Pembelajaran Berharga dari Buku Serial Anak Mamak – Tere Liye
Siapa yang tidak kenal dengan Penulis bernama Tere Liye?
Tidak kenal?
Ya.. Sebenarnya, saya juga belum berkenalan..😅
Cukup lah sok kenal karena sudah membaca beberapa bukunya. Sebut saja itu Negeri Para Bedebah, Negeri di Ujung Tanduk, Bumi, Bulan, Matahari, Bintang, Hujan, Pulang, Tentang Kamu dan buku terakhir yang saya baca adalah.. Serial Anak Mamak..
Serial Anak Mamak sendiri terdiri dari 4 Buku berjudul Pukat, Burlian, Eliana dan Amelia.
Kisah masing-masing bukunya adalah tentang para anak mama. Yang mana ‘Anak Mamak’ tersebut menceritakan kehidupannya masing-masing dari mulai kecil dengan latar hidup penuh nilai kesederhanaan, tantangan, cita-cita hingga kilasan epilog tentang masa depan.
Buku ini terlihat sederhana. Tapi nilai-nilai yang dapat diambil dari buku-buku ini… Sungguh Luar Biasa.
Anggap saya lebay. Tidak punya selera. Dan membandingkan dengan buku Tere yang lain yang mungkin yaah.. Lebih baik. Tapi buat emak-emak seperti saya, buku ini sungguh sangat memberikan pembelajaran. Baik itu pembelajaran sebagai Ibu maupun sebagai Anak.
Ada beberapa pembelajaran berharga dari buku ini, antara lain:
Jangan Pernah Membenci Mamak, JANGAN PERNAH
“Jangan pernah membenci mamak kau. Karena kalau kau tahu sedikit saja apa yang telah seorang ibu lakukan untukmu, maka yang tahu itu sejatinya bahwa belum sepersepuluh dari semua pengorbanan, rasa cinta serta rasa sayangnya pada kalian”
Jangan Pernah Merasa Mamak Kejam, Mamak Selalu Sayang.
Sedih rasanya jika pernah terbesit merasakan hal ini. Nyatanya aku pernah merasakan ini. Merasa bahwa seorang mama itu cerewet, suka mengomel, suka membatasi ruang gerakku. Segalanya diatur.
Namun itu adalah perasaan wajar. Sangat wajar jika pada masa anak-anak kita merasakan hal ini. Bahkan dalam masing-masing buku Pukat, Burlian, Eliana dan Amelia ada bab khusus yang membahas tentang ini.
Berjudul “Kasih Sayang Mamak”
Membaca judul ini sukses membuat ku baper parah disetiap bukunya. Lihatlah, semua Mama itu sama. Orang yang terlihat kejam dimata anak-anak kita. Namun selalu memeluk dan meminta maaf kepada kita. Jangan pernah memasukkan dan memendam rasa sakit dengan segala amarah orang tua kita, memasukkannya pada innerchild negatif kita.
Ingatlah mereka tidak kejam. Mereka Sayang. Sangat sayang. Mereka marah karena terlalu menyayangi kita.
Jangan Pernah Merasa Mamak Tidak Adil
Aku baru menyadari, biarpun kita sebagai Anak Sulung, Anak Tengah, maupun Anak Bungsu sekalipun.. Ternyata rasa iri itu selalu ada.
Anak Sulung selalu merasa bahwa ia mendapat tugas paling berat. Sebagai Role Mode bagi adik-adiknya. Sebagai asisten emak. Sebagai segalanya. Sangat berisiko untuk merasa iri kepada para adik-adiknya.
Anak Tengah selalu merasa dibayang-bayangi oleh kesempurnaan kakaknya. Merasa cemburu ketika ia merasa dibandingkan. Ia mencoba menjadi Role mode kedua yang bersaing dengan Kakaknya untuk mendapatkan perhatian Orang Tua dan Adiknya.
Anak Bungsu? Ya, aku tak menyangka ternyata anak bungsu pun bisa saja merasa tidak diperlakukan adil. Anak bungsu cenderung menginginkan kekuasaan anak pertama. Yang bisa memerintah para adik-adiknya. Ia selalu merasa menjadi ‘kaum terjajah’ oleh kakak-kakaknya sendiri yang lebih dewasa.
Rasa iri itu ternyata bisa terjadi pada setiap anak. Adalah Tugas berat bagi seorang Ibu untuk ‘terlihat’ adil memperlakukan anak-anaknya.
Buku ini mengajarkanku bahwa sejatinya mama selalu sayang semua anaknya. Ia tak pernah pilih kasih. Semua anak sama. Namun job description untuk masing-masing anak memang ‘harus berbeda’.
Kalian akan sangat paham jika sudah membaca tuntas buku-buku ini.
Setiap Anak itu ‘Spesial’, biarkan mereka menjadi diri mereka sendiri
Aku sangat salut setiap kali Tere Liye menemukan Karakter utama untuk buku-bukunya. Bagiku, butuh keahlian khusus dalam menjiwai karakter pada sudut pandang orang pertama. Aku sendiri lebih merasa nyaman jika menulis karakter utama yang memiliki sifat mirip denganku. Alasannya sederhana, aku tidak punya banyak teman nyata yang bisa kujadikan ‘contoh baik’ yang membuatku terinspirasi.
Tapi lihatlah keempat karakter yang dia ciptakan pada serial anak mamak..
Pukat si Pintar
Burlian si Anak Spesial
Eliana si Pemberani
Amelia si Teguh Hati
Empat anak spesial yang punya bakat dan sifat berbeda. Tidak seperti Griffindor, Slytheryn, Revenclaw, dan Hufflepuff yang selalu turun menurun memiliki sifat sama disetiap aliran darah keluarga. (apaan sih kok nyambung ke Harry Potter? 😌)
PR besar bagi seorang ibu untuk memahami bakat dan minat pada anaknya. Sungguh PR besar.
Namun, ada satu hal yang aku garis bawahi pada hal ini, yaitu sebagai Ibu kita tidak boleh membandingkan anak satu dengan anak yang lain. Pun jika salah satu anak berprestasi, jangan terlampau membanggakannya dan menyuruh anak lain seperti anak itu pula. Karena hal inilah yang biasanya membuat anak kehilangan minat terbesarnya.
Bayangkan saja jika Mamak pada serial anak Mamak ini terlalu membanggakan Pukat si Pintar? Betapa iri anak-anak lain yang tidak sepintar pukat. Bukankah ini sering terjadi di sekitar kita? Ketika memiliki salah satu anak pintar, seorang mama sangat berpotensi untuk menyuruh anak-anak lain belajar ‘sepertinya’. Agar dapat ‘Juara’.
Penulis tidak mengungkapkan dengan detail apakah setiap anak selalu juara kelas. Seingatku, hanya Pukat dan Eliana yang merupakan juara kelas. Sementara Amelia punya bakat unik tersendiri.
Mereka berempat memiliki cita-cita yang berbeda dan mereka menyenangi jalan itu karena menyadari minatnya masing-masing.
Tugas orang tua?
Hanyalah bertanya, “Apa cita-citamu?” kemudian mendukungnya.
Bukan menyamaratakan bakat setiap anak bahwa mereka ‘harus juara kelas’.
Cause Everychild is Special..
Kesederhanaan adalah Pisau Pembelajaran Terbaik
Hal yang sangat aku sukai dari ‘Keluarga Anak-anak Mamak’ adalah mereka hidup dengan kesederhanaan namun terasa sangat bahagia. Mereka cuma punya sedikit waktu untuk nonton TV karena tidak tersedianya listrik di kampung mereka. Kehidupannya terbilang klasik. Memasak memakai kayu bakar, bermata pencaharian sebagai petani, sekolah di SD Sederhana yang hanya memiliki satu guru untuk semua kelas. Namun mereka sudah cukup bahagia dengan semua itu.
Hiburan bagi anak-anak desa adalah bermain dengan alam. Berenang di sungai, berjalan di hutan, membuat perahu otok-otok, memancing, mencari batu sungai, memetik jamur. Alangkah senangnya jika hiburan anak sekarang dapat seperti itu saja ya? Selain kita tak perlu menemaninya berlebihan dan tentunya hiburan seperti ini jauh lebih hemat. Haha
Dibalik hidup yang penuh kesederhanaan, pernahkah mereka merasa tidak adil dengan keterbatasan? Tentu pernah.
Pukat dan Burlian yang selalu protes saat dipaksa menghabiskan nasi kecap setiap hari. Eliana dan teman-teman yang merasa kecewa saat hujan semalaman merusak kelas tua mereka dan menghancurkan karya koleksi herbarium yang telah susah payah dibuat oleh mereka. Amelia yang.. Harus hancur segala kerja keras bersama teman-teman karena bencana banjir yang melanda kampung mereka.
Tapi semua keterbatasan itulah yang membuat mereka menjadi pribadi yang kuat. Pukat dan Burlian yang disuruh mamak untuk membuka lahan dan merasakan betapa sulitnya proses menanam padi hingga menjadi beras, membuat mereka begitu menghargai setiap butir nasi yang ada. Eliana yang memiliki cara baru untuk terus menunjukkan yang terbaik, keberaniannya telah mengalahkan tantangan apapun. Amelia, si teguh hati. Walaupun karyanya hancur namun ia memiliki kesabaran yang tak terbatas, ikhlas dan terus dapat move on untuk langkah kehidupan yang lebih baik.
Kesederhanaan dan keterbatasan adalah Pisau terbaik untuk melawan dunia. Ia mengembangkan kreativitas, kepedulian, dan rasa syukur.
Hal ini membuatku sangat bertanya-tanya dengan kehidupan ‘zaman now’. Apakah masih ada lingkungan sederhana yang menyenangkan? Lingkungan yang betul-betul dapat membentuk pribadi yang baik. Jikapun ada tentu mustahil akan begitu sempurna layaknya buku ini. Hei, bukankan aku sewaktu kecil juga tinggal ‘di desa’? Ah, iya. Ini mimpi. Itu buku fiksi.
Tentang Guru Terbaik
Abaikan kalimat terakhirku di bagian kesederhanaan. Aku memang sengaja menuliskannya dengan begitu janggal. Karena pada kenyataannya kesederhanaan memang pisau pembelajaran terbaik, namun hal yang benar-benar ‘mengasah pisaunya’ adalah guru terbaik.
Pukat, Burlian, Eliana dan Amelia hidup dikelilingi oleh guru-guru terbaik. Siapakah mereka?
Mama yang memiliki keteguhan hati, kasih sayang tak terbatas, pemberani, dan tangkas dalam segala hal. Ayah yang selalu memberikan nasehat-nasehat terbaik dan hukuman terbaik. Pak Bin, satu-satunya guru SD di kampung untuk semua kelas yang selalu mempunyai ide cemerlang untuk setiap pembelajaran. Wak Wati, Tante Bijak yang selalu pandai menasihati dan memberikan teka-teki kebaikan. Serta Nek Kiba, Guru mengaji yang mengajarkan nilai kehidupan serta keagamaan pada jiwa anak-anak.
Mereka berempat dikelilingi oleh keluarga yang baik dan tumbuh berkembang bersama guru-guru terbaik. Alangkah senangnya.
Betapa sering kita mendapatkan guru yang suka memandang remeh kearah kita saat tak bisa mengerjakan sesuatu? Bukannya memperbaiki masalahnya, malah memperendah semangat murid dengan kata-kata sindiran.
Betapa sering kita mendapatkan guru yang hanya membanggakan murid-murid pintar? Berpaling mata pada murid yang hanya menonjol pada pelajaran kelas rendah.
Betapa sering kita mendapatkan guru yang tidak inovatif. Menyuruh menghafal dan menghafal lalu mengabaikan pemahaman yang benar.
Namun, dari semua guru yang ‘kurang’ kita sukai.. Pasti ada seseorang yang sangat mulia. Seseorang yang dititipkan Tuhan untuk benar-benar memahami kita. Pernah bertemu dengan orang itu? Aku yakin setiap orang pasti punya. Minimal satu, bukan?
Bagaimanapun Guru.. Hargailah mereka, hormati semua guru. Karena merekalah yang mengasah ilmu kita. Mengasah pisau perjuangan hidup kita kelak di masa depan
Semoga kelak anak kita dapat tumbuh dan hidup sebaik novel Fiksi ini. Buku ini memang fiksi. Tapi buku ini adalah pembuka pembelajaran terbaik bagiku..
Seorang Ibu baru yang ingin dicintai anak-anaknya..