Browsed by
Month: June 2021

Ujian 9 Tahun Pernikahan: Benarkah Komunikasi Adalah Koentji Untuk Semua Permasalahan?

Ujian 9 Tahun Pernikahan: Benarkah Komunikasi Adalah Koentji Untuk Semua Permasalahan?

“Kamu tuh udah dapet pasangan yang baek. Disyukuri, dinikmati. Kalau ada masalah dikomunikasikan. Bukan ngeluh..”

Ucapku pada diri saat itu. Kala itu, aku mengalami ujian pernikahan yang tidak biasa.

Aku selalu meyakinkan diriku bahwa dalam membangun kehidupan pernikahan setidaknya ada 5 ujian kunci pernikahan yang harus ditaklukkan. Yang pertama adalah ujian penerimaan, lalu ujian ekonomi, ujian anak, ujian orang ketiga, hingga ujian mengeluarkan ekspresi atau komunikasi. Konon, yang terakhir merupakan sebuah kunci jika kita menemui sebuah permasalahan.

Aku membenarkan hal itu. Aku belajar bahwa berkomunikasi dengan pria itu tidak sama dengan berkomunikasi dengan wanita. Pria lebih realistis, lebih to the point. Mengebelakangkan faktor emosi. Tidak suka disalah-salahkan, disindir, apalagi diomongkan dibelakang. Sementara wanita? Kadang sedikit emosional dalam berbicara. Sedikit berkaca-kaca, suka baper dan hatinya jauh lebih dominan dibanding otaknya. Sehingga dia lebih suka mengutarakan sebuah rasa alih-alih to the point dalam berbicara.

Kadang aku bertanya sendiri, apakah cuma aku yang berkomunikasi sedemikian baper? Ternyata, most of wanita memang sedemikian. Bukan cuma aku.

Lantas, kenapa Tuhan membuat pola sedemikian? Pernahkah kalian berpikir kenapa gaya komunikasi pria dan wanita itu berbeda?

Ketika Pria dan Wanita Memiliki Perbedaan Gaya Komunikasi

Sudah pernah aku mencoba berkomunikasi seperti ‘teori komunikasi’ kebanyakan. Bagus memang. Teori komunikasi sedemikian banyak bertebaran sehingga tidak membuat repot bagi wanita emosional sepertiku. Peernya hanyalah bagaimana memanipulasi ekspresi saat sedang kesal. Atau berbicara sok lembut seperti, “Aku kesal kamu begini loh, seharusnya kamu begini. Aku tuh enggak suka bla bla. Aku lebih suka kamu menolong aku begini.. La la la”

Diulang-ulang intonasinya. Entah kenapa, aku merasa sedang membunuh karakter dan ekspresiku sendiri.. ���

Ya, aku memiliki garis keturunan yang berkomunikasi mengedepankan emosi. Mamaku sendiri adalah tipikal yang sering blak-blakan hingga meledak marah-marah saat berkomunikasi tak kunjung menuai hasil. Berkaca dengan masa kecil sedemikian. Karakterku sedikit banyak akhirnya menjadi sedikit mirip dengan Mama. Kalau kelelahan suka mengomel dan mengumpat sendiri. Kalau ingin minta bantuan kadang khilaf berteriak sendiri. Hasilnya? Suami kesal mengutukku tukang sindir bla bla bla.

Karena itu aku mencoba berbagai cara skill komunikasi. Ketika emosiku sedang meledak, sebisa mungkin aku menahan keinginan verbal untuk mengutuk dan mencaci. Sebisa mungkin aku mencoba menulis untuk release. Lalu mendaur ulang tulisan menjadi sebuah nasehat untuk diri dan suami.

Tapi sifat itu tak kunjung hilang. Berkomunikasi dengan kode, tidak bisa blak-blakan saat melihat kondisi suami yang kehilangan empati. Suka menangis andai suami tak kunjung merasa bersalah atas kesalahannya. Aku berpetualang untuk menghilangkan rasa-rasa emosional sedemikian. Ternyata, itu memang tidak bisa dihilangkan. Karena, ya begitulah wanita. Dia makhluk bengkok. Tak bisa langsung diluruskan.

Kemudian aku bertanya-tanya sendiri. Mengapa wanita diciptakan sedemikian? Untuk berdampingan hidup dengan pria yang otaknya realistis dan mengesampingkan emosi? Ternyata, titik temunya.. Ada disatu titik.

Titik itu bernama Cinta.

Ternyata, Kunci Pernikahan Tak Melulu Pada Komunikasi

Sering aku mengintip curhatan para wanita pada grup-grup pernikahan yang aku ikuti. Beberapa memiliki problem yang sama denganku. Aku selalu kepo untuk mengintip kolom komentar, sekedar ingin tau apakah ada pemecahan masalah yang pas untuk kondisiku.

Tak cukup mengikuti grup curhat perempuan aku juga mengikuti ig cerminlelaki demi untuk mengetahui bagaimana sudut pandang lelaki dalam memandang sebuah permasalahan. Aku toh tidak ingin egois. Tak melulu perempuan itu benar bukan? Kadang kita sebagai perempuan juga perlu reframing sedemikian rupa dengan sudut pandang lelaki agar pemecahan masalah menjadi imbang. Kuintip caption dan kolom komentar demi mendapatkan jawaban jika permasalahannya mirip denganku. Tapi lucunya, kolom komentar pun dipenuhi dengan caci maki para kaum emak-emak. Walau sebagian ada juga jawaban yang bijak tapi kadang aku cukup tertawa geli dengan komentar-komentar lucu, saklek, tapi benar.

Setidaknya, melihat dan kepo dengan berbagai masalah diluar sana aku jadi percaya bahwa permasalahan rumah tangga itu selalu ada. Dan jawabannya selalu menjurus pada hal yang sama. Yaitu komunikasi.

Lantas apa iya komunikasi adalah jawaban dari sekian banyak pertanyaan? Lantas bagaimana dengan beberapa permasalahan yang sudah dikomunikasikan sedemikian rupa tetapi tak kunjung mendapatkan solusi?

Sebagai contoh, ada seorang istri curhat tentang sulitnya meminta uang lebih jika suatu hari ada keperluan. Entah itu biaya spp anak, biaya darurat karena mendadak ada sesuatu hingga biaya kebutuhan harian yang mendadak habis di pertengahan bulan. Sang Istri mengeluh ketidakcukupan uang bulanan. Ia mengeluh karena tau suaminya memiliki pemasukan lebih banyak dibanding yang suaminya berikan setiap bulan.

“Gimana ya cara komunikasi sama suami, dia cuma beriin aku uang 1,5 juta sebulan dengan kondisi memiliki 2 anak. Sementara aku tau pemasukannya sebanyak 5 juta. Aku tau kami juga memiliki kewajiban tiap bulan sebanyak 1 juta. Aku juga tau dia memberi sebagian kepada keluarganya. Aku sudah berusaha menambah pemasukan dengan berjualan online. Tapi tidak bisa. Kondisiku juga tidak memungkinkan untuk bekerja diluar. Bla bla bla.. Andai saja dia bisa memberikan uang tambahan setidaknya sebanyak 500ribu..”

Salah seorang netizen mengomentari, “Coba komunikasikan sama suaminya. Rinci biaya pengeluaran sebulan. Rinci kebutuhan spp anak kemudian biaya tambahan lainnya. Juga kemukakan bahwa sebagian biaya sudah dihandle oleh pemasukan mba. Tapi tetep enggak cukup bla bla.. Coba kamu ngertiin aku..”

Kemudian si pencurhat berkata, “Aku sudah sering berkata demikian. Tapi jawabannya selalu sama. Dicukup-cukupkan. Aku juga punya kewajiban sama keluargaku. Ibuku aja cukup segini buat sebulan. Masa kamu enggak bisa..”

Dan netizen pun ramai mengutuki sang suami..

“Lo harusnya nyadar diri pak, kalo gak bisa ngasih nafkah sama istri dan anak. Jangan nikahin anak orang. Urus ibu dan sodara dulu. Kasian anak orang ninggalin dunianya demi elu. Eh.. Elu malah gak ngurusin dia. Malah lebih prihatin ke mama lo.” Komentar salah seorang netizen.

Sementara itu, jika kita mencoba reframing ke kondisi suami. Mungkin saja suaminya merupakan generasi sandwich yang memiliki tanggungan berlebih. Maka, sungguh ini merupakan ujian yang berat. Satu sisi suami memiliki kewajiban pada ibunya. Satu sisi istri dan anak pun dalam kondisi kekurangan. Ditambah mungkin suami tersebut kekurangan empati pada perasaan istrinya dalam sulitnya mengelola keuangan.

Yang membuat aku heran adalah ketika membaca jawaban dari suami ketika istrinya sudah mencoba berkomunikasi. Dimana rasa empati itu? Bukankah pernikahan itu dilandasi oleh adanya rasa cinta?

Setahuku, cinta adalah perasaan yang levelnya lebih tinggi dibanding empati. 

Nah, ini baru permasalahan tentang finansial. Permasalahan rumah tangga itu beragam. Dan salah satu yang paling sering aku temui juga tentang kurangnya pengertian antara satu sama lain.

“Mindad, apakah pekerjaan rumah tangga itu sedemikian beratnya? Saya kalau pulang dari kantor malam-malam pengennya bermanja-manja dengan istri. Tapi melihat isi rumah kepala saya pusing rasanya. Mainan anak berserakan. Masakan dingin dan tak tertata di atas meja. Cucian menumpuk disana sini. Padahal istri saya enggak kerja. Melayani saya diranjang pun tidak bisa. Kadang saya datang bukannya disenyumin malah dikasih muka cemberut. Padahal, sewaktu awal nikah dia gak gitu. Tapi ketika kami sudah punya anak dia jadi 180 derajat berubah..”

Dan aku membaca caption di cermin lelaki, begitu bijak jawabannya. Tidak menyalahkan suami dan tidak pula menyalahkan istri. Dari sering kepo ke akun instagram ini setidaknya aku menjadi paham tentang sulitnya bagi lelaki untuk bisa mengerti kondisi istrinya. Karena ia memang tidak bisa merasakan tanpa melihat langsung dan menjalani secara langsung. Otak lelaki, memang didesain sedemikian rupa. Apalagi untuk lelaki yang masa kecilnya merupakan generasi home service. Apa-apa serba dilayani ibunya. Dia tidak akan mengerti bagaimana rasanya mengerjakan setumpuk pekerjaan rumah.

Raca cinta mungkin merupakan pondasi dalam sebuah pernikahan. Ketika rasa ini memudar karena berbagai permasalahan. Tak melulu jawabannya ada pada kurangnya komunikasi.

Simplenya. Sebelum berkomunikasi pastikan suami memiliki modal ‘rasa’. Atau, jungkir balik komunikasi jawabannya akan percuma saja

Mengisi Tangki Cinta dengan Bahasa Cinta Non Verbal adalah Modal Utama Berkomunikasi Verbal dengan Pasangan

“Kamu salah win, dimana-mana komunikasi itu kunci. Gimana suami bisa ngerti kalo enggak dikomunikasikan?”

“Alhamdulillah ya bund kalau suami Anda langsung nyess ngerti ketika memakai jurus komunikasi. Tapi, kadang masalah tidak sesimple itu solusinya. Tidak semua karakter suami paham akan kondisi istri walau sudah berkomunikasi. Pun sebaliknya.. Jika belum ‘merasakan’ masalah apa yang terjadi..”

“Terus gimana caranya?”

Bangun dulu rasa ‘modal’ cintanya. Agar, komunikasinya ‘berasa’.

Kenapa suamiku berubah? Kenapa istriku berubah? Padahal dulu tidak begini. Padahal dulu ia mengerti kode apapun. Sudah aku kasih kode begini. Dulu dia ngerti, sekarang enggak. Masa aku harus langsung blak-blakan? Kemarin aku langsung blak-blakan tapi suami tak kunjung merasa. Tak kunjung mengerti. Malah membuat pertengkaran yang bikin nyesek.

Pertanyaanku, sudahkah tangki cinta masing-masing pasangan diisi sebelum berkomunikasi? Sudahkah kita mencoba untuk merendahkan ego dan berusaha ikhlas dalam mencintai?

Berterima kasih walau sesedikit apapun nafkah yang ia berikan.

Meminta maaf walau tahu bahwa bukan hanya kita yang bersalah.

Maksimal mencoba mencintai untuk mengisi tangki cintanya. Agar ia mengerti apa sebenarnya maksud komunikasi yang kita utarakan.

Tangki cinta adalah modal receh komunikasi yang tanpa sadar sering tidak kita penuhi. Karena kita sering terdesak ego akan kebutuhan yang mendesak. Tentu itu manusiawi. Tapi, membangun rasa cinta sebelum berkomunikasi itu jauh lebih dibutuhkan.

Pertanyaannya, bagaimana cara membangun dan mengisi tangki cinta?

Well, hanya kamu yang tau caranya..

Mengapa dulu ia sangat mencintaimu? Karena ia melihatmu begitu ikhlas dalam mencintainya. Ciptakan rasa itu kembali. Walau seberat apapun rasanya. Kadang, itulah modal untuk membuatnya merasakan kembali rasa yang sama.

Kalian tau? Cinta itu tak melulu tentang komunikasi verbal. Jauh lebih banyak dibangun oleh hal-hal yang berbeda. Komunikasi hanyalah kunci kesekian dari sekian banyak rumus pernikahan. Cinta adalah dasarnya. Dan bahasa cinta non verbal itu jauh lebih bermakna dibanding susunan komunikasi verbal yang dilatih sedemikian rupa dengan ekspresi yang meyakinkan. Perhatianmu, bahasa tubuhmu, ekspresi mata dan bahkan mungkin masakan dan riasanmu bisa saja menambah rasa cinta. Tak melulu tentang itu mungkin. Hanya kamu yang tau.

Untuk lelaki, ketika perempuan merajuk dan mengemukakan berbagai kode. Ketahuilah ia sedang buntu dalam membangun rasa cinta milikmu. Maka, bawakanlah sedikit perhatian. Tak perlu mahal. Tak perlu susah. Semangkok bakso, seikat bunga di halaman rumah. Duh, ketahuilah.. Tangki cinta istri itu sangat mudah terisi. Dan ketika terisi, lucunya.. hilang sudah sekian masalah yang ada dibenaknya.

“Makan tuh cinta win, emangnya bisa hidup cuma dengan cinta aja!”

Well, lantas sebagai manusia yang memiliki takdir berpasangan seperti aku maka harus memulai dari mana sebagai dasar utuhnya pernikahan? Apa iya pernikahan cukup dibangun dengan finansial yang sukses dan prinsip hidup yang sejalan? Lantas kemudian ketika ada masalah kita lupa akan pentingnya memahami rasa? Lupa akan pentingnya cinta. Bukankah cinta adalah pondasi perasaan insan untuk bisa bersatu?

Well, Ini adalah sebuah tulisan receh. Yang aku tulis berdasarkan pengalaman selama 9 tahun menikah. Jika orang melihat kami seperti baik-baik saja, terlihat bahagia bahkan kehidupan ekonomi kami terlihat jauh lebih baik. Maka ketahuilah, semua ada prosesnya. Dan proses itulah yang telah menempa kami menjadi pribadi yang lebih baik dalam memahami pasangan. Karena kami sadar, cobaan hidup boleh saja bertambah. Tapi seni mengenal cinta hingga mengisi tangki cinta tak melulu dibangun oleh komunikasi. Tapi dibangun oleh rasa.

Sudahkah kalian mengenal tentang rasa?

Pentingnya Manajemen Kebersihan Saat Menstruasi

Pentingnya Manajemen Kebersihan Saat Menstruasi

“Ma, kok baju mama merah gitu?” 

Pica bertanya bingung padaku hari itu. Saat itu, usianya masih 6 tahun. Itu adalah kali pertama ia tau tentang betapa spesialnya yang namanya perempuan. 

Oh ternyata, perempuan itu bukan cuma tentang menyusui, hamil dan melahirkan. Ternyata jadi perempuan itu begini. Tertegun Pica menyimak penjelasanku tentang apa yang sedang aku alami saat itu. Lalu sejak itu, pembicaraan tentang menstruasi sedikit lebih meluas. 

Pernah suatu hari Abah Pica pulang dan berbicara sedikit kesal padaku karena suatu masalah. Seketika Pica muncul dan berbicara dengan polosnya. 

“Abah jangan gitu sama mama. Mama tuh lagi sensi. Katanya mau mens.. Tadi Pica aja dimarahin terus..”

Ya, begitulah. By the way.. kalian tau gak tanggal 27 Mei 2021 itu hari apa? 

Webinar Sehat dan Bersih Saat Menstruasi

Tanggal 27 Mei 2021 kemarin aku berkesempatan untuk mengikuti Webinar ‘Sehat dan Bersih Saat Menstruasi’ yang diadakan oleh pperkumpulan Obstetri & Ginekologi Indonesia (POGI), Ikatan Psikolog Klinis (IPK) Indonesia dan Mundipharma Indonesia. Webinar ini diadakan dalam rangka menyambut Hari Kebersihan Menstruasi.

Wow, jujur saja aku baru tau kalau ada hari begini. Waktunya pun ditetapkan secara unik karena tanggal dan bulannya mewakili periode menstruasi wanita. Webinar kali ini diikuti oleh 1.000 perempuan Indonesia. 

Webinar ini sendiri bertujuan agar pemahaman perempuan mengenai pentingnya Manajemen Kebersihan Menstruasi (MKM) meningkat. Mundipharma Indonesia juga meluncurkan kampanye #YangIdeal.

Sebagai seorang ibu yang memiliki 2 anak perempuan tentu aku excited sekali mengikuti webinar inj. Bagaimanapun juga, aku masih harus banyak belajar tentang tips bersih dan sehat saat menstruasi dan yang utama aku ingin bisa mengkomunikasikan tentang menstruasi pada anak-anakku. Tidak hanya ilmu asal tau yang terbesit di kepala begitu saja. 

Adapun Nara sumber dari webinar ini diantaranya:

dr. Dwi Oktavia Handayani, M. Epid: Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P), Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta. 

Prof. Dr. dr. Dwiana Ocviyanti, Sp.OG(K), MPH: Anggota Pengurus Besar Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI)

Anna Surti Ariani, S.Psi., M.Si., Psi.,: Ketua Ikatan Psikolog Klinis (IPK) Indonesia Wilayah Jakarta.

Mada Shinta Dewi : Country Manager Mundipharma Indonesia. 

Pentingnya Manajemen Kebersihan Menstruasi Sejak Dini

Paparan dari dr. Dwi Oktavia Handayani, M. Epid membuatku sadar akan fakta yang terjadi di belahan dunia. Bahwa, menstruasi masih hal yang dianggap ‘tabu’ oleh sebagian orang. Bahkan, ketika anak kecil menanyakan beberapa hal yang menyinggung tentang menstruasi orang dewasa cenderung menutupinya seakan seorang anak belum saatnya tau tentang itu. Anak perempuan dinilai perlu belajar dan tau tentang menstruasi ketika sudah mengalaminya. 

Padahal baik remaja putri maupun wanita dewasa harus mendapatkan informasi tentang Manajemen Kebersihan Menstruasi sejak dini. Hal ini agar dapat menjaga kesehatan reproduksinya dengan baik.

Sebagai ibu, kita juga diharapkan dapat memberikan informasi yang tepat terkait tentang Menstruasi hingga tentang manajemen kebersihan kepada anak perempuan kita. 

Masalah kesehatan yang dapat terjadi akibat tidak menjaga kebersihan di masa menstruasi

Pernah gak sih kalian mengalami rasa yang berbeda pada Miss V? Seperti gatal dan tidak nyaman? Usut demi usut, memang peranan pentingnya menjaga kebersihan saat menstruasi berdampak besar loh. 

Sepertin yang diutarakan oleh Prof. Dr. dr. Dwiana Ocviyanti, Sp.OG(K), MPH. Bahwa kebanyakan dari perempuan terkadang masih berpola salah dalam membersihkan vagina. Seharusnya, pola yang benar seperti gambar dibawah ini. Hal ini agar bakteri pada anus tidak masuk ke vagina. 

Selain itu, masih banyak yang malas mengganti pembalut hingga membuang pembalut dengan cara yang salah. Sehingga penyakit pun rentan bermunculan. Nah, dibawah ini merupakan penyakit yang rentan muncul jika kita tidak melakukan manajemen kebersihan menstruasi dengan tepat. 

Pentingnya peran Ibu untuk edukasi Anak Perempuan tentang sehat dan bersih saat menstruasi

Jujur, saat Pica memergokiku darah pada bajuku ada keinginan iseng yang ingin aku poles menjadi drama kecil. Seperti bertingkah layaknya sedang terluka atau menjelaskan dengan singkat bahwa ‘mama lagi berdarah’ begitu saja lalu mengabaikan pertanyaannya yang lain. Akan tetapi, kok sepertinya kalau dipikir-pikir mending dijelaskan sekarang saja daripada ketika hari ‘H’. 

Akhirnya aku menjelaskan sedikit hal tentang periode menstruasi yang dialami perempuan saat pertama kali Pica bertanya. Lalu seiring berjalan waktu, Pica semakin sering memergoki ‘peristiwa berdarah’ tersebut. Akhirnya? Akhirnya sang mamak sampai curhat sampai ke periode PMS dan mood swing yang merupakan efek psikologisnya. Aku tidak tau apakah komunikasiku sudah terbilang bagus atau tidak. Yang jelas, hasilnya seperti kejadian diatas. Di Awal blogpost ini.. 😂

Syukurlah webinar kemarin menjadi bahan pembelajaran untukku dalam berkomunikasi dengan anak soal menstruasi. Setidaknya, bahasaku bisa sedikit direvisi lagi untuk bahan edukasi Humaira, anak keduaku. Nara sumber Anna Surti Ariani, S.Psi., M.Si., Psi., menjelaskan dengan sangat nyaman tentang pentingnya edukasi kepada anak tentang kebersihan dan kesehatan menstruasi. 

Setidaknya, Ada tujuh hal yang perlu ditekankan dalam komunikasi tentang menstruasi kepada anak.

Ya, peran ibu sebagai yang paling diharapkan adalah yang terpenting. Karena kalau tidak dimulai dari Ibu, lantas dari siapa lagi seharusnya anak mendengar edukasi pertamanya? Perlu ditekankan kita juga tidak boleh menghindari pembicaraan ini karena sesungguhnya bicara tentang menstruasi itu tidak tabu dan dilakukan berulang kali dengan sikap positif. Apresiasi jika anak banyak bertanya, karena itu artinya rasa ingin tahunya tinggi. Jangan lupa untuk membuka berdiskusi serta jelaskan secara kongkrit. Terakhir, jelaskan juga kepada anak laki-laki. Well, karena aku tidak punya anak laki-laki. Maka terkadang sering edukasi suami juga untuk memahami periode sensitif agar ia dapat berempati dan membelikan bakso. *apa sih ini ujungnya.. 🤣

Betadine Feminine, Rangkaian Lengkap Untuk Menjaga Kesehatan dan Kebersihan Area Kewanitaan

Prof. Dr. dr. Dwiana Ocviyanti, Sp.OG(K), MPH menjelaskan bahwa jika kita ingin menggunakan cairan pembersih vagina sedapat mungkin gunakan yang sesuai dengan pH normal vagina. 

Jujur, aku bukanlah jenis perempuan yang terbiasa menggunakan pembersih khusus untuk area kewanitaan. Dulu, aku sempat diperingatkan oleh seseorang bahwa area kewanitaan tidak perlu dibersihkan dengan sabun dsb. Karena justru akan menghilangkan bakteri baik. 

Tapi, itu kan dulu? Waktu itu aku masih sekolah dan waktu itu memang tidak mengenal sama sekali pembersih area kewanitaan yang sesuai dengan pH normal vagina. Sekarang, aku sudah tau kalau ada rangkaian betadine feminine yang dipercaya untuk kebersihan area kewanitaan. FYI, merk ini sudah dipercaya lebih dari 50 tahun di seluruh dunia untuk mencegah serta mengobati infeksi.

Serangkaian produk Betadine feminine care kini tersedia lengkap. Mulai dari untuk sehari–hari, menstruasi dan juga infeksi area kewanitaan.. Produk ini tentunya sudah sesuai dan ideal dengan pH di area vagina ya. 

Nah, untuk membelinya kalian bisa beli di official store betadine shopee atau  tokopedia. 

Yuk, jangan lupa untuk terus menjaga kebersihan dan kesehatan area kewanitaan ya.. 

IBX598B146B8E64A