5 Emosi Pada Seorang Ibu, Kamu Termasuk yang Mana?
Apa sih definisi ‘Ibu yang baik’ itu?
Ibu yang baik adalah Ibu yang sempurna..? Tet tott..
Ibu yang baik adalah Ibu yang selalu hadir 24 jam untuk anaknya? Tet tott..
Ibu yang baik adalah Ibu yang mau terus belajar.. 🙂
Ibu yang baik adalah Ibu… yang bisa memahami emosinya sendiri.. 🙂
Hal itulah yang aku pelajari 3 bulan yang lalu. Aku secara iseng mengikuti kegiatan ‘Me Time’ bersama Rangkul Keluarga kita. Dan akhirnya, perlahan aku mempelajari hal-hal baru. Termasuk halnya dalam memahami emosiku sendiri.
Setidaknya ada 5 emosi dominan negatif yang paling sering dirasakan oleh Ibu sepertiku,
1. Marah
“Menurut Pica, Mama suka marah gak?” Tanyaku pada Pica hari itu.
Dan Pica menjawab.. “Mama jarang marah, tapi sekali marah.. Anu…”
Aku melihat raut wajah Pica, berkaca pada beberapa kemarahan dahsyat yang pernah aku keluarkan. Wah, kalau diingat rasanya kok menyeramkan sekali. Haha.
Jujur, aku termasuk dalam orang yang cepat sekali tersulut emosi. Tapi disisi lain, aku juga bisa ‘pause’ emosi dan menunda kemarahan. Tak hanya marah, aku juga bisa menunda emosi sedih, kecewa dll. Namun, sekali saja ‘trigger’nya muncul maka emosi itu bisa meluap seketika.
Tumpah semua. Bahkan tumpah berlebihan.
Kalau diibaratkan, kondisi emosi marahku ketika sudah meluap itu bagaikan kyubi ekor 6. Dan bisa saja sampai mencapai level 9 jika ‘triggernya tidak tau diri’. Hahaha.
Sesuai dengan saran dari relawan rangkul keluarga kita, saat kita sedang menunjukkan emosi dominan maka kita harus tahu apa penyebab utamanya. Dan jika aku berkaca pada kehidupanku sendiri, ‘ada penyebab utamanya…’
Sebenarnya sosokku yang marah mengerikan ini adalah warisan innerchild. Aku bukannya ingin mengklaim bahwa Mamaku adalah sosok pemarah, namun hal yang ingin aku sampaikan adalah aku lahir dalam lingkungan yang menganggap kemarahan adalah hal yang biasa saja. Sehingga, secara tidak langsung aku memiliki ‘imunitas’ atas rasa marah. Refleks, skill kemarahan itu akan keluar begitu saja ketika Pica melakukan hal yang tidak aku sukai. Bagiku dengan imunitas yang sudah ada, kemarahan adalah jalan keluar. Bagi Pica, hal itu adalah ‘virus’ dan ‘penyakit’ baru yang harus dihadapi dengan emosinya. Emosinya yang berwujud Sedih dan Kecewa.
Tanpa sadar, aku melupakan perasaan sedih dan kecewa pada masa kecilku dulu. Aku lupa, tentang rasa trauma akan teriakan mama. Aku lupa akan rasa takutku sendiri. Lupa bahwa itulah yang menyebabkanku sering mengurung diri di kamar. Yang tertinggal sekarang hanyalah rasa empati pada perasaan Mama. Rasa sayang pada Mama karena sudah memahami Mama. Dan sungguh, aku merasa jurus yang sama mungkin akan membuat Pica merasakan ‘takut untuk mengulanginya lagi’. Reward and Punishment adalah metode terbaik dalam masa kecilku, aku menyadarinya saat sudah bisa berempati pada Mama. Entah kenapa saat menerapkannya kembali pada masa kini, hal itu menjadi kurang efektif.
Baik untukku, untuk pasangan, maupun untuk anakku sendiri.
Dari sini aku sadar, marah adalah emosi dominan kedua yang aku miliki. Mungkin marah adalah pemegang saham emosiku sebanyak 15%. Whahaha, banyak sekali.
Wah, kalau marah saja termasuk dalam dominan kedua, berarti ada yang lebih dominan dari marah dong win?
Iya, dan kalian harus tau emosi dominan lain yang kadang juga sering muncul pada seorang Ibu.
2. Mudah khawatir
Setidaknya aku sempat mengalami emosi ini secara dominan selama 2 tahun. Kalian tau kapan?
Pertama, itu terjadi saat aku baru melahirkan anak pertama. Kedua, itu terjadi ketika pandemi melanda kehidupan. Oya, aku juga sering mengalami emosi ini saat sekolah. Terutama sewaktu ulangan. Namun moment demikian aku skip karena saat itu aku kan belum jadi Ibu. Xixi
Untuk masa sekarang, aku mengaku bahwa perasaan demikian sudah sangat jarang muncul. Terutama dalam keluarga. Jujurly, perasaan mudah khawatir atau berprasangka negatif itu justru sering muncul saat keluar rumah dan bertemu banyak orang.
Biasanya perasaan demikian muncul ketika mau tak mau harus berhadapan pada ruang bicara Ibu-ibu yang tidak satu generasi. Yang sering berpandangan sempit akan peran perempuan, yang suka mengkerdilkan peran IRT. Jujur, takut sekali kalau berhadapan pada circle demikian. Takut diinjak, direndahkan, dianggap tidak punya power dan tak berharga.
Maka, karena aku sudah tau pemicu akan emosi ini aku lebih memilah milih dengan circle siapa aku ingin berkumpul dalam durasi lama. Atau dengan circle mana aku cukup bertahan 15 menit saja.
3. Enggak Enakan
Pernah gak kalian merasa gak enakan dalam menolak ajakan atau permintaan tolong dari seseorang? Kalau aku, jujur saja sih dulu ‘lumayan sering’. Tapi itu ketika sebelum menjadi Ibu. Waktu zaman sekolah, fase remaja.. Aku sering sekali merasa tidak enakan kalau disuruh oleh seseorang. Manut mulu. Sekali saja ditolak, kok jadi merasa berdosa sekali. Sekali saja menghindar, kok sekejap teman itu berbisik kesana kemari. Kalau dipikir-pikir, kenapa ya dulu itu jadi anak plegmatis banget. Manuut aja gitu. Aih.. gemes.
Tapi, sejak jadi Ibu emosi ini sangat jarang muncul. Jujur sejak jadi Ibu aku lumayan tegas dengan orang-orang yang ingin ‘mengatur’ku. Tapi tetep sih, emosi enggak enakan ini masih berlaku sama suami sendiri. Haha. Jujurly, hampir 90% pekerjaan rumah tangga.. aku tetap mengerjakannya sendiri dan aku sih oke-oke saja. Karena memang sudah terbiasa hidup demikian. Karena kami sama-sama sibuk pada bidang berbeda. Bagiku asalkan biaya daycare Humaira dihandle suami dan aku masih bisa berdaya dari jam 8 pagi-4 sore, itu sudah sangat cukup. Yha. memang anaknya sejak dulu legowo aja gitu sama hal hal demikian. Yang enggak legowo itu, kalau sudah capek-capek apa-apa sendiri, sudah pinter banget manage keuangan rumah tangga n perusahaan.. Ada aja yang bilang cas cus cas cus diluar sana.. Yha.. yang demikian biar Allah aja yang mengatur orang yang suka ‘cas cus’ begini.
4. Mudah Merasa Bersalah
Kalau dibilang sensitif, iya sih aku orangnya ‘lumayan sensitif’. Konon kebanyakan anak zodiak Virgo itu demikian. Perasaannya Halus. Tapi kalau mudah merasa bersalah? Hmm, kayaknya sejak jadi Ibu aku berusaha banget improve harga diri aku. Sampai-sampai nih, udah jelas-jelas salah aja tapi mengumpulkan keberanian untuk minta maaf itu sulit sekali. Anyone like me?
Jadi sungguh perasaan mudah merasa bersalah ini sangat jarang muncul. Yang sering muncul adalah perasaan takut menyakiti orang lain. Karena itu, biasanya kalau aku berkumpul dengan orang yang ‘gak kenal banget’ atau ‘kenal banget tapi gak cocok’.. Aku biasanya akan setting mulut aku ke mode silent dan mode ‘enggih enggih’ aja. Istilahnya.. Ya.. Main aman lah ya..
Bahkan nih saking enggak sensitifnya sama perasaan bersalah.. Aku itu kalau marah sama anak, bisa lupa buat minta maaf loh. Justru lebih memutuskan bicara santai dan biasa aja sama anak setelah marah. Seakan bilang dalam hati, “Gak terjadi apa-apa kok tadi, lupain ya..lupain”
Ya, kalau dinilai sampai sini nih. Kayaknya aku itu punya ego yang lumayan tinggi untuk bisa merasa bersalah dan meminta maaf. Padahal, merasa bersalah itu adalah rasa yang harus kita miliki sebagai manusia yang kudu sadar kalau diri sendiri itu banyak punya khilaf.
5. Ingin Mendapat Pengakuan
Diantara Marah, Mudah Khawatir, Enggak Enakan, Mudah Merasa Bersalah, dan Ingin Mendapat Pengakuan.. Jujur yang paling banget aku rasakan sekarang adalah Ingin Mendapat Pengakuan. Kalau Marah tadi menguasai 15% emosi aku, Sedangkan Ingin mendapat pengakuan itu mungkin menguasai 25% emosi aku. Dan sampai sekarang pun iya.. Mungkin masih.
Sedih sih, ini merupakan emosi yang enggak tuntas-tuntas sejak remaja. Mungkin bahkan sejak kecil. Gak ngerti kenapa aku itu merasa haus akan validasi dari orang lain. Orang bilang tahapan dari pengakuan itu ada 3. Pertama adalah toleransi. Kedua adalah eksistensi. Dan ketiga adalah validasi.
Aku selalu bertanya-tanya apa penyebab aku selalu haus rasa validasi dari orang lain. Kenapa aku ingin serba sempurna dalam mengerjakan sesuatu. Aku bahkan suka menjerit kalau pagi-pagi terjadi kehebohan yang membuat rumahku tak sempurna.
“Gimana kalau ada yang datang? Entar kalau rumahnya kotor pasti yang ditanya ‘mamanya mana? Maka mamanya gak kerja di rumah aja’..”
Aku suka menjerit kalau suamiku memakai baju yang sama dengan hari sebelumnya kalau keluar rumah apalagi kalau ke tempat mertua..
“Apa sih susahnya memakai baju yang beda? Bukannya baju yang kemarin dan sudah aku cuci ditaroh dilipatan bawah? Kenapa sih harus diambil lagi? Entar ada yang protes, protesnya malah ke tempat aku.. ‘Harusnya suami itu kalau pakai baju diperhatikan, pakai parfum supaya gak bau.. Dulu pas hidup sama aku bla bla bla’ “
Padahal yang ‘nyinyir’ gak ada di rumah. Tapi kata-katanya terus saja terbayang. Seakan-akan orangnya tepat berada di hadapan sendiri.
Apa sih yang dikerjakan di rumah jadi gak bisa masak pepes ikan? Bukannya gak kerja?
Orangnya..yang nyinyir gak ada.. Tapi kata-katanya berulang seperti kaset rusak. Membuatku menjadi merasa berdosa kalau siang-siang tidak membantu perusahaan suami, tidak menghasilkan uang, tidak membuatkan cemilan, tidak memasak, atau lelah dan tidur siang.
Jadi dinding kesempurnaan yang coba aku ciptakan terasa ‘haus’ akan validasi.
Aku mencoba mengorek-ngorek apa sebenarnya penyebabnya. Dan aku paham, aku sulit sekali melupakan perkataan menyakitkan dari orang lain. Aku sulit memaafkan orang lain.
Toleransi, eksistensi, dan validasi. Kalau dipikir lagi, padahal manusia cukup mendapatkan ‘toleransi’ dari sekitar untuk bisa move on. Andai ada toleransi, manusia tak perlu capek menunjukkan eksistensi dirinya. Andai ada toleransi, manusia tak perlu capek mencari validasi.
Tak perlu capek ingin mendapat pengakuan dari orang lain.
Aku sering bertanya-tanya, kenapa sih manusia itu sering sekali menganggap dirinya lebih sempurna dan menganggap apa yang orang lain kerjakan tak sepenting dirinya? Mom shaming, perbedaan pendapat tak berkehabisan. Penghancuran harga diri perempuan yang berstatus mulia sebagai Ibu. Ah, padahal kalau semua orang bisa bertoleransi dan berempati.. Kurasa emosi haus akan pengakuan orang lain ini.. Mungkin bisa diredam dan dihilangkan.
Pada akhirnya, dari kelima emosi yang sudah aku sebutkan. Aku yakin banyak diantara kita mulai merasa ‘ini kayaknya aku banget’ dan kemudian bergumam.. Penyebabnya ini nih… Bla bla..
Ya, penyebabnya ‘orang lain’ bukan?
Sama. Aku pun merasa demikian. Namun, aku pun juga sadar.. Kita mungkin tak akan pernah bisa mengubah orang lain. Tulisan receh demikian pun andai terbaca oleh orang ybs mungkin hanya akan dicerca lagi. Aku sadar sih, sebanyak apapun kita menjelaskan dan membela diri.. Itu mungkin tak akan mengubah apapun dari sikap orang lain.
Tapi, aku sadar. Bahwa kita bisa mengubah diri sendiri. Kita bisa mulai mengontrol emosi tak baik yang sering kali muncul pada diri sendiri.
Marah.. Ingin mendapat Pengakuan.. Adalah emosi dominan yang aku miliki. Saat aku mendapat pengakuan, kontenku diapresiasi oleh para pegawai di kantor, cemilan yang aku buat sekejap habis.. Kadang aku merasa senang dan aku bisa melawan rasa marahku jika rasa senang itu ada. Kadang, aku sering bertanya-tanya pada diriku sendiri. Apakah aku sedang ‘memberi makan’ emosi ingin mendapat pengakuan ini? Ataukah aku baru saja merasa senang karena bisa ‘merasa bermanfaat’?
Aku sadari, ternyata its okay kok punya emosi ingin mendapat pengakuan dan marah. Emosi yang ada sebenarnya bukan untuk dihilangkan. Tapi dikontrol. Emosi marah, aku turunkan levelnya menjadi emosi tegas yang membuat anak patuh dan disiplin. Emosi ingin mendapat pengakuan, aku turunkan levelnya menjadi ‘senang membantu orang lain’ atau ‘senang karena merasa bermanfaat’.
Pada akhirnya, aku mulai menemukan celah cahaya dari sekian emosi jelek yang telah mampir dihidupku. Kelima emosi ini.. Hampir semuanya pernah muncul dalam hidupku. Hanya saja, aku ingin terus menjaga levelnya agar tetap stabil.
Semoga kita semua diberikan hati yang luas untuk bisa mengontrol setiap emosi negatif yang timbul. Karena seorang Ibu.. harus menjaga hatinya.. Dari prasangka, dari sakit hati berkepanjangan.. Jagalah hati..
Terima kasih untuk komunitas rangkul banjarmasin yang telah mengenalkanku pada keluarga kita dan menginspirasiku untuk tulisan ini..