Untold Story Dibalik Kisah Anak Durhaka
“Dasar Anak Durhaka! Kamu gak tau ya kesakitan Mama ngelahirin kamu! Sudah tua Mama dibeginikan! Menyesal aku melahirkan kamu!”
Masih ingat aku omelan demikian. Saat itu, usiaku masih 17 tahun. Kulihat air matanya, kulihat amarah di wajahnya. Kurasakan getaran pada tangan dan kakinya. Namun, air mata orang yang memelukku..
Jauh lebih deras..
Ini bukan cerita tentangku. Bukan tentang aku sebagai anak durhaka. Tapi, cerita ini layak untuk kalian baca dan renungkan.
Asal Usul Anak Yang Durhaka
Ini bukan cerita tentang Malin Kundang. Mungkin jauh setelah Malin Kundang lahir, bertahun kemudian di negeri antah berantah. Lahirlah seorang anak perempuan dari dua insan yang tak lagi saling mencintai.
Sebut saja namanya adalah Meri. Ia lahir satu bulan pasca perceraian kedua orang tuanya. Sang Ibu bersikeras tak mau memeliharanya. Sementara Sang Ayah jatuh miskin. Tak ada satupun harta digenggamannya.
Meri hidup dari satu tangan ke tangan yang lain. Dari tangan tante pertama, ia pindah ke tangan tante kedua. Lalu saat usianya menginjak 5 tahun ia mencoba untuk menghambakan diri. Belajar pekerjaan rumah tangga hingga belajar berjualan diluar sana. Pada usia sekecil itu, Meri sudah paham akan arti kerasnya hidup. Bahwa untuk makan sebutir nasi, ia harus berusaha. Ia tak kenal akan kasih sayang. Apalagi sentuhan seorang Ibu. Yang ia ketahui hanyalah satu hal.
“Aku harus berjuang untuk hidup..”
Hingga usianya beranjak 13 tahun, Meri hidup dengan keras. Untuk sekolah saja ia tak pernah memakai sepatu. Hanya sepasang sandal jepit hasil pinjaman sepupu yang ia pakai. Pun soal uang jajan, jika jualannya tidak mencapai batas laku yang seharusnya. Maka ia tidak jajan. Akan tetapi Meri anak yang tangguh. Dijemur guru beberapa kali karena datang terlambat hingga memakai sandal jepit.. Ia tetap sekolah lagi dan lagi. Sehingga ia menjadi anak yang terkenal di sekolah. Semua guru senang mengandalkannya. Menyuruhnya membeli sayur, mencuci piring dll. Meri mengerjakannya dengan ikhlas. Jika diberi Alhamdulillah, jika tidak ya tidak apa-apa.
Meri tak pernah sekalipun menanyakan kehadiran orang tuanya. Ia cukup tau diri, sepertinya Mamanya bukanlah orang yang menginginkannya. Pun juga Ayahnya. Apa yang bisa ia harapkan dari penjahit yang kala itu tidak sanggup menopang finansial. Tapi, keinginan Meri untuk mengetahui keberadaan orang tuanya selalu ada. Hari itu, ia putuskan untuk mengunjungi Ayahnya.
Ternyata, Ayah kandungnya telah menikah lagi. Baru saja ketika usia Meri 13 tahun. Meri pun memutuskan tinggal sebentar dengan Ayah dan Ibu Tirinya. Ia berharap keduanya baik. Keesokan paginya, Meri bersekolah dan memakai sandal jepit yang ada di teras rumah. Dan sepulang sekolah Ibu Tirinya langsung meneriakinya, “Dasar Maling Sandal!”
Ia akhirnya tau, bahwa tak ada satupun yang menginginkannya untuk tinggal. Tapi Meri tau satu hal bahwa Ia harus bertahan dan membuktikan bahwa Ia bisa mendapatkan penerimaan itu suatu hari nanti.
Ia yakin suatu hari akan ada yang berkata padanya.. “Ini adalah Meri, Anakku yang membanggakan..”
Meri terus berjuang untuk hidup. Ia berhasil sekolah di SMP hingga SMA dengan keadaan jatuh payah sedemikian. Beruntung parasnya tergolong cantik sehingga di sekolah ia mendapatkan lingkungan yang nyaman untuk menerimanya. Selama 17 tahun hidupnya, ia tak pernah mengenal apa arti kata ‘Mama’. Yang ia tau, ia harus bisa hidup lebih baik. Keluar dari lingkungan yang membuatnya bekerja siang malam. Sekolah akan membuat hidupnya lebih baik. Itulah yang ia yakini.
Tapi, keinginan itu muncul juga.
Kira-kira bagaimana reaksi Ibu kandungku jika melihatku sekarang? Akankah ia menyambutku dan menyebutku cantik? Akankah ia memberikanku uang? Sepatu mungkin? Ah, aku coba saja berkunjung. Kata tante, Ibu kandungku adalah seorang PNS. Bukankah seorang PNS setidaknya memiliki tunjangan anak? Berapa banyak tunjangan anak jika dikali 17 tahun? Ah, satu buah sepatu cukup. Ah tidak, satu pujian mungkin. Imajinasi Meri melayang membayangkannya.
Saat liburan sekolah, Meri mengumpulkan tabungannya untuk mengunjungi Ibunya. Ia tau, Ibunya telah menikah lagi dan memiliki 2 orang anak. Suami barunya juga seorang PNS. Setidaknya, mungkin ia akan lebih sejahtera liburan disana.
Meri senang saat sudah sampai di rumah Ibu kandungnya. Ada sebuah harapan. Pelukan dan tangisan tanda rasa rindu. Rumah itu dipenuhi dengan keriangan anak-anak. Sementara Ibunya sedang asik berhitung di warung. Dan tersenyum menyambut Meri.
Aku tau Ibuku orang baik.
Sayangnya, senyuman itu hanya sebentar. Meri masuk dan tak disambut oleh siapa-siapa. Ia mencoba mengerjakan pekerjaan rumah untuk mendapatkan apresiasi. Namun, tak ada satupun yang memujinya. Terlalu dini untuk kecewa. Ia memutuskan untuk ke warung dan menemui Ibunya.
“Ma, bolehkah Meri minta pembalut ini? Meri ternyata Mens. Dan lupa bawa kain mens”
“Jangan! Ini jualanku. Kalau kamu minta ya aku gak dapat untung. Di dapur banyak kain-kain bekas. Pakai itu aja.”
Meri melangkah ke dapur dengan menundukkan kepala. Menahan tangis. 17 tahun tak bertemu dengan Ibu Kandungnya. Namun ia merasa sangat asing. Bahkan merasa tak sedikitpun dipedulikan. Meri bertahan selama 3 hari di rumah itu. Berharap ada sedikit keajaiban.
Hari ketiga, Meri memutuskan untuk pergi ke barabai. Tempat tinggal julak yang terkenal akan kebaikannya. Kemudian, sekali lagi Meri mencoba memancing-mancing Ibunya..
“Ma, Meri mau ke barabai. Bolehkah Meri minta uang untuk naik taksi? 1000 rupiah aja.. “
Sang Ibu memberinya uang 500 rupiah. Dan berbalik begitu saja. Meri mengucapkan terima kasih dengan tertahan.
Inilah uang satu-satunya pemberian ibunya selama 17 tahun.
Sejak itu, tak pernah sekalipun Meri menjejakkan kaki di rumah itu lagi. Tangisnya membasahi tanah. Hatinya kesal. Tapi ia tau. Konon seorang anak tak boleh durhaka pada Ibunya. Malin Kundang adalah dongeng yang selalu menjadi pembelajaran untuk anak kala itu. Jika ia menangis sekarang lantas Sang Ibu melihat dan mengutuknya. Bukankah masih mungkin ia akan berubah menjadi batu? Karena merasa kesal?
Meri kemudian bertanya-tanya. Bagaimana masa kecil Malin Kundang? Apakah ketika Ibunya Malin ditinggal oleh Ayahnya berubah menjadi Ibu yang berbeda? Apakah demikian? Sehingga Malin memilih untuk merantau ke negeri seberang? Lantas pulang dan berpura-pura tak kenal dengan Ibunya?
Entahlah. Hari itu, Meri memutuskan hal yang sama. Merantau lalu menikah. Pergi sejauh-jauhnya.
Jika Saja Malin Kundang Memilih Jalan Yang Berbeda
Meri hidup dengan sejahtera. Ia berprofesi sebagai guru TK dan sudah PNS. Ia juga memiliki suami PNS. Dan ia dianugerahi 2 orang anak. Laki-laki bernama Wanda, juga perempuan bernama Winda.
Dari kecil, Meri sangat suka bernyanyi dan membaca buku cerita. Karena itu ia merasa cocok bekerja sebagai guru TK. Walau ia memiliki inner child yang kelam, namun ia berusaha untuk tidak membalas semuanya.
“Apakah Batu Menangis itu benar-benar ada Ma?” Anaknya Winda yang baru berumur 5 tahun bertanya polos.
“Ia, batunya menangis. Menyesal karena durhaka dengan Ibunya.”
“Nangisnya kedengeran? Atau cuma keluar air mata aja? Batunya sujud gitu? Kok serem banget?”
“Iya.. Winda gak boleh kalau sudah besar durhaka sama Mama ya. Nanti kalau mama kesal bahaya..”
“Mama gak bakal berani ngutuk Winda jadi batu. Kan mama sayang.”
Meri tersenyum melihat Winda. Anak perempuan memang lebih emosional. Sementara Wanda sibuk bertanya-tanya apa itu beda legenda dan dongeng. Mengapa bisa ceritanya ada dll dsb.
Winda dan Wanda tidak tau bahwa selama ini, ia tidak kenal dengan sosok nenek selain dari pihak ayahnya. Mereka tak pernah sekalipun menanyakannya. Seiring waktu, mereka sering mendengar ibunya terisak saat berbicara dengan ayahnya. Pun beberapa waktu belakangan, sering mereka ditemui oleh wanita tua yang datang kerumah membawa serpihan-serpihan snack murah. Mereka baru saja tau kalau itu adalah nenek.
Ya, Meri memutuskan hal berbeda dari langkah Malin Kundang. Meski sering kesal, Meri memutuskan untuk menerima Ibunya kembali di masa tuanya. Membiarkannya bercengkrama dengan cucu-cucunya. Ikut senang ketika Wanda dan Winda begitu receh bahagianya. Snack murah dengan harga 100 rupiah sudah membuat mereka berdua senang. Berkata bahwa nenek membelikan oleh-oleh. Untuk sesaat, akhirnya kehidupan normal dengan adanya nenek itu pernah ada.
Namun, itu tidak lama.
Wanda dan Winda tumbuh menjadi sosok remaja yang sudah mulai mengerti akan masalah kehidupan. Mereka lambat laun paham akan kehidupan masa lalu Ibunya. Empati itu pun tumbuh. Sehingga jika melihat neneknya ke rumah maka reaksi mereka ‘Beh’ saja. Pun saat mereka tau bahwa neneknya ternyata ingin menghabiskan masa tuanya di rumah Meri. Mereka pura-pura biasa saja padahal ikut geram.
“Aku mau makan pepuyu sekarang. Gak mau nanti.” Teriak sang Nenek di dapur.
Meri kerepotan mengurus pagi rutin yang luar biasa. Ditambah dengan request spesial setiap pagi plus ‘ceramah’ dari sosok yang seumur hidup hanya memberinya 500 rupiah. Hati bergemuruh ingin marah. Tapi konon, bukankah seorang anak tidak boleh demikian pada Ibunya?
Winda melihat air mata menetes di mata Mamanya. Ikut geram saat neneknya duduk santai dan mengobrol dengan pengasuh adik kembarnya.
“Kamu digajih berapa disini sebulan?” Tanya neneknya pada pengasuh itu.
“Lima ratus ribu enggeh..” Jawab pengasuh polos.
“Wah, banyak juga. Mana Meri ini anaknya pakai susu formula keduanya si kembar ini. Banyak banget pengeluarannya.”
Kuping Meri memanas mendengarnya. Ia berkata didalam hati, “Kalau memang merasa banyak, kenapa tidak dibantu? Bukannya Ibu tinggal disini juga? Ikut makan dengan pelayanan spesial? Bukannya uang pensiun ibu ada? Uang pensiun janda juga ada? Masa mau ditabung semua?”
Tapi kata-kata itu tertahan. Berganti dengan suara ‘PLAK PLAK’ keras saat memukul ikan pepuyu.
“Eh, Meri.. Kamu ini ngasih gajih pembantu 500ribu sebulan. Pembantu kamu kasih gajih ya tiap bulan. Mamamu gak pernah dikasih duit.” Ibu Meri berkata demikian dengan santainya.
Dan saat itu juga. Meri memutuskan melepaskan semua rasa itu.
Tidak ada lagi kata sabar.
Sabar itu ada batasnya.
Selalu Ada Cerita Anak Durhaka, Tapi tak Pernah ada Cerita Ibu yang Durhaka
Mana yang lebih dulu diciptakan? Telur ayam atau Induk Ayam?
Sebab dan akibat. Selama ini, kita terbiasa dikenalkan pada akibat. Lalu abai akan sebab. Padahal, sebab adalah awal dari semuanya.
Kisah Meri sudah bisa ditebak endingnya bukan? Ia kehilangan kontrol dan melepaskan semua amarahnya. Ia mengusir ibunya dari rumah dan berakhir dengan sumpah serapah dari mulut ibunya yang berkepanjangan sepanjang hidupnya.
Meri tak pernah dianggap sebagai anak baik di masa hidup Ibunya. Ia hanyalah seonggok anak celaka yang tidak diharapkan diawal kehidupannya. Namun diperas erat diakhir cerita.
Apakah Ibunya mengutuknya menjadi batu?
Ya.. Winda sering mendengarnya. Satu dua.. Mungkin sepuluh kali. Namun kiranya Tuhan lebih tau siapa sebenarnya sosok yang durhaka pertama kalinya.
Akhir cerita Meri bukanlah menjadi sebuah batu yang menangis layaknya batu Malin Kundang. Namun menjadi anak dengan hati yang membatu. Menangis melihat perilaku Ibunya padanya. Menyesal dilahirkan oleh Ibu yang sedemikian.
Kenyataan demikian membuat Winda berpikir akan pertanyaan masa lalunya, “Bagaimana sebenarnya sosok batu menangis yang sebenarnya?”
Apakah cerita Malin Kundang benar dimulai dari kasih sayang yang dibalas dengan kedurhakaan? Apakah mungkin ‘global story’ dibalik kisah Batu Malin Kundang sebagai pengingat bahwa seburuk apapun perilaku seorang Ibu, seorang anak haruslah menjadi baik. Agar ‘rantai sifat durhaka itu putus’? Yah, mungkin itu kiranya.
Seusai diusir, Ibunya Meri pulang ke rumah anak kandung keduanya. Anak laki-laki dari pernikahan keduanya. Namun sayang, ia tak bisa diurus dengan baik. Ia ditinggalkan begitu saja di dapur rumah. Tanpa mandi, tanpa ganti popok, dan tanpa dilayani sandang pangannya. Ia hidup panjang umur. Dengan pelayanan sedemikian. Apakah itu hukuman dari Tuhan?
Meri menyaksikan hal itu saat tidak sengaja berkunjung. Hatinya pilu sesaat. Winda dan Wanda tak pernah sekalipun mengunjungi neneknya. Uang 5000 rupiah adalah satu-satunya hal termahal yang pernah diberikan oleh neneknya yang bergelimang harta.
Tapi Winda sadar. Bukan hanya uang 5000 rupiah yang telah diberikan nenek. Namun sebuah pembelajaran berharga bahwa..
Jangan pernah menjadi orang tua yang durhaka..
Anak tak pernah meminta dilahirkan..
Ia lahir untuk disayangi. Diwariskan rasa-rasa yang baik agar ia menjadi orang baik.
NB: Ya, aku menulis ini seminggu pasca menonton film Cruella. Kisahnya mengingatkanku pada sepotong cerita.
Tulisan ini bukan untuk membenarkan perilaku durhaka. Tapi untuk mengunggah hati kembali. Mencari sudut yang berbeda agar kita.. khususnya para Ibu..
Belajarlah untuk mencintai anak dengan tulus.. ❤
Jadi kalian tau Winda dan Wanda itu siapa? 🙃
Another galau story: Mama, Maafkan Aku Hanya Bisa Menjadi Ibu Rumah Tangga
One thought on “Untold Story Dibalik Kisah Anak Durhaka”
Waaah, bagus bgt mbak, mengambil sudut pandang yg berbeda dari sebuah dongeng/cerita. Aku setuju bhw toxic parent itu ada, beruntung bagi pny ortu yg penuh kasih sayang. Tapi gak bisa dipungkiri jg klo ada ortu yg toxic sprti cerita di atas. Aku sndiri gak bisa ngebayangin klo pny ortu sprti itu, apa aku bisa bersabar atau tidak.