Why Always Be Happy Ending?
“Dan mereka berdua hidup bahagia selamanya…”
Kulihat kembali ending dongeng-dongeng masa kecilku dulu. Putri Salju, Putri dan Biji Kapri, Cinderella, Putri Tidur..
Tak ada satu pun dongeng dalam cerita itu yang bercerita tentang kehidupan apa yang terjadi setelah menikah. Yang jelas, ketika sudah bertemu pangeran.. Endingnya selalu..
Bahagia Selamanya
Menikah Tak Selalu Tentang Bahagia Selamanya
Sejak kecil, aku meyakini bahwa perbedaan imajinasi dan realita itu sangatlah tipis. Setipis tissue. Aku meyakini, bahkan cerita-cerita fiksi yang dibuat oleh para penulis merupakan cerita nyata yang diubah tokoh dan alurnya. Hanya saja diberikan bumbu disana sini. Bahkan dalam cerita super panjang yang pernah aku baca. Sebutlah saat itu adalah Harry Potter.. Dari sekian banyak konflik yang terjadi dalam setiap bukunya. Pada akhirnya, Harry, Ron dan Hermione menikah bukan? Mereka memiliki anak dan bahagia selamanya.
Cita-cita orang tua pun tak jauh dari kata menikah. Kala memiliki anak yang sudah berumur, mereka sudah panik menjodohkan dan mempromosikan anaknya kesana kemari. Seakan-akan, cerita panjang yang telah orang tua lewati semuanya akan berakhir jika semua anaknya telah menikah.
Apakah menikah seurgent itu? Apakah menikah memang ending segala konflik remaja hingga dewasa manusia?
Setelah 11 tahun menjalani pernikahan, aku akhirnya mengerti. Bahwa menikah tak selalu tentang bahagia selamanya atau senang selamanya.
Its a new beginning.. 🙂
Kalian.. Bukan sedang berada di gunung teletubbies dan bergenggaman tangan bersama. Kalian.. Tak sekedar tentang ribuan tangan yang menyatakan ‘selamat’ or ‘happy wedding’ dalam pernikahan kalian.
Its a new beginning.. Ketika kalian sadar saat mencium tangan orang tua, berpindahlah jua kewajiban yang dulu melekat. Berpindah jua prioritas kehidupan. Dan tahukah..
Dalam bagian kehidupan pernikahan, ada saatnya kita akan merasa kehilangan diri sendiri. Kehilangan apa yang dulu ingin dikejar. Kehilangan status sosial. Karena kita sudah diuji level kedewasaan yang lebih pada tahap itu. Akan ada waktunya kita bertanya. Siapa yang kupilih? Aku atau keluarga ini? Atau sebenarnya, aku bisa mendapatkan semuanya?
Saat menikah, artinya kita telah menemukan pendamping hidup untuk maju dalam level kehidupan berikutnya. Level remaja, level mandiri finansial, dan level pernikahan. Itu berbeda. Pun saat memiliki anak, level itu juga berbeda.
Tak melulu tentang semakin sulit, tapi tentang bagaimana kita melatih hati. Keikhlasan dan kesabaran.
Karena saat menikah, hidupmu tak lagi tentang kamu. Tapi tentang pertimbangan banyak hati.
Lantas, dimana kita meletakkan diri sendiri? Dalam memenuhi level bahagia… Seperti layaknya dongeng..
Menikah: Menaiki Level Selanjutnya dengan Persatuan Dua Hati yang Kemudian dikali
Truthly, dalam blogpost ini aku gatal sekali ingin menceritakan kisah hidupku dengan blak-blakan. Tapi setiap kali ingin menuliskannya. Aku mencoba inhale-exhale. Mencoba untuk mindfullness bahwa tak semua orang akan memahami kisah dalam sudut pandangku. Meski selalu niat awalnya ada pesan tersirat untuk pembaca. But, whos’ know orang hanya bisa mengambil sisi aibnya saja.
Tapi, percayalah heading kedua yang aku tuliskan adalah sebuah fakta. Bukan cerita fiksi.
Sebelum menikah, mungkin kalian sudah memasuki fase ini: pencarian jati diri, konflik pubertas, mendaki impian, mencari jalan menuju kesuksesan finansial.
Kebanyakan orang berpikir bahwa dengan menikah. Segalanya dikali dua. Jati diri meningkat, impian dikali dua, belum lagi jika sudah menikah dengan orang yang mapan finansial. Maka bahagialah sudah.
Realitanya, meski menikah artinya adalah ‘bersatu’ namun saat bersatu, level pertama pernikahan sudah mencuat. Ujian Ego. Kelak, ujian ini yang levelnya naik turun. Tak ada akhirnya. Setiap menikah selalu pasang-surut-tenang… Lantas muncul lagi saat perlunya pengambilan keputusan. Ada waktunya kita berpikir, “Kok selalu aku yang mengalah?”
Ada waktunya kita berpikir, “Pantaskah seorang imam bersifat otoriter. Atau sebaiknya aku menganut kesetaraan gender yang kompleks?”
Banyak yang tak paham dengan ujian ego lantas memilih berpisah, ada pula yang masih bersama namun sebenarnya ‘hidup masing-masing’.
Tak cukup disitu, kita harus pula menyadari bahwa pasangan kita membawa masa lalu kelamnya masing-masing yang telah membentuk dirinya yang sekarang. Belum pula tuntas masa lalu, trauma kelam itu. Kita juga harus menyadari bahwa pasangan kita membawa keluarganya masing-masing untuk berbagi hati dan pemahaman.
No. Ini bukan tentang cerita horor. Karena faktanya. Demikianlah pernikahan. Ada senyuman, ada kebimbangan, ada tangisan tak terima, ada saatnya mungkin hati kita pecah berkeping-keping.
Bingung harus menempel kepingan itu satu per satu. Atau membiarkannya begitu saja.
Aku jadi ingat tulisan pertama yang ditulis calon suamiku dalam buku La Tahzan-Jangan Bersedih
“I can’t promise our life will be happy forever.
There will be sorrow, crying that appears.
That’s the rainbow of life. The beauty that we are not aware of.
However, believe me. In the colorful and dark of life. I will always try to be by your side”
RESPECT: Apapun yang terjadi, Tetaplah Berusaha Memahami
“Karena itu komunikasi adalah koentji kan win? Makanya setiap ada masalah komunikasikan. Gitu kan?”
Percayalah, dalam kehidupan pernikahan. Ada kalanya, pasangan kita tak mau berkomunikasi dengan kita. Yang ia keluarkan hanya tangisan dan merajuk tak jelas. Atau, yang ia keluarkan berbentuk kemarahan. Berbentuk diam tanpa kejelasan apapun.
Baca juga: Komunikasi adalah kunci pernikahan? Yakin?
Meski teori-teori pernikahan diluar sana banyak yang mengatakan bahwa komunikasi adalah kunci. Tapi sebenarnya, respect perlu dirasakan terlebih dahulu sebelum berkomunikasi. Thats why, disanalah cinta diperlukan. Disanalah kita butuh membawa Allah dalam setiap usaha yang ingin kita sampaikan. Komunikasi hanyalah sebuah cara. Dalam melakukan sebuah ‘cara’, tentu ‘bahan baku’ lebih dibutuhkan bukan? Bahan baku dalam komunikasi: Cinta. Dimana cinta muncul? gabungan tujuan pernikahan dan respect. Apa tujuan pernikahan. Ibadah. Meski mungkin bahasaku berputar-putar. Simplenya.. Respect dibutuhkan dalam apapun.
Sumber Respect: Believe!
Dalam pernikahan. Ada kalanya pikiran kita dipenuhi dengan prasangka. Prasangka baik dan buruk, kadang muncul silih berganti. Awal menikah, tentu biasanya pikiran kita dipenuhi oleh prasangka-prasangka baik pada pasangan. Ada masanya nanti, kita mulai paham sudut lain dalam pasangan kita. Perlahan dan perlahan.. Kita mulai memupuk prasangka dari berbagai fakta yang kita lihat dan alami sendiri.
“Awalnya kukira dia begini, oh ternyata dia begitu..”
Image yang dibangun oleh imajinasi kita pun perlahan berguguran. Dalam fase yang parah, memupuk prasangka bisa mengubah penilaian kita pada pasangan secara total. Yang dulunya ia kita anggap sebagai partner hidup. Karakter protagonis. Karena prasangka, pasangan kita menjadi karakter antagonis. Lalu, kita merasa seakan paling baik dan suci. Percayalah, aku pernah sampai ke fase ini.
Tahukah apa yang menyelamatkanku?
Kepercayaan. Yes.
Ada kuote yang berkata bahwa kita adalah apa yang kita pikirkan. Terdengar halu sekali. Karena fakta berkata bahwa kita adalah apa yang ada saat ini dan kita adalah apa yang sedang kita usahakan. Tapi ternyata, imajinasi dan realita.. Dalam dimensi yang berbeda..punya perbedaan setipis tissue. Ketika ada ‘believe’ disana.
Back to awal artikel ini, aku sengaja membuat judulnya dengan pertanyaan, “Why Always be Happy Ending?”
Tahukah kalian, kenapa dongeng-dongeng anak kecil dahulu selalu diakhiri dengan “Happily ever after” ?
Ternyata, jawabannya bukan untuk membuat anak menjadi halu. Tapi memupuk kepercayaan positif akan masa depannya. Sejak kecil, aku selalu yakin bahwa dengan menjadi perempuan baik maka aku akan mendapatkan jodoh yang baik pula. Seperti cerita dongeng.
Saat mengalami kesedihan berturut-turut, aku kadang mengingat konflik-konflik yang aku baca pada beberapa buku. Aku tau, saat konflik memuncak.. Solusi dari konflik hingga rasa bahagia tak jauh dari sana.
Ending ‘bahagia selamanya’ adalah sebuah kata-kata positif yang selalu aku ingat. So related dengan surah Al-Insyirah.
“Bersama kesulitan ada kemudahan”
Ada masalah, ada kesedihan, ada prasangka buruk.. Bersama dengan itu semua, muncul pula kemudahan yang lain. Keseimbangan hidup mungkin adalah makna dari bahagia selamanya yang sebenarnya.
Dengan memahami, bahwa menikah tak melulu tentang bahagia. Tapi juga tak melulu tentang masalah. Lantas belajar mindfulness bahwa pasangan kita bukanlah orang yang sempurna.
Tapi kalian belajar bersama untuk menyempurnakan kehidupan. Mengecap pahit dan manisnya. Percaya, bahwa pasangan kita adalah yang terbaik. Semoga Sakinah, Mawaddah, Warahmah selalu menyertai kalian.
Tulisan panjang kali ini mengalir sehabis menghadiri perkawinan adik bungsu kembarku. Bahagia selalu. Yakinlah bahwa ‘happily ever after’ itu tidak halu.