Ada luka yang membekas, tak bisa sembuh namun merencanakan kesembuhannya.
Ada sakit yang menghantui malam demi malam, tak kunjung bisa terhindar. Namun tak sadar aku kutuki rasa sakit itu perlahan.
Disisi lain drama Korea the Glory.. Ada ibu yang berjuang untuk kemenangan. Dari hal-hal yang pernah menyakitinya.
Mulut-mulut nyinyir itu.
Wajah-wajah meremehkan.
Tawa lepas mentertawakan.
Ini bukanlah kisah tentang pembalasan rasa sakit. Ini adalah kisah bagaimana hati seorang ibu bisa meraih kemenangan.
Untukmu Yang Mendengar Mulut-Mulut Tajam
Sebenarnya, aku sudah lama ingin menulis tentang ini. Tulisan yang kubuat untuk mendamaikan hatiku pada mulut-mulut yang tajam. Mulut yang selama ini mengganggu aktivitasku sebagai seorang ibu. Sebagai seorang istri. Dan terakhir, sebagai diriku sendiri. Jika monster itu keluar dan kambuh. Mungkin aku bisa saja membiarkan blogpost menyeramkan itu tetap ada. Tapi, atas nama menjaga dan menjaga aku memilih menghapusnya. Aku memilih kalah. Dan memang sebagai orang bawah. Aku harus kalah bukan?
Demikian egoku berkata dengan mengalah sok elegan. Hatiku sakit dan tak nyaman. Tak nyaman hingga suatu hari aku menemukan konten sejuk dari risalah amar.
Dari cerita ini aku menyadari bahwa sindir menyindir dan menjelek-jelekkan orang bahkan bisa dilakukan oleh istri Rasulullah. Yang sebenarnya.. sungguh mereka pun adalah orang baik. Hanya saja, kebencian.. iri, dengki.. sering melintas pada hati manusia pada situasi dan kondisi yang berbeda.
Maka, kenapa aku tak mencoba seperti Shafiyyah?
Kenapa aku malah berusaha menjelaskan dan marah pada satu orang, berharap orang tersebut memahamiku dan bisa menjadi penengah konflikku?
Sungguh, andai bisa mengulang waktu. Aku akan mengurung rasa-rasa marah itu dan membuangnya jauh. Tapi apa daya. Ternyata aku manusia biasa yang belum cukup bisa untuk mindfullness.
The Glory Versi Aku
Konten dari Risalah Amar tersebut sebenarnya sudah lama. Aku hanya menekan love dan menyimpannya untuk kubaca kala hatiku sedang sedih lagi. Perlahan, sejak bulan puasa kemarin aku mulai mengurangi keaktifan di sosial media. Lari pada hal lain.
Belajar menang tanpa perlu curhat. Belajar waras tanpa perlu curhat. Itulah misi hidupku sejak ramadhan kemarin. Dan ini juga sudah aku jadikan microblog beberapa hari yang lalu.
Untuk belajar seperti Shafiyyah, yang perlu aku perbaiki adalah hatiku sendiri. Hatiku yang selalu sedih mengingat perkataan yang tak enak. Hatiku yang saat marah bisa tak terkontrol. Hatiku yang rasanya ingin bicara mencari pendukung tapi tak tau harus mengeluarkannya kemana.
Entah kenapa, sejak menonton berbagai drama Korea sedikit demi sedikit.. aku ingin sekali mengambil pembelajaran dari itu. Menulisnya tanpa perlu membeberkan kisah hidupku. Melakukan hal itu, membuatku bisa curhat dalam media berbeda.
Sejak itu pula aku nyaman melakukan workout, perlahan saat malam datang dan anak sedang tidur aku mulai belajar meditasi. Streching tubuhku sebelum tidur dengan yoga. Itu membuatku nyaman dan tidur lebih nyenyak. Perlahan kata-kata tak mengenakkan itu pun teralihkan.
Menjadi Shafiyyah mungkin terasa mustahil. Tapi nyatanya, saat bertekad melakukan hal baik secara konsisten.. Kemenangan itu datang.
Bukan menang seperti Drakor the Glory. Tapi aku menang dalam hal menenangkan diri sendiri. Bagiku sebagai ibu, itu adalah sebuah kemajuan yang besar
Output dari Kemenangan
Sejauh ini, aku belum merasa bahwa sakit hati memerlukan balasan.
Aku merasa bahwa hati yang sakit perlu diobati. Itu saja. Dan urusan hati adalah urusanku dengan diri sendiri. Memaafkan adalah tentang kebaikan diri sendiri. Kurasa itu benar adanya.
Aku tak tau apakah ini memaafkan atau tidak. Tapi aku sudah tak merasa bersalah lagi kala setiap hari aku bolos tak menyiapkan cemilan kantor. Aku tak merasa bersalah kala hanya memasak sesuka hatiku saja. Tak merasa perlu pengakuan versi mereka. Aku merasa nyaman menjadi Ibu versi diriku sendiri.
Anakku berkata masakanku enak. Suamiku pun demikian. Untuk apa aku perlu pengakuan dari yang lain lagi?
Badanku nyaman dengan workout. Skinny fat ku berkurang. Untuk apa aku tampil sempurna lagi. Aku tak perlu pengakuan dari luar. Membeli alat olah raga dan lingerie cantik sudah cukup membuatku berharga.
Anakku butuh ibu bahagia. Yang bisa mencintai mereka dan mengajarkan mereka tentang kehidupan. Bukan ibu sempurna yang sebentar-sebentar menangis minta pengakuan.
Maka ketika aku bisa bahagia dengan caraku tanpa memikirkan harus bisa seperti standar mereka.. bukankah aku sudah menang?
Menang melawan diriku yang lain. Alhamdulillah. Ternyata benar, bahwa musuh terberat itu adalah diriku sendiri. Diriku yang berusaha menjadi orang lain. Diriku yang selalu memikirkan ucapan orang lain.
Hai diriku. Bertumbuh dan berharga lah dari sekarang.
5 Emosi Pada Seorang Ibu, Kamu Termasuk yang Mana?
Ibu yang baik adalah Ibu yang sempurna..? Tet tott..
Ibu yang baik adalah Ibu yang selalu hadir 24 jam untuk anaknya? Tet tott..
Ibu yang baik adalah Ibu yang mau terus belajar.. 🙂
Ibu yang baik adalah Ibu… yang bisa memahami emosinya sendiri.. 🙂
Hal itulah yang aku pelajari 3 bulan yang lalu. Aku secara iseng mengikuti kegiatan ‘Me Time’ bersama Rangkul Keluarga kita. Dan akhirnya, perlahan aku mempelajari hal-hal baru. Termasuk halnya dalam memahami emosiku sendiri.
Setidaknya ada 5 emosi dominan negatif yang paling sering dirasakan oleh Ibu sepertiku,
1. Marah
“Menurut Pica, Mama suka marah gak?” Tanyaku pada Pica hari itu.
Dan Pica menjawab.. “Mama jarang marah, tapi sekali marah.. Anu…”
Aku melihat raut wajah Pica, berkaca pada beberapa kemarahan dahsyat yang pernah aku keluarkan. Wah, kalau diingat rasanya kok menyeramkan sekali. Haha.
Jujur, aku termasuk dalam orang yang cepat sekali tersulut emosi. Tapi disisi lain, aku juga bisa ‘pause’ emosi dan menunda kemarahan. Tak hanya marah, aku juga bisa menunda emosi sedih, kecewa dll. Namun, sekali saja ‘trigger’nya muncul maka emosi itu bisa meluap seketika.
Tumpah semua. Bahkan tumpah berlebihan.
Kalau diibaratkan, kondisi emosi marahku ketika sudah meluap itu bagaikan kyubi ekor 6. Dan bisa saja sampai mencapai level 9 jika ‘triggernya tidak tau diri’. Hahaha.
Sesuai dengan saran dari relawan rangkul keluarga kita, saat kita sedang menunjukkan emosi dominan maka kita harus tahu apa penyebab utamanya. Dan jika aku berkaca pada kehidupanku sendiri, ‘ada penyebab utamanya…’
Sebenarnya sosokku yang marah mengerikan ini adalah warisan innerchild. Aku bukannya ingin mengklaim bahwa Mamaku adalah sosok pemarah, namun hal yang ingin aku sampaikan adalah aku lahir dalam lingkungan yang menganggap kemarahan adalah hal yang biasa saja. Sehingga, secara tidak langsung aku memiliki ‘imunitas’ atas rasa marah. Refleks, skill kemarahan itu akan keluar begitu saja ketika Pica melakukan hal yang tidak aku sukai. Bagiku dengan imunitas yang sudah ada, kemarahan adalah jalan keluar. Bagi Pica, hal itu adalah ‘virus’ dan ‘penyakit’ baru yang harus dihadapi dengan emosinya. Emosinya yang berwujud Sedih dan Kecewa.
Tanpa sadar, aku melupakan perasaan sedih dan kecewa pada masa kecilku dulu. Aku lupa, tentang rasa trauma akan teriakan mama. Aku lupa akan rasa takutku sendiri. Lupa bahwa itulah yang menyebabkanku sering mengurung diri di kamar. Yang tertinggal sekarang hanyalah rasa empati pada perasaan Mama. Rasa sayang pada Mama karena sudah memahami Mama. Dan sungguh, aku merasa jurus yang sama mungkin akan membuat Pica merasakan ‘takut untuk mengulanginya lagi’. Reward and Punishment adalah metode terbaik dalam masa kecilku, aku menyadarinya saat sudah bisa berempati pada Mama. Entah kenapa saat menerapkannya kembali pada masa kini, hal itu menjadi kurang efektif.
Baik untukku, untuk pasangan, maupun untuk anakku sendiri.
Dari sini aku sadar, marah adalah emosi dominan kedua yang aku miliki. Mungkin marah adalah pemegang saham emosiku sebanyak 15%. Whahaha, banyak sekali.
Wah, kalau marah saja termasuk dalam dominan kedua, berarti ada yang lebih dominan dari marah dong win?
Iya, dan kalian harus tau emosi dominan lain yang kadang juga sering muncul pada seorang Ibu.
2. Mudah khawatir
Setidaknyaakusempat mengalami emosi ini secara dominan selama 2 tahun. Kalian tau kapan?
Pertama, itu terjadi saat aku baru melahirkan anak pertama. Kedua, itu terjadi ketika pandemi melanda kehidupan. Oya, aku juga sering mengalami emosi ini saat sekolah. Terutama sewaktu ulangan. Namun moment demikian aku skip karena saat itu aku kan belum jadi Ibu. Xixi
Untuk masa sekarang, aku mengaku bahwa perasaan demikian sudah sangat jarang muncul. Terutama dalam keluarga. Jujurly, perasaan mudah khawatir atau berprasangka negatif itu justru sering muncul saat keluar rumah dan bertemu banyak orang.
Biasanya perasaan demikian muncul ketika mau tak mau harus berhadapan pada ruang bicara Ibu-ibu yang tidak satu generasi. Yang sering berpandangan sempit akan peran perempuan, yang suka mengkerdilkan peran IRT. Jujur, takut sekali kalau berhadapan pada circle demikian. Takut diinjak, direndahkan, dianggap tidak punya power dan tak berharga.
Maka, karena aku sudah tau pemicu akan emosi ini aku lebih memilah milih dengan circle siapa aku ingin berkumpul dalam durasi lama. Atau dengan circle mana aku cukup bertahan 15 menit saja.
3. Enggak Enakan
Pernah gak kalian merasa gak enakan dalam menolak ajakan atau permintaan tolong dari seseorang? Kalau aku, jujur saja sih dulu ‘lumayan sering’. Tapi itu ketika sebelum menjadi Ibu. Waktu zaman sekolah, fase remaja.. Aku sering sekali merasa tidak enakan kalau disuruh oleh seseorang. Manut mulu. Sekali saja ditolak, kok jadi merasa berdosa sekali. Sekali saja menghindar, kok sekejap teman itu berbisik kesana kemari. Kalau dipikir-pikir, kenapa ya dulu itu jadi anak plegmatis banget. Manuut aja gitu. Aih.. gemes.
Tapi, sejak jadi Ibu emosi ini sangat jarang muncul. Jujur sejak jadi Ibu aku lumayan tegas dengan orang-orang yang ingin ‘mengatur’ku. Tapi tetep sih, emosi enggak enakan ini masih berlaku sama suami sendiri. Haha. Jujurly, hampir 90% pekerjaan rumah tangga.. aku tetap mengerjakannya sendiri dan aku sih oke-oke saja. Karena memang sudah terbiasa hidup demikian. Karena kami sama-sama sibuk pada bidang berbeda. Bagiku asalkan biaya daycare Humaira dihandle suami dan aku masih bisa berdaya dari jam 8 pagi-4 sore, itu sudah sangat cukup. Yha. memang anaknya sejak dulu legowo aja gitu sama hal hal demikian. Yang enggak legowo itu, kalau sudah capek-capek apa-apa sendiri, sudah pinter banget manage keuangan rumah tangga n perusahaan.. Ada aja yang bilang cas cus cas cus diluar sana.. Yha.. yang demikian biar Allah aja yang mengatur orang yang suka ‘cas cus’ begini.
4. Mudah Merasa Bersalah
Kalau dibilang sensitif, iya sih aku orangnya ‘lumayan sensitif’. Konon kebanyakan anak zodiak Virgo itu demikian. Perasaannya Halus. Tapi kalau mudah merasa bersalah? Hmm, kayaknya sejak jadi Ibu aku berusaha banget improve harga diri aku. Sampai-sampai nih, udah jelas-jelas salah aja tapi mengumpulkan keberanian untuk minta maaf itu sulit sekali. Anyone like me?
Jadi sungguh perasaan mudah merasa bersalah ini sangat jarang muncul. Yang sering muncul adalah perasaan takut menyakiti orang lain. Karena itu, biasanya kalau aku berkumpul dengan orang yang ‘gak kenal banget’ atau ‘kenal banget tapi gak cocok’.. Aku biasanya akan setting mulut aku ke mode silent dan mode ‘enggih enggih’ aja. Istilahnya.. Ya.. Main aman lah ya..
Bahkan nih saking enggak sensitifnya sama perasaan bersalah.. Aku itu kalau marah sama anak, bisa lupa buat minta maaf loh. Justru lebih memutuskan bicara santai dan biasa aja sama anak setelah marah. Seakan bilang dalam hati, “Gak terjadi apa-apa kok tadi, lupain ya..lupain”
Ya, kalau dinilai sampai sini nih. Kayaknya aku itu punya ego yang lumayan tinggi untuk bisa merasa bersalah dan meminta maaf. Padahal, merasa bersalah itu adalah rasa yang harus kita miliki sebagai manusia yang kudu sadar kalau diri sendiri itu banyak punya khilaf.
5. Ingin Mendapat Pengakuan
Diantara Marah, Mudah Khawatir, Enggak Enakan, Mudah Merasa Bersalah, dan Ingin Mendapat Pengakuan.. Jujur yang paling banget aku rasakan sekarang adalah Ingin Mendapat Pengakuan. Kalau Marah tadi menguasai 15% emosi aku, Sedangkan Ingin mendapat pengakuan itu mungkin menguasai 25% emosi aku. Dan sampai sekarang pun iya.. Mungkin masih.
Sedih sih, ini merupakan emosi yang enggak tuntas-tuntas sejak remaja. Mungkin bahkan sejak kecil. Gak ngerti kenapa aku itu merasa haus akan validasi dari orang lain. Orang bilang tahapan dari pengakuan itu ada 3. Pertama adalah toleransi. Kedua adalah eksistensi. Dan ketiga adalah validasi.
Aku selalu bertanya-tanya apa penyebab aku selalu haus rasa validasi dari orang lain. Kenapa aku ingin serba sempurna dalam mengerjakan sesuatu. Aku bahkan suka menjerit kalau pagi-pagi terjadi kehebohan yang membuat rumahku tak sempurna.
“Gimana kalau ada yang datang? Entar kalau rumahnya kotor pasti yang ditanya ‘mamanya mana? Maka mamanya gak kerja di rumah aja’..”
Aku suka menjerit kalau suamiku memakai baju yang sama dengan hari sebelumnya kalau keluar rumah apalagi kalau ke tempat mertua..
“Apa sih susahnya memakai baju yang beda? Bukannya baju yang kemarin dan sudah aku cuci ditaroh dilipatan bawah? Kenapa sih harus diambil lagi? Entar ada yang protes, protesnya malah ke tempat aku.. ‘Harusnya suami itu kalau pakai baju diperhatikan, pakai parfum supaya gak bau.. Dulu pas hidup sama aku bla bla bla’ “
Padahal yang ‘nyinyir’ gak ada di rumah. Tapi kata-katanya terus saja terbayang. Seakan-akan orangnya tepat berada di hadapan sendiri.
Apa sih yang dikerjakan di rumah jadi gak bisa masak pepes ikan? Bukannya gak kerja?
Orangnya..yang nyinyir gak ada.. Tapi kata-katanya berulang seperti kaset rusak. Membuatku menjadi merasa berdosa kalau siang-siang tidak membantu perusahaan suami, tidak menghasilkan uang, tidak membuatkan cemilan, tidak memasak, atau lelah dan tidur siang.
Jadi dinding kesempurnaan yang coba aku ciptakan terasa ‘haus’ akan validasi.
Aku mencoba mengorek-ngorek apa sebenarnya penyebabnya. Dan aku paham, aku sulit sekali melupakan perkataan menyakitkan dari orang lain. Aku sulit memaafkan orang lain.
Toleransi, eksistensi, dan validasi. Kalau dipikir lagi, padahal manusia cukup mendapatkan ‘toleransi’ dari sekitar untuk bisa move on. Andai ada toleransi, manusia tak perlu capek menunjukkan eksistensi dirinya. Andai ada toleransi, manusia tak perlu capek mencari validasi.
Tak perlu capek ingin mendapat pengakuan dari orang lain.
Aku sering bertanya-tanya, kenapa sih manusia itu sering sekali menganggap dirinya lebih sempurna dan menganggap apa yang orang lain kerjakan tak sepenting dirinya? Mom shaming, perbedaan pendapat tak berkehabisan. Penghancuran harga diri perempuan yang berstatus mulia sebagai Ibu. Ah, padahal kalau semua orang bisa bertoleransi dan berempati.. Kurasa emosi haus akan pengakuan orang lain ini.. Mungkin bisa diredam dan dihilangkan.
Pada akhirnya, dari kelima emosi yang sudah aku sebutkan. Aku yakin banyak diantara kita mulai merasa ‘ini kayaknya aku banget’ dan kemudian bergumam.. Penyebabnya ini nih… Bla bla..
Ya, penyebabnya ‘orang lain’ bukan?
Sama. Aku pun merasa demikian. Namun, aku pun juga sadar.. Kita mungkin tak akan pernah bisa mengubah orang lain. Tulisan receh demikian pun andai terbaca oleh orang ybs mungkin hanya akan dicerca lagi. Aku sadar sih, sebanyak apapun kita menjelaskan dan membela diri.. Itu mungkin tak akan mengubah apapun dari sikap orang lain.
Tapi, aku sadar. Bahwa kita bisa mengubah diri sendiri. Kita bisa mulai mengontrol emosi tak baik yang sering kali muncul pada diri sendiri.
Marah.. Ingin mendapat Pengakuan.. Adalah emosi dominan yang aku miliki. Saat aku mendapat pengakuan, kontenku diapresiasi oleh para pegawai di kantor, cemilan yang aku buat sekejap habis.. Kadang aku merasa senang dan aku bisa melawan rasa marahku jika rasa senang itu ada. Kadang, aku sering bertanya-tanya pada diriku sendiri. Apakah aku sedang ‘memberi makan’ emosi ingin mendapat pengakuan ini? Ataukah aku baru saja merasa senang karena bisa ‘merasa bermanfaat’?
Aku sadari, ternyata its okay kok punya emosi ingin mendapat pengakuan dan marah. Emosi yang ada sebenarnya bukan untuk dihilangkan. Tapi dikontrol. Emosi marah, aku turunkan levelnya menjadi emosi tegas yang membuat anak patuh dan disiplin. Emosi ingin mendapat pengakuan, aku turunkan levelnya menjadi ‘senang membantu orang lain’ atau ‘senang karena merasa bermanfaat’.
Pada akhirnya, aku mulai menemukan celah cahaya dari sekian emosi jelek yang telah mampir dihidupku. Kelima emosi ini.. Hampir semuanya pernah muncul dalam hidupku. Hanya saja, aku ingin terus menjaga levelnya agar tetap stabil.
Semoga kita semua diberikan hati yang luas untuk bisa mengontrol setiap emosi negatif yang timbul. Karena seorang Ibu.. harus menjaga hatinya.. Dari prasangka, dari sakit hati berkepanjangan.. Jagalah hati..
Terima kasih untuk komunitas rangkul banjarmasin yang telah mengenalkanku pada keluarga kita dan menginspirasiku untuk tulisan ini..
Pentingnya Moment Bonding Bermakna bersama si Kecil
Menjadi orang tua dengan seribu akses pengetahuan dan lingkup sosial. Itulah fakta yang dihadapkan pada orang tua zaman sekarang. Ya, menjadi orang tua zaman sekarang memang memiliki banyak kelebihan tersendiri karena sangat gampang mengakses ilmu. Bergaul dengan sesama pun tak melulu bisa dilakukan di luar rumah. Hanya berbekal gadget, orang tua zaman sekarang bisa mengakses berbagai informasi dan bersosialisasi.
Bisa dibilang, itulah sisi positifnya. Dunia yang begitu luas. Namun, sebagian lagi kadang mengandung pengaruh yang negatif pada pola parenting kita sendiri. Kita jadi banyak tau tentang apa pendapat orang lain pada kita. Awalnya, diri kita ingin terus menjadi ibu yang baik dan terus belajar.. Namun kemudian terperangkap pada circle mom shaming tak berkesudahan. Seolah-olah, kita sebagai perempuan dituntut untuk bisa serba sempurna. Seolah-olah kita harus bisa beradaptasi pada standar kesempurnaan orang lain.
Tapi, sejatinya kita adalah diri kita sendiri. Yang memiliki kemampuan terbatas. Memiliki banyak kekurangan.
Manusia, dengan kecerdasan emosional dan kognitifnya nyatanya tak bisa menjadi sempurna. Manusia..khususnya seorang Ibu hanyalah butuh menjadi pribadi yang penuh dengan cinta.
Cinta, untuk menciptakan moment bonding yang bermakna.
Tentang Bonding Yang Bermakna
Apakah definisi Ibu yang baik? Apakah ia yang selalu bisa membersamai anaknya 24 jam sehari? Ibu yang selalu memasak, tak pernah membiarkan rumah kotor, tak pernah membiarkan anaknya terpapar gadget hingga mandiri finansial?
Bagaimana seorang ibu yang sempurna menjadi istri yang sempurna pula? Selalu tampil cantik, pandai merawat diri, patuh dan selalu taat. Belum lagi, seorang ibu juga dituntut menjadi menantu dan ipar yang baik hati dengan menciptakan citra yang sesuai dengan standar mereka.
Adakah manusia yang bisa sempurna demikian? Kurasa tak ada. Seandainya ada pun, maka seberapa banyak topeng yang harus dipasang demi menciptakan citra yang sempurna?
Selagi kecil, manusia memang dituntut serba sempurna oleh lingkungan. Sampai kemudian kita menjadi lelah dan lupa tentang apa itu ikatan emosional yang bermakna. Apa itu bonding yang bisa membuat diri kita bermakna di mata orang-orang yang kita sayangi. Nyatanya, bonding yang bermakna tidak dibangun dalam standar kesempurnaan tapi dibangun dengan cinta.
Bagaimana membuat bonding yang bermakna? Apakah diri kita sendri bukanlah manusia yang sukses dengan bonding bersama orang tua kita? Hmm.. Kurasa tidak.
Pernahkah kalian begitu marah dan kecewa dengan orang tua kalian? Tapi kemudian, kalian sadar dan meminta maaf. Kalian berbaikan kembali, sayang kembali hanya dalam waktu singkat. Itu artinya, ikatan emosional kalian dengan orang tua begitu dalam dan bermakna. Ikatan dalam itu telah membangkitkan empati pada satu sama lain. Ikatan emosional demikian dibangun dengan bonding yang bermakna.
Di dalam bonding, hal yang terpenting adalah tentang kualitas. Tak melulu tentang kuantitas. Jadi, kita tak harus kok menemani anak 24 jam untuk menciptakan bonding bermakna. Bahkan sebenarnya 30 menit yang sangat bermakna pun sudah merupakan hal yang cukup.
Jadi, tak ada alasan sang ibu bekerja tak bisa menciptakan bonding bermakna. Tak ada keluhan bahwa seorang ayah tak wajib kok punya bonding dengan anak karena sudah lelah bekerja. Memeluk, mengajaknya makan bersama, membacakan buku cerita hingga menemani anak tidur pun adalah moment bonding bermakna terbaik jika dilakukan dengan cinta di dalamnya.
Petualanganku Menciptakan #MomentBondingBermakna
Aku adalah seorang ibu yang memiliki 2 anak. Anak pertama sudah berusia 9 tahun. Sementara anak kedua sudah berusia 3 tahun. Sebagai ibu dari dua orang anak, aku menyadari hingga sekarang bahwa aku bukanlah ibu yang sempurna. Dan aku memutuskan tak pernah mau menjadi sempurna.
Aku hanya ingin menjadi ibu yang baik dan penuh cinta.
Dan tahukah kalian, ternyata untuk menjadi seorang ibu yang demikian itu tidak mudah. Aku memiliki pengalaman pahit setelah melahirkan anak pertama. Aku terkena babyblues. Aku pernah menghadapi fase dimana aku merasa tidak bahagia menyandang status sebagai seorang ibu. Penyebabnya mungkin karena aku tak siap dengan kehamilan diusia muda, aku memiliki ambisi yang kemudian harus hilang, rutinitasku berubah 180 derajat dan lingkunganku terlalu banyak mendektiku untuk terus menjadi ibu yang sempurna ditengah keadaan ekonomi yang belum stabil tanpa paham bagaimana caranya membuatku bahagia terlebih dahulu. Outputnya, aku pernah merasa begitu benci dengan kehadiran anakku.
Butuh waktu lama untukku mulai bangkit, membuang beban kesempurnaan dari standar orang lain. Menemukan kembali diriku yang dahulu. Mulai berani berkomunikasi dengan suami. Pada akhirnya aku bisa mencintai anakku dengan penuh makna ketika aku sudah mencintai diriku sendiri.
Self love yang telah membuatku bisa bersemangat kembali membacakan buku untuk anakku. Self love, yang membuatku memotivasinya untuk mengikuti berbagai lomba. Anakku yang pertama sampai sekarang masih begitu sayang padaku meski aku sempat down memilikinya. Ia tau bahwa aku menyayanginya.
Hingga kemudian aku siap memiliki anak kedua, Alhamdulillah keadaan ekonomi kami membaik dan aku memutuskan menabung sejak hamil demi bisa memiliki ART selama 3 bulan pasca melahirkan. Aku menyadari pada fase krusial sangat penting untuk memiliki support sistem. Tak peduli kata-kata orang seperti, “Padahal gak kerja diluar, tapi punya ART.”
“Padahal kan ini itu.. Tapi kok gak sempat begini”
“Kalau anak bobo itu, ibunya jangan ikutan bobo. Nanti kerjaan rumah gak beres”
Perkataan demikian sangat gampang terhapus begitu saja jika seorang Ibu punya ART dan suami yang menyemangatinya tanpa membebaninya setumpuk masalah. Jadi, kesabaran seorang ibu itu butuh dukungan dari orang sekitarnya. Kesabaran seorang ibu itu butuh diri yang maksimal berdaya dan positif. Itulah faktanya.
Sejak Humaira kecil, aku sudah memiliki ‘escape plan’ untuk bisa perlahan lepas dari tuntutan ibu rumah tangga. Oleh karena itu, sejak umurnya 2 tahun dan tak menyusu lagi aku memutuskan menitipkannya pada Day Care.
Keputusan yang aneh mungkin bagi sebagian orang karena melihat diriku yang ‘tidak bekerja’. Namun, orang bahkan tak paham betul dengan keadaan dan mimpi kita bukan? Orang lain bahkan tak paham dengan keadaan ekonomi kita yang mungkin telah jauh lebih baik dibanding sebelumnya. Jadi, kenapa harus peduli.
Fokus pada hal yang bisa dikendalikan. Itulah yang aku pelajari dari Mindfullness.
Diri kita yang bahagia dan dipenuhi rasa cintalah yang dibutuhkan oleh anak-anak kita. Bukan diri kita dengan versi yang sempurna.
Menjemput Humaira dari Day Care, dengan versi diriku yang telah sepenuhnya berdaya dan bahagia. Memeluknya di rumah sambil membacakan buku. Memandikannya sambil memijitnya dengan manja. Bahkan mengajak bermain pun seru rasanya. Bagiku, fase demikianlah yang bisa disebut sebagai #MomentBondingBermakna. Saat kami bersama dengan sepenuh hati kami.
Moment Bonding Bermakna dengan Skin to Skin
Pola parenting pada anak kedua adalah bentuk penyempurnaan dari pola parenting anak pertama, itulah kata orang-orang. Bagiku, itu memang kenyataan. Waktu memiliki anak pertama dahulu, sangat banyak yang bilang padaku bahwa anak itu jangan terlalu sering digendong. Jangan menyentuh anak terlalu banyak, nanti dia tidak bisa ditinggal. Demikianlah orang-orang memberikan ‘nasehat’ padaku. Nasehat-nasehat demikian membuatku tak ingin terlalu banyak menyentuh bayi. Takut, kalau-kalau dia tak bisa ditinggal saat aku sedang sibuk.
Padahal, kalau dipikirkan lagi ternyata sebuah mindset yang terpola demikian akan menjadi kenyataan. Karena terlalu takut akan ‘kelengketan’ maka aku dan anakku jadi tidak menikmati hubungan skin to skin. Padahal skin to skin itu sangat baik untuk membangun bonding.
Anak pertama berbeda dengan anak kedua yang sudah dibekali oleh ilmu. Sejak dalam kandungan, aku sudah mulai sedikit mengerti tentang ilmu babywearing. Aku mulai kepo dengan berbagai gendongan yang bisa dipakai sejak newborn. Belajar bagaimana cara memakainya. Anakku yang kedua, seperti anak kanguru yang senang sekali digendong. Dan akupun menikmati moment demikian karena sudah merasa nyaman.
Apakah dengan sering digendong dan disentuh membuat anak menjadi semakin ‘lengket’ dan tak mau ditinggal?
Awalnya iya, 3 bulan pertama anak memang sangat lengket dengan ibunya. Untunglah aku memiliki ART selama 3 bulan itu. Setelah itu, aku hanya berkomunikasi biasa padanya sambil bilang nanti pintar-pintar ya, terus diulang. Anehnya, ketika umurnya sudah 3 bulan, anakku Humaira kalau sudah digendong dan tertidur ia akan pulas saat ditaruh di tempat tidurnya. Dan biasanya, aku juga ikut tertidur memeluknya. Hehe. Aku suka sekali memandangi wajahnya yang sebentar-sebentar tersenyum dengan rambut landak yang berdiri semua.
Saat memiliki anak kedua, aku mulai menikmati bau minyak telon saat memijatnya. Menyadari bahwa bau bayi itu ‘candu’ sekali. Aku jadi suka sekali mencium dan menyentuh kulitnya.
Moment demikianlah yang seharusnya kita nikmati. Bukan kita campur dengan urusan kewajiban lainnya yang sebenarnya tidak darurat sekali. Memeluk dan menyentuh bayi, akan membuat kita merasa bahagia. Bahkan, psikolog menganjurkan kita untuk memeluk bayi setidaknya 8 kali sehari selama 20 detik. Taukah kalian kenapa sentuhan kasih sayang itu bermakna sekali bagi bayi? Karena sentuhan kasih sayang dapat mengeluarkan hormon oksitoksin. Hormon cinta dalam kehidupan.
Belajar Memaksimalkan Moment Bonding Bermakna Bersama Zwitsal
Pada hari kamis, tanggal 22 Desember 2022 kemarin adalah hari yang spesial bagi kita para Ibu. Hari itu, diperingati sebagai hari Ibu. Meski bagi keluarga kami sendiri hari ibu itu adalah ‘setiap hari’ namun, hari ibu pada tanggal 22 Desember adalah hari dimana mungkin sebagian ibu diluar sana ingin mengapresiasi dirinya sendiri. Hal demikianlah yang membuat Zwitsal turut hadir untuk membersamai para Ibu dengan acara Festival Moment Bonding Bermakna bersama Zwitsal.
Meski hanya bisa mengikuti acara festival tersebut secara online, tetapi kebahagiaan dalam moment itu turut aku rasakan. Bagaimana tidak? Karena acara tersebut mendatangkan psikolog anak dan keluarga Samanta Elsener M.Psi, juga mengundang Nikita Willy brand Ambasador Zwitsal sekaligus ibu muda yang ingin membagikan pengalamannya sebagai seorang New Mom. Acara ini terasa menarik ketika dibuka dengan bincang-bincang seputar pengasuhan anak yang sebenarnya semua orang tua memiliki style yang berbeda-beda dalam menerapkan parentingnya.
“Karena keadaan kita berbeda, jadi tak mesti semua pendapat orang lain harus kita aplikasikan. Aku sendiri fokus pada apa yang bisa aku kendalikan dan diskusikan dengan suamiku. Kalau ada saran atau pendapat di sosial media, yang baik akan berusaha aku aplikasikan. Tapi kalau tidak baik atau tak cocok dengan kami maka akan kami abaikan” demikianlah Nikita Willy berkata.
Mendengarnya aku merasa ikut senang, karena Niki memilih untuk teguh dan fokus pada keluarganya dibanding memperdulikan omongan orang. Berbeda sekali dengan pengalamanku yang diatas bukan? Hehe
Psikolog Samanta Elsener pun mengapresiasi pada pola pikir Niki dan Suami, menurutnya sangat penting orang tua memiliki kerja sama dalam pengasuhan dan tidak memperdulikan pendapat negatif orang lain. Karena apa? Karena pola parenting kita boleh berbeda tapi yang terpenting adalah kita memiliki moment bonding bermakna yang bisa dibangun dengan si kecil setiap harinya. Sekecil apapun moment itu akan terasa spesial ketika cinta dan kasih hadir di dalamnya.
“Keluarga kami biasanya menciptakan moment bonding bersama itu ketika makan. Baik makan pagi, siang dan malam usahakan selalu ngumpul di meja makan bersama. Baik aku, anakku maupun suami.” tutur Nikki.
Yup, sebenarnya tak memulu kita meluangkan waktu khusus dalam moment bonding bermakna loh. Kita bisa sambil melakukan rutinitas biasa dengan cinta kasih saat membersamai anak. Memeluknya sebelum tidur, menemaninya makan, memandikannya hingga menggendongnya pun sudah termasuk dalam bonding bermakna. Asalkan, Ibunya juga sedang berbahagia dan penuh cinta.
“Kita terbiasa selalu merasa ’kurang‘ dalam menjalankan peran sebagai ibu, hingga terjebak dalam mom shaming, yang ternyata dialami oleh 88% ibu millennials dan Gen-Z di Indonesia, padahal membersamai anak dalam membangun bonding itu tak bisa disamakan antara satu dengan yang lain. Setiap Ibu itu spesial.” ujar Samanta.
“Aku selalu percaya bahwa aku dan suamilah yang paling tau apa yang terbaik untuk Issa, dan yang paling penting adalah bagaimana kami bertiga selalu punya waktu untuk membangun attachment secara fisik ataupun emosional” tutut Niki
Yup, yuk kita perbaiki cara mindset memandang sebuah ‘keluarga yang sempurna’. Semuanya punya pengalamannya sendiri tentang berbagi bonding dengan si kecil. Yang terpenting lagi, kita mulai biasakan untuk membangun bonding efektif dengan skin to skin. Dengan cara sederhana saja. Mulai dari menyusui, memeluk dan menggenggam tangan, hingga memijat si kecil. Apapun yang bisa kita lakukan dengan hati senang.
Mahnessa Siregar (Nessa) Head of Deodorant and Baby Care Unilever Indonesia mengatakan bahwa hal yang dituturkan oleh Samanta dan Niki sejalan dengan brand purpose Zwitsal: menjadikan momen perawatan bayi sehari-hari menjadi momen bonding yang bermakna melalui skin to skin contact antara orang tua dan anak.
Zwitsal menghadirkan formula baru Zwitsal Baby Bath Hair & Body yang mengandung 4x Prebiotic Moisturizer yang melembabkan kulit bayi sehingga tetap lembut dan sehat. Dilengkapi keharuman lembut khas Zwitsal, inovasi ini membuat momen mandi menjadi momen bonding yang bermakna.
Oya, Selain Zwitsal Baby Bath Hair & Body.. Aku juga sering memakai minyak telonnya. Karena wanginya khas banget. Hingga umur Humaira 3 tahun pun aku masih setia memakaikan minyak telon untuknya. Nah, pada event bersama Zwitsal kemarin, aku baru paham bagaimana cara memijat bayi yang benar. Kami para orang tua baik secara online dan offline pun dengan senang ikut mencobanya di rumah sambil melihat baby Issa.
Ternyata, kegiatan Festival Moment Bonding Bermakna bersama Zwitsal ini berhasil memecahkan rekor kelas Baby Spa dengan peserta terbanyak versi the Asian parent – selaku mitra penyelenggara festival loh. Wah, aku jadi turut senang bisa ikut serta mengikuti festival ini secara online.
“Ke depannya, kampanye #MomenBondingBermakna akan terus hadir melalui rangkaian signature activities dari Zwitsal seperti kelas-kelas Baby Spa dan talkshow 1.000 HPK Zwitsal dengan para ahli dan praktisi kesehatan yang diadakan secara berkala,” tutur Nessa.
Tentu saja, aku sebagai seorang ibu yang ingin terus belajar akan menantikan rangkaian kegiatan seru lainnya seperti ini. Yuk, sebagai ibu mulailah memandang dunia dengan lebih luas. Stop berusaha menjadi sempurna bagi orang lain, yang terpenting adalah menjadi Ibu dengan penuh cinta agar bisa selalu menciptakan Moment Bonding Bermakna.
Yakin Pengen Jadi Stay At Home Mom? Pertimbangkan Faktor ini Dulu ya!
“Win, kalo aku nikah nanti aku mau jadi kek kamu juga ah. Di rumah aja didik anak dengan bener.. “
“Jadi setelah nikah rencananya mau resign nih.. Kamu serius?” Ucapku memancing
“Iya, aku mau jadi kek kamu aja win. Kerja tuh capek. Gak kebayang kalo kerja sambil ngurus anak.”
“Sebaiknya pikirkan matang-matang say. Begini, keadaan kita tuh gak sama loh. Support system kita juga gak sama.”
“Maksud kamu gimana win?”
Yakin Pengen Jadi Stay At Home Mom? Pikirkan Matang-Matang Dulu
“Win, susah loh kalo perempuan itu gak kerja. Coba lihat mama. Gimana kira-kira nasib kamu kalo mama gak kerja?” Ucap Mamaku ketika aku memutuskan menjadi IRT tulen.
“Suamiku beda Ma.. Dia ngerti. Dia support aku.” Tekanku untuk meyakinkan Mama.
Realitanya, dalam up and down kehidupanku.. Kadang aku sering membenarkan kata-kata Mama. Lantas menyesal kemudian. Lalu aku akan berusaha menjadi seperti mama. Lantas merasa berbeda.
Ya, aku menatap Mamaku. Sosok wanita karir yang sukses menyeimbangkan hidupnya. Punya pekerjaan tetap, memiliki lingkup sosial disana sini, hingga anak-anak yang mayoritas masuk jurusan kedokteran (kecuali aku). Ingin rasanya hidupku seperti Mama. Sukses luar dalam. Tapi ketika aku menatap lingkunganku. Aku sadar, aku tidaklah sama.
Mama tidaklah bisa menolongku untuk mengurus anak selama kutinggal bekerja. Begitupun mertuaku. Jangan tanya soal ART, masa sekarang dan dulu jauh berbeda. Jujur, awalnya aku menjadi IRT tulen bukan karena aku yakin dengan support suami. Tapi.. Karena aku tidak punya pilihan.
Hingga aku harus memperkuat pilihanku dan berusaha agar hidup kami baik-baik saja.
Ya, hidup kami sekarang memang jauh berbeda dibanding kehidupan awal menikah. Banyak yang menilai bahwa itu mungkin sebagian disebabkan oleh pilihanku untuk fokus menjadi Ibu Rumah Tangga. Sehingga suamiku bisa seperti sekarang. Kehidupan ekonomi kami bisa melejit seperti sekarang. Tapi, bukankah keadaan semua orang tidaklah sama?
Tidak lantas dengan melihatku sukses maka jalan semua orang harus sepertiku bukan?
Maka aku hanya berpikir heran dengan keputusan temanku yang kupikir instan dan tidak matang. Hei, tidak semudah itu loh memilih menjadi Ibu Rumah Tangga..
Faktor-faktor yang Harus dipertimbangkan Sebelum Memutuskan Menjadi Stay At Home Mom
Setidaknya, ada 3 faktor penting yang harus dipikirkan sebelum memilih untuk menjadi Stay At Home Mom. Jangan cuma mikir nih faktor sedikit ya. Baca penjabarannya. Gak sesedikit itu gaes..
Faktor Psikologis
Percaya enggak percaya aja, jadi Full Time Mom itu rentan stress hingga depresi. Saat semua orang bilang “Duh, enaknya gak kerja.. Enaknya cuma ngurusin anak dsb..”
Realitanya jadi IRT enggak seenak itu. Penderita babyblues dan PPD kebanyakan adalah seorang Full Time Mom yang tidak bisa menyeimbangkan waktunya karena terdorong oleh keadaan.
Maksudnya?
Seorang manusia normal setidaknya memiliki 3 pembagian waktu yang baik dalam kehidupannya. Tiga waktu itu adalah Me Time, Family Time dan Social Time. Nah, saat sudah berumah tangga pembagian waktu itu berubah lagi. Seorang Ibu dituntut untuk memiliki waktu bersama bayinya. Dituntut untuk bisa mencukupkan ekonomi serta dituntut untuk bisa melayani suami hingga bisa diterima dilingkungannya.
Itu tuh enggak mudah ketika Ibu memilih menjadi Stay at Home Mom. Apalagi jika sedang memiliki anak yang masih bayi dan belum bisa ditinggalkan. Tidak ada lagi keseimbangan 3 waktu seperti masa single. Sebagian besar waktu tersita untuk Parent Time. Tidak ada me time hingga social time. Belum lagi lingkungan yang kadang mencibir, “Kan di rumah aja.. Kok gak bisa ngapa-ngapain..”
Saranku, jika ingin menjadi Stay At Home Mom maka jangan bayangkan sisi ‘enak’nya saja. Bayangkan juga sisi enggak enaknya. Berubahnya faktor kebiasaan yang berubah hingga 180 derajat. Itu adalah adaptasi yang harus diterima. Kalau tidak, psikologis Anda bisa terganggu. Aku bercerita demikian karena pernah mengalami PPD saat memiliki anak pertama.
Dan yang paling penting.. Sebelum menjadi Full Time Mother ubahlah sebuah persepsi bahwa seorang Ibu harus 100% mengabdi pada anaknya.
Kenapa diubah win? Bukannya Ibu itu memang harus berkorban bla bla bla..
Hei, Anda gak akan ngerti sebelum merasakan mengalaminya. Dalam durasi 1 bulan hingga 6 bulan mungkin Anda akan merasa perfect dan baik-baik saja. Lama-kelamaan akan ada something missed dalam kehidupan Anda. Percaya deh.
Apa itu? Yaitu kehilangan dirimu yang dulu.
Maka, berdayakanlah diri selagi masih muda. Pelihara hal itu hingga memiliki anak. Hiduplah dengan keseimbangan dari passion dan cinta. Milikilah hobi yang bermanfaat untuk bisa menemukan diri sendiri dan menyalurkannya untuk lingkungan sosial.
Dengan kehidupan seimbang maka seorang ibu akan waras dan menemukan kebahagiaan. Ia menjadi seseorang yang berarti untuk dirinya hingga anaknya.
Ingin menjadi Ibu rumah tangga sejati? Yakinkan passionmu bisa berkembang di rumah. Kenali dirimu sendiri. Apakah kamu introvert atau ekstrovert. Bisakah kamu berkembang jika kamu di rumah? Itu adalah hal yang harus dijawab sendiri olehmu. Jangan remehkan faktor psikologis ini
Faktor Ekonomi
“Kamu enak win. Suamimu PNS. Setidaknya jadi punya pegangan hidup.”
Hmm.. Gak ada yang tau dengan keadaan ekonomi orang lain selain orang itu sendiri. Gak ada yang ngerti sama ujian pernikahan selain yang mengalaminya.
Jujur, meski suamiku adalah seorang PNS. Tapi, banyak faktor tambahan yang tidak diketahui orang lain. Seperti berapa banyak potongan dalam gaji? Apakah semua gajih 100% untukku sehabis dipotong? Apakah suami bukan seorang sandwich generation? Nah, kalian tidak tau kan? Dan tidak usah tau. Hihi.
Yang jelas, aku pernah berada diposisi hanya mendapatkan jatah 300rb sebulan. Seiring waktu naik menjadi 1,3 juta sebulan. Eh? Banyak kata kalian? Kami hidup mandiri dan memiliki satu orang anak kala itu. Aku bahkan sempat bakulan berjualan kue, tidak pernah memberikan anakku diapers hingga susu untuk menghemat pengeluaran. Hanya tidak semua orang tau bukan? Bagaimana dari gajih yang dipotong-potong tersebut kami sekarang sudah mendirikan perusahaan dengan 4 orang pegawai tetap. Hmm, kalian gak usah tau susahnya. Biar lihat enaknya saja. (Ini kenapa jadi curhat sarkas disini.. 🤣)
Intinya, dari jatuh bangun kehidupan ekonomi yang demikian merupakan salah satu faktor dominan kenapa dulu aku sering depresi dan aku enggak mau kalian asal pilih jadi full time mom tanpa mempertimbangkan faktor begini. Dalam keadaan ekonomi yang masih berjuang serta memiliki anak itu bukanlah hal yang mudah. Aku sendiri tidak mandiri secara finansial saat itu. Lingkungan banyak yang mencercaku kenapa tidak bekerja tanpa tahu apa yang aku alami.
Sungguh, statement itu tidak salah. Asalkan tidak gagal paham memahaminya. Karena begini, ada yang bahkan ‘maksa banget’ suaminya harus bisa mendapatkan rejeki yang sama meski ia tidak bekerja dan membanding-bandingkan dirinya dengan yang lain.
Jika memiliki suami dengan gajih pas-pasan hingga kurang maka mau tidak mau kita sebagai istri harus bisa support dia. Bukan mengeluh. Itu bukan yang benar? Tapi bagaimana bisa support jika keadaan ekonomi menghantam psikis istri? Bagaimana bisa mencapai kata Qona’ah? Maka, tidak ada pilihan selain memberdayakan diri di rumah. Dan hal ini, tidak dipahami oleh sebagian yang percaya statement kenapa rejeki bisa tetap 100% walau istri tidak bekerja.
Rejeki itu luas by the way.. Maksud dari memberdayakan diri tidak melulu tentang bisa mencari uang. Tapi, tentang mencari peluang untuk bisa mencintai diri sendiri hingga membantu orang lain. Disinilah akan terjadi yang namanya keajaiban. Rejeki yang tidak disangka-sangka. Dan menemukan hingga ke titik ini perlu didasari oleh adanya rasa ikhlas.
Nah, bisakah Anda ikhlas dengan rejeki apa adanya hingga memberdayakan diri di rumah? Atau, Anda lebih nyaman berkembang di luar dan merasa seimbang jika bekerja di luar? Merasa senang ketika dapat membantu keluarga ketika bekerja diluar?
Itu, adalah pilihan yang harus Anda buat sendiri. Bukan dengan meniru hidup orang lain. 🙂
Faktor Sosial
Memutuskan menjadi stay at home mom itu gak bisa diputuskan oleh diri sendiri saja. Carilah kesepakatan bersama keluarga besar dan bicarakan terus dengan suami. Dan yang paling penting, tanyakan pada diri sendiri.. Apakah benar hal ini adalah hal yang kamu inginkan?
Aku memiliki teman yang punya passion mengajar. Menjadi guru adalah hidupnya. Tidak masuk sehari saja dia sudah kangen luar biasa dengan muridnya. Kalian tau apa yang dia suka? Ikut upacara bendera. Coba telaah, makhluk sedemikian apakah akan merasa nyaman jika di rumah saja?
Aku sendiri dari SD hingga SMA lebih menyukai guru perempuan. Karena entah kenapa, guru-guru favoritku semuanya perempuan. Mereka lebih friendly dan nyaman dalam menjelaskan. Bahkan ada yang masih berteman di sosial media denganku hingga sekarang. Aku tidak bisa membayangkan jika mereka tidak ada di sekolah. Pekerjaan sedemikian memiliki keterikatan sosial yang tinggi.
Aku juga memiliki seorang teman yang bekerja pada sebuah perusahaan besar. Diantara 4 saudaranya, hanya ia yang terbilang sukses. Ya, ia adalah seorang ibu pekerja dan juga seorang sandwich generation. Orang tuanya tidak memiliki pekerjaan tetap untuk mencukupi kehidupan sehari-hari. Ia juga masih memiliki seorang adik kecil yang masih sekolah. Ia bisa saja memilih untuk tidak bekerja. Karena toh suaminya juga seorang PNS seperti suamiku. Tapi bagaimana dengan kehidupan keluarganya? Pilihan yang sulit bukan?
Jika keterikatan sosial ini dapat dituntaskan solusinya dengan di rumah saja maka bisa saja seseorang memilih menjadi stay at home mom. Tapi sekali lagi.. Keadaan kita tidak sama bukan?
Hidup Kita Gak Sama, Pilihanku adalah yang terbaik untukku
Seperti yang sudah aku ceritakan diawal, bahwa sesungguhnya pilihanku untuk menjadi stay at home mom bukanlah pilihanku sendiri. Tapi, aku tidak punya pilihan.
But.. Time flies..
Aku mulai menyukai profesiku. Aku mulai menemukan passion yang bisa aku optimalkan di rumah saja. Aku mulai menemukan sebuah keseimbangan. Dan rasa ikhlas serta syukur mulai menggiringi kehidupanku.
Aku mungkin terlihat seperti stay at home mom yang sukses mengelola ekonomi. Tapi aku sadar, bahwa tidak semua orang harus memilih pilihan yang sama sepertiku. Pun jika kamu, kalian, dsb melihatku.. Bukan berarti harus mencontoh apa yang aku lakukan.
Karena diri kita tidak sama.. Lingkungan kita tidak sama..
Jadi, pilihlah sebuah pilihan yang terbaik untukmu..
NB: Kalian tau? Segala yang dilakukan karena cinta tidak akan ada penyesalan.. Pilihlah dengan cinta. Tapi tidak bergantung pada cinta. Kalian mengerti maksudku? Cinta itu dimulai dari dirimu sendiri.
“Bolehkah seseorang mengeluh ketika merasa penat? Atau sebaiknya menutupinya dan berusaha terlihat baik-baik saja?”
Penat adalah Proses
Aku terbaring siang itu. Kala si kecil mengantuk, akupun tanpa sadar ikut mengantuk juga. Orang bilang, menyusui adalah proses yang harus dilakukan bersama dengan pekerjaan baik. Membaca surah pendek misalnya atau sekedar berdzikir. Tapi tanganku gatal memeriksa handphone untuk sekedar melakukan tugas rutin mingguan. Blogwalking dan menelusuri sosial media. Dan akhir-akhir ini, rutinitas itu membuatku mengantuk.
Terbangun dan menyadari bahwa aku tertidur selama 2 jam. Syukurlah si kecil Humaira masih tidur. Perlahan kulakukan jurus ninjutsu baru. Gerakan berpindah tempat tanpa bunyi dan pergerakan. Sudah sering kulatih jenis ninjutsu ini. Tapi seringnya gagal dan menimbulkan bunyi ‘kreek’ dari kasur. Alhasil, Humaira menyadari dan menangis melihatku.
Rutinitas biasa dari keseharian ibu rumah tangga biasa. Drama biasa-biasa saja bukan?
Tapi kadang, hal beginilah yang membuatku merasa penat. Bahkan tertidur 2 jam pun merasa sangat berdosa. Lihatlah mainan yang lupa kubereskan. Lihatlah cucian yang belum dijemur. Bagaimana kalau ada tamu yang datang?
Perulangan yang kadang terjadi setiap hari. Membuatku merasa menjadi bukan Istri yang baik. Tapi, kadang hidup harus memilih bukan? Mau jadi Ibu yang baik hari ini kah? Atau Istri yang baik kah? Kadang hari ini cantik, besoknya menjadi tidak karuan karena peran Ibu sedang dominan. Kadang masakan tertata rapi dan diri sudah cantik tapi anak terpapar gadget lama. Kadang, diri sendiri terupgrade sempurna dengan berbagai ilmu tapi suami terabaikan.
Kadang berkata juga pada diri sendiri, “Tak bisakah punya jurus membelah diri? Atau seribu bayangan saja?”
Tapi logikaku masih jalan dengan baik. Dan aku selalu berkata pada diriku sendiri..
“Ini tidak akan lama. Ini hanya sementara.”
Karena penat adalah proses untuk bangkit.
Nikmati setiap rasa penat dengan syukur. Karena makhluk tanpa rasa penat, sedih, lelah dan down itu bukanlah manusia. Manusia bisa merasakan dan bisa memanjatkan syukur.
Manusia, selalu memiliki pilihan.
No Pain No Gain
Dalam penat, selalu ada luka.
Ih..sudah penat, luka pula. Apa asiknya!
Yah.. Aku menyadari sepenuhnya bahwa tidak ada ibu yang sempurna. Kecuali mungkin ibu yang bisa membelah diri atau memiliki ninjutsu hebat. Siapa aku? Amoeba bukan, ninja juga bukan.
Tapi, bolehkan seorang ibu punya jalan ninjanya sendiri?
Aku memutuskan untuk mengakui rasa penat itu. Membagikannya bersama suami. Melalui penat itu. Jika suatu saat luka datang dari rasa penat.. Baik itu berupa luka dari diri sendiri, suami maupun anak yang kadang terabaikan maka aku memutuskan untuk mengobati luka itu. Membuka luka dan mengobatinya. Bukan sekedar mengabaikannya dan berkata aku tidak apa-apa.
Karena dalam setiap luka, ada perolehan.
Aku memutuskan untuk tidak menyesali masa laluku. Diriku yang sempat terkena PPD, anakku yang terpapar oleh rasa itu, hingga pertengkaran yang pernah terjadi dengan suami. Itu hanya masa lalu. Aku sudah mendapatkan pelajarannya. Sudah memiliki harga atas itu semua.
No pain, No gain.
Mengeluh Karena Penat itu Tidak Apa-Apa.. Tetapi..
Kembali lagi, apakah mengeluh karena rasa penat itu tidak apa-apa?
Apakah tidak apa-apa jika kita merasa lelah kemudian mengabaikan obatnya? Butuh tidur misalnya. Tapi kita mengabaikannya.
Menurutku, itu salah.
Begitupun dengan rasa penat di hati. Jika kita sedang merasa tidak baik-baik saja dengan kondisi yang ada maka apakah kita tidak boleh mengeluh?
Boleh, mengeluh atas ketidaknyamanan maupun rasa penat itu sungguh tidak apa-apa. Tapi, mengeluh-lah sekedarnya. Dan yang lebih penting lagi, carilah jalan keluar atas rasa penat.
Karena sesungguhnya fungsi dari mengeluh adalah membuka kesadaran. Lantas mencari ruang teduh untuk mengatasi penat itu.
Dan carilah ruang teduh yang cocok untuk diri kita masing-masing.
Karena setiap kita punya cara yang berbeda. 🙂
Jadi, sudahkah Anda memiliki solusi dari rasa penat?