“Aku baru sadar sekarang kalau istriku itu matre” keluh seorang suami.
“.. Padahal waktu sebelum menikah Aku udah yakin kalau dia ga matre, ternyata dia matre”
Dan bagaimana tanggapan istri ketika sadar suaminya mengeluh demikian?
“Matre??? aku baru sadar telah menikahi suami yang PELIT” 😛
***
Ya.. Ya.. Keadaan diatas pasti sudah familiar banget ya. Materialisme kini menjadi sebuah paham yang kemudian di ‘kambing hitamkan’ atas permasalahan rumah tangga.
Kenapa bertengkar?
“Istriku.. Dikit-dikit duit”
Kenapa tak kunjung damai dengan suami?
“Suamiku pelit!”
😅
Kenapa sih istri menjadi matre? Sebenarnya dia memang benar-benar matre atau terpaksa matre? Kenapa baru ketahuan ketika sudah menikah?
Nah, berikut adalah beberapa faktor yang mendorong timbulnya paham materialisme pada Istri:
1. Inner Child yang mendukung materialisme
Inner Child adalah faktor yang sangat berpengaruh pada pola pikir seseorang saat dewasa. Pada masa golden age, tantrum yang tidak ditanggulangi dengan benar akan menimbulkan pemahaman materialisme yang akan meracuni pemenuhan kebutuhan seseorang dengan pemberian materi.
Dari artikel sebelumnya, pencegahan materialisme sebenarnya dapat dimulai sejak kecil. Jika berhasil maka besar kemungkinan pola pikir seseorang tidak akan teracuni dengan paham materialisme begitu saja ketika besar.
2. Gaya hidup masa remaja
Semua pasti setuju bahwa gaya hidup masa remaja yang dimanjakan dan salah pergaulan cenderung mengalami kesulitan saat berumah tangga nantinya.
Bagaimana tidak?
Terbiasa shopping di mall, nongkrong di ‘kafe gaul’ hingga tergila-gila pada barang branded. Selalu update dengan segala hal yang ‘kekinian’ sampai lupa dengan apa yang seharusnya di-upgrade.
Pola konsumtif dalam gaya hidup ‘kekinian’ yang tidak diimbangi dengan produktivitas maka akan menimbulkan paham materialisme yang buruk.
3. Persaingan Dunia Sosialita
Nah, faktor berikutnya ini merupakan faktor after-married.
Apa bedanya dengan faktor kedua? Ya, ini adalah dampak negatif berkelanjutan dari faktor kedua yang tidak ditanggulangi.
Persaingan.
Jika pada masa remaja ‘calon istri’ sudah terbiasa memenuhi segala nafsunya dengan materi dan update segala yang ‘kekinian’ maka besar kemungkinan saat berumah tangga ia akan terlibat persaingan dunia sosialita.
Ia terbiasa berteman dengan yang ‘satu level’ dengannya. Kemudian merasa tersaingi jika yang lain memiliki barang prestise yang baru. Pola pikir demikian akan membuka pola hidup konsumtif yang tidak berkehabisan.
4. Mungkin sebenarnya istri anda tidak matre, tapi..
Nah, ini mungkin yang ditunggu-tunggu..
Kenapa istri tiba-tiba menjadi matre ketika berumah tangga? Padahal sewaktu zaman ‘pe-de-ka-te’ sang istri terlihat ‘woles’ dan se-der-ha-na. 😅
Bisa jadi faktor 1, 2 dan 3 diatas tidak ada sama sekali dalam diri istri. Istri punya inner child yang baik, gaya hidup remaja yang sederhana, bahkan tidak punya komunitas sosialita yang terbilang ‘wah’.
Tapi kenapa ketika berumah tangga jadi matre sekali? Dikit-dikit DUIT!
Ini dia Faktornya:
a. Suami yang banyak tuntutan
“Hari ini makan apa Ma?”
“Terong sama ceker ayam aja ya Kak, ini kan bulan tua”
“Gimana kalau bikin Steak?”
😌 (cek dompet)
“Ma, kenapa sih ga pernah luluran kayak zaman dulu..dulu kulit mama halus deh..
😌 (cek anggaran belanja bulanan)
..Komedo kamu juga udah keliatan banyak tuh..
😌 (peeling habis, catet anggaran bulan depan)
..Nanti coba beli ini deh.. Ga enak keliatannya bibir kamu biru kalau ga pakai lipstik
😌 (catet: lipscrub, lip mask n lip balm)
..Mama ‘anu’ itu udah punya anak 2 tapi badannya tetap langsing ya..
😌 (baik, coba diet keto!)
.. Biasanya mama kalau sore bikin cemilan, kok sekarang mulai jarang bikin cemilan”
😌 (katanya tadi mau istri langsing?)
Intinya, Bagaimana istri tidak matre jika ia merasa ‘banyak tuntutan’ yang wajib ditunaikan? Sementara stok pemasukan terbatas. Ingin punya istri yang tidak matre? Jangan banyak menuntut ‘Kang Mas’..
b. Tidak terbukanya keuangan Rumah Tangga
Pernahkah anda merasa bingung ketika melihat seseorang yang hanya berprofesi sebagai tukang becak namun memiliki istri yang hidup bahagia? Tapi seseorang yang menjadi manager di perusahaan terkenal bisa saja memiliki istri yang tidak bahagia?
Apa sebabnya?
Ya, keuangan rumah tangga tidak terbuka.
Dalam rumah tangga ‘yang baik’ akan memiliki prinsip dasar dalam mengelola keuangan. Prinsip ini akan mempengaruhi pengelolaan keuangan kedepan nantinya. Prinsip yang didasari oleh rasa percaya dari suami-istri. Prinsip itu adalah ‘Uangku adalah Uangmu’
Tidak sedikit para Kepala Rumah Tangga yang menyembunyikan penghasilannya sebenarnya. Takut karena mungkin jika dia ‘jujur’ maka istri akan mengambil semuanya dan tak menyisakan satu peser pun untuknya.
Karena prinsip keuangan yang tidak transparan serta tuntutan ekonomi dan keluarga yang banyak maka banyak para istri yang memilih menjadi ‘Wonder Woman’, bekerja diluar dan didalam rumah. Ia merasa takut tidak memiliki penghasilan sendiri karena tidak terbukanya keuangan rumah tangganya.
Apakah istri yang terpaksa ‘matre’ itu bisa disebut dengan ‘istri matre’?
THINK!
Apakah Istri akan bahagia dengan materi? Materi hanyalah kebahagiaan sesaat yang tak bisa membeli kebahagiaan yang sebenarnya. Materi hanyalah sebuah ‘pelarian’. Pelarian dari kurangnya cinta yang dibutuhkan.
Dari masa hamil, melahirkan, hingga menyusui mana yang paling berkesan buat kalian?
Buatku, masa yang paling berkesan yaitu masa menyusui. Benar-benar pengalaman romantis dengan bayi dan penuh warna warni drama. Ah, jika mengenang masa itu aku jadi merasa rindu. Rindu dengan tangisannya setiap malam, rindu mengganti popoknya, rindu dengan bau bayi yang memenuhi seisi ruangan kamar. Ya, aku rindu. Rindu dengan kelelahan karena cinta.
Masa romantis kami berdua bukanlah seindah bayangan kalian. Entahlah, bagiku hal yang dinamakan romantis itu bukanlah sesuatu yang dipenuhi dengan moment berbunga-bunga dan senyum bahagia_seperti iklan Mom and Baby di televisi pada umumnya. Romantis dalam definisiku sendiri adalah saat kami dapat melalui segalanya dengan indah. Ya, segalanya.. drama suka dan drama duka.
Kenyataan romantis pertama adalah menyusui bukanlah perkara mudah yang bisa dilakukan hanya dengan mengeluarkan payudara saja. Ya, seandainya aku tau bahwa menyusui akan sesulit ini mungkin aku akan mengambil kelas menyusui sebelum melahirkan.
Sulit?
Ya, siapa sangka menyusui itu menuai banyak drama. Terlebih jika proses melahirkan secara caesar. Jika ingat hari pertama aku mencoba menyusui anakku, rasa menyerah itu selalu menggodaku untuk mencoba susu formula.
Jika saja saat itu aku tidak tinggal bersama mama dan kakakku mungkin aku sudah menjejalkan dot berisi susu formula kedalam mulut anakku yang tak kunjung berhenti menangis. Tapi beruntunglah aku, berkat dukungan dari orang-orang yang menyayangiku maka anakku dapat memperoleh ASI ekslusif dariku.
Beberapa uraian dibawah ini adalah tahapan proses tentang bagaimana akhirnya aku bisa menyusui anakku walau dengan keadaan yang tak menentu.
1. Menahan sakit luka dan jahitan
Hal pertama yang harus aku lalui pasca operasi caesar adalah menahan sakit dari jahitan besar diperutku. Luka itu sungguh nyeri dan menyakitkan. Aku tidak tahu bagaimana rasa sakit dari melahirkan secara normal. Konon mereka bilang melahirkan secara normal sangat sakit saat prosesnya kemudian lebih cepat sembuhnya.
Sementara aku? Aku tak merasakan apapun saat melahirkan. Tidak ada jeritan kencang yang aku keluarkan tanda sebuah perjuangan. Kemudian saat aku terbangun dari obat bius, saat itulah aku merasakan sakit luar biasa.
Pasca melahirkan aku hanya bisa berbaring saja. Bahkan sekedar duduk saja aku takut. Aku tak menyangka caesar akan semengerikan ini. Yah, siapa suruh caesar?
Mungkin suatu saat aku akan bercerita tentang alasan dibalik proses melahirkan secara caesar. Yang jelas kalaupun boleh memilih, tentu aku ingin sekali melahirkan secara normal. 😊
IMD pun dilakukan. Bayi itu datang dan mendekap dipelukanku. Ia membuka mulutnya sambil mencari puting dan langsung menghisapnya dengan kuat.
Saat itulah aku sadar, ternyata sakit jahitan ditambah dengan isapannya menjadi dua kali lebih sakit.
Ya, katakan saja aku tidak bersyukur melihat bayiku yang lucu membuka mulut dengan badannya yang mungil dan wajah tak berdosa itu. Kenyataannya, aku saat itu tidak mau menyusuinya. Rasanya Sakit. Oh, ternyata menyusui itu sakit sekali, keluhku.
2. ASI tidak keluar
Saat aku melahirkan, disamping kiri dan kananku juga ada beberapa pasien Ibu hamil. Mereka melahirkan lebih dulu dengan jeritan yang aku dengar tepat bersebelahan denganku. Aku melihatnya menyusui anaknya setelahnya. Langsung lancar, setidaknya tanpa drama sepertiku. Aku dengar bahwa itu anaknya yang keempat.
Sementara aku? Anakku menangis paling kencang dibanding yang lain. Tadinya aku mengira itu karena dia memang lebih besar dibanding bayi lain sehingga dia terkesan lebih kuat. Ternyata setelah beberapa kali menyusu dengan durasi yang sangat lama tapi masih saja dia menangis. Saat itu aku sadar, ASI ku tidak keluar.
Panik? tentu saja. Terlebih Rumah Sakit tempat aku melahirkan sangat pro ASI sehingga tidak memperbolehkan satu sendok susu formula pun sampai masuk di rongga mulut bayi. Bukan hanya itu, saat mereka tau bahwa ayahku meminumkan bayiku air putih mereka langsung melarang dengan keras.
Aku berpikir, “Bagaimana lagi?”
Bayiku haus, ASIku tak keluar. Putingku lecet dan berdarah-darah. Sementara jahitan perutku? Jangan ditanya. Nyeri sekali.
Suamiku? Tidak ada.
Aku melahirkan tanpa didampingi oleh suami. Please Don’t ask me why? Cause every people have different problem, Yes?
Saat itulah aku mencoba beberapa ide konyol. Seperti mencari ibu susuan lain hingga diam-diam ingin membeli susu formula. Ayahku mendukungku, dia khawatir melihat bayiku yang terus menangis. Ibuku kasian padaku, dia sempat beberapa kali menghisapkan payudaranya demi tak tahan melihat aku kesakitan.
Kakakku? Bersikeras bahwa aku tidak boleh berhenti menyusukan anakku. Ia bilang bahwa kalau tidak disusui maka ASIku tidak akan bisa keluar, karena tidak ada rangsangan. Tapi bagaimana? Ini SAKIT! serius.
3. Daun Binahung, Penolong pertama
Aku berkata, “Andai jahitan perut ini tidak sakit maka tentu saja akan terus aku susui Farisha. Tapi ini sakit sekali. Andai ada yang bisa mengurangi rasa nyerinya”
Besok harinya pertolongan itu datang. Calon Iparku membawakanku Daun Binahung. Konon, daun ini dapat mengurangi rasa nyeri pada luka jika dikonsumsi. Alhamdulillah, aku tertolong.
Aku mengkonsumsi daun itu dan langsung merasakan efeknya. Nyeri pada perutku berangsur-angsur berkurang. Akupun bersemangat untuk terus menyusui Farisha hingga ASIku dapat keluar.
Esok harinya, aku sudah dapat duduk, berdiri dan berjalan. Aku sangat bersyukur. Tapi ternyata bayiku..
4. Bayiku Kuning
“Bayi Ny. Aswinda harus di sinari dulu karena Kuning” kata Bidan saat itu.
Aku shock. Ya, tentu saja dia kuning pikirku. Dia kelelahan menyusu denganku yang mungkin saja tak ada apapun yang dia isap. Ia haus, dia lapar. Dan kalian membiarkannya terus menyusu padaku yang jelas-jelas tidak memiliki ASI?
Tapi mereka bilang tidak apa-apa. Itu wajar. Tapi Bagaimana bisa itu sangat wajar?
Bayiku terus menangis, kulit wajahnya kuning, matanya kuning, dan berat badannya turun. Dulu beratnya 3,4 kg dan sekarang hanya 3, 2 kg. Dan ini baru hari kedua dia lahir.
Aku menyusuinya diruangan penyinaran sambil menunduk. Ingin sekali menangis. Salah seorang ibu juga memiliki nasib sama sepertiku disana. Dia berbicara padaku, “Coba kalau mereka memperbolehkan susu formula, mungkin bayi saya tidak begini”
Aku mengangguk membenarkan. Ya, aku juga Ibu yang sangat peduli ASI. Tapi jika sampai begini bagaimana bisa kami masih keras kepala memberinya ASI. Bagaimana kalau bayi kami menginap lama di ruang ini? Bagaimana kalau berat badannya tak kunjung naik? Bagaimana kalau..
5.Dilema antara mengakhiri nyeri atau dia kelaparan
Aku mulai mengumpulkan informasi tentang cara memperbanyak ASI. Aku meminum segala suplemen penambah ASI. Memakan segala sumber sayur penambah ASI hingga mulai mencari informasi tentang daun binahung.
Bukannya kenapa, tapi aku hanya ingin tahu dosis memakan daun ini ‘yang benar’. Dan saat membaca salah satu artikel (yang entahlah hoax atau tidak) menjelaskan bahwa daun binahung dapat mengurangi produksi ASI. Saat itulah aku terdiam kaku.
Aku lalu menghentikan konsumsi daun binahung itu. Mendengus dengan perawat dan bidan yang membenarkan efeknya tanpa memperhitungkan efek negatifnya. Aku terus menyusui bayiku dengan menahan-nahan rasa sakit dan nyeri pada perutku.
Shock terus membayangiku saat pagi dan pagi besoknya. Berat Farisha terus menurun hingga hanya 3 kg. Tangisannya tak kunjung berubah durasinya. Dia tidak bisa tidur nyenyak karena kehausan.
Walau masih kuning dan berat badan yang terus menurun_Farisha dan aku diperbolehkan pulang saat itu. Aku lega, berpikir bahwa jika kata ‘pulang’ berarti bahwa ia baik-baik saja.
6. Baby Blues
Episode berikutnya adalah terbebas dari bau tidak menyenangkan di Rumah Sakit. Aku senang berada dirumah. Mama dan Ayah sangat membantuku untuk mengurus bayiku. Mama menemaniku begadang setiap malam. Aku senang karena semua perkakas bayi yang dibeli sekarang terpakai dengan cantik dikamarku.
Tapi entah kenapa perasaan tidak menyenangkan itu datang tiba-tiba saja. Perasaan berbisik yang mengatakan,
“Mana Suamimu? Kenapa dia tidak disini? Tidak bisakah pulang sebentar untuk menengok anaknya yang sudah lahir?”
“Taukah? Kehidupanmu mulai sekarang akan berputar begini-begini saja. Menyusui, mencuci, begadang, menyusui lagi, menangis lagi, oooh.. Tidakkah kamu rindu dengan masa mudamu dulu? Tidak mau keluar sebentar menghirup udara kebebasan?”
Kebebasan. Ya, aku membutuhkannya. Pikirku. Aku ingin keluar sebentar dari rutinitas ini. Entahlah apa itu, aku ingin makan diluar, bertemu teman dan ‘memamerkan’ bayiku atau mengajaknya berjalan-jalan di luar sana berdua saja. Bukankah itu menyenangkan?
Tapi kalimat mama menekankan “Tidak boleh membawa bayi keluar kalau umurnya belum 40 hari”
Dan aku stress. Baby blues mulai menghantuiku. Aku mulai menangis tidak jelas. Keadaan itu diperparah dengan warna kuning yang tak kunjung hilang dari wajah dan mata anakku. Ya Allah, dia kehausan dan ASI ku masih begini-begini saja.
7. Habbatussauda? Yes
“Jintan Hitam bagus buat memperlancar ASI” kata salah seorang temanku.
Aku langsung membelinya. Memakannya 2 kali sehari. Dua hari sejak aku mengkonsumsi jintan hitam, ASIku mulai keluar. Farisha bisa tidur nyenyak setidaknya satu jam setelah menyusu denganku. Aku sangat bersyukur. Entahlah itu karena jintan hitam atau karena sudah satu minggu Farisha bekerja keras dengan terus menghisap_yang jelas aku sangat bersyukur.
Aku lalu melanjutkan mengkonsumsi daun binahung lagi agar nyeri pada luka jahitanku segera sembuh. Dan daun binahung benar-benar bisa diandalkan. Alhamdulillah..
8. Finally, Berat badan kembali Normal, suami datang dan Selamat tinggal Baby Blues.
Pasca aku menyusui dengan lancar, berat badan Farisha mulai kembali pada berat awal kelahiran. Aku senang, walau masih ada kekuningan dimatanya. Sensasi senang yang aku rasakan saat itu menghapus bisikan dari baby blues yang sempat aku rasakan. Saat itu aku berkata dalam hati, “Ya, untuk kamulah mama hidup!”
Beberapa saat setelah itu suamiku pulang. Dan sensasi menjadi keluarga kecil bahagia telah memperlancar ASIku hingga mengucur deras keluar. Saat itu aku mengerti, bahwa ASI booster terbaik adalah dengan terus menyuplai perasaan bahagia.
***
Demikian cerita tentang proses menyusui pasca persalinan caesar dariku. Semoga dapat menginspirasi para bunda yang sedang berjuang menyusui dan merasakan kesulitan karena konon persalinan caesar membuat ASI tidak terangsang keluar.
Berikut beberapa saran dariku dalam proses menyusui:
1. Yakinkan diri, aku pasti bisa menyusui
2. Jangan menyerah, karena beberapa ibu memang mengalami keterlambatan pengeluaran ASI apalagi jika anak pertama.
3. Bahagiakan diri dan jangan stress.
4. Mengkonsumsi makanan bergizi pendukung dan pelancar ASI
Sebenarnya sudah sejak lama sekali saya ingin menulis tentang hal ini. Tentang bagaimana cara adaptasi emak-emak zaman dulu yang (katanya) terlihat (lebih) super woman dibandingkan emak zaman sekarang.
Lebih hebat, serba bisa..
Menghasilkan belasan anak yang konon selalu sukses..
Bisa mencari nafkah sendiri, mama yang_konon katanya mandiri..
Serta… Lebih terjaga kewarasannya.. Padahal emak zaman dulu menikah dalam usia muda.
Emak sekarang?
Punya berbagai teknologi tapi lamban dalam bekerja..
Tidak dapat mandiri, padahal anak cuma dua biji..
Usia menikah dan punya anak tergolong sudah matang tapi rentan terkena baby blues dan gangguan psikologi lainnya..
Emak zaman sekarang bahkan terkesan lebih sulit move on dibanding emak zaman dulu. Padahal, emak zaman dulu sebagian besar juga merupakan stay at home mom. Tetapi pekerjaannya dinilai lebih produktif dibanding emak sekarang. Kok bisa ya?
Saya sudah sering sekali mendengar para emak senior berbincang ria saat perkumpulan pada acara silaturahim. Saling membanggakan diri satu sama lain. Membanggakan Mamanya Mama dan Mamanya si Mama. Membandingkan kehidupan emak era 70an, 80an hingga 90an.
“Saya dulu enggak begitu loh.. Mama saya dulu begini..begitu.. Tetep senang-senang aja. Tetep bahagia.. Padahal anaknya ada lima belassss… Anak sekarang punya anak satu aja repot sama stress”
Sering denger statement diatas?? Udah kita masuk kamar aja dah.. Nonjok boneka.. Hahahha..
Memang banyak banget emak-emak yang ngomong suka seenaknya begitu tanpa memikirkan bagaimana jika dia berada diposisi kita dengan anugerah passion yang berbeda. Solusi kalo ketemu emak begini? Udah, bawa makan aja.. Hahahaha..
Kenyataannya, ketika berbicara dengan para emak senior yang suka sok perfeksionis dan suka membanding-bandingkan itu saya tentu saja tidak bisa melupakan kalimat itu begitu saja. Bukan, ini bukan tentang merasa kesal saja. Tapi, ada kalanya saya juga ingin merasakan bagaimana rasanya menjadi emak senior yang lahir pada tahun 60an. Memiliki anak pada tahun 80an dan tetap waras walau tidak punya ART dan memiliki belasan anak.
Kalo emak zaman sekarang sih mustahil ya..
Ya, kalimat itu lagi-lagi terngiang dikepala saya. Memang mustahil. Pikir saya.
Kenapa sih? Kenapa kok mereka bisa?
Rasa iri tiba-tiba saja memenuhi pikiran saya. Jujur, rasa iri itu sempat menginap lama dipikiran saya. Kemudian rasa itu membakar hati saya. Membuat aura persaingan dalam diri saya yang kemudian membuat saya menjadi Ibu yang serba perfeksionis. Saat itu, dalam hati saya berkata, “Aku juga bisa kayak emak senior itu!”
Kenyataannya, setelah beberapa tahun mencoba menjadi seperti emak senior akhirnya saya sadar bahwa saya telah menghilangkan passion yang seharusnya benar-benar saya lakukan. Saya merasa terdepresiasi secara ekstrim karena ingin mencoba menjadi emak senior. Saat menyadari hal itu saya berkata pada diri saya sendiri. Hei, its enough!
I cant be like u…!!! I’m Different!
Setelah saya tersadar dan mulai bangun dari cengkraman pikiran perfeksionis dengan rule mode yang salah akhirnya saya bebas menjalani passion yang seharusnya saya geluti dan menghilangkan sepenuhnya sisi plegmatis dalam kepribadian yang dominan melankolis ini. Saya menghilangkan segala jenis bentuk Rule Mode. Saya harus menjadi diri saya sendiri.
Nah, Kalian tau kenapa emak-emak zaman dulu selalu BISA? Yuk, kita ulas berbagai alasannya..
1. Emak zaman dulu didukung oleh lingkungan ‘Amity’
Jika kalian pernah menonton film Divergent tentu kata amity tidak terdengar asing.
Amity adalah salah satu kelompok yang paling bersahabat, pecinta kedamaian dan paling tidak ambil pusing dalam ilmu pengetahuan. Pekerjaan para amity adalah berkebun, bertani, nelayan, dan sebagainya. Jenis pekerjaan yang sangat cinta damai.
Tidak dipungkiri bahwa lingkungan para emak senior lebih didominasi oleh masyarakat yang ‘amity’. Dalam fakta kehidupan di masyarakat secara sederhana kita dapat melihat pada berbagai kehidupan suku pedalaman. Sebut saja contohnya kaum Bushman.
Look Familiar?
Yup, Bushman adalah tokoh suku latar utama dalam film The God Must Be Crazy. Suku yang sangat sederhana. Film The God Must Be Crazy menggambarkan betapa sederhana dan simple nya cara berpikir mereka. Hal ini tentu sangat lucu jika digabungkan dengan pemikiran masyarakat kota yang sudah terpapar oleh pengetahuan, teknologi dan sebagainya.
Maksudmu apa sih? Memangnya emak dulu kaum primitif gitu? Kok contohnya enggak banget?
Tentu saya tidak bermaksud menjelek-jelekkan kaum emak senior dahulu yang juga tentu merupakan senior saya. Namun, disini saya menekankan bahwa lingkungan tempat mereka tumbuh didominasi oleh kaum yang berpikir sangat sederhana dan saat itu ilmu pengetahuan tidak sekompleks sekarang.
Seperti pada suku bushman yang sangat bahagia ketika mendapatkan air dari tetesan embun, seperti itu pula orang zaman dahulu lebih mudah merasakan rasa syukur. Hanya dengan nasi dan garam saja mereka sudah merasa sangat bahagia. Betul? Tanyakan emak kalian yang hidup pada era 70an.
2. Emak zaman dahulu punya passion yang sederhana
Zaman dahulu pendidikan emak-emak jauh lebih rendah dibanding sekarang. Sebagian dari mereka hanya menyandang lulusan SD. Pendidikan SMA itu tergolong sangat tinggi dan dapat memiliki profesi disegala bidang.
Seperti kita tau passion terbentuk karena kebiasaan dan pendidikan. Emak-emak zaman dahulu memiliki hoby yang tidak jauh dari aktivitas dirumah karena saat remaja pun mereka cenderung senang dirumah dan sebagian lagi mendapatkan kesempatan berbeda dalam jenjang pendidikan.
Emak dengan pendidikan lulusan SD biasanya cenderung memiliki passion di bidang memasak. Sementara emak lulusan SMA dan kuliah dan lain-lain biasanya menjadi guru dan atau bekerja diluar.
Emak dengan jenjang pendidikan tinggi biasanya merasa wajib mendistribusikan ilmunya kemasyarakat karena itu ia memilih bekerja dimasyarakat. Zaman dahulu mencari pekerjaan termasuk mudah dibanding sekarang sehingga passion emak dengan pendidikan tinggi dapat benar-benar tersalur.
Zaman sekarang? Beda gaya!
Penyaluran passion tidak dapat sesederhana itu!
Seorang Ibu Rumah Tangga zaman dulu dengan pendidikan lulusan SD tidak dapat disamakan dengan Ibu Rumah Tangga zaman sekarang yang kebanyakan sarjana. Menjadi sarjana adalah sebuah beban. Disatu sisi kita merasa bertanggung jawab dengan ilmu yang kita peroleh, tapi disisi lain ada keluarga yang membutuhkan kita. Dan akhirnya? Akhirnya passion yang seharusnya kita tingkatkan menjadi berbeda ‘gaya penyaluran’.
Ada Ibu Rumah Tangga dengan title sarjana akuntansi yang memilih untuk bermain saham dirumah.
Ada Ibu Rumah Tangga dengan title dokter memilih membantu suaminya saja yang berprofesi sama.
Ada Ibu Rumah Tangga dengan title sarjana TI yang memilih menjadi programmer ataupun hacker. (haha)
Ada pula Ibu Rumah Tangga yang bercita-cita menjadi guru namun karena tak kunjung ada penerimaan ia memilih menjadi penulis blog untuk menyalurkan ilmunya. (ini siapa?) 😂
Kami para Ibu Rumah Tangga zaman sekarang, punya tanggung jawab lebih tinggi karena tuntutan dari pendidikan tinggi kami. Ilmu pengetahuan harus diaplikasikan dengan ruang yang benar agar tidak menyusut.
Karena itu Ibu Rumah Tangga sekarang tidak bisa bekerja ‘fokus’ pada pekerjaan rumah. Harus memasak, urus anak, membersihkan rumah, melayani suami SAJA. Karena ia merasa memiliki kewajiban lain untuk menyalurkan ilmu pengetahuan dan passionnya yang sesuai.
Maka, jangan disalahkan jika Ibu Rumah Tangga sekarang kok tidak bisa ya serba sempurna pekerjaan rumahnya seperti Emak senior? Karena passion mereka tak sesederhana itu!
3. Emak zaman dahulu tak mengenal Teknologi tapi mereka kenal prinsip gotong royong
Kenapa sih emak zaman dulu kok bisa-bisa aja padahal mereka ga punya mesin cuci, rice cooker, stroller, kulkas, mobil, kendaraan, mesin air, dan bla-bla..?
Jadi orang zaman dulu itu capek tau ga! karena minim teknologi. Eh, tapi masih bisa waras kok. Sekarang kok susah ya?
Jawabannya karena emak zaman sekarang lebih individualis dibanding emak zaman dulu..
Bukan, maksud individualis disini bukan anti sosial. Tapi keadaan yang menuntut menjadi individualis. Ya, ini berlaku buat para emak-emak perantauan, emak-emak komplek, dan emak-emak lain yang menyandang status ibu baru di lingkungan baru.
Pernah mendengar pepatah “Hujan emas dinegeri orang, tapi lebih enak hujan batu di negeri sendiri”
Kalian tau kenapa pepatah itu ada?
Karena andai hujan batu benar-benar terjadi maka emak-emak zaman dulu akan mengatasinya dengan kerja sama. Kebanyakan dari emak-emak zaman dulu masih tinggal satu atap dengan mertua atau orang tua, berdampingan dengan ipar dan saudara lain. Ramai? Ramai dan banyak yang saling membantu. Karena itu pekerjaan menjadi mudah.
Berat sama dipikul ringan sama dijinjing.
Karena itu emak zaman dahulu ada yang bisa berdagang macam-macam hingga mengurus rumah tangga. Rumah tangganya dipenuhi dengan prinsip kerja sama_antar rumah tangga.
Sekarang kok tidak bisa begitu? Kok tidak bisa sambil berdagang semrawut begitu?
Karena emak sekarang adalah emak rantau dan tidak memiliki seseorang yang bisa diandalkan membantu selain suami dan anak sendiri. Mencari ART juga problematika yang sulit. Betul? Maka biarkanlah emak sekarang bekerja sama dengan teknologi untuk mempermudah pekerjaannya. Jangan dinyinyirin loh.. Hihi..
4. Sosial Media emak zaman dahulu adalah seni berbicara saat Gotong Royong
Emak sekarang kebanyakan sosmed makanya deh pekerjaannya ga sesempurna emak zaman dulu..
Yuk kita intip realitanya..
Pagi-pagi emak sekarang puter mesin cuci sambil santai dulu buka facebook sembari merebus air…
Sore hari menunggu adonan cookies mateng foto-foto dulu sambil update status diinstagram bahwa ‘sedang on process nih cookiesnya..’
Pas udah si cookies mateng bukannya ngerjain pekerjaan lain kayak nyuci bekas ‘perang’ misalnya. Eeh, malah sibuk foto-foto si cookies hingga berjam-jam lamanya sambil nulis. 😂
Nyetrika malam-malam sambil aja tuh tangannya scrooll feed di bbm, facebook, dan instagram. Sambil sesekali ngelike dan koment pertanda sang emak masih eksis didunia maya.
Sebelum tidur jangan lupa buka online shop. Mengharapkan ada diskon atau promo. Lalu ngeliatin barang kesuami sambil bilang “Bagus ya Pa..”, sang suami manggut-manggut sambil mengerutkan dahi melihat penuhnya isi lemari.
Banyak emak gini? Banyak!!! *mukul muka.. 😂
Salah ga sih emak sekarang begitu?
Ya ga salah-salah amat, apalagi buat stay at home mom! Its Normal!
Seorang perempuan dituntut mengerjakan pekerjaan rumah dengan tidak mengabaikan kewarasan dirinya untuk tetap bisa berbicara. Perempuan normal mengeluarkan menimal 20.000 kata perhari agar tetap waras.
Emak zaman dahulu mengeluarkan kata dengan berbicara. Mereka berbicara sambil bekerja. Sebenarnya tidak jauh beda kan dengan emak sekarang? Emak sekarang mengeluarkan kata dengan menulis dan bersosial media_mereka dapat melakukan itu sambil mengerjakan pekerjaan rumah. Jadi, buat emak yang suka nyinyir kok sosmed mulu?
Mungkin mereka masih kekurangan bahan pembicaraan untuk menggenapkan 20.000 kata minimunnya perhari. 😂
5. Emak zaman dahulu tak mengenal dunia Sosialita walau sering bersosial
Menjadi emak zaman sekarang itu dilematis. Tau?
Coba deh kalau jadi emak sekarang kalian pilih posisi yang mana?
1. Jadi emak rumahan yang fokus dengan keluarga dan jarang bersosial secara langsung. Hanya aktif dimedia sosial dan takut salah bergaul dengan menghindari kehidupan sosialita.
2. Jadi emak yang memiliki jiwa sosial tinggi. Memiliki koneksi disana sini, aktif dengan berbagai kegiatan sosial namun memiliki resiko lemah hati dengan dunia sosialita. Tidak tahan dengan godaan tas branded, kosmetik gaya terbaru, dan berbagai lifestyle lainnya.
Enak jadi emak sekarang?
Saya sendiri masih takut berada diposisi nomor 2 karena sadar diri dengan kondisi keuangan rumah tangga. Disatu sisi saya mensyukuri kepribadian saya yang lumayan introvert. 😂
Saya adalah tipe nomor satu yang masih selektif untuk memilih teman sosial. Selektif itu susah.. Tau?
Sedangkan emak zaman dulu dihadapkan pada dunia sosialita yang ‘damai’. Tidak perlu terlalu selektif karena pergaulannya sama-sama saja. Tidak ada tas branded, tidak ada lipstik 500k, tidak mengerti dengan update fashion kekinian. Dan yang paling membuat iri adalah kesenjangan sosial tidak seperti sekarang. Emak zaman dulu tidak terlalu mengerti tentang kesenjangan sosial karena lingkungannya amatys.
Emak saya dahulu termasuk dalam kategori nomor 2. Tapi lingkungannya tidak seperti sekarang. Ketika zaman sekarang para Ibu sibuk dengan tas mahal, gaya hijab dan lipstik. Maka emak saya zaman dahulu sudah dikategorikan cukup trendish hanya dengan mengeriting rambutnya. 😂
Sekian akhir dari tulisan saya. Sebagai penutup tentu saya menulis ini bukan untuk menyalahkan adat kebiasaan emak zaman dulu. Tidak ada niat sama sekali untuk menjelek-jelekkan emak zaman dulu. Karena saya sadar diri bahwa saya pun terbentuk dari warisan kebaikan para emak zaman dulu. Saya sangat menghargai bagaimana cara beradaptasi, berpikir dan pendidikan emak zaman dulu.
Namun, saya pernah mendengar sebuah kata bijak. Bahwa “didiklah anak sesuai dengan zamannya”
Saya sangat bersyukur memiliki orang tua yang memberi pengertian lain pada kata bijak diatas, mereka tidak memanjakan saya walau perbedaan zaman menuntut saya untuk mengikuti trend saat remaja. Mereka tak pernah menyalah-artikan kalimat diatas dengan ‘menuruti segala permintaan saya’.
Kemudian, Saya membuat pengertian dalam kalimat itu bahwa setiap manusia dilahirkan dengan zaman yang berbeda. Anak diharuskan beradaptasi dengan cara berbeda, membentuk pola pikir berbeda dan TETAP membiarkan nilai kebaikan dari warisan kedua orang tuanya serta meninggalkan kejelekannya. Jadi, pengertian mendidik anak sesuai dengan zamannya adalah mendidik dengan terus ‘mengupgrade’ ilmu pengetahuan terkini agar dapat bermanfaat didalam keluarga dan lingkungannya. Karena berbeda zaman, maka berbeda pula tantangan hidupnya.
Maka, biarkan emak sekarang berkembang sesuai zamannya.. 😊