Sudah lima tahun lebih ya Ma sejak aku lulus kuliah di umur 21 tahun..Kini umurku sudah hampir 27 tahun. Cucumu sekarang sudah cukup besar, umurnya sudah 4 tahun. Sebentar lagi dia akan sekolah di Taman kanak-kanak. Lihatlah, sejarah akan berulang kembali, sama seperti ketika kau menyekolahkanku waktu kecil. Kini keluarga kita sudah memiliki generasi baru.
Kau tau, dari seluruh artis, guru, hingga semua orang yang kugemari, kau tetap nomor satu bagiku. Kau adalah Rule Mode pertamaku. Aku adalah seorang peniru yang meniru semua perilakumu. Bahkan, sedari dulu aku terobsesi untuk bisa sepertimu. Menjadi wanita yang mandiri sepenuhnya. Aku tak mau kalah darimu.
Aku masih ingat kau selalu menyuruhku bercita-cita untuk memiliki karir diatas mu.
“Winda mau jadi apa kalau sudah besar?”
“Jadi Guru TK kayak mama” ucapku Polos
“Kalau bisa cita-cita itu harus diatas mama, mama jadi Guru TK paling tidak anaknya jadi Guru SD, Guru SMP, Guru SMA, jadi Dosen”
Aku membenarkan kata-katamu. Aku harus bisa menjadi lebih darimu agar aku dapat membanggakanmu. Asik sekali kan jika nanti kau berkumpul diantara komunitasmu dan membanggakanku sudah bisa ini, itu. Sudah bisa berstatus sosial diatasmu, sudah bisa memperoleh uang yang lebih banyak darimu.
Seiring berjalan waktu cita-citaku berubah-ubah. Kau bukan lagi Rule Mode bagiku. Aku terlalu capek melihatmu sibuk. Sibuk membuat Kue untuk dijual selain itu Mama juga Ibu pekerja. Terkadang Mama marah padaku tanpa sebab yang jelas. Ketika sudah ‘sedikit’ besar aku mengerti bahwa sumber kemarahanmu hanya satu. Uang.
Kau membuat pengertian baru dalam otakku.
“Lihat, Gajih Guru itu ya segini-segini aja.. Ga cukup untuk (bla bla) makanya mama sambil usaha jualan kue..”
Aku mulai menggaris bawahi Tujuan Hidupku. Jangan pernah menjadi Guru, nanti kau harus punya pekerjaan tambahan untuk terus menyambung hidup. Nanti hidupmu terlalu capek. Dan satu lagi, jangan pernah menikah dengan Guru pula. Nanti hidupmu bokek selamanya.
Kau tau ma, ketika sekolah SD didekat rumah kita yang tergolong kampung aku selalu dikenal sebagai Anak Orang Kaya.
“Lihat, Mama dan Ayahnya PNS keduanya.. Anak orang kaya dia tuh”
Nyatanya aku sama sekali tak pernah merasa jadi orang kaya. Kau bilang juga kita ini tidak kaya. Aku hidup dengan dipenuhi rasa empati padamu. Bahkan untuk membeli sesuatu yang aku benar-benar inginkan saja aku jarang meminta. Sejak SD aku rajin menabung. Untuk membenarkan pendapat teman-temanku bahwa aku orang kaya. Aku masih ingat betapa senangnya saat kau membelikan jam tangan untukku dengan menambahkan uang pada tabunganku.
“Hidup itu harus rajin menabung, anak-anak desa itu mana tau arti sekolah hingga kuliah. Mereka cuma mau tamat SD saja. Makanya uang mama mereka cuma habis untuk jajan mereka, mereka ga punya tujuan hidup seperti mama yang ingin semua anaknya sukses”
Aku harus sukses.
Rasa empati pada mama membuatku tumbuh menjadi pribadi lain. Impianku adalah memiliki banyak uang. Bagaimana? Belajar. Belajar untuk selalu menjadi yang terbaik dikelas. Aku memiliki Rule Mode kecil yang selalu membayang-bayangi kehidupanku. Dia adalah Kakakku. Si Pintar yang selalu Juara.
Kau tau Ma, sejak kecil aku sudah merasa berbeda dengan kakakku. Kakak itu pintar, mama sendiri yang bercerita bahwa sejak umur 3 tahun dia sudah bisa membaca. Dia belajar otodidak dengan bertanya padamu. Aku? Sejak kecil aku tak punya ketertarikan dengan Rangkaian Huruf dan Angka. Aku lambat dalam belajar. Aku lebih suka mengkhayal sambil menggambar. Tapi apakah Gambar akan menjadi uang ketika aku sudah besar?
Ketika aku bisa menulis untuk pertama kalinya kau tau apa yang aku lakukan? Ya, Aku menulis, menulis segala yang kubisa. Tulisan pertama ku adalah prasasti yang kutulis ditembok rumah kita. Aku masih ingat kata-katanya.
Winda anak Mama
Wanda anak Abah
Seiring berjalan waktu aku mulai suka menulis curhat di buku tulis. Terkadang tulisanku dibaca oleh kakak dan diperlihatkan kepada Mama. Saat aku dimarahi mama, saat aku bertengkar dengan kakakku aku menuliskannya. Itu sudah menjadi semacam terapi untukku.
Seiring berjalan waktu aku tetap hoby menulis. Aku punya buku tulis khusus untuk menuangkan imajinasi konyolku. Dibawah tulisan aku memuat gambar ilustrasi. Aku senang dengan buku cerita yang mama belikan. Aku pikir aku perlu membuat satu dengan namaku dibawahnya.
Apa Mama tau hoby konyolku itu? Kupikir Aku baru kali ini berusaha mengungkapkannya. Sejak SMP anakmu punya koleksi surat cinta gombal palsu hasil dari perwujudan agar mendapat penerimaan dari teman dan lingkungannya. Kemudian hoby menulis konyolku menghilang begitu saja seiring berjalannya aku pada dunia ekstrovert dengan teman-temanku.
Aku selalu melirik bayangan hidup yang menghantui persainganku didalam keluarga. Kakakku. Untuk mengabadikan gengsiku padanya aku bahkan malas bertanya dengannya jika menemui kesulitan. Aku memutuskan untuk menempuh jalanku sendiri untuk memperoleh kebanggaan darimu. Jika kakakku lulus di Universitas jurusan Kedokteran, maka Aku akan menghasilkan lebih banyak uang dengan menempuh jalan pada Ilmu Akuntansi.
Ilmu akuntansi sebenarnya adalah ilmu pelarian. Aku menyukai angka yang memiliki 0 banyak itu hanya karena aku ingin memilikinya, menjadikannya bagian hidupku untuk menyenangkanmu. Pada kenyataannya setiap malam aku hanya menulis cerita konyol hidupku lagi kemudian menulis cerita pendek konyol dan hobi sekali dengan dunia online.
Mungkin karena nafsu ‘materialistis’ ku Tuhan tak meluluskanku pada tes STAN dan UMPTN, bahkan untuk jalur undanganpun aku tidak lulus. Aneh mengingat saat SMA aku lumayan sering juara di kelas 2 dan 3 SMA. Aku kemudian terdampar di Politeknik Negeri Banjarmasin, mendaftar di Program Studi D4 Akuntansi Lembaga Keuangan Syariah. Syariah? Lihatlah ma, Tepukan Tuhan yang pertama untuk nafsu Materialistisku.
Sejak kuliah aku banyak berubah. Aku mulai mantap untuk memakai kerudung. Bahkan sejak awal masuk aku tak pernah ketinggalan memakai rok, diluar dunia kampuspun begitu. Dunia terdamparku di jurusan islami ini sudah menghapus sedikit demi sedikit materialistisku. Meskipun aku masih berharap sedikit penerimaan diluar lingkunganku dengan terkadang memakai jeans diluar.
Dunia terdampar ini juga mempertemukanku dengan jodohku. Dia adalah asisten dosen dijurusanku. Seiring berjalan waktu aku pun menikah. Aku masih ingat sebelum itu kau begitu bersemangat melihat ada lelaki yang mendekatiku dengan sopan. Kau menyukainya, kau langsung menyuruhku menikah dengannya begitu tau dia ingin meneruskan S2-nya.
Aku berpikir begitu lama untuk langkah hidup yang begitu mengejutkan ini. Aku bahkan belum lulus waktu itu, masih menyusun Tugas Akhir untuk syarat kelulusanku. Dengan berbekal sholat Istiharah aku mendapat sebuah petunjuk dan aku menurutinya. Jalan-Nya dan saranmu adalah yang terbaik bagiku. Dan akupun menikah.
Aku masih ingat betapa bahagianya wajahmu saat itu.. Mama. Entahlah apa yang kau pikirkan. Bagiku, saat itu saat yang membingungkan. Ketika Ijab Kabul itu diucapkan pikiranku langsung berputar gelisah. Kemana aku mulai saat ini? Apa Mama akan aku tinggalkan mulai saat ini? Dimana aku nanti? Apa rumah mertua akan menjadi surga baru untukku? Dan.. Kemana pula cita-cita membahagiakan Mama dengan Uang itu? Hilang begitu saja? Ya, ampun aku bahkan belum lulus..
Ah, ada KB. Tentu saja, KB akan menyelamatkan hidupku dari ancaman belenggu Rumah Tangga yang tak aku inginkan. Siapa yang mau jadi Ibu dengan umur masih muda dan belum bekerja? Masih banyak jalan yang ingin Aku tempuh untuk membahagiakan mama. Aku mau melanjutkan kuliahku. Aku tak mau menjadi Banker, Akuntan atau pekerjaan berdasi lainnya. Aku sudah membuang jauh-jauh sisi materialistisku. Aku ingin menjadi Dosen, dia Rule Mode terakhirku. Suamiku.
Saat lulus Kuliah aku mendengar ada penerimaan Beasiswa S2 di Politeknik Negeri Pelaihari, 2 seniorku lulus disana. Semangatku berapi-api, Aku langsung menceritakannya padamu Ma, Kau begitu senang mendengarnya. Aku tau apa yang ada dalam pikiranmu “Anakku takkan berpisah jauh dariku karena bekerja disini”. Aku pun sungguh bahagia dan berpikir “Aku takkan jauh dari Mama, Aku akan bekerja disini, memperluas dan menyalurkan ilmuku disini”
Aku dengan semangat berapi-api menulis lamaran dan CV di kampus kampungku itu. Suamiku memberi semangat. Iseng, aku bertanya padanya.
“Terus, Kaka nanti gimana? Pindah kerja ya? ”
“Bisa juga sih, tapi lulusin S2 dulu” Katanya (dia saat itu masih dalam tahap tes masuk)
Aku memasukkan arsip lamaranku dilemariku. Masih ada beberapa berkas yang belum lengkap. Tak lama kabar bahagia darinya datang “Aku lulus penerimaan S2 di UGM” katanya. Aku bersorak senang “Aku juga akan kuliah lagi” kataku.
Dua bulan lebih berlalu dari tanggal pernikahan kami. Aku belum juga dapat Tamu bulanan. Dia cemas. Jangan jangan..
Ya, Aku hamil. Testpack itu membuat kami berdua shock. Terus terang menunda kehamilan adalah prioritas utama pernikahan kami. Kami masih punya banyak cita-cita bukan? Kami? Maksudku, aku.
Belum lagi shock itu pudar. Aku masih terbayang-bayang bisa diterima dikampus Pelaihari untuk program beasiswa, kemudian aku mendengar mertuaku menangis tersedu berbicara dengan suamiku disebelah kamarku. Sudah jelas, Mertuaku tak mau Suamiku mengikutiku bekerja di pelaihari. Dia ingin anaknya ada untuknya.
Untuk pertama kali dalam lembaran hidupku aku begitu membenci Mertuaku. Kebencianku begitu dalam ketika aku hamil. Tapi aku menahannya. Aku cemburu padanya. Aku tak ingin dekat-dekat dengannya_orang yang merampas cita-citaku. Pikirku.
Demi menuruti hadist sahih tersebut Aku dengan rela mengalah. Tapi sekaligus merasa terkekang. Seumur hidup diriku bebas bereksplorasi. Setelah menikah keinginan terbesarku dikendalikan oleh Suami_yang tadinya setuju dengan usulku lalu dikendalikan oleh Mertua. Lalu dimana hak mama untuk turut menikmati kesuksesan anaknya? Tak adil hidup ini. Pikirku.
Suamiku akhirnya berangkat untuk kuliahnya. Aku memutuskan tinggal untuk ‘menghemat uang’. Malu rasanya sudah menikah masih saja minta uang padamu Ma. Bahkan tinggal dirumahmu saja malu, tidak bekerja pula. Aku waktu itu adalah Wanita Hamil yang uring-uringan memikirkan masa depannya dan anaknya. Dan saat itu kau sibuk untuk persiapan resepsi kami. Ya ampun merepotkan sekali ya anakmu ini.
Jujur saja Ma, Seandainya boleh memilih aku lebih memilih tidak usah resepsi saja. Kalaupun resepsi cukup sederhana dirumah saja. Aku tidak berharap menjadi Putri Raja dalam sehari dengan menghabiskan begitu banyak biaya. Tapi demi melihatmu berdiri bersalaman dengan para tamu sambil membanggakan anaknya. Aku rela jadi ondel-ondel sehari. Tukang rias itu bahkan bersikeras untuk memangkas habis alisku yang katanya seperti hutan ini. Aku rela Ma menangis sembilan bulan meratapi alisku yang gundul.
Betapa sering aku merengek padamu. Mau bekerja kataku. Lihatlah anakmu yang uring-uringan pada kehamilannya ini. Tapi kau bersikeras mencegahku. Tunggu tes PNS saja, katamu. Teman-temanku mulai mendapat pekerjaan di swasta dan bank. Demi tak tahan dengan rasa iri aku memutuskan untuk berhenti bersosial media. Cukup puas dengan membuka forum Ibu Hamil dan mendapatkan banyak informasi untuk menjaga kehamilanku.
Andai aku bisa meminta. Ingin rasanya aku menyusul suamiku keyogya. Tapi aku terlalu berempati padamu. Malu meminta uang padamu_untuk membeli tiket. Malu, sudah menikah masih menumpang makan dirumahmu, tidak memberimu apa-apa. Tapi terkadang aku merasa kesal didalam hati kenapa Mama selalu mengungkit-ungkit biaya resepsi yang 100% uang mama. Bukankah mama tau suamiku bukan orang kaya. Dia punya 4 adik yang masih sekolah dan mertuaku janda. Bukannya Mama yang terlalu mendorongku untuk menikah? Apa salahku jika kehidupan ekonomiku bergantung pada Mama? Aku tau, uang 300ribu sebulan yang diberi suamiku tak ada apa-apanya dimata Mama. Taukah Mama bahwa demi tak meminta uang padamu aku sering merelakan dunia sosialku hilang_tak ada kuota. Aku berharap kau sedikit simpati padaku saat itu, betapa banyak pasangan muda yang masih ‘diberi’ oleh orang tuanya ditahun pertama pernikahan. Aku saat itu hanya menuntut rasa bangga darimu_dari tekanan hilangnya duniaku dulu. Akhirnya akupun bertengkar dengan Mama.
Sungguh, sebagai Anak aku menyesal terlalu sering membuatmu menangis, Ma.. Aku bahkan membuatmu menangis saat aku sendiri tak pernah bisa membanggakanmu. Aku bingung, bagaimana meminta maaf denganmu. Akhirnya pada suatu malam tangisanmu pecah kembali. Tangisan yang berisi pengakuan. Cerita kehilangan.
“Aku merasa kau telah diambil sepenuhnya”
Kata-kata itulah yang kudengar. Ya, dengan egoisku aku membuat ceramah panjang untuk mama hingga mama menangis tanpa pernah memikirkan perasaannya. Bagaimana rasanya memiliki anak yang kau besarkan sejak kecil, menyekolahkannya hingga pintar kemudian pergi meninggalkannya begitu saja_dibawa oleh orang asing yang hanya bermodalkan cinta dan tanggung jawab semata. Aku hanya ingin bersama dekat dengan anakku dan memeluk cucu pertamaku setiap hari.
Aku akhirnya sadar. Mama kini tak berharap uang dariku. Dia hanya ingin dekat denganku dan Mertuaku ingin anaknya/suamiku dekat dengannya. Aku dihadapkan pada pilihan sulit. Suami? Atau Mama?
Beberapa bulan sebelum hari kelahiran anakku, Mama membawaku berjalan-jalan ketoko perlengkapan bayi. Kau membelikanku semuanya. Ya, memakai semua uangmu. Rupanya untuk itulah alasan kau terlihat cuek dengan krisis keuanganku.
Pilihanku semakin sulit ketika Hari Melahirkan tiba. Suamiku tak bisa datang. Hanya Mama dan Ayah yang membantuku. Mama_yang paling utama dalam membantuku. Karena suatu masalah Aku terpaksa melahirkan cesar. Sungguh, malu sekali rasanya pernah membuat Mama menangis sementara Aku dibantu pi*is dan p*p oleh Mama. Mama adalah pilihan yang sulit untuk ditinggalkan.
Memiliki anak tanpa dampingan suami membuatku terkena babyblues. Walau mama sangat membantuku namun kebahagiaan psikologis ku terganggu. Disamping itu selama 1 minggu ASI-ku tak keluar. Stress mulai menggerogotiku. Andai suamiku datang aku tak mau pulang kerumah mertua pikirku. Aku ingin dengan Mama dan suamiku saja.
Tapi aku salah. Suamiku pulang saat anakku berusia 3 bulan dan aku tinggal di Rumah Mertua. Babyblues mulai menghantuiku. Mertuaku jauh berbeda dengan Mama. Aturan zaman bahari itu membuatku semakin stress. Ditambah dengan kolotnya pemikiran tentang peran suami dalam membantu membuatku ingin pulang. Pulang adalah tempat dimana orang yang mengerti dan memperdulikanmu ada. Dan tempatku pulang adalah rumah mama.
Tapi inilah kenyataan Ma. Kita memang harus berpisah_jarak. Aku sudah terikat janji sebagai seorang istri. Aku sudah meninggalkannya selama kuliah S2_aku memilih bersamamu saat hamil hingga cucumu berumur 3 bulan. Inilah saat aku harus mendampinginya. Menjadi Istri dan Ibu yang harus belajar. Aku memilih mendampinginya dan berada dirumah ini. Rumah Mertua.
Saat Tes PNS tiba kau begitu bersemangat ma. Saat itu usia Bayiku masih 6 bulan. Aku mendaftar tes administrasi dan ternyata tidak lulus. Status D4 tak sama dengan S1. Aku tau, kau pasti sangat kecewa. Seolah-olah semua perjuanganmu untuk suksesku sia-sia. Akupun merasakan hal yang sama.
Saat anakku berusia 1 tahun kami memberanikan diri membeli rumah_berhutang denganmu, Ma. Lihatlah betapa merepotkannya Anakmu ini. Aku tau kau ikhlas membantu. Aku butuh rumah sendiri Ma, untuk menyehatkan kondisi psikologisku_meskipun aku lebih suka jika serumah denganmu.
Alhamdulillah, karir suamiku didunia IT terbilang sukses. Lewat berbagai pekerjaannya di web, kami akhirnya bisa merenovasi rumah kami hingga begitu besar. Lihatlah Ma. Ini pencapaian Suamiku_orang yang kujaga semangatnya dan berusaha aku sukseskan lewat pengabdianku sebagi istri. Dia tiba-tiba saja punya uang banyak untuj merenovasi rumah Ma.. Padahal tadinya dia hanya Asisten Dosen PNS saja. Kini dia sudah S2, konsultan IT pula.
Tapi Aku masih belum bisa memberi apa-apa padamu. Uang suami memang uang istri tapi masih tak layak diberikan padamu karena untuk sehari-hari uang ini terbilang pas-pasan untuk hidup kami. Aku bahkan tak bisa menghiburmu setiap hari dengan senyuman dan ocehan cucumu. Aku sangat tertinggal_jika dibandingkan kakakku yang berprofesi sebagai Dokter dan setiap bulan memberimu uang.
Tawaran pekerjaan beberapa kali kau tawarkan akhir-akhir ini. Iya Ma, Aku tau Anakku sudah cukup besar untuk Aku tinggalkan bekerja. Tak ada lagi alasan untukku untuk pemalas dan tak bekerja.
Tapi aku sudah terlanjur Cinta dengan Rumah ini.. Ma..
Aku terlanjur menyukai kegiatan dapur yang dulu selalu aku keluhkan, aku tak bisa melepaskannya. Aku tak bisa membiarkan Suamiku tak merasakan cintaku dari makanannya.
Aku terlanjur menyukai Kedekatanku dengan Anakku. Ada Bonding aneh yang tak bisa Aku lepaskan hingga sekarang. Saat dia memelukku dan dengan lancar dan bilang “sayaaang mama”, menciumku dan bertanya konyol padaku. Aku pikir hanya aku yang bisa menjawab segala pertanyaan konyolnya yang tanpa henti.
Aku tertular denganmu Ma. Kau yang selalu Memasak untukku, membersihkan rumah dan merapikannya dengan sempurna, menjadi Guru TK saat aku Sekolah, selalu nampak paling cantik diantara komunitasmu, namun satu kekuranganmu Ma. Kau terlalu Capek karena mengemban semuanya seolah-olah sendirian saja. Berjuang terlalu keras untuk ekonomi keluarga. Kau terlalu super woman untuk aku tiru.
Jika Mama merasa Ayah yang hanyalah guru tak cukup untuk memenuhi ekonomi keluarga maka Aku sebagai anak yang belajar dari kehidupanmu merasa bahwa Suamiku memiliki Passion yang lebih dibanding seorang Guru saja. Aku memutuskan untuk mendukung segala hoby suamiku dari belakang layar. Ikhlas dengan Nafkah yang terbagi bukan hanya untukku namun juga untuk Ibunya.
Mengertilah Ma, Aku tak bisa menjadi sepertimu. Membagi diri terlalu banyak untuk menjadi tulang punggung. Aku sudah cukup mendapat pelajaran dari kehidupanku. Bahwa rezeki keluarga diperoleh dari kerja sama yang pas. Ayah mungkin adalah suami yang ideal untukmu yang merupakan wonderwoman. Tapi suamiku tak seperti Ayah_sang penolong dalam kegiatan Rumah Tangga.
Aku tau kau takut menerima kenyataan aku tak mandiri secara finansial. Nyatanya Aku mulai berusaha Ma. Walau tak terlihat namun Aku percaya, segala yang aku lakukan sekarang adalah Investasi. Aku punya catatan Akuntansiku sendiri untuk rezeki ku. Ingat Ma, Aku ini Sarjana Sains Terapan Akuntansi Syariah.
Percaya padaku Ma.. Cukup percaya dengan langkahku dengan tak mengatakan bahwa ini adalah langkah kepasrahan. Banggalah dengan status Ibu Rumah Tangga padaku.
Aku memang hanya Mengurus Suamiku. Meninggalkan cita-citaku dahulu. Tapi suamiku meneruskan cita-citaku. Mengurus suamiku berarti memperjuangkan cita-citaku.
Ditulis dengan air mata kerinduan.
Seorang Ibu yang menemukan Rumah Baru dan menghapus kekecewaan dari orang yang selama ini menyayanginya.