Kenapa sih Emak zaman dulu selalu BISA?
Sebenarnya sudah sejak lama sekali saya ingin menulis tentang hal ini. Tentang bagaimana cara adaptasi emak-emak zaman dulu yang (katanya) terlihat (lebih) super woman dibandingkan emak zaman sekarang.
Lebih hebat, serba bisa..
Menghasilkan belasan anak yang konon selalu sukses..
Bisa mencari nafkah sendiri, mama yang_konon katanya mandiri..
Serta… Lebih terjaga kewarasannya.. Padahal emak zaman dulu menikah dalam usia muda.
Emak sekarang?
Punya berbagai teknologi tapi lamban dalam bekerja..
Tidak dapat mandiri, padahal anak cuma dua biji..
Usia menikah dan punya anak tergolong sudah matang tapi rentan terkena baby blues dan gangguan psikologi lainnya..
Baca juga Mengenal Gejala dan Penyebab serta Penanganan Baby Blues.
Emak zaman sekarang bahkan terkesan lebih sulit move on dibanding emak zaman dulu. Padahal, emak zaman dulu sebagian besar juga merupakan stay at home mom. Tetapi pekerjaannya dinilai lebih produktif dibanding emak sekarang. Kok bisa ya?
Baca juga : ‘8 Hal penyebab Stay At Home Mom Gagal Move On’
Saya sudah sering sekali mendengar para emak senior berbincang ria saat perkumpulan pada acara silaturahim. Saling membanggakan diri satu sama lain. Membanggakan Mamanya Mama dan Mamanya si Mama. Membandingkan kehidupan emak era 70an, 80an hingga 90an.
“Saya dulu enggak begitu loh.. Mama saya dulu begini..begitu.. Tetep senang-senang aja. Tetep bahagia.. Padahal anaknya ada lima belassss… Anak sekarang punya anak satu aja repot sama stress”
Sering denger statement diatas?? Udah kita masuk kamar aja dah.. Nonjok boneka.. Hahahha..
Memang banyak banget emak-emak yang ngomong suka seenaknya begitu tanpa memikirkan bagaimana jika dia berada diposisi kita dengan anugerah passion yang berbeda. Solusi kalo ketemu emak begini? Udah, bawa makan aja.. Hahahaha..
Kenyataannya, ketika berbicara dengan para emak senior yang suka sok perfeksionis dan suka membanding-bandingkan itu saya tentu saja tidak bisa melupakan kalimat itu begitu saja. Bukan, ini bukan tentang merasa kesal saja. Tapi, ada kalanya saya juga ingin merasakan bagaimana rasanya menjadi emak senior yang lahir pada tahun 60an. Memiliki anak pada tahun 80an dan tetap waras walau tidak punya ART dan memiliki belasan anak.
Kalo emak zaman sekarang sih mustahil ya..
Ya, kalimat itu lagi-lagi terngiang dikepala saya. Memang mustahil. Pikir saya.
Kenapa sih? Kenapa kok mereka bisa?
Rasa iri tiba-tiba saja memenuhi pikiran saya. Jujur, rasa iri itu sempat menginap lama dipikiran saya. Kemudian rasa itu membakar hati saya. Membuat aura persaingan dalam diri saya yang kemudian membuat saya menjadi Ibu yang serba perfeksionis. Saat itu, dalam hati saya berkata, “Aku juga bisa kayak emak senior itu!”
Kenyataannya, setelah beberapa tahun mencoba menjadi seperti emak senior akhirnya saya sadar bahwa saya telah menghilangkan passion yang seharusnya benar-benar saya lakukan. Saya merasa terdepresiasi secara ekstrim karena ingin mencoba menjadi emak senior. Saat menyadari hal itu saya berkata pada diri saya sendiri. Hei, its enough!
I cant be like u…!!! I’m Different!
Setelah saya tersadar dan mulai bangun dari cengkraman pikiran perfeksionis dengan rule mode yang salah akhirnya saya bebas menjalani passion yang seharusnya saya geluti dan menghilangkan sepenuhnya sisi plegmatis dalam kepribadian yang dominan melankolis ini. Saya menghilangkan segala jenis bentuk Rule Mode. Saya harus menjadi diri saya sendiri.
Nah, Kalian tau kenapa emak-emak zaman dulu selalu BISA? Yuk, kita ulas berbagai alasannya..
1. Emak zaman dulu didukung oleh lingkungan ‘Amity’
Jika kalian pernah menonton film Divergent tentu kata amity tidak terdengar asing.
Amity adalah salah satu kelompok yang paling bersahabat, pecinta kedamaian dan paling tidak ambil pusing dalam ilmu pengetahuan. Pekerjaan para amity adalah berkebun, bertani, nelayan, dan sebagainya. Jenis pekerjaan yang sangat cinta damai.
Tidak dipungkiri bahwa lingkungan para emak senior lebih didominasi oleh masyarakat yang ‘amity’. Dalam fakta kehidupan di masyarakat secara sederhana kita dapat melihat pada berbagai kehidupan suku pedalaman. Sebut saja contohnya kaum Bushman.
Look Familiar?
Yup, Bushman adalah tokoh suku latar utama dalam film The God Must Be Crazy. Suku yang sangat sederhana. Film The God Must Be Crazy menggambarkan betapa sederhana dan simple nya cara berpikir mereka. Hal ini tentu sangat lucu jika digabungkan dengan pemikiran masyarakat kota yang sudah terpapar oleh pengetahuan, teknologi dan sebagainya.
Maksudmu apa sih? Memangnya emak dulu kaum primitif gitu? Kok contohnya enggak banget?
Tentu saya tidak bermaksud menjelek-jelekkan kaum emak senior dahulu yang juga tentu merupakan senior saya. Namun, disini saya menekankan bahwa lingkungan tempat mereka tumbuh didominasi oleh kaum yang berpikir sangat sederhana dan saat itu ilmu pengetahuan tidak sekompleks sekarang.
Seperti pada suku bushman yang sangat bahagia ketika mendapatkan air dari tetesan embun, seperti itu pula orang zaman dahulu lebih mudah merasakan rasa syukur. Hanya dengan nasi dan garam saja mereka sudah merasa sangat bahagia. Betul? Tanyakan emak kalian yang hidup pada era 70an.
2. Emak zaman dahulu punya passion yang sederhana
Zaman dahulu pendidikan emak-emak jauh lebih rendah dibanding sekarang. Sebagian dari mereka hanya menyandang lulusan SD. Pendidikan SMA itu tergolong sangat tinggi dan dapat memiliki profesi disegala bidang.
Seperti kita tau passion terbentuk karena kebiasaan dan pendidikan. Emak-emak zaman dahulu memiliki hoby yang tidak jauh dari aktivitas dirumah karena saat remaja pun mereka cenderung senang dirumah dan sebagian lagi mendapatkan kesempatan berbeda dalam jenjang pendidikan.
Emak dengan pendidikan lulusan SD biasanya cenderung memiliki passion di bidang memasak. Sementara emak lulusan SMA dan kuliah dan lain-lain biasanya menjadi guru dan atau bekerja diluar.
Emak dengan jenjang pendidikan tinggi biasanya merasa wajib mendistribusikan ilmunya kemasyarakat karena itu ia memilih bekerja dimasyarakat. Zaman dahulu mencari pekerjaan termasuk mudah dibanding sekarang sehingga passion emak dengan pendidikan tinggi dapat benar-benar tersalur.
Zaman sekarang? Beda gaya!
Penyaluran passion tidak dapat sesederhana itu!
Seorang Ibu Rumah Tangga zaman dulu dengan pendidikan lulusan SD tidak dapat disamakan dengan Ibu Rumah Tangga zaman sekarang yang kebanyakan sarjana. Menjadi sarjana adalah sebuah beban. Disatu sisi kita merasa bertanggung jawab dengan ilmu yang kita peroleh, tapi disisi lain ada keluarga yang membutuhkan kita. Dan akhirnya? Akhirnya passion yang seharusnya kita tingkatkan menjadi berbeda ‘gaya penyaluran’.
Baca juga “Just Dont Judge Our Passion”
Ada Ibu Rumah Tangga dengan title sarjana akuntansi yang memilih untuk bermain saham dirumah.
Ada Ibu Rumah Tangga dengan title dokter memilih membantu suaminya saja yang berprofesi sama.
Ada Ibu Rumah Tangga dengan title sarjana TI yang memilih menjadi programmer ataupun hacker. (haha)
Ada pula Ibu Rumah Tangga yang bercita-cita menjadi guru namun karena tak kunjung ada penerimaan ia memilih menjadi penulis blog untuk menyalurkan ilmunya. (ini siapa?) 😂
Kami para Ibu Rumah Tangga zaman sekarang, punya tanggung jawab lebih tinggi karena tuntutan dari pendidikan tinggi kami. Ilmu pengetahuan harus diaplikasikan dengan ruang yang benar agar tidak menyusut.
Karena itu Ibu Rumah Tangga sekarang tidak bisa bekerja ‘fokus’ pada pekerjaan rumah. Harus memasak, urus anak, membersihkan rumah, melayani suami SAJA. Karena ia merasa memiliki kewajiban lain untuk menyalurkan ilmu pengetahuan dan passionnya yang sesuai.
Maka, jangan disalahkan jika Ibu Rumah Tangga sekarang kok tidak bisa ya serba sempurna pekerjaan rumahnya seperti Emak senior? Karena passion mereka tak sesederhana itu!
3. Emak zaman dahulu tak mengenal Teknologi tapi mereka kenal prinsip gotong royong
Kenapa sih emak zaman dulu kok bisa-bisa aja padahal mereka ga punya mesin cuci, rice cooker, stroller, kulkas, mobil, kendaraan, mesin air, dan bla-bla..?
Jadi orang zaman dulu itu capek tau ga! karena minim teknologi. Eh, tapi masih bisa waras kok. Sekarang kok susah ya?
Jawabannya karena emak zaman sekarang lebih individualis dibanding emak zaman dulu..
Bukan, maksud individualis disini bukan anti sosial. Tapi keadaan yang menuntut menjadi individualis. Ya, ini berlaku buat para emak-emak perantauan, emak-emak komplek, dan emak-emak lain yang menyandang status ibu baru di lingkungan baru.
Pernah mendengar pepatah “Hujan emas dinegeri orang, tapi lebih enak hujan batu di negeri sendiri”
Kalian tau kenapa pepatah itu ada?
Karena andai hujan batu benar-benar terjadi maka emak-emak zaman dulu akan mengatasinya dengan kerja sama. Kebanyakan dari emak-emak zaman dulu masih tinggal satu atap dengan mertua atau orang tua, berdampingan dengan ipar dan saudara lain. Ramai? Ramai dan banyak yang saling membantu. Karena itu pekerjaan menjadi mudah.
Berat sama dipikul ringan sama dijinjing.
Karena itu emak zaman dahulu ada yang bisa berdagang macam-macam hingga mengurus rumah tangga. Rumah tangganya dipenuhi dengan prinsip kerja sama_antar rumah tangga.
Sekarang kok tidak bisa begitu? Kok tidak bisa sambil berdagang semrawut begitu?
Karena emak sekarang adalah emak rantau dan tidak memiliki seseorang yang bisa diandalkan membantu selain suami dan anak sendiri. Mencari ART juga problematika yang sulit. Betul? Maka biarkanlah emak sekarang bekerja sama dengan teknologi untuk mempermudah pekerjaannya. Jangan dinyinyirin loh.. Hihi..
4. Sosial Media emak zaman dahulu adalah seni berbicara saat Gotong Royong
Emak sekarang kebanyakan sosmed makanya deh pekerjaannya ga sesempurna emak zaman dulu..
Yuk kita intip realitanya..
Pagi-pagi emak sekarang puter mesin cuci sambil santai dulu buka facebook sembari merebus air…
Sore hari menunggu adonan cookies mateng foto-foto dulu sambil update status diinstagram bahwa ‘sedang on process nih cookiesnya..’
Pas udah si cookies mateng bukannya ngerjain pekerjaan lain kayak nyuci bekas ‘perang’ misalnya. Eeh, malah sibuk foto-foto si cookies hingga berjam-jam lamanya sambil nulis. 😂
Nyetrika malam-malam sambil aja tuh tangannya scrooll feed di bbm, facebook, dan instagram. Sambil sesekali ngelike dan koment pertanda sang emak masih eksis didunia maya.
Sebelum tidur jangan lupa buka online shop. Mengharapkan ada diskon atau promo. Lalu ngeliatin barang kesuami sambil bilang “Bagus ya Pa..”, sang suami manggut-manggut sambil mengerutkan dahi melihat penuhnya isi lemari.
Banyak emak gini? Banyak!!! *mukul muka.. 😂
Salah ga sih emak sekarang begitu?
Ya ga salah-salah amat, apalagi buat stay at home mom! Its Normal!
Seorang perempuan dituntut mengerjakan pekerjaan rumah dengan tidak mengabaikan kewarasan dirinya untuk tetap bisa berbicara. Perempuan normal mengeluarkan menimal 20.000 kata perhari agar tetap waras.
Emak zaman dahulu mengeluarkan kata dengan berbicara. Mereka berbicara sambil bekerja. Sebenarnya tidak jauh beda kan dengan emak sekarang? Emak sekarang mengeluarkan kata dengan menulis dan bersosial media_mereka dapat melakukan itu sambil mengerjakan pekerjaan rumah. Jadi, buat emak yang suka nyinyir kok sosmed mulu?
Mungkin mereka masih kekurangan bahan pembicaraan untuk menggenapkan 20.000 kata minimunnya perhari. 😂
5. Emak zaman dahulu tak mengenal dunia Sosialita walau sering bersosial
Menjadi emak zaman sekarang itu dilematis. Tau?
Coba deh kalau jadi emak sekarang kalian pilih posisi yang mana?
1. Jadi emak rumahan yang fokus dengan keluarga dan jarang bersosial secara langsung. Hanya aktif dimedia sosial dan takut salah bergaul dengan menghindari kehidupan sosialita.
2. Jadi emak yang memiliki jiwa sosial tinggi. Memiliki koneksi disana sini, aktif dengan berbagai kegiatan sosial namun memiliki resiko lemah hati dengan dunia sosialita. Tidak tahan dengan godaan tas branded, kosmetik gaya terbaru, dan berbagai lifestyle lainnya.
Enak jadi emak sekarang?
Saya sendiri masih takut berada diposisi nomor 2 karena sadar diri dengan kondisi keuangan rumah tangga. Disatu sisi saya mensyukuri kepribadian saya yang lumayan introvert. 😂
Saya adalah tipe nomor satu yang masih selektif untuk memilih teman sosial. Selektif itu susah.. Tau?
Sedangkan emak zaman dulu dihadapkan pada dunia sosialita yang ‘damai’. Tidak perlu terlalu selektif karena pergaulannya sama-sama saja. Tidak ada tas branded, tidak ada lipstik 500k, tidak mengerti dengan update fashion kekinian. Dan yang paling membuat iri adalah kesenjangan sosial tidak seperti sekarang. Emak zaman dulu tidak terlalu mengerti tentang kesenjangan sosial karena lingkungannya amatys.
Emak saya dahulu termasuk dalam kategori nomor 2. Tapi lingkungannya tidak seperti sekarang. Ketika zaman sekarang para Ibu sibuk dengan tas mahal, gaya hijab dan lipstik. Maka emak saya zaman dahulu sudah dikategorikan cukup trendish hanya dengan mengeriting rambutnya. 😂
Sekian akhir dari tulisan saya. Sebagai penutup tentu saya menulis ini bukan untuk menyalahkan adat kebiasaan emak zaman dulu. Tidak ada niat sama sekali untuk menjelek-jelekkan emak zaman dulu. Karena saya sadar diri bahwa saya pun terbentuk dari warisan kebaikan para emak zaman dulu. Saya sangat menghargai bagaimana cara beradaptasi, berpikir dan pendidikan emak zaman dulu.
Namun, saya pernah mendengar sebuah kata bijak. Bahwa “didiklah anak sesuai dengan zamannya”
Saya sangat bersyukur memiliki orang tua yang memberi pengertian lain pada kata bijak diatas, mereka tidak memanjakan saya walau perbedaan zaman menuntut saya untuk mengikuti trend saat remaja. Mereka tak pernah menyalah-artikan kalimat diatas dengan ‘menuruti segala permintaan saya’.
Kemudian, Saya membuat pengertian dalam kalimat itu bahwa setiap manusia dilahirkan dengan zaman yang berbeda. Anak diharuskan beradaptasi dengan cara berbeda, membentuk pola pikir berbeda dan TETAP membiarkan nilai kebaikan dari warisan kedua orang tuanya serta meninggalkan kejelekannya. Jadi, pengertian mendidik anak sesuai dengan zamannya adalah mendidik dengan terus ‘mengupgrade’ ilmu pengetahuan terkini agar dapat bermanfaat didalam keluarga dan lingkungannya. Karena berbeda zaman, maka berbeda pula tantangan hidupnya.
Maka, biarkan emak sekarang berkembang sesuai zamannya.. 😊