Bakat Itu Perlu Modal, Yay Or Nay?

Bakat Itu Perlu Modal, Yay Or Nay?

Konon katanya, setiap anak itu spesial. Semua memiliki bakat masing-masing. Tidak ada istilah anak idiot apalagi anak yang tak berguna. Sesungguhnya, bakat anak akan muncul seiring dengan aktivitasnya dalam bereksplorasi. Dan tugas kita sebagai orang tua adalah memperhatikan minat terbesarnya. Jika kita sudah menemukan hal yang paling senang ia kerjakan maka ‘mungkin’ itulah bakatnya.

Kita akan sangat senang jika bakat itu mendapatkan sebuah apresiasi entah itu berupa piala kemenangan ataupun sekedar pujian dari beberapa orang. Untuk menunjang bakatnya kita sebagai orang tua menyediakan berbagai hal, baik itu berupa sarana prasarana, waktu spesial untuk mengajarinya dan lain-lain. Kadang, semua hal yang kita lakukan tidaklah cukup. Apalagi konon zaman sekarang semuanya serba DUIT. Lalu, Bagaimana mengembangkan bakat anak secara sempurna untuk orang tua yang memiliki kondisi ekonomi yang masih dalam tahap perjuangan?

Ya, ini adalah ceritaku. Tentang bagaimana aku membangun bakat pada anakku Farisha…

Tentang bagaimana kegalauan dan rasa iriku muncul saat menyadari bahwa bakat saja tidaklah cukup.

Dan mari simak cerita ini dari awal…

Tentang Anak yang Memiliki Bakat

Sejak Farisha berumur 3 tahun, aku mulai menyadari kesenangan yang ia lakukan. Ia sangat suka menyuruhku menggambar, menggangguku saat membuat kue, membentuk adonan kue menjadi karakter yang ia suka dan menghilangkan stok pewarna makanan di dapur. Dalam tahap eksplorasinya, ia sangat tertarik pada aktivitas yang menghubungkan pewarna dan bentuk. Repot memang, aku harus banyak bersabar melihat rumah yang berwarna-warni tiada habisnya. Syukurlah anakku masih tergolong patuh saat aku atur. Ia tidak pernah mencoret-coret tembok maupun kasur. Ia tetap pada area aman dalam bermain. Anakku Farisha termasuk jenis anak yang rapi dan telaten dalam mengorganisir mainannya.

Nah, sejak berumur 4 tahun ia mulai menyadari bahwa menggambar dan mewarna di kertas sudah sangat cukup untuk menuangkan imajinasinya. Maka, ia mulai memintaku menggambar, memprint, hingga membelikannya berbagai jenis pewarna. Hal ini berlangsung hingga ia berumur 4,5 tahun dan mulai sekolah di TK Nol Kecil. Ia pun sangat bersemangat jika di TK tersebut ada aktivitas mewarnai. Dan ia juga sangat senang mengikuti berbagai lomba mewarna.

Meski awalnya sering kalah, namun Farisha termasuk pribadi yang abai dengan kekalahan. Kadang aku berpikir, apa dia tidak mengerti dengan konsep menang-kalah? Haha. Ya, ia tidak peduli dengan kekalahannya. Yang ia mau adalah ia harus selalu ikut dalam setiap kompetisi. Dan akupun mengikuti kemauannya itu. Hingga 5-6 kali kekalahan, akhirnya Farisha berhasil mendapatkan juara 1 di kompetisi mewarna mengalahkan murid di TK Nol Besar pula. Alangkah bangganya aku. Dan Piala pertama itu adalah hasil memuaskan dari kerja kerasnya bagi Farisha. Piala tersebut juga merupakan awal semangat yang baru untukku.

Tentang Hal yang Membangun Bakat Anak Hingga Berkelanjutan

Sejak Piala pertama mulai dimenangkan Farisha, kemenangan demi kemenangan mulai berdatangan. Sebagai ibunya, tentu aku merasa sangat bangga. Walau berselang seling dengan kekalahan namun pada kompetisi selanjutnya Farisha terus mendapat kemenangan. Kemenangan ini membuat Farisha bersemangat.

Aku pun turut mendukung hobinya dengan membelikannya berbagai pewarna. Meski sempat bosan, namun anak yang sudah memiliki hobi hanya perlu inovasi baru untuk mengembangkan hobinya. Salah satu inovasi itu adalah colouring book yang karakternya dapat dihidupkan dengan aplikasi di smart phone.

Baca juga: Faber Castell Colour to Life, Sang Pembangun Bakat Anakku yang hilang

Ya, jika ditanya apakah bakat anakku hanya mewarnai? Bagaimana ia bisa konsisten dengan bakatnya? Sebenarnya jawabannya adalah..

Bakat anakku tidak hanya mewarnai. Tapi itulah yang paling sering ia lakukan. Bagiku, sangat jarang sekali ada anak yang hanya menyukai aktivitas yang itu-itu saja. Jika ia bosan mewarnai itu sangat wajar. Aktivitas mewarnai butuh mood yang sempurna, kesabaran dan ketelatenan. Hal yang membuatnya bersemangat adalah inovasi baru dalam belajar dan dukungan dari orang tuanya.

Karena tidak dipungkiri ya, zaman sekarang kita sangat tau anak-anak dituntut serba bisa. Bahkan anak seumur Farisha sudah banyak sekali yang dituntut bisa mengaji dan membaca oleh orang tuanya. Padahal? Padahal mereka belum siap. Padahal mereka belum bisa. Hal ini hanyalah untuk meningkatkan status persaingan sosial bagi ‘orang tuanya’. Yah, you know lah.. Something like… “Anakku udah bisa begini begitu..bla bla…”

“Wah anakku belum..bla bla…”

Persaingan seperti ini membuat anak melupakan dunia yang ia sukai. Maka jika ingin anak konsisten pada bakatnya biarkan ia melakukan hobinya bukan memaksakannya mengikuti standar lingkungan pada umumnya.

Baca juga: “Ketika Topik Perkembangan Anak dijadikan Persaingan Sosial oleh Orang Tuanya”

Ketika Bakat Terkalahkan, Harus Apa?

Sudah 5 kali sepertinya aku membawa Farisha mengikuti kompetisi mewarna yang diadakan se-TK Banjarmasin. Saingan yang dulunya hanya se-Banjarmasin Utara saja kini mulai bertambah luas kebeberapa penjuru. Saat itulah aku menyadari bahwa… Waw.. Skill mewarna Farisha tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Anak dari TK bla bla dan bla bla..

Apa yang kulakukan?

Tentu aku mengajari Farisha lebih keras dari sebelumnya. Walau skill mewarnaiku tergolong biasa saja namun kami selalu mendapat inovasi baru setiap kali melihat tutorial mewarna di youtube. Aku sangat senang melihat Farisha terus bersemangat mengasah bakat mewarnanya. Akan tetapi…

Kekalahan selalu datang lagi dan lagi. Yah, tidak hanya sekali namun sudah 3 hingga 4 kaki berturut-turut Farisha kalah. Harus kuakui, semangatnya yang dulu tinggi sekali saat belajar kini mulai menurun kualitasnya. Farisha sangat terobsesi dalam mendapatkan piala. Dan dalam beberapa kali lomba mewarna, walau harus kuakui kualitas mewarna Farisha sudah meningkat tapi ia selalu kalah dan tidak mendapatkan piala. Farisha sering mendapatkan hadiah favorite untuk posisi ke 4-6 dengan hadiah piagam penghargaan maupun voucher. Bagiku sih itu sudah amat membanggakan. Tapi tidak baginya..

“Tapi Farisha gak pernah dapat piala lagi.. “

“Tapi kan piala Farisha sudah banyak, lihat.. Ada 8. Ini sudah banyak loh..”

Untuk membuatnya bangkit dalam kekalahan aku telah mencoba berbagai cara. Kalian bisa membaca tulisan ‘tentang caraku mengajari anak pahit manis kekalahan’ ini pada blog Kumpulan Emak Blogger.

Bakat itu Perlu Modal Gak ya?

Salah satu alasan kuat kekalahan Farisha adalah ia tidak memiliki modal seperti saingan diatasnya. Ia hanya bersekolah di sekolah TK biasa yang tidak memiliki guru khusus mewarna. Ia juga tidak mengikuti sanggar mewarna seperti anak berbakat mewarna pada umumnya. Ya, modal Farisha selama ini hanyalah semangat dariku, pewarna Faber Castell hadiah ulang tahun dari neneknya dan smartphone untuk melihat tutorial mewarna di youtube. Hanya itu.

Kenapa hanya itu saja? Kenapa kami sebagai orang tua tidak ‘memodali bakatnya’ dengan cara yang jauh lebih baik?

Karena keluarga kami masih dalam tahap ekonomi pembangunan. Yah, bagi kalian yang sering melihat instastory di instagramku @aswindautari pasti setidaknya tau betapa hematnya aku dalam mengatur pengeluaran dalam satu bulan. Sebagai ibu yang terlahir dari keluarga yang juga merintis dari awal hal ini tidaklah terlalu sulit bagiku. Bagi kami, sekolah dan pengembangan bakat memang merupakan hal yang penting. Tapi memodali bakat anak dengan mengorbankan kebutuhan primer bukanlah hal yang bijak bagi kami.

Wait, Kebutuhan primer? Apakah masalah perut? Tidak, banyak hal yang lebih diprioritaskan disamping hal itu.

Baca juga: “Cara menghemat pengeluaran rumah tangga ala shezahome”

So.. Yay or Nay?

Bakat itu perlu modal? Tentunya ‘Yay’ buat aku.

Yah, memang berbeda sekali ya anak yang rutin ikut sanggar mewarna seminggu sekali dan dimodali dengan perlengkapan mewarna yang berjut jut harganya. Selama ini kupikir aku saja sudah sangat cukup untuk mengajari Farisha dan pewarna Farisha itu kupikir sudah paling lengkap dibanding yang lain..

Ternyata tidak.. 😂

Masih banyak jenis pewarna yang lebih unggul dan harganya berkali-kali lipat lebih mahal dari lipcream emaknya..😅😅

Memang yang namanya kemenangan itu perlu modal. Yang namanya prestasi dan terkenal itu perlu modal. Ini itu perlu modal. Modal Duit.. Duit.. Duit.. So, jangan ditanya kenapa emak-emak terkadang matre. Emak matre itu buat keluarga juga loh jeng..

Lantas, kalau tidak punya modal haruskah bersedih? Kecewa? Atau mau berusaha jungkir balik supaya dapat duit dan punya modal yang cukup?

Mamaku adalah tipe yang terakhir. Berusaha jungkir balik agar modal cukup untuk menyekolahkan anak kejenjang pendidikan yang lebih tinggi. Tapi, aku bukanlah tipe yang seperti itu.

Ya, kadang aku berpikir jika aku memang memiliki uang berlebih dan bekerja keras siang malam tentu saja memasukkan Farisha ke sanggar mewarna dan membelikannya pewarna mahal adalah hal yang gampang. Tapi…

Tapi aku tidak punya waktu spesial untuknya.

Tidak bisa memotong sayur sambil memperhatikannya.

Tidak bisa menulis sambil mengajarinya membaca.

Tidak bisa membuat kue sambil mengajarinya mencampur-campur pewarna.

Kadang, aku berpikir. Jika aku bekerja diluar sana dan memiliki uang banyak tidak selalu hasilnya akan seperti begini begitu. Bisa saja, awal semangat dari Farisha yang senang mewarna karena ia mencintai aktivitasku di rumah.

Jadi, bakat memang perlu modal mak.

Tapi, modal yang utama dan sangat terutama itu adalah Kehadiran kita dalam memberi semangat untuknya.

Guru berkualitas memang dapat mengajarinya skill terbaik. Tapi yang memberikan kasih sayang terbaik tentu saja orang tuanya. Dan ia sangat membutuhkan itu melebihi segalanya.

Ditulis oleh seorang Ibu yang bangga pada bakat anaknya dan hanya bisa berharap bahwa

Semoga kami orang tuanya tak pernah putus memberikan semangat untuknya..

Komentar disini yuk
5 Shares

Komentari dong sista

Your email address will not be published.

IBX598B146B8E64A