagi ketika aku memberi uang kepada petugas parkir.
“Ma, orang itu ga punya duit juga ya? ”
” Itu paman parkir namanya sayang, dia menjaga kendaraan mama disini supaya ga hilang, jadi diberii duit”
Otak Farisha sampai sekarang masih mengidentifikasi tentang orang-orang yang pantas diberi. Dari melihat kesusahan orang disekelilingnya secara otomatis dia sudah mengerti tentang rasa syukur yang harus dirasakannya setiap hari dengan berterima kasih. Berterima kasih lah yang membuatnya mengerti tentang arti dari sholat yang sudah rutin dilakukannya walau hanya setiap maghrib.
Pelajaran menanamkan Rasa Simpati dan Empati telah menghapus total tantrumnya dirumah. Memang butuh proses dan waktu yang cukup lama untuk menanamkannya. Percayalah, Letupan-letupan emosi itu hilang seketika ketika dia mengenal rasa kasihan. Dari simpati, dia sudah mulai suka membantuku, membereskan mainan sendiri hingga merapikan tempat tidurnya. Ya, Aku mengajarinya untuk Kasihan padaku. Itu yang utama.
*Ditulis oleh Ibu yang tak sempurna dan belajar dari kehidupan sebelumnya serta sangat mencintai keluarganya..