Comfort Zone dan Genjutsu Kehidupan
“Eh idup aku tuh kok gini-gini aja yee akhir-akhir ini.. Kagak ada seru-serunya.”
“Harusnya saat begini tuh dibawa bersyukur. Syukur banget hari gini masih bisa hidup enak. Lagian mau hidup yang bagaimana sih?”
“Gimana ya.. Ngerasa gak? Semakin besar tuh kayaknya idup semakin susah ya untuk bahagia. Padahal, waktu kecil tuh kayaknya gampang banget bahagia”
“Tuh liat Humaira.. Ketemu gelembung sabun aja norak. Liat badut di jalan norak. Ketawa ketawa sendiri.”
“Lah aku nonton drakor marathon 12 episode.. Ngantuk iya. Happy? Entahlah..”
Comfort Zone: Kenyamanan orang dewasa yang kadang gak bikin bahagia
Kapan hidup kamu masuk dalam kategori comfort zone ?
Yaitu saat episode dalam hidup kamu lempeng. Gak ada misi seru. Semuanya serba berkecukupan. Tidak ada aktivitas ‘terpaksa’ yang membuatmu kerja keras untuk survive. Hal yang dikerjakan sehari-hari hanyalah aktivitas monoton. Yang mana, aktivitas tersebut begitu menyenangkan dilakukan saat kecil. Tetapi saat dewasa, aktivitas tersebut terasa hambar.
Sebutlah contohnya menonton Tom and Jerry. Sewaktu kecil, aduh.. Senang sekali. Ketika sudah besar? Tertawa pun tidak.
Sewaktu kecil, moment ketika berhasil menaiki sepeda roda 2 itu adalah pencapaian luar biasa. Ketika sudah besar, berkeliling komplek menaiki sepeda terasa hambar dan biasa saja. Diupgradelah kesenangan itu dengan cara yang lain. Membeli sepeda baru, membeli kostum yang bagus.. Dll dsb.. Rasanya? Tidak sebahagia sewaktu kecil.
Kenapa? Kenapa ya?
***
Dalam dunia game, ada 2 cara untuk meningkatkan experience dan bisa naik level.
Yang pertama adalah melakukan misi yang mudah setiap hari. Misi level 1-5, berulang kali. Walaupun secara fisik tubuh kita sudah tumbuh ke level 20. Bukan tidak mungkin kita bisa naik level ke 21 dengan mengerjakan level 1-5 setiap hari.
Yang kedua adalah melakukan misi spesial, hingga ujian kelulusan spesial. Yang mana, jika misi ini selesai dilakukan maka kita akan mendapatkan level yang naik secara instan. Bahkan, mungkin saja mendapatkan berbagai gift dan scroll kebahagiaan. Experience kita bertambah banyak seperti melakukan 100-300x misi level 1-5. Padahal, itu hanyalah melakukan satu misi spesial.
Kadang, dunia nyata yang kita jalani bekerja mirip dengan dunia game. Ketika kita memutuskan memberikan rasa nyaman dengan berada di level yang sama. Maka, ada satu hal yang terasa berbeda. Happiness feel so empty.
*abaikan gambarnya yang super jelek.. Haha
FYI, gambar ini aku buat bersama dengan Humaira. Sekedar untuk mengenalkannya pada warna. Lalu, suamiku memperlihatkanku pada gambar tentang happiness yang dia temukan di facebook. Entahlah, gambar siapa itu, aku ingin mencarinya lagi tapi tidak ketemu. Makna gambarnya dalem sekali. Jadilah gambar tidak karuan ini aku wakilkan untuk dijadikan konten dari pengembangan gambar yang aku lihat. Pliss, jangan sakit mata melihatnya.. 😂
Well, aku sedang berada ditahap itu. Sebulan ini jujur aku merasa tidak begitu produktif. Seperti berada pada level yang itu-itu saja. Aku konsisten melakukannya tapi semakin sering itu dilakukan. Ada rasa bosan dan berpikir, “Kok begini-begini saja ya pekerjaanku?”
Menjadi Ibu bukanlah peran yang mudah. Saat single dulu, level yang aku mainkan mungkin hanyalah untuk diriku sendiri. Imajinasikanlah sebagai pemain solo. Nah, ketika sudah berkeluarga. Kekuatan ego sedikit banyak sudah dikurangi. Kekuatan yang dulu pernah diasahpun sudah berubah haluan ke mode healing. Pun juga, saat memiliki anak.. Mau tidak mau.. Aku yang pernah berada dilevel 20 kembali turun gunung untuk mengulang level 1.
Membersamai anak. Melupakan sejenak diriku yang pernah ada di level 20.
Ikut tertawa dan bahagia melihat perkembangan mereka. Dari yang selalu menangis hingga tertawa riang. Mereka menonton kartun, aku ikut nimbrung. Mereka request makanan macam-macam, aku jadi beralih menjadi suka memasak dan eh.. Kok jadi ikut-ikutan bahagia karena suka makan?
Kata orang, menjadi ibu berarti siap untuk bertumbuh bersama. Tapi jujur saja, aku sempat loh berpikir. Hmm.. Aku ini tumbuh bersama atau turun level demi mengatur mode dewasa ke child mode? 😂
Awalnya sih bahagia. Bahagia banget. Tapi, semakin kesini aku sadar sekali. Bahwa, semakin sering pekerjaan level bawah dikerjakan. Maka, pekerjaan level atas menjadi terlupakan.
Seperti aku yang malam itu kikuk membuka komputer setelah sekian lama. Mengatur blog, kaget dengan PV GA yang menurun dratis. Kaget, eh, kok aku gak bisa begini lagi? Eh ini kenapa? Eh, kok kok.. Bla bla..
Well, aku mengambil peran sebagai Ibu terlalu banyak. Stuck pada comfort zone dan mulai lupa dengan diriku lagi. Terlalu banyak berimajinasi karena sering marathon menonton film. Aku jadi lupa dengan dunia nyata dan misi yang seharusnya aku jalani.
Aku seperti terkena genjutsu pada comfort zone. Hiks
Genjutsu Kehidupan: Malas Mengupgrade Diri Sendiri
… Terlena dengan kenyamanan dan stuck dengan pekerjaan level 1-5 yang kalau tidak dikerjakan kok bikin kepala pusing. 😅
Sebutlah itu pekerjaan domestik. Silahkan judge ketika aku mengatakan pekerjaan domestik adalah pekerjaan dengan level rendah. Kenyataannya memang demikian kok (bagiku.. Haha). Lempari saja aku batu, katakan kalau pekerjaan domestik adalah ladang pahala. Kenyataannya, pekerjaan domestik yang setumpuk itu menghalangiku untuk kembali ke level seharusnya. Semakin kesini, aku semakin paham kenapa banyak Ibu yang membutuhkan ART walau hanya di rumah saja.
Banyak lomba blog bertebaran. Ketika ide muncul, ada saja pekerjaan rumah yang mengganggu. Padahal,akhir-akhir ini aku sedang semangat mengikuti lomba blog. Karena 2x berturut-turut menang. FYI, untuk pekerjaan rumah biasa jujur saja jam 7 pagi semua sudah selesai. Jadi, toh ngapain aku punya ART untuk membantu bersih-bersih rumah dan masak? Aku sudah (merasa) sangat cekatan untuk itu. *sombongnya kumat
Yang membuatku keteteran adalah anak. Biasanya, jam 8-9 aku sudah selesai membimbing anak pertamaku (Pica 8Y) untuk sekolah. Jam 9 aku sudah selesai mempersiapkan cemilan untuk 5 pegawai di rumah (sudah pernah bercerita kan? Keluarga kami punya bisnis IT di rumah). Jam 9.30-11 aku bersepeda membawa Humaira keluar. Pulang ke rumah, tugas Pica sudah selesai. Aku memasak untuk makan siang dan memeriksa tugas. Biasanya, masakan ini pun sudah 60% aku kerjakan di malam hari. Karena anak-anakku.. Aduh, lincah sekali. Terutama yang berusia 2 tahun itu. Anak perempuan yang hidupnya penuh drama karena saat di kandungan dulu, kerjaan mamaknya baper melulu. 😂
Well, sudah sekian kali aku berpikir untuk memiliki ART. Tapi keinginan itu kutahan lagi. Entahlah, aku merasa ART zaman sekarang tidak cekatan. Jikapun disuruh menjaga anak, ya memang itu saja pekerjaannya. Pun jika disuruh membersihkan rumah. Ya cuma itu saja. Sesungguhnya, aku lebih membutuhkan sekolah offline dibandingkan ART. Aku lebih membutuhkan berakhirnya pandemi lebih dari keinginan punya 5 ART sekalipun. Karena aku bermasalah pada sistem kepercayaan dan suuzhon. Entahlah, sulit menerima orang lain di rumah. Layaknya menerima persahabatan dan cinta. *meleber-leber curhatnya yee.. Kebiasaan.
Nah, sifat demikianlah yang menyebabkan aku stuck pada level 1-5. Kebahagiaan yang mengisi rongga hidupku menjadi sulit diraih. Karena kuantitas pekerjaan yang tidak sebanding dengan kualitas umur. Dan aku tau aku tidak sendirian dalam hal ini. Yakin sekali bahwa banyak orang diluar sana yang senasib denganku bahkan jauh lebih buruk. Lantas, bagaimana cara mengatasinya?
Keluarlah dari genjutsu. Hadapi kenyataan. Eh, dirimu bukan harus terkungkung disini saja! Itu adalah hal yang pertama dibenahi.
Dirimu harus punya keseimbangan kehidupan.
Waktu untuk anak
Waktu untuk pasangan
Waktu untuk sosial
Waktu untuk diri sendiri
Maka, sudah seminggu lamanya aku memutuskan untuk membuang waktu sosial yang biasanya. Ya, dulu aku menghabiskan dunia sosialku dengan interaksi di sosial media. Sekarang, aku tidak terlalu aktif di sosial media, sudah hampir 2 minggu lamanya. Apalagi menghabiskan waktu untuk kepo dengan berita terbaru. Pun membaca komentar netizen yang aneh-aneh. Aku sadar hal demikian merusak susunan otakku. Kalian tau aku lari kemana?
Aku bersepeda ke rumah mertua. Haha.
FYI, hubunganku dengan mertua tidak indah-indah banget. Tapi, juga tidak buruk-buruk banget. Disinilah aku mulai belajar menemukan diriku yang dulu lagi. Aku sadar dunia nyata tak tergantikan oleh sosial media. Ada sesuatu yang lebih disana. Entahlah apa itu.. Yang jelas, aku tetaplah seorang introvert. Tapi, aku sadar bahwa circle keluarga adalah circle yang harus aku pererat sekarang.
Aku juga mulai memperbaiki kualitas dengan pasangan. Meniadakan rutinitas memasak malam adalah jalan ninjaku. Menggantinya dengan quality time saling memijat, menonton tv, saling curhat. Kami sudah terbiasa untuk makan malam apa adanya saja. Dan itu sangat membantu produktifitasku lagi. Aku mulai mencoba hal baru. Dari yang kemarin hanya membelikan Pica wacom untuk kesenangannya menggambar. Sekarang, aku memakainya untuk mengajari Humaira mewarnai dan memanfaatkannya menjadi konten receh begini. Well, she’s so happy!
Misi level 20 seorang Ibu mungkin bukanlah misi yang besar. Ia hanya perlu kesadaran akan perlunya keseimbangan ruang.
“Jangan lupa ya diriku.. Teruslah bertumbuh dan pelihara dirimu sendiri. Karena tanpa dirimu yang baik, mereka tak akan jadi baik-baik saja.”
*level 20? Yakin? Kamu saja sudah umur 30 tahun win. Haha.. (Ya ya, level hidupku lambat. Aku pernah kena genjutsu berkali-kali dan efek stun-nya. Lama sekali. Ada yang setahun, 2 tahun, sampai sekian tahun. Duh, parah memang)
Bahagia Itu Gak Sederhana
Jika setelah membaca tulisan ini kalian berpikir bahwa bahagia itu sederhana. Maka, kalian salah.
Bahagia itu, gak sederhana.
((lalu dilempari batu))
Aduh, bahagia itu akan sederhana ketika kita sudah menemukan ‘rasanya’. Kalau langsung ketemu ‘happy’ tanpa sebelumnya merasakan ‘gagal’ atau ‘sakit’ maka bahagianya flat.
Naik kepuncak gunung, makan mie instan di puncaknya. Kalian bisa bilang.. “Bahagia itu sederhana” Ya karena kalian udah capeeeek.
Makan ikan asin dan nasi hangat di sawah. Kalian bisa bilang.. “Bahagia itu sederhana” Ya karena kalian udah capeek lari-lari di sawah atau ikut mencangkul.
‘Hanya melihat senyummu’ lalu bilang “Bahagia itu sederhana” Ya karena sebelumnya kalian sedih kan liat dia sedih, manyun gak jelas. Atau kalian lagi cinta-cintanya sama dia. Kan ada rasanya?
Bahkan, nabi saja bilang.. “Makanlah ketika lapar, berhentilah sebelum kenyang..”
Saking, merasakan bahagia itu ada ‘seninya’. Susah dulu, baru disembuhkan. Baru tau rasanya bahagia.
Semakin dewasa, arti bahagia itu semakin gak sederhana. Karena Tuhan emang bikin bahagia kita gak sederhana kayak dulu lagi.
“Bersama kesulitan ada kemudahan..”
Bersama.. Bukan setelah..
Betapa Tuhan itu sangat menguji kita untuk paham dengan apa arti dari rasa syukur. Syukur adalah rasa yang bisa menerima.. ketika kesulitan hadir, namun tetap bisa mencari kemudahan disela kesulitan. Kebahagiaan hadir berdampingan dengan kesulitan. Itulah kewajaran level bahagia yang terjadi dalam kehidupan manusia dewasa.
Happiness look simple. But sometimes, being happy is not simple as when we were little.
Bahagia itu gak sederhana. Keluarlah dari zona aman dan cari misi terbaru hidupmu. Semangat!
One thought on “Comfort Zone dan Genjutsu Kehidupan”
Menginspirasi sekali tulisannya kak. Pas baca tulisannya, saya sering banget bilang dalam hati, “iya juga ya.” Apalagi di bagian bahagia itu akan sederhana ketika kita sudah menemukan ‘rasanya’.