Pernahkah dalam fase menjadi Ibu.. kalian merasa ingin diam dan merenung sebentar? Merasa lelah sejenak lantas mengingat moment-moment sepuluh atau belasan tahun yang lalu. Mengingat bedanya kita yang dulu, dan kita yang sekarang.
Moment demikian rasanya ingin berlanjut kita khayalkan. Kala melihat pencapaian teman-teman seumur kita. Yang mungkin masih single atau mungkin sudah menikah namun belum memiliki anak. Ada yang sudah menggapai mimpinya. Ada pula yang terus haus menimba strata ilmu. Ah, rasanya.. Jika melihat itu semua.. Kenapa jalan seorang Ibu terasa lambat sekali.
Rasanya seperti lari di tempat. Meski badan merasakan lelahnya. Kalori terbakar. Bodygoals. Namun tak satu pun yang melihat dan menghargai hasilnya.
Ya, pertanyaannya sekarang.. Kenapa sejak menjadi Ibu.. Lelah itu tak terlihat hasilnya? Lalu, andaikah sampai sekarang aku belum menjadi Ibu.. Hasil itu akan terasa berbeda?
Mari sejenak mengkhayal..
Andai Setelah Lulus Kuliah Tidak Langsung Menikah
Dulu, setelah keluarga pacarku datang ke rumah. Aku kira hubungan selanjutnya hanya bergerak ke arah yang ‘lebih serius’. Aku tak paham, bahwa ‘ketika orang tua sudah berbicara serius’ artinya tahap pernikahan semakin dekat. How Childish I am.. Yang menyangka hubungan itu hanya sekedar perekat. Nyatanya kedua belah pihak sepakat untuk mempercepat hari pernikahan. Seperti sedang terjadi sesuatu saja. Jujurly, banyak orang disekitarku bergosip tentang ini bahkan hingga Farisha lahir. Padahal, ya gak tau aja kalau aku sendiri masih berpikir menikah adalah langkah yang terlalu dini saat itu.
Aku sering berandai.. Bagaimana jika hari itu aku berbicara lantang dengan nada yang berbeda. Tegas memutuskan kuliah lagi misalnya. Atau tegas bilang aku butuh waktu lebih. Aku memang tak bisa menjamin hubunganku dan pacarku akan terus baik-baik saja jika berkata demikian. Tapi, kadang aku sedikit pede jika mengingat kala itu.. Laki-laki yang suka denganku tak hanya pacarku saja. Mati satu tumbuh yang lain. Pikirku begitu pede.
Apa jadinya aku jika hari itu aku mengambil keputusan berbeda. Apakah orang tuaku acc untuk menguliahkanku lagi. Atau mereka mencak-mencak mengomeliku karena menolak pernikahan lantas membiarkanku begitu saja. Menyuram-nyuramkan langkah hidupku dll. Jujur, ketakutan beginilah yang membuatku takut menolak dahulu. Karena dahulu, keberanianku tak sekuat hari ini.
Ya, aku mengaku.. Sejak menjadi ibu.. Ada kekuatan sendiri yang lahir begitu saja. Dulu, aku tak setegas ini. Dulu.. Aku tak punya keyakinan. Langkahku dibayangi keragu-raguan. Dan entah kenapa rasanya menjadi penurut adalah satu-satunya jalan keluar. Aku sadar, sebelum menjadi ibu.. Aku bahkan tak percaya diri. Tak yakin dengan jalan yang aku pilih sendiri.
Sumber Kekuatanku Muncul Ketika Menjadi Ibu
Jujur, jika sampai sekarang aku belum menjadi ibu. Jika dulu aku memutuskan langkah yang berbeda, mungkin hidupku tak akan seperti sekarang.
Sebelum menjadi ibu, aku pengecut. Terlalu penurut. Tak punya pendirian. Tak yakin dengan tujuan sendiri. Tapi setelah menjadi ibu, ya.. Awalnya aku seakan menjadi semakin pengecut, semakin penurut, semakin terbawa arus dengan pendapat orang lain. Membuatku berakhir menjadi ibu yang ingin serba sempurna dan anti kritik.
But time flies. Aku yang sekarang berubah menjadi sedikit lebih berani, mulai berani berpendapat, memiliki keinginanku sendiri, punya tujuan yang jelas. Sumber kekuatanku adalah keluargaku. Anak yang aku lahirkan. Tanpa mereka, entah sudah jadi apa aku sekarang.
Aku tak bisa mengkhayal. Berandai-andai bahwa aku bisa sukses dan punya banyak impian yang tercapai sekarang. Dengan berdiri sendirian. Khayalan itu kosong. Tak berarti. Andai sampai sekarang aku belum menjadi ibu.. Ada bagian-bagian penting yang mungkin rapuh.
Karena sejatinya.. Akulah yang memilih jalan itu.
Aku yang merasa meaningless saat sendirian dan kesepian. Aku yang membutuhkan arah tujuan dari orang lain untuk menyemangati hidupku. Dan dari membersamai suami. Dari membersamai anak-anakku.. Aku jadi tau, apa tujuan hidupku sendiri.
Akulah yang telah memilih menjadi Ibu diusiaku yang masih terbilang muda dan ‘tidak siap’
Aku, bisa saja menyesal. Berkata ini dan itu.
Tapi Allah, punya rencana berbeda. Dan jalan yang dipilihkan Allah adalah jalan terbaik.
Kulihat kembali ending dongeng-dongeng masa kecilku dulu. Putri Salju, Putri dan Biji Kapri, Cinderella, Putri Tidur..
Tak ada satu pun dongeng dalam cerita itu yang bercerita tentang kehidupan apa yang terjadi setelah menikah. Yang jelas, ketika sudah bertemu pangeran.. Endingnya selalu..
Bahagia Selamanya
Menikah Tak Selalu Tentang Bahagia Selamanya
Sejak kecil, aku meyakini bahwa perbedaan imajinasi dan realita itu sangatlah tipis. Setipis tissue. Aku meyakini, bahkan cerita-cerita fiksi yang dibuat oleh para penulis merupakan cerita nyata yang diubah tokoh dan alurnya. Hanya saja diberikan bumbu disana sini. Bahkan dalam cerita super panjang yang pernah aku baca. Sebutlah saat itu adalah Harry Potter.. Dari sekian banyak konflik yang terjadi dalam setiap bukunya. Pada akhirnya, Harry, Ron dan Hermione menikah bukan? Mereka memiliki anak dan bahagia selamanya.
Cita-cita orang tua pun tak jauh dari kata menikah. Kala memiliki anak yang sudah berumur, mereka sudah panik menjodohkan dan mempromosikan anaknya kesana kemari. Seakan-akan, cerita panjang yang telah orang tua lewati semuanya akan berakhir jika semua anaknya telah menikah.
Apakah menikah seurgent itu? Apakah menikah memang ending segala konflik remaja hingga dewasa manusia?
Setelah 11 tahun menjalani pernikahan, aku akhirnya mengerti. Bahwa menikah tak selalu tentang bahagia selamanya atau senang selamanya.
Its a new beginning.. 🙂
Kalian.. Bukan sedang berada di gunung teletubbies dan bergenggaman tangan bersama. Kalian.. Tak sekedar tentang ribuan tangan yang menyatakan ‘selamat’ or ‘happy wedding’ dalam pernikahan kalian.
Its a new beginning.. Ketika kalian sadar saat mencium tangan orang tua, berpindahlah jua kewajiban yang dulu melekat. Berpindah jua prioritas kehidupan. Dan tahukah..
Dalam bagian kehidupan pernikahan, ada saatnya kita akan merasa kehilangan diri sendiri. Kehilangan apa yang dulu ingin dikejar. Kehilangan status sosial. Karena kita sudah diuji level kedewasaan yang lebih pada tahap itu. Akan ada waktunya kita bertanya. Siapa yang kupilih? Aku atau keluarga ini? Atau sebenarnya, aku bisa mendapatkan semuanya?
Saat menikah, artinya kita telah menemukan pendamping hidup untuk maju dalam level kehidupan berikutnya. Level remaja, level mandiri finansial, dan level pernikahan. Itu berbeda. Pun saat memiliki anak, level itu juga berbeda.
Tak melulu tentang semakin sulit, tapi tentang bagaimana kita melatih hati. Keikhlasan dan kesabaran.
Karena saat menikah, hidupmu tak lagi tentang kamu. Tapi tentang pertimbangan banyak hati.
Lantas, dimana kita meletakkan diri sendiri? Dalam memenuhi level bahagia… Seperti layaknya dongeng..
Menikah: Menaiki Level Selanjutnya dengan Persatuan Dua Hati yang Kemudian dikali
Truthly, dalam blogpost ini aku gatal sekali ingin menceritakan kisah hidupku dengan blak-blakan. Tapi setiap kali ingin menuliskannya. Aku mencoba inhale-exhale. Mencoba untuk mindfullness bahwa tak semua orang akan memahami kisah dalam sudut pandangku. Meski selalu niat awalnya ada pesan tersirat untuk pembaca. But, whos’ know orang hanya bisa mengambil sisi aibnya saja.
Tapi, percayalah heading kedua yang aku tuliskan adalah sebuah fakta. Bukan cerita fiksi.
Sebelum menikah, mungkin kalian sudah memasuki fase ini: pencarian jati diri, konflik pubertas, mendaki impian, mencari jalan menuju kesuksesan finansial.
Kebanyakan orang berpikir bahwa dengan menikah. Segalanya dikali dua. Jati diri meningkat, impian dikali dua, belum lagi jika sudah menikah dengan orang yang mapan finansial. Maka bahagialah sudah.
Realitanya, meski menikah artinya adalah ‘bersatu’ namun saat bersatu, level pertama pernikahan sudah mencuat. Ujian Ego. Kelak, ujian ini yang levelnya naik turun. Tak ada akhirnya. Setiap menikah selalu pasang-surut-tenang… Lantas muncul lagi saat perlunya pengambilan keputusan. Ada waktunya kita berpikir, “Kok selalu aku yang mengalah?”
Ada waktunya kita berpikir, “Pantaskah seorang imam bersifat otoriter. Atau sebaiknya aku menganut kesetaraan gender yang kompleks?”
Banyak yang tak paham dengan ujian ego lantas memilih berpisah, ada pula yang masih bersama namun sebenarnya ‘hidup masing-masing’.
Tak cukup disitu, kita harus pula menyadari bahwa pasangan kita membawa masa lalu kelamnya masing-masing yang telah membentuk dirinya yang sekarang. Belum pula tuntas masa lalu, trauma kelam itu. Kita juga harus menyadari bahwa pasangan kita membawa keluarganya masing-masing untuk berbagi hati dan pemahaman.
No. Ini bukan tentang cerita horor. Karena faktanya. Demikianlah pernikahan. Ada senyuman, ada kebimbangan, ada tangisan tak terima, ada saatnya mungkin hati kita pecah berkeping-keping.
Bingung harus menempel kepingan itu satu per satu. Atau membiarkannya begitu saja.
Aku jadi ingat tulisan pertama yang ditulis calon suamiku dalam buku La Tahzan-Jangan Bersedih
“I can’t promise our life will be happy forever.
There will be sorrow, crying that appears.
That’s the rainbow of life. The beauty that we are not aware of.
However, believe me. In the colorful and dark of life. I will always try to be by your side”
RESPECT: Apapun yang terjadi, Tetaplah Berusaha Memahami
“Karena itu komunikasi adalah koentji kan win? Makanya setiap ada masalah komunikasikan. Gitu kan?”
Percayalah, dalam kehidupan pernikahan. Ada kalanya, pasangan kita tak mau berkomunikasi dengan kita. Yang ia keluarkan hanya tangisan dan merajuk tak jelas. Atau, yang ia keluarkan berbentuk kemarahan. Berbentuk diam tanpa kejelasan apapun.
Meski teori-teori pernikahan diluar sana banyak yang mengatakan bahwa komunikasi adalah kunci. Tapi sebenarnya, respect perlu dirasakan terlebih dahulu sebelum berkomunikasi. Thats why, disanalah cinta diperlukan. Disanalah kita butuh membawa Allah dalam setiap usaha yang ingin kita sampaikan. Komunikasi hanyalah sebuah cara. Dalam melakukan sebuah ‘cara’, tentu ‘bahan baku’ lebih dibutuhkan bukan? Bahan baku dalam komunikasi: Cinta. Dimana cinta muncul? gabungan tujuan pernikahan dan respect. Apa tujuan pernikahan. Ibadah. Meski mungkin bahasaku berputar-putar. Simplenya.. Respect dibutuhkan dalam apapun.
Sumber Respect: Believe!
Dalam pernikahan. Ada kalanya pikiran kita dipenuhi dengan prasangka. Prasangka baik dan buruk, kadang muncul silih berganti. Awal menikah, tentu biasanya pikiran kita dipenuhi oleh prasangka-prasangka baik pada pasangan. Ada masanya nanti, kita mulai paham sudut lain dalam pasangan kita. Perlahan dan perlahan.. Kita mulai memupuk prasangka dari berbagai fakta yang kita lihat dan alami sendiri.
“Awalnya kukira dia begini, oh ternyata dia begitu..”
Image yang dibangun oleh imajinasi kita pun perlahan berguguran. Dalam fase yang parah, memupuk prasangka bisa mengubah penilaian kita pada pasangan secara total. Yang dulunya ia kita anggap sebagai partner hidup. Karakter protagonis. Karena prasangka, pasangan kita menjadi karakter antagonis. Lalu, kita merasa seakan paling baik dan suci. Percayalah, aku pernah sampai ke fase ini.
Tahukah apa yang menyelamatkanku?
Kepercayaan. Yes.
Ada kuote yang berkata bahwa kita adalah apa yang kita pikirkan. Terdengar halu sekali. Karena fakta berkata bahwa kita adalah apa yang ada saat ini dan kita adalah apa yang sedang kita usahakan. Tapi ternyata, imajinasi dan realita.. Dalam dimensi yang berbeda..punya perbedaan setipis tissue. Ketika ada ‘believe’ disana.
Back to awal artikel ini, aku sengaja membuat judulnya dengan pertanyaan, “Why Always be Happy Ending?”
Tahukah kalian, kenapa dongeng-dongeng anak kecil dahulu selalu diakhiri dengan “Happily ever after” ?
Ternyata, jawabannya bukan untuk membuat anak menjadi halu. Tapi memupuk kepercayaan positif akan masa depannya. Sejak kecil, aku selalu yakin bahwa dengan menjadi perempuan baik maka aku akan mendapatkan jodoh yang baik pula. Seperti cerita dongeng.
Saat mengalami kesedihan berturut-turut, aku kadang mengingat konflik-konflik yang aku baca pada beberapa buku. Aku tau, saat konflik memuncak.. Solusi dari konflik hingga rasa bahagia tak jauh dari sana.
Ending ‘bahagia selamanya’ adalah sebuah kata-kata positif yang selalu aku ingat. So related dengan surah Al-Insyirah.
“Bersama kesulitan ada kemudahan”
Ada masalah, ada kesedihan, ada prasangka buruk.. Bersama dengan itu semua, muncul pula kemudahan yang lain. Keseimbangan hidup mungkin adalah makna dari bahagia selamanya yang sebenarnya.
Dengan memahami, bahwa menikah tak melulu tentang bahagia. Tapi juga tak melulu tentang masalah. Lantas belajar mindfulness bahwa pasangan kita bukanlah orang yang sempurna.
Tapi kalian belajar bersama untuk menyempurnakan kehidupan. Mengecap pahit dan manisnya. Percaya, bahwa pasangan kita adalah yang terbaik. Semoga Sakinah, Mawaddah, Warahmah selalu menyertai kalian.
Tulisan panjang kali ini mengalir sehabis menghadiri perkawinan adik bungsu kembarku. Bahagia selalu. Yakinlah bahwa ‘happily ever after’ itu tidak halu.
Sinar Matahari Tak Seperti Biasa: Hati-Hati Hiperpigmentasi Pada Kulit
Suamiku bertanya dengan ekspresi wajah bingung sambil melihat ke arah tanganku. Aku pun spontan langsung melihat ke arah tanganku. Kaget sekaget kagetnya, karena tanganku tiba-tiba berbintik-bintik hitam sehabis menjemput anak sekolah di tengah hari bolong.
Dulu, aku menganggap hiperpigmentasi adalah hal yang wajar terjadi. Aku menganggap, itu hanya tanda penuaan biasa yang wajar dialami kakek nenek berumur 60an. Tapi, eh. Bukannya umurku masih 32 tahun? Apa yang sedang terjadi?
Mengenal Berbagai Jenis Hiperpigmentasi
“Apa sih Win Hiperpigmentasi itu?”
Hiperpigmentasi kulit adalah kondisi di mana terjadi peningkatan produksi melanin, pigmen yang memberikan warna pada kulit, yang menyebabkan penampakan bercak atau area kulit yang lebih gelap dari warna kulit normal. Hiperpigmentasi dapat terjadi pada berbagai bagian tubuh yang terpapar sinar matahari secara berlebihan.
Pada kasusku, hiperpigmentasi terjadi pada tangan. Alhamdullillah wajahku aman. Nah, taukah bahwa hiperpigmentasi kulit ini jenisnya ada berbagai macam, yaitu:
Melasma: Melasma biasanya terjadi pada wanita dan ditandai dengan penampilan bercak cokelat atau abu-abu pada wajah, terutama pada pipi, dahi, dan bibir atas. Faktor risiko melasma meliputi paparan sinar matahari, perubahan hormon, dan faktor genetik.
Lentigo: Lentigo merupakan bintik-bintik gelap berukuran kecil yang muncul pada kulit yang terpapar sinar matahari secara berlebihan. Lentigo sering terjadi pada orang dewasa yang lebih tua dan dapat ditemukan di tangan, wajah, dan area kulit lainnya yang sering terpapar sinar matahari.
Bintik penuaan: Bintik-bintik penuaan atau efelides adalah bintik-bintik kecil berwarna cokelat yang muncul pada kulit yang terpapar sinar matahari secara berulang. Bintik penuaan sering terjadi pada orang dengan kulit cerah dan dapat muncul di wajah, lengan, dan bagian tubuh lainnya.
Post-inflamatory hyperpigmentation (PIH): PIH adalah hiperpigmentasi yang terjadi setelah peradangan pada kulit akibat jerawat, luka, atau perawatan kulit yang agresif. PIH biasanya memiliki warna yang lebih gelap dari kulit sekitarnya dan dapat memudar seiring waktu.
Setelah memahami berbagai jenis hiperpigmentasi, aku paham bahwa jenis yang terjadi pada kulitku adalah jenis Lentigo. Karena terjadi secara tiba-tiba setelah terpapar sinar matahari berlebihan. Hari itu, aku memang tidak memakai sunscreen maupun sarung tangan. Sedih sekali karena takut bintik bintik itu tak akan hilang. Tapi takdir berkata lain. Ternyata Lentigo itu hilang dalam waktu 1 bulan.
Bagaimana caranya?
Simak ceritaku yuk. Sekalian aku mau edukasi tentang kesehatan kulit juga terlebih dahulu.
Bagian Kulit yang Berpotensi Mengalami Hiperpigmentasi
Sebenarnya bagian kulit mana saja yang berpotensi mengalami hiperpigmentasi?
Bagian pertama yang paling rentan adalah Wajah. Paling sering terjadi di area pipi, dahi, dan atas bibir. Hiperpigmentasi pada wajah dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti paparan sinar matahari, jerawat, bekas luka, dan perubahan hormonal.
Bagian kedua yaitu Leher: Kulit di leher juga rentan terhadap hiperpigmentasi. Paparan sinar matahari secara berlebihan, gesekan yang berulang dari kancing kerah atau kalung, atau penggunaan parfum yang mengandung bahan-bahan tertentu dapat menyebabkan hiperpigmentasi pada leher.
Ketiga yaitu Lengan, sudah lihat sendiri bukan bagaimana mengerikannya Kulit di lenganku yang terkena hiperpigmentasi, lengan atas rentan mengalaminya karena paparan sinar matahari secara langsung. Sinar UV merangsang produksi melanin, yang dapat mengakibatkan penumpukan melanin berlebihan pada kulit lengan.
Keempat yaitu Kaki: Hiperpigmentasi pada kaki dapat terjadi akibat beberapa faktor, termasuk eksposur sinar matahari, peradangan, dan kondisi kulit seperti dermatitis atau eksim. Bekas luka atau gigitan serangga juga dapat menyebabkan hiperpigmentasi pada kulit kaki.
Selangkangan dan ketiak: Area lipatan kulit seperti selangkangan dan ketiak dapat mengalami hiperpigmentasi akibat gesekan yang berulang, kelembaban yang tinggi, atau penggunaan produk perawatan kulit yang tidak cocok.
Dari semua bagian diatas, menurut kalian sendiri bagian mana yang paling mengerikan jika terkena hiperpigmentasi? Kalau menurutku pribadi adalah bagian wajah. Jujur, ketika sadar bahwa tanganku terkena hiperpigmentasi setelah keluar rumah.. Aku langsung lari menuju kaca sambil melihat wajahku sendiri. Semengerikan apapun hiperpigmentasi pada tangan, kalau kulit wajahku masih aman sungguh aku masih sangat bersyukur. Alhamdulillah, wajahku masih aman.
Hiperpigmentasi Pada Wajah, Bagaimana Cara Mencegahnya?
Apakah hiperpigmentasi dapat dicegah? Tentu saja.
Hiperpigmentasi pada bagian kulit manapun sebenarnya bisa dicegah. Dalam satu cara yaitu: dirawat. Hehe.
Nah, bagaimana cara merawat wajah dan mencegahnya dari hiperpigmentasi? Berikut cara-caranya:
Menjaga kulit dari peradangan
Tahukah bahwa Peradangan kulit seperti jerawat atau bekas luka dapat meningkatkan risiko hiperpigmentasi? Kita harus rajin membersihkan wajah secara teratur serta menghindari memencet jerawat, dan rawat kulit dengan lembut agar tidak terjadi peradangan atau iritasi.
Perhatikan perubahan hormonal
Fluktuasi hormonal dapat mempengaruhi produksi melanin dan menyebabkan hiperpigmentasi. Perhatikan perubahan hormon yang mungkin terjadi selama kehamilan atau penggunaan kontrasepsi hormonal. Jika perubahan hormon signifikan, konsultasikan dengan dokter atau dermatologis untuk perawatan yang sesuai.
Jaga kelembapan kulit
Tahukah bahwa kulit yang kering dapat lebih rentan terhadap hiperpigmentasi. Menggunakan pelembap yang cocok untuk jenis kulit kita dan menghindari penggunaan produk yang mengandung alkohol atau bahan-bahan yang dapat mengeringkan kulit adalah langkah bijak untuk menjaga kelembaban kulit
Hindari merokok
Merokok dapat merusak kolagen dan meningkatkan risiko hiperpigmentasi. Berhenti merokok atau menghindari paparan asap rokok dapat membantu menjaga kesehatan kulit.
Lindungi kulit dari paparan sinar matahari
Paparan sinar matahari adalah salah satu faktor utama penyebab hiperpigmentasi. Gunakan Sunscreen dengan SPF yang cukup tinggi setiap hari, bahkan saat cuaca mendung. Hindari paparan sinar matahari langsung terutama pada jam-jam puncak antara pukul 10 pagi hingga 4 sore. Gunakan topi, payung, atau pakaian pelindung saat berada di bawah sinar matahari.
Gunakan produk perawatan kulit yang tepat sesuai kebutuhan kulit kita
Sebelum menggunakan produk kita harus tau dulu jenis kulit kita dan apa kebutuhan kulit kita.
Seperti aku contohnya, kulitku adalah tipe kulit normal dan hanya berminyak diarea T. Aku juga biasanya mencari produk sunscreen yang memiliki Blue Light protector. Karena selain sibuk antar jemput anak sekolah, aku juga bekerja di depan cahaya komputer dan smartphone. FYI, Paparan blue light dapat memiliki efek yang merugikan pada kulit dan mata, terutama jika terjadi paparan yang berlebihan atau terus-menerus. Dampaknya adalah hiperpigmentasi, peradangan kulit, dan stres oksidatif yang dapat menyebabkan penuaan dini.
Terpenting lagi adalah menghindari penggunaan produk yang mengandung bahan iritatif atau sensitif bagi kulit kita
Nyobain Sunscreen Scarlett Selama 2 Minggu
Jujur sejak kejadian hiperpigmentasi sama kulit tangan itu, aku semakin percaya bahwa hiperpigmentasi itu bukan sekedar dongeng yang dikarang oleh para beauty kreator dan dokter kulit. Aku percaya banget bahwa kejadian itu adalah sebuah peringatan dini untukku agar mulai menjaga kulit. Apakah hiperpigmentasi pada tangan itu hilang? Alhamdulillah itu bisa hilang dalam 1 bulan hanya dengan rutin memakai handbody. Syukurlah jenisnya hanya lentigo. Bukan yang parah.
Sejak itu pula aku mulai menjaga ekstra kulit wajah aku. FYI, kulit wajah aku meski tergolong normal namun juga tergolong cukup tipis. Makanya sejak sekian tahun yang lalu, aku sudah rutin apply dan reapply sunscreen setiap 2 jam. Sudah sekian banyak merk sunscreen aku coba. Ada yang cocok, dan ada pula yang enggak cocok. Ada pula yang cocok hanya beberapa bulan. Bulan berikutnya menyebabkan komedo parah. Ada pula sunscreen yang bikin make up teroksidasi. Yang paling menyebalkan adalah ketika nyoba sunscreen yang begitu lengket di kulit wajah.
2 Minggu ini rasanya beda. Karena aku coba lagi sunscreen yang lain. Yup, dari scarlett. Excited karena selain ada UVA dan UVB Protection, ada juga blue light protectionnya. Dengan kandungn SPF 50 PA+++ dan blumlight bikin kandungannya pun beda dibanding sunscreen yang udah pernah aku coba.. Broad Spectrum Sunscreen ini berguna banget buat cegah sunburn, kerutan, fllek hitam hingga kanker kulit.
Enriched with Blumilight, Pro Vitamin B5, Phyto Whitening, Aloe Vera Extract, Allantoin, & Bisabolol.
Dibawahnya aku baca lagi “Normal to Dry Skin”
Okee… “Ini aku banget”
Aku selalu cocok dengan produk yang memiliki kandungan Pro vitamin B5. Karena memiliki sifat yang melembapkan dan menghidrasi kulit. Ketika digunakan topikal, pro vitamin B5 dapat menembus lapisan kulit dan menarik kelembapan ke dalamnya, membantu menjaga kelembapan dan meningkatkan elastisitas kulit. Ini bermanfaat pada kulit kering, kemerahan, atau teriritasi. Pro vitamin B5 juga diyakini memiliki sifat antiinflamasi, yang dapat membantu mengurangi peradangan pada kulit dan mempercepat proses penyembuhan luka atau iritasi kulit ringan.
Kandungan yang aku suka lagi adalah Allantoin. Allantoin memiliki kemampuan untuk menarik dan mempertahankan kelembapan pada kulit. Ini membantu mencegah dehidrasi, membuat kulit terasa lebih lembut dan lembap. Allantoin juga memiliki sifat antioksidan yang dapat melindungi kulit dari kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas. Kandungan baru untukku yang membantu mengurangi tanda-tanda penuaan dini dan menjaga kulit tetap sehat dan bercahaya.
FYI kandungan Bisabolol pun gak kalah menarik. Bisabolol memiliki sifat antioksidan, yang membantu melindungi kulit dari kerusakan radikal bebas yang disebabkan oleh paparan sinar matahari dan polusi lingkungan. Ini membantu menjaga kulit agar tetap sehat, mencegah tanda-tanda penuaan dini, dan memperkuat pertahanan kulit.
Dan blumlight adalah kandungan baru yang melindungi kulit kita dari efek buruk dari blue light.
Dari segi packaging, jujur aku merasa produk sunscreen ini adalah yang ‘sunscreen banget’. Karena warnanya kuning! Hehehe. Aku langsung merasa diwarning untuk selalu ingat sinar matahari yang bercahaya kuning. Gak percaya? Coba saja taruh diatas meja riasmu. Atau di dalam tas kerjamu. Atau tas Travelling saat jalan-jalan. Begitu dibuka, pasti deh langsung ingat untuk reapply.
Bagaimana wangi dan teksturnya? Untuk urusan wangi, produk scarlett tak usah diragukan lagi. Dari handbody, serum dan cream yang aku coba.. Tak pernah ada masalah pada wangi. Yang jelas enak. Untuk sunscreennya sendiri memiliki tekstur agak thick. Jujur awal mengoleskan aku agak ragu apakah ini akan terasa lengket atau tidak. Tapi.. waw.. Ternyata sunscreennya dapat menyerap sempurna pada kulit tanpa rasa lengket sama sekali.
Berapa banyak sunscreen yang dioleskan? Cukup 2 ruas jari. Dan jangan lupa untuk reapply setiap 2 jam sekali. Meski cuaca saat itu sedang mendung sekalipun. Karena sebanyak apapun skincare yang kita pakai untuk kulit tapi lupa memakai sunscreen? Maka semuanya akan sia sia saja. Karena sunscreen sejatinya adalah queen of skincare. Tanpa sunscreen, skincare kita sia sia dan tak ada perlindungan.
Bagaimana hasil setelah 2 minggu memakai sunscreen scarlett?
Jujur sih, aku gak mengharapkan hasil yang wow ya dalam pergantian sunscreen. Menemukan sunscreen yang COCOK aja sudah syukur Alhamdulillah banget. Karena dari pengalaman yang sudah-sudah sih, menemukan sunscreen yang cocok di kulit dan cocok di dompet itu susah luar biasa. Padahal kulit aku tipe normal. Haha. Kenapa susah? Karena setiap hari aku kerja pakai make up. Jadi kadang, menemukan sunscreen yang gak bikin make up aku teroksidasi itu lumayan susah.
Tapi jujur kaget sih sama hasilnya. Tekstur kulit aku itu agak beda. Kerasa lebih halus aja. Mungkin di foto atas gak terlihat signifikan ya. Tapi aslinya sih asli beda kalo disentuh. Kulit aku tuh meski normal tapi pada bagian tertentu kadang punya sisi dry dan kusamnya. Selama 2 minggu memakai sunscreen scarlett, aku ngerasa bagian dry itu melembab dan bagian kusam dan kering itu agak halus saat dipegang. Nah, itu hasilku ketika memakainya. Namun, bisa saja berbeda dengan yang lain.
3 hari sebelum menulis review ini, aku berjalan-jalan kepantai sambil reapply sunscreen ini setiap 2 jam. Senang, di pantai yang sedang seterik itu, wajahku masih terlihat cerah dan sepulang kerumah dan mandi.. Aman dari hiperpigmentasi.. hehe..
Nah, teman.. semoga pengalamanku tentang hiperpigmentasi pada kulit ini menjadi sebuah insight nyata buat kalian. Bahwa itu nyata bisa terjadi. Yang bisa kita lakukan adalah merawat apa yang diberikan Tuhan sesuai dengan maksimal kemampuan kita. Memakai sunscreen adalah kunci agar kulit tetap sehat dan terlindung dari sinar matahari.
Bagi kalian yang pengen beli Sunscreen ini bisa berkunjung ke:
“Dulu mama capek banget membesarkan 5 orang anak, pas mama udah tua.. Satu pun anak gak ada yang bisa bener-bener berbakti”
Aku mendengarkan sayup-sayup suara demikian di jalan. Terlihat ibu yang sudah mulai tua berbincang dengan ibu-ibu sebayanya. Lantas keduanya mengutuki anak-anak zaman sekarang dengan label ‘durhaka’.
Flashback, 10 tahun yang lalu aku pro sekali dengan mindset ibu-ibu tua begini. Masa sih, dari sekian banyak anak gak ada satupun yang bisa memelihara ibunya dengan baik, pikirku dengan jengkel.
Seiring waktu. Mindsetku mulai berubah dalam mengklaim kata ‘durhaka’.
Karena sebenarnya, ada waktunya anak harus memilih. Ingin dibanggakan atau ingin menjadi anak ‘berbakti’ sepenuhnya.
Antara menjadi Anak yang Dibanggakan atau Anak yang ‘Berbakti’
Sebelum menikah, aku meyakini bahwa menjadi anak yang berbakti adalah kunci untuk mendapatkan kesuksesan dunia dan akhirat. Aku yakin dengan menuruti apa saja perintah orang tua, menjadi versi terbaik ala mereka maka hidupku akan penuh dengan keberkahan. Itulah kenapa aku penurut sekali. Disuruh ini itu enggih. Bahkan disuruh menikah muda pun enggih aja. Aku yakin, pada fase itu aku termasuk dalam kategori ‘anak yang berbakti’.
Sampai suatu ketika, aku sadar bahwa sesudah menikah maka prioritasku berbeda. Yang dulu harus menuruti orang tua, sekarang berpindah menjadi harus menurut pada suami. Dulu, aku yakin bisa mendayung keduanya. Bekerja dan memberikan uang pada orang tua sebagai balas budi. Menjenguk mereka setiap sore. Tapi aku sadar, keadaanku sekarang pun adalah konsekuensi dari terlalu berbakti pada orang tua. Karena terlalu berbakti aku melepaskan prioritas bakti. *apa pula ngomong berputar-putar..
Tapi serius, kebanyakan orang tua begitu berharap pada anak-anaknya bahwa kelak anaknya akan memperhatikan mereka ketika mereka sudah tua. Tapi, mereka pula yang menyuruh anak-anaknya untuk lekas menikah, lekas punya anak, lekas punya anak lagi, lekas punya anak lagi dan lagi lekas berkarir tinggi, lekas ini, lekas itu. Mereka berharap, anaknya selalu menuruti perintah mereka. Tanpa sadar bahwa saran-saran itu telah membuat anaknya memiliki dunia sibuknya sendiri dan akhirnya enggan bertemu dan berbicara dengan orang tua.
Orang tua kadang menyakitkan. Thats fact. Sudah menikah, memiliki anak. Tapi tak tau ambang batas cukup untuk klaim berhasil. Kepada seorang anak perempuan yang tidak bekerja misalnya. Jika dalam perkumpulan keluarga atau ada masalah apapun. Kata-kata menyakitkan itu akan keluar begitu saja.
“Kalo kamu kan enak gak kerja”
“Makanya, gak kerja sih. Susah kan jadinya kalau pengen ini itu. Kalo anu sih bla bla”
Itu masih level 1. Tahukah dimana sisi sulitnya? Ketika anak sudah berhasil mencapai puncak. Sudah bekerja, memiliki anak, sukses sebagai diri sendiri, istri dan ibu serta juga dalam lingkup sosial. Tapi juga suatu waktu harus memenuhi standar ego para tetua. Mertua dan Orang tua.
Bisa dibayangkan betapa sulitnya memilih. Menjadi anak atau menantu yang dibanggakan tapi tak bisa sempurna ‘berbakti’. Atau menjadi anak berbakti tapi kemudian terinjak harga dirinya karena tak bisa dibanggakan dalam status sosial?
Sungguh, aku akhirnya paham. Tak semua kata durhaka bisa diklaim begitu saja. Karena jika ingin anak berbakti sepenuhnya pada orang tua.. Mungkin pilihan yang benar adalah tak usah menikahkannya. Tak usah motivasi mereka untuk mengejar impian. Apalagi menyuruh mereka untuk memiliki anak. Didik saja mereka untuk bisa bertahan hidup dalam cara tradisional. Dan miliki mereka dengan fokus pada satu tujuan. “Aku ingin punya anak agar kelak masa tuaku bisa ada yang melayani dan berbakti disampingku”
Jadi, anak bisa fokus pada tujuan itu. Belajar membersihkan dan merapikan versi orang tua. Belajar memasak versi orang tua. Dan belajar tunduk dan patuh versi orang tua.
Mungkin tulisanku terkesan aduh. Tapi.. ayolah.. Para orang tua.. Sadarilah hidup itu harus memilih. Dan mengetahui batasan bakti sejak dini. Jangan sampai ketika tua kita menyesal membuat anak mengejar mimpinya. Karena antara mimpi, ambisi dan kebanggaan hidup.. Ada hal yang harus dibatasi sebagai korban. Tahukah apa itu? Yaitu waktu untuk benar-benar menjadikan anakmu anak yang berbakti.
Batasan dan Cara Berbakti
Melihat dan mengalami sendiri fenomena demikian, aku jadi paham sekali kenapa anak-anak zaman sekarang ada yang memilih untuk childfree. Karena nyatanya, memiliki anak itu tidak sebercanda itu. Dulu, orang tua kita menganggap anak adalah investasi. Dibesarkan agar di masa depan anak bisa memberikan hal yang lebih besar dari pada apa yang mereka berikan.
Sebenarnya, memandang anak sebagai investasi itu benar. Tak salah. Namun, harus dipahami bahwa dalam investasi juga berlaku rumus highrisk – highreturn. Senada dengan apa yang aku tulis pada awal artikel ini. Ingin memiliki anak yang super membanggakan maka pahamilah bahwa mereka tidak bisa sepenuhnya berbakti. Sebaliknya, ingin memiliki anak yang sangat berbakti, sadarilah mereka mungkin tidak membanggakan.
Bukankah ada pilhan untuk membanggakan dan berbakti? Ada. Tapi langka. Bahkan dalam investasi sendiri kita kenal bukan.. bahwa hanya saham bigcaps saja yang memiliki kemampuan sedemikian. Apa kabar saham 2nd liner 3rd liner?
Aku lebih menyukai orang tua yang memandang anak bukan sebagai investasi. Tapi sebagai kewajiban. Amanah dari Allah. Allah anugerahkan anak pada orang tua untuk dibesarkan dan diajarkan nilai-nilai kebaikan. Agar sang anak tumbuh dengan baik. Beketurunan baik-baik. Menjaga Bumi Allah dengan baik.
Lalu apa yang diperoleh orang tua saat sudah membesarkan anaknya dengan baik?
Rasa sayang dan terima kasih dari sang anak.. Yang mungkin tak bisa dilukiskan secara material maupun tindakan dalam keterbatasan kondisinya. Seuntai doa yang anak lanturkan seusai sholat.. Tebaran kebaikan yang mereka lakukan di dunia.. Ikut orang tua dapatkan meski dalam keadaan tak berdaya bahkan sudah mati sekalipun. Yup, Amal Jariyah namanya.
Saat menjadi anak dengan usia orang tua dan mertua yang sudah tua.. Aku menyadari.. Tak ada anak yang sempurna. Pun sebaliknya, saat aku menjadi orang tua.. Aku menyadari.. Tak ada orang tua yang sempurna.
Aku, mungkin bukanlah anak yang berbakti penuh. Bukan Ibu yang lemah lembut. Aku baperan. Gampang menangis. Tapi percayalah, dalam batasan kemampuanku.. Aku berusaha berbakti dengan caraku sendiri.
Mungkin bukan selalu ada untuk orang tua atau mertua, mungkin tak bisa melayani sungguh-sungguh, mungkin dicaci sedikit saja aku sudah menangis baper. Tapi pahamilah, aku berusaha sayang dan tetap mendoakan dengan ikhlas.
Karena kadang, dengan menjauh.. Mungkin aku bisa lebih sayang.
Serumah dengan Orang Tua atau Mertua untuk Berbakti, Yay or Nay?
Dari ceritaku diatas, mungkin sudah jelas jawabanku bukan?
Hmm.. Kalian pasti menerka bahwa jawaban ‘Nay’ adalah jawaban terbaik.
Yang perlu dipahami adalah, terbaik untukku.. Mungkin bukan yang terbaik untuk kalian.
Jujur, keluarga impian dalam imajinasiku adalah keluarga chibi maruko chan. Ada dua anak perempuan, ayah, dan nenek kakek di dalamnya. It looks perfect for me.
Aku lebih menyukai anak-anakku rekat pada nenek kakeknya. Agar ia memiliki teman bercerita di rumah. Kadang aku sibuk di kantor setiap hari. Malamnya aku memasak. Seakan waktu untuk menemani anak untuk hal receh tak ada lagi. Tapi jika ada kakek lucu seperti kartun Chibi Maruko Chan.. bukankah itu menghibur sekali.. Jika ada nenek yang bisa menemani cucunya sesekali sambil membantuku menyiapkan makanan.. Bukankah itu menyenangkan?
Jujur, itulah impianku. Aku senang kok jika hidupku seperti di kartun itu. Meski misalnya aku hanya IRT biasa tapi sepertinya di kartun itu IRT tidak dipandang sebelah mata. Dan tidak ditekan untuk ini itu.
Diluar sana, kalian mungkin memiliki Ibu, ayah atau mertua seperti kartun Chibi Maruko Chan. Yang bisa menjadi teman di rumah tanpa menuntut ini dan itu. Yang bisa membuat kalian tertawa. Saat mereka sakit, kalian bisa merawat mereka tanpa dikritik bahwa makanan kalian tak enak, rumah tak bersih, tak bisa melipat baju presisi, ini dan itu. Mereka berterima kasih tanpa menuntut sempurna dan menjadi teman bicara setiap malam. Keluarga demikianlah.. Keluarga yang harmonis.
Aku berharap, kelak bisa menjadi kakek nenek seperti film Chibi Maruko Chan. Yha, jujur cita-citaku selanjutnya adalah bisa menjadi nenek yang baik dan tak cerewet. Makanya, sejak sekarang aku sudah perlahan menghapus file-file dan aplikasi tidak penting dalam otakku yang sudah terinstall oleh kebiasaan orang tua dan mertuaku.
File seperti cara membersihkan sudut ruangan, melipat baju presisi, menyusun segala sesuatu sesuai kaidah dll dsb. Aku juga sudah melakukan uninstall pada aplikasi yang telah diinstall mama mertua dalam otakku. Seperti cara memanggang ikan, menyiangi ikan hidup-hidup agar dimakan tetap manis dan enak, cara memasak ini dan itu. Aku sudah lama membuang itu semua dan mengganti itu dengan file dan aplikasi lain di otakku.
Aku menyadari untuk bisa menua dengan baik dan bijak, aku perlu menjadi diri yang waras. Bukan diri yang sempurna.
Serumah dengan orang tua atau mertua.. Menjadikan file dan aplikasi itu terpaksa diinstall lagi dalam otakku. Its okay sebenarnya. Tapi otakku hanya otak biasa. Jika dipaksa, ia akan membuang file dan aplikasi lain. Maka tak heran jika sewaktu waktu aku bisa hilang dalam sosial media, blog maupun di perusahaan. Berfokus pada hal yang lain.
Lantas, jika tidak serumah… Dimana?
Pertanyaan ini sudah kami diskusikan secara deep talk. Bahkan aku sendiri berkata pada suami.. Jika suatu saat aku tinggal sendirian dan keadaan anak-anak tak memungkinkan untuk merawatku. Mungkin aku lebih memilih mendaftarkan diri di panti jompo. Pun sebaliknya. Jika suami tinggal sendirian, ia akan melakukan hal serupa. Kami menyadari, sebaik-baiknya peran orang tua adalah yang bisa berempati pada keadaan anaknya. Apalagi kedua anak kami perempuan yang mana juga mungkin suatu hari pekerjaan mereka juga setumpuk. Alangkah baiknya jika kami sebagai orang tua bisa memberikan support maksimal untuk membantu mereka dalam menggapai mimpi meski mereka terhambat peran.
Pun seandainya orang tua atau mertua tak punya pilihan dan terpaksa di rumah kami. Better, aku memiliki pembantu untuk membantu di rumah. Setidaknya berjaga andai pekerjaanku tak sempurna, aku setidaknya ‘punya teman’ untuk dianggap tak sempurna. Andai bisa di uninstall aku juga ingin sekali menghapus perasaan baper yang betah dalam diriku setiap kali rentan dikritik boros. Entah kenapa, sepertinya lebih nyaman merawat orang tua yang tak berdaya, dibanding berdaya tapi super cerewet dalam mengatur kehidupan.
Meski terasa sulit kami meyakini bahwa dalam berperan sebagai orang tua maupun anak rumusnya tetaplah sama..
“Hanya memberi, tak harap kembali”
Bincang-Bincang Pasutri: Siapa Yang Megang Duit Dalam Rumah Tangga
“Kesel banget. Kesel. Suamiku itu bla bla bla bla…”
Sebuah curhatan terbuka yang aku baca di sosial media terkait dengan keuangan rumah tangga. Cerita singkatnya, sang istri kesal karena tidak diberikan kepercayaan dalam memegang 100% keuangan rumah tangga. Aku melihat kolom komentar. Sebagian mengutuki suami yang terkesan pelit. Sebagian yang lain ‘puk puk’ pada penulis status, menyuruhnya untuk terus sabar dan berdoa dalam ujian ini. Ada pula sebagian yang lain yang beradu nasib, menceritakan bahwa jatah bulanan sang penulis status ‘masih mending’ dibanding dengan dia yang hanya diberi sekian rupiah saja.
Jujur, Membaca fenomena ini aku jadi teringat tentang kisah rumah tanggaku sendiri. Hehe..
Siapa yang Megang Duit dalam Rumah Tangga?
Sebenarnya, topik mengenai keuangan demikian jauh lebih baik dibicarakan sebelum menikah. Disini, aku bukannya menghalalkan pacaran yah. Hanya saja, tentu ada dong pendekatan sebelum menikah. Entah itu taaruf atau apa. Nah, dalam fase demikian.. Topik tentang keuangan dan pertanyaan tentang nafkah sebenarnya harus diperbincangkan dan disepakati oleh kedua belah pihak.
Dalam sebagian masyarakat kita, mungkin pembicaraan ini terdengar tabu. Apalagi jika topiknya mulai diangkat oleh pihak perempuan. Tak sedikit loh, pihak laki-laki yang mungkin akan berpikiran, “Matre ya nih cewek?”
Jujur, aku sendiri menganggap topik demikian adalah topik terlarang dahulu. Dan andai bisa mengulang, aku akan ulang. Haha.
Dulu, aku berpikir bahwa membahas keuangan itu gak banget. Apalagi jika tau bahwa status finansial calon laki-laki dibawah kita. Jadi, entah kenapa kalau membahas hal demikian takut sekali kalau-kalau calon pasangan tersinggung. Padahal, suka tak suka.. masalah finansial ini adalah akar serabut dari kekuatan pondasi rumah tangga.
Tak melulu sebenarnya membahas finansial tentang membahas gajih atau tentang siapa yang memegang. Membahas finansial berarti mulai terbuka tentang isu kebiasaan finansial masing-masing. Misalnya mengetahui bahwa calon pasangan punya trusted issue dibagian apa, punya sandwich generation atau tidak. Bahkan hal remeh seperti kebutuhan primer, sekunder dan tersier bagi calon pasangan saja harus diperbincangkan. Ada loh, yang ngerasa bahwa kebutuhan sekunder kita itu adalah kebutuhan tersier baginya. Dan ketika ini terbawa dalam rumah tangga, bisa-bisa kita yang dianggap tak bisa mengelola keuangan.
***
Well, back to.. Siapa yang megang duit dalam rumah tangga?
Yakin deh, 90% dari pembaca akan menjawab “Istri dong!”
“Karena yang ke pasar kan istri, yang bayar ini itu kan istri.. Bla bla”
Tapi, tahukah kalian bahwa tak semua ‘istri’ kompeten dalam memegang duit?
Dalam beberapa kasus, ada kejadian dimana istri tak bisa berempati dengan kondisi finansial keluarga. Diberikan uang 100%. Namun semuanya habis. Padahal uang yang diberi lebih dari cukup. Misal, diberikan 15 juta untuk keperluan rumah tangga dengan 1 anak. Namun setiap bulan uangnya habis tak bersisa. Setelah dicek, ternyata sang istri senang hang out dan belanja kebutuhan tersier.
“Tapi kan win, itulah tantangan bagi suami.. Supaya nyari duit lebih rajin dan istri terawat..bla bla..”
You do you sih… Tapi, dalam kasus demikian. Kalau sering terjadi maka bukan tak mungkin suami akan kehilangan kepercayaan. Suami yang punya tujuan keuangan dan memikirkan masa depan pasti berpikir, jika setiap bulan uangnya habis tak bersisa dan istri tak punya tujuan keuangan yang baik maka ia harus menerapkan aturan berbeda.
Itulah kenapa, tak melulu sebenarnya pemegang duit dalam rumah tangga itu 100% harus diserahkan pada istri. Konsep terbaiknya adalah dipegang oleh ‘Yang terbukti bisa mengelola uang lebih baik’. Bukan cuma aku loh yang bicara begini. Mostly, Financial planner juga berkata demikian.
Uang jauh lebih baik dipegang oleh istri ketika ia memiliki pasangan yang boros. Suka berjudi misalnya. Suka berinvestasi bodong misalnya. Tak punya tujuan keuangan yang jelas. Sebaliknya uang jauh lebih baik dipegang oleh suami ketika istri tak paham cara mengelola keuangan.
Tapi, akan jauh lebih baik lagi kalau suami istri sama-sama paham tentang finansial. Tentang cara mengatur budget masa kini, mengalihkan sebagian uang untuk masa depan. Sama-sama punya tujuan keuangan yang baik dan benar. Nah, yang demikianlah kerja sama terbaik. Ketika suami istri saling percaya pada keuangan masing-masing dan punya tujuan keuangan yang selaras.
Pentingnya Suami Istri Punya Tujuan Keuangan Yang Sama
Jujur, butuh waktu sepuluh tahun bagiku untuk memiliki tujuan keuangan yang sama dengan suami. Awal menikah itu… Aduuhai.. Pertengahan menikah… masih… waduuh… Sampai 10 tahun menikah dan konflik besar tentang finansial mulai meledak di keluargaku. Tapi Alhamdulillah, sejak konflik itu pula akhirnya perlahan kami bisa memiliki tujuan keuangan yang hampir selaras. Jadi, untuk kalian yang belum memiliki tujuan yang sama dengan suami.. Dont give up!
Seorang ‘aku’. Yang punya latar belakang ilmu ekonomi lumayan bagus, memahami konsep investasi, bahkan punya berbagai skill menghemat demi survive (Maap sombong kelewatan)… Ya.. seorang aku saja bahkan tak dipercaya untuk memegang keuangan rumah tangga dahulu. Butuh waktu lama loh agar aku bisa mengelola kembali keuangan rumah tangga. Dengan pengalaman rumah tangga yang beragam. Aku sempat ngerasain gimana survive dengan uang bulanan 1-2 juta.
Mempercayakan keuangan pada suami selama hampir 10 tahun membuatku mengubur tujuan keuanganku sendiri. Suami berhasil membuat bisnisnya grow. Sementara aku harus bertahan mengubur keinginanku untuk menyekolahkan anak pada sekolah yang baik. Suami berhasil merenovasi rumah dan merekrut pegawai. Sementara aku mengubur keinginanku untuk bisa kuliah lagi atau sekedar memiliki ART untuk membantu di rumah. Jika saja konflik besar tak pernah singgah dalam hidup kami maka sampai sekarang pun mungkin aku masih begitu.
Alhamdulillah perlahan kami mulai punya tujuan keuangan yang sama. Keuangan perusahaan mulai dipercayakan padaku. Aku mengalokasikannya pada investasi aman dan berujung surplus. Profit dalam investasi sudah setara dengan jatah bulananku sebelum konflik. Pegawai kami bertambah. Inovasi produk mulai dikembangkan.
It means, hei kaum adam.. Jika memiliki pasangan yang baik. Percayakanlah hartamu padanya niscaya dia memberikan hal yang jauh lebih berharga.
Aku merasa berharga sejak bisa mengelola manajemen dan keuangan perusahaan. Kalau diukur, sejak aku bekerja pada perusahaan ini.. Tingkat profitabilitas perusahaan menaik. Bukan membanggakan diri. Namun ini adalah sedikit teguran pada kaum adam yang memiliki tulang rusuk yang baik. Rawat dia. Dia akan merawat kamu dan apa yang kamu miliki berkali kali lipat.
Aku sendiri tak meminta diberikan hal materialis untuk pekerjaanku sehari-hari. Bagiku, hadiah terbaik seorang suami pada istri adalah selarasnya tujuan keuangan. Aku berdoa hal itu setiap hari semenjak konflik itu. Alhamdulillah satu per satu jalan ditunjukkan oleh Allah.
Seminggu yang lalu entah kenapa suami punya schedule untuk bertemu dengan seorang pencerah. Pakar fintech dari pulau seberang yang menceritakan riwayat hidupnya. Dari situ suami sadar bahwa menyekolahkan anak bukanlah melulu dilihat dari biayanya yang mahal. Tapi sebuah kewajiban. Mengupayakan yang terbaik untuk anak berarti mengupayakan investasi terbaik dunia akhirat.
Bagiku, mengupayakan yang terbaik untuk anak adalah tujuan keuangan inti. Selama 11 tahun menikah aku tak pernah menuntut suami untuk mengajak liburan ke sini situ, staycation di hotel, atau bahkan membeli mobil. FYI, transportasi kami masih memakai kendaraan. Mengherankan memang jika dilihat tetangga. Padahal uangnya ada. Tapi bagiku itu tidak begitu prioritas.
Taukah hal yang menyenangkan ketika tujuan keuangan suami istri itu selaras?
Setiap malam kami bisa berbicara ‘mimpi’. Mimpi kelak perusahaan bisa besar. Mimpi kelak anak-anak bisa menggapai mimpinya karena kami mengusahakan yang terbaik bagi mereka. Mimpi kelak kami mungkin bisa punya waktu untuk ibadah impian. Mimpi kelak bisa liburan.
Kita dan pasangan kita mungkin berbeda. Tapi setidaknya, milikilah pasangan yang menghargaimu dan memiliki mimpi sama denganmu. Dengan pasangan demikian.. Dirimu tidak menyusut, tapi terus bertumbuh.
Aswinda Utari
Skill Rahasia Istri Agar Tujuan Keuangan Selaras
Be Demokratif Wife
Kebanyakan perempuan yang bermindset permisif cenderung penurut dalam berkomunikasi dengan suami. Komunikasi hanya satu arah. Tugas perempuan hanya ‘manggut’. Apakah bisa tujuan keuangan rumah tangga selaras dengan demikian?? No!
“Kamu aku kasih 2 juta aja ya sebulan, cukup kan?”
“Tapi kan pemasukan kita 20 juta bang..”
“Loh, tapi kan pengeluaranku banyak. Kamu kan cuma buat 2 anak dan aku. Aku buat 4 orang pegawai, belum buat ini itu bla bla..”
Permisif wife: “Oh..gitu ya..oke deh..”
Demokratif n Smart wife: “Oh, tapi kalau selamanya 2 juta. Keluarga kita begini begini aja loh. Aku begini aja. Anak ya begitu aja. Kita hidup sekedar hidup. Bang, aku tau kok abang juga punya simpanan. Coba deh simpanan itu gak ngendap di bank aja. Ditaroh diinstrumen aman aja kayak sukuk atau RDPU, returnnya udah lumayan buat nambain bulanan aku dan anak. Dan gak ganggu cashflow juga..” (Sambil menyajikan chart Reksadana Pasar Uang)
Jangan takut menjadi istri yang demokratis. Jangan takut jadi cerdas. Istri yang demokratis itu bukan kaum matriarki yang mencak-mencak pada laki-laki. Justru istri yang demokratis yang peduli pada suami dan keluarganya. Selamanya jadi istri permisif? Percaya deh, tujuan keuanganmu gak akan grow.
Semepet apapun, Belilah SkinCare!
Skill kedua yang sering diabaikan kebanyakan perempuan yang sudah berstatus menjadi Ibu. Mengabaikan perawatan diri untuk merawat keluarga.
Bagus sih. Bagus aja. Tapi semepet mepetnya jatah bulanan. Belilah skincare. Gak harus mahal. Level Viva pun bagus. Aku juga memakai brand ini dalam jangka waktu cukup lama. Sewaktu menyusui pernah banget membatasi budget skincare di angka 50k sampai 100k sebulan. Seiring waktu membaik.. *sejak paham dengan endorse dan job sampingan..wkwk..
Intinya, rawat diri untuk kebaikan mata suami. Agar berkomunikasipun nyaman dan dihargai.
3. Semepet apapun, Masak Dengan Cinta
Masak dan no masak masih sering jadi perdebatan di sosmed. Aku sendiri sih masih bingung dengan yang suka berdebat dengan ini. Kan kita beda-beda tho? Kok ngotot gitu.
Kalau aku pribadi, gak berfokus pada bagaimana ribet dan membuang waktunya memasak. Tapi berfokus pada masak dengan cinta. Dalam artian, jika itu ribet dan membuat kita terganggu untuk mengerjakannya. Dont do it. Kerjakan jenis masakan yang membuat kita senang mengerjakannya. Dan membuat waktu kita tak terbuang banyak.
Sesimple-simplenya masakan kita, saat mengerjakannya dengan cinta dan menyajikannya dengan senyuman maka akan berdampak pada yang memakannya. Itulah yang aku percayai selama ini. Suamiku sendiri jujur berkata bahwa lebih menyukai aku yang memasak telor ceplok dan mie dengan senang. Dibanding membakar ikan atau membuat rendang yang membuat badan agak bau dan wajah merengut. Haha.
Aku tau, memasak mungkin adalah skill bertahan hidup. Tak melulu tentang tugas perempuan. Tapi, untukmu yang ingin ‘skill komunikasi dengan suami’ terjalin lancar.. Masak dengan cinta. Its work!
4. Pelajari Ilmu ‘Ehm Ehm’ di Wainodshop
Tau gak apa itu ilmu ehm ehm..?
Wah, kalau gak tau kalian wajib berkunjung ke instagram @wainodshop . Jujur ini bukan endorse ya, Tapi sudah sekitar 1 tahun ini aku memfollow wainodshop. Toko lingerie yang sering ngasih edukasi tentang ehm ehm. Tabu? No. Ini berguna banget buat para istri yang buntu dalam berkomunikasi dengan suami. Hihi..
Wainod shop ini sukses meracuniku untuk membeli beberapa edisi lingerienya. Aku terbantu dalam beberapa kontennya di instagram. Jujur, meski sudah 10 tahun lebih menikah. Beberapa kontennya adalah ilmu baru bagiku.
Apa dampaknya mempelajari ilmu ehm ehm? Wah, percaya deh. Satu ilmu ini khatam.. 3 skill yang aku sebutkan diatas mungkin damagenya tak bisa dibandingkan. wkwk
Thats why, kalau diluar sana kalian melihat seorang istri yang tak bisa masak, komunikasi agak plin plan, gak bisa pakai make up.. Tapi suaminya sayaang banget. Apa aja dikasih.. Deuh! Bisa-bisa ilmu ehm ehm ini dia udah khatam. Wkwk.. canda serius.
Dan tentu saja, masih ada skill lain selain 4 skill diatas. Aku sudah nulis diatas sebelumnya bukan.. Bahwa aku seringkali berdoa agar tujuan keuangan kami bisa selaras. Jangan remehkan pula kekuatan doa. 🙂
Jadi, Siapa yang pegang duit Rumah Tangga? Bicarakan dan jangan bosan berkomunikasi.