Dear Diriku: “Apakah Tidak Apa-Apa Hidup Begini Saja?”
Belakangan ini, aku sengaja tidak begitu aktif dalam sosial media. Penyebabnya satu hal. Konon namanya adalah..
Insecure.
Seharusnya, perasaan yang tumbuh ketika kita melihat orang lain senang atau memiliki pencapaian lebih adalah perasaan senang pula. Senyum ketika melihat pencapaian orang lain. Ikut senang melihat kebahagiaan mereka. Tapi, entah kenapa tiba-tiba ada rasa ingin bersembunyi ketika melihat semuanya.
Rasanya seakan-akan kamu merasa lelah. Mengejar sesuatu akan tetapi realita yang terjadi adalah kamu kelelahan hanya karena lari ditempat. Tidak berpindah, tidak kemana-mana. Tidak mencapai sesuatu. Seperti halnya mereka, mereka, dan mereka.
Kayaknya aku capek kok hasilnya enggak ada?
Apa karena potensiku memang begitu receh?
Hidupku kok stuck di tempat?
Lalu, Mau Hidup yang Bagaimana?
Aku terdiam di depan kaca, bertanya pertanyaan yang sama. “Apa gak papa ya hidup begini begini saja? Kok sepertinya pencapaianku receh sekali?”
Belakangan aku memang agak shock ketika melihat PV blog yang turun hingga 50% sebulan ini. Entahlah dimana kesalahannya. Hal itu juga sudah aku komunikasikan dengan suami. Pun juga kejadian tak terduga di perusahaan kami bulan ini. Salah seorang klien marah besar ketika jurnalnya tampil tidak karuan. Ternyata, 2 pagawai di kantor melakukan kesalahan. Dan masih banyak kejadian yang membuat aku merasa seakan hidup akhir-akhir ini tidak ada pencapaian. Kontras dengan sosial media. Ya padahal harusnya aku tahu diri bahwa sosial media hanyalah citra. Layaknya aku yang kadang bekerja receh disana. Tapi, namanya perasaan sedang insecure. Haha. Sudah hampir 3 tahun aku aktif di instagram. Tapi sepertinya baru kali ini merasa ingin bersembunyi saja.
Lalu, aku berjalan ke halaman depan pada kantor kami yang dalam proses pembangunan. Sekitar tempat itu masih tergolong asri. Meski diatas sungai penuh dengan rumah penduduk. Tapi diseberangnya terhampar sebidang sawah hijau. Dan tak jauh dari sana, bangunan kampus universitas kami berdiri kokoh. Seakan melambai-lambai minta jenguk kembali.
Humaira merengek kesal karena aku melamun saja. Aku jadi ikut kesal melihatnya yang sepertinya tak paham bahwa kadang ibunya butuh melamun sejenak. Sekitar situ memang tidak ada apa-apa. Tidak ada kucing berkeliaran, apalagi sapi. Hewan yang akhir-akhir ini menjadi favorit Humaira sejak idul adha. Akupun melirik setangkai bunga liar di pinggiran sawah. Tumbuh tidak karuan di lahan gambut bersama dengan tumbuhan lain yang tak kalah semrawutnya. Kupetik bunga tersebut. Lalu, aku berikan pada Humaira. Humaira seakan melongo menatapnya. Kupikir, pasti anak ini akan menangis lagi.
Bunga liar. Apa bagusnya.
Tapi Humaira melamun dan berpikir sejenak sambil melihat bunga itu. Dicium, dipotek, dilepeh hingga hampir diinjak. Anak itu memang sedang tantrum. Lantas kurebut bunganya. Kurentangkan tanganku menuju sawah.
“Lihat Hum.. Bunganya Cantik..”
Humaira tertegun. Aku langsung mengeluarkan hp dan memotonya.
“Bunga ini akan cantik ketika latarnya berubah..”
Aku menatap foto itu berkali-kali. Diperjalanan, aku melamun panjang. Bahwa, mungkin selama ini aku hanya bisa melihat dalam sudut pandang sempit.
Mungkin selama ini bukan hidupku yang biasa-biasa saja yang bersalah.
Tapi, sudut pandangku.
Antara Impian, Pengakuan, Ambisi hingga Penerimaan
Pada tulisan sebelumnya, aku telah bercerita tentang perbedaan antara impian, pengakuan dan ambisi untuk ambang kebahagiaan.
Namun, dalam proses meraih impian. Kadang kala, ada jeda panjang yang membuat proses tak lagi menjadi fokus. Kadang, kita terpaksa mengambil langkah jalan ditempat hingga lari ditempat. Tak berpindah. Untuk melakukan hal lainnya. Hal demikian sering terjadi sejak fase pernikahan hingga memiliki anak.
Karena merasa stuck dan tak berpindah latar maka pikiran menjadi begitu sempit. Seakan hidup tidak memiliki pencapaian. Padahal jika di runut kebelakang. Begitu banyak hal-hal receh yang kadang terlupakan untuk disyukuri.
Aku kadang lupa mengapresiasi diri ketika memenangkan sesuatu, pun kadang lupa bahwa suami juga kerap kali memujiku. Lupa bahwa anak-anakku baik-baik saja ditengah krisis ini. Aku tak kehilangan sesuatu hal yang berharga. Betapa kemudian karunia ini kadang terlihat receh lalu tak diresapi ‘rasa’nya.
Hidup memang perlu tantangan dan level baru. Namun, ketika merasa biasa-biasa saja bukan berarti tantangannya tidak ada. Ketika merasa biasa saja, bukan berarti kerja keras yang sudah dilakukan menjadi tak berharga. Ia hanya berubah wujud dan sudut pandang.
Proses receh itulah kenikmatan yang kadang terlupakan.
Penerimaan dan syukur. Hal yang kadang kala terlupakan oleh Ibu Rumah Tangga yang aktivitasnya seakan berputar disitu-situ saja. Namun, hal yang terpenting adalah tak pernah menghilangkan diri sendiri. Itulah yang aku pelajari ketika pernah kena PPD dulu.
Aku sadar hidupku begitu berharga. Walau terlihat begini-begini saja.
Selalu ada anak yang bertanya, “Mama, besok kita makan apa?”
Selalu ada tangisan disela-sela aktivitasku. Seakan itulah tantangan untukku bertumbuh.
Dan selalu ada impian di depan sana. Bukan hanya impianku, tapi impian bersama.
Mendirikan perusahaan yang mandiri. Bangkit dan menggandeng support lalu kembali belajar hal yang baru.
Untuk sekarang, nikmatilah hidup yang begini-begini saja. Karena masa kecil Hum itu tidaklah lama.
Hidup jadi Ibu, ya memang ‘harus begini-begini saja’ dulu. Gitu win! *aku sedang berbicara di depan cermin
Untukmu yang sedang merasa biasa-biasa saja. Percayalah hal biasalah yang mungkin dapat membuatmu bertumbuh. ❤
“Mari tumbuh bersama lagi mulai besok Hum.. “
One thought on “Dear Diriku: “Apakah Tidak Apa-Apa Hidup Begini Saja?””
aku juga sering banget merasa insecure sama kemampuanku sebagai ibu yang benar-benar tidak ada apa-apanya dibanding ibu-ibu yang lain. tapi kadang di lain pihak melihat anak-anak tumbuh dengan sehat bisa membuat aku bersyukur juga