Hans Christian Andersen-Pendongeng Inspiratif untuk Anak Penuh Imajinasi
“Sebenarnya, Apa cita-citamu sejak kecil?”
“Aku ingin seperti Hans Christian Andersen..” jawabku tertawa konyol kala itu.
Para teman-temanku mengernyitkan dahinya seraya berpikir lalu bertanya, “Siapa gerangan Hans Christian Andersen?”
Dan aku kala itu hanya menjawab, “Biar aku saja yang tau..”
***
Ya, Tidak banyak yang tau tentang Hans Christian Andersen. Kebanyakan remaja kutu buku kekinian saat itu hanya mengetahui penulis-penulis beken. Sebut saja JK.Rowling, dan siapa lah itu.. Aku sendiri sebenarnya tidak pernah benar-benar tau tentang Hans Christian Andersen. Aku hanya membaca kilasan ceritanya pada cerpen di buku majalah bobo sewaktu aku SD dulu. Dan aku mengingatnya hingga SMA saat itu, walau buku majalah bobo yang memuat dongeng tentangnya sebenarnya sudah lama hilang. Hei, jangan tanya aku itu edisi kapan? Sudah jelas aku tidak tau.
Sewaktu zaman aku SMA dulu, tidak banyak yang mengenal Google. Pun warnet-warnet yang bertebaran saat itu hanya digunakan untuk bermain game online dan chatting. Sementara aku sendiri saat itu hanyalah memiliki HP jadul dengan jarak rumah yang jauh dari warnet. Yes, aku tak pernah sekalipun browsing ilmu sewaktu SMA karena aku gaptek dan ‘wong deso’. Tidak pernah terpikir bahwa sekarang aku memiliki suami programmer dan menjadi blogger. Mungkin, cerita tentang Hans begitu menginspirasiku sehingga aku selalu punya cita-cita kecil ingin menjadi penulis dan pendongeng imajinasi sepertinya.
Siapa Itu Hans Christian Andersen?
Hans adalah seorang penulis asal Denmark. Ia terkenal sebagai penulis dongeng anak-anak. Selain menulis dongeng, Hans juga terkenal sebagai penulis drama, novel dan puisi yang produktif. Ada 3381 karya dongeng Andersen telah diterjemahkan dalam 125 bahasa. Namun, dongeng-dongeng yang paling dikenal dunia adalah Anak Itik yang Jelek, Putri Salju, Thumbelina, Putri Duyung.
Salah satu alasan kenapa aku menyukai Hans adalah karena karya-karyanya membuatku mencintai buku. Ya, aku jujur saja sejak kecil aku tidak terlalu suka membaca. Aku hanya menyukai menggambar dan mencoret-coret dinding. Setiap gambar yang aku buat melukiskan cerita dari imajinasiku. Aku tidak tau tepatnya apa cerita imajinasiku dahulu, yang jelas itu menyenangkan. Aku menggambar dinding kamar mandi dengan sabun batang, mencoret dinding kamar dan menghubungkan kerutan cat yang tidak rata sambil mengkhayal sebelum tidur. Saat itu, sebagai anak kecil aku tak pernah mengenal dongeng. Mama hanya bercerita kehidupan teladan sehari-hari yang bagiku saat itu membosankan, selebihnya mama sibuk membuat kue.
Dan Buku-buku Hans saat itu telah membuatku mencintai Buku.
Castil Buku Dongeng, Castil Imajinasi Pertamaku
Aku masih ingat kapan tepatnya pertama kali aku jatuh cinta dengan buku. Tepatnya saat aku berusia 8 tahun dan masih duduk di kelas 2 SD. Pada hari ulang tahunku yang ke-8, Ayahku memberikanku hadiah yang sangat istimewa. Aku masih mengingat sensasi rasa senang itu dan bagiku hadiah itu adalah hadiah paling mewah yang pernah kumiliki.
Ayahku memberikan Castil Buku. Sebuah Istana Mungil yang terbuat dari kertas yang berisi 12 Dongeng anak-anak mungil dengan sampul hardcover. Untuk anak ‘Wong Deso’ sepertiku saat itu mendapatkan hadiah itu bagaikan mendapatkan harta karun. Castil itu tidak hanya berisi buku namun juga boneka kertas dengan bentuk karakter tokoh-tokoh istana dongeng seperti Putri, Pangeran, Raja, Ratu, Pelayan Istana, Pemburu dan banyak lainnya. Saat itu juga, segala imajinasiku langsung meledak. Butuh waktu bertahun-tahun untuk membuatku bosan bermain dengan imajinasi boneka kertas dan inspirasi dari buku-buku dongeng. Ya, jujur saja hingga SMP kelas 3 pun aku masih senang menggambar, menggunting dan bermain boneka kertas. Entah betapa konyolnya jika cerita imajinasiku benar-benar tertuang dibuku saat itu. Saat itu, aku akui kemampuan menulisku tidak terasah karena aku pernah merasa terlalu malu saat buku karanganku dibaca oleh kakakku dan ia tertawakan.
Siapa gerangan yang menciptakan dongeng-dongeng indah ini? Kataku. Dan saat kelas 3 SD aku mendapatkan jawabannya. Namanya Hans Christian Andersen. Ia adalah orang pertama yang membuatku mencintai buku.
Kini Aku Bukan Anak Kecil Lagi, Aku adalah Seorang Ibu yang memiliki Anak Penuh Imajinasi
Ya, itu adalah ceritaku saat kecil. Aku yang dahulu hanya suka menggambar dan mewarna kini menjadi pecinta buku. Padahal jujur saja dulu aku termasuk anak yang lambat diajari membaca dibanding dengan kakakku. Dan jika kalian sering membaca blog ini tentu kalian tau bahwa Aku memiliki anak yang bakatnya mirip denganku, Ya.. Namanya Farisha.
Farisha tidak suka diajari membaca dan menulis. Namun dia sangat tertarik jika belajar menggambar dan mewarna. Ia suka mewarnai gambar-gambar yang aku gambar kemudian mengguntingnya dan menempel-nempelnya di dinding kamar. Persis seperti aku dahulu. Aku pernah membujuknya untuk belajar membaca. Sudah banyak kiranya aku bercerita bahwa Buku adalah Jendela Dunia dan bla bla bla. Dan kalian tau apa jawabannya?
Oke, kalian bisa tau jawabannya jika membaca detail cerita pada tulisan sebelumnya ini: “Ketika Topik Perkembangan Anak dijadikan Persaingan Sosial oleh Kedua Orangtuanya”
Dalam ending tulisan itu tertera bahwa tentu aku tidak akan membiarkannya membenci dunia membaca dan menulis. Dan lanjutan dari cerita itu ada disini.. Ya, Aku mengajaknya mengenal lebih jauh tentang tokoh yang sama seperti Farisha bernama Hans Christian Andersen.
Mengajak Anak Mencintai Buku Melalui Dongeng dan Imajinasi
Beruntunglah aku mendapatkan banyak buku cerita tentang Dongeng-dongeng klasik, Cerita Nabi dan Tokoh Dunia ini di bazaar buku yang ada di Banjarmasin. Jujur saja, aku termasuk tipe pelit dalam membelikan buku untuk Farisha. Yah, menurutku ini masih dalam kadar wajar karena toh kondisi ekonomi masing-masing keluarga berbeda. Untuk keluarga kami yang masih merintis ekonomi dari 0 tentu saja membeli buku dengan harga mahal tidak sanggup kami lakukan. Jadi, kami hanya berburu buku jika kebetulan ada diskon besar-besaran, cuci gudang, maupun bazaar buku murah. Selebihnya, aku lebih memilih meminjam buku di perpustakaan daerah di kota kami.
Untuk anak sekecil Farisha, bagiku tidak terlalu penting membelikan buku dengan harga fantastis. Toh, anak berumur 5 tahun ini kadang suka mencoret bukunya bahkan sesekali mengguntingnya. Jadi, cukup membelikan buku dengan harga 10.000-20.000 saja asal buku tersebut memiliki ilustrasi gambar yang menarik kenapa tidak? Seperti buku-buku dibawah ini yang hanya aku beli dengan harga murah meriah.
Sesekali jika waktu senggang dan jadwal memasak untuk makan siang ditiadakan maka aku mengajak Farisha berkunjung ke perpustakaan daerah di Banjarmasin. Perpustakaan ini terletak di Siring Tandean tepatnya berseberangan dengan Menara Pandang.
Menurutku, koleksi buku di perpustakaan daerah ini sudah sangat ‘lumayan’ apalagi untuk bagian buku anak-anak. Sepertinya sudah puluhan kali aku dan Farisha kesini dan meminjam buku tapi koleki buku anak-anaknya masih belum habis terbaca.
Tempat area bacaan buku anak-anakpun terbilang sangat nyaman. Yah, selain disediakan tempat untuk ‘rebahan dan leyeh-leyeh’ hal yang membuatku suka sekaligus sedih adalah kami berdua biasanya hanya berduaan saja disini, yang artinya Kami bebas ‘we time’ tapi juga berpikir keras.. Kenapa kami selalu berdua saja ya? Apa minat baca anak-anak di kota ini sangat sedikit? Atau kami selalu datang ketika jam sibuk?
Hmm.. Entahlah. Yang jelas petugas disini sudah familiar sekali dengan wajah Farisha. Dulu, saat pertama kali datang Farisha dipuji oleh sang penjaga, “Hebat, sudah bisa membaca ya… Rajin kesini..”
Aku hanya tersenyum cengengesan sementara Farisha tersenyum girang sambil terus memperhatikan gambar dibukunya. Hahaha..
Yah, inilah caraku mengajari Farisha mencintai Buku. Aku mengajaknya bermain dengan imajinasi melalui dongeng-dongeng klasik dan cerita nyata dari Nabi-nabi dan tokoh dunia. Buku-buku sederhana berharga murah ini selalu aku bacakan setiap sebelum tidur. Ia memang masih belum bisa membaca, ia hanya tertarik pada gambar. Namun, aku yakin suatu hari nanti ia akan mencintai dunia literasi. Karena gambar-gambar menarik dalam buku-buku cerita ini telah menumbuhkan banyak akar-akar imajinasi di pikirannya. Sst.. Farisha mengetahui teknik gradasi dalam mewarna pun saat ia melihat gambar-gambar di buku ceritanya.
Pertanyaan Sang Penjaga Perpustakaan pun pernah terulang di bibir Farisha padaku, “Ma, apa semua anak harus bisa membaca untuk dapat mencintai buku?”
Aku menjawab, “Seorang anak memang harus bisa membaca, tapi hal yang lebih penting dari belajar membaca adalah belajar mengembangkan Imajinasi. Karena sesungguhnya, Imajinasi dan sistem berpikir lah yang merangkai huruf-huruf ini menjadi sebuah cerita yang bermakna.”
“Seperti Hans Christian Andersen?”
“Ya, seperti Hans Christian Andersen..”
Disclaimer: Tulisan ini adalah tulisan #FBB kolaborasi di bulan September dengan Tema Hari Aksara Internasional yang diperingati pada tanggal 8 September 2018.